• DELAPAN •

Devan celingak-celinguk, memerhatikan seisi ballroom, seperti ingin menyesuaikan diri dalam suasana ulang tahun yang meriah, hingga pupil mata cokelat itu berhenti di sudut panggung, tempat Keisya berdiri.

Lagi-lagi pandangan mereka bertemu, seakan tenggelam dalam sorot yang saling meneduhkan. Di saat semua orang bergerak ke sana ke mari, tubuh mereka justru membeku.

Ribuan pertanyaan mulai berenang di kepala Keisya, seperti mengapa Devan mau jadi badut? Apakah Jeslyn yang menyuruhnya? Kenapa juga semesta selalu mempertemukannya dengan cowok itu? Dan banyak lagi.

Abel tampak menarik-narik tangan Devan, memintanya naik ke panggung. Meski terhalang oleh orang-orang sekitar, pandangan Keisya dan Devan masih belum lepas satu sama lain, hingga Devan mengiyakan permintaan Abel, memasang lagi topeng, lalu berjalan sambil menggandeng Abel menuju panggung.

Sebenarnya, kita ini apa, sih? batin Keisya, menatap Devan kini menghibur dan menari bersama anak-anak, seiring lagu yang dimainkan dan dinyanyikan.

Bukannya membalas lambaikan tangan Devan, Keisya justru menoleh ke arah lain. Walau, ada rasa hangat yang menjalar dalam dada, mendengar tawa girang Devan dan anak-anak. Tetap saja rasa sesak yang menggelayuti hatinya, mengingat Devan selalu saja mengasihaninya.

Dua jam berlalu acara pun selesai, satu per satu tamu berangsur pulang. Ketua penyelenggara EO mengucapkan banyak terima kasih pada Abel dan keluarga sebelum mereka pergi. Dari jauh Keisya hanya tersenyum dan melambaikan tangan pada Abel saat hendak keluar dari ballroom. Menurutnya, itu sudah cukup menunjukkan kata pamit.

“Dor!” Devan tiba-tiba menepuk pundak Keisya sampai terlonjak. Tangannya yang tadi sedang mengemas barang-barang EO, terpaksa berhenti. “Gak nyangka kita ketemu lagi. Jodoh kayaknya.”

Keisya mendengkus mendengar kata ‘jodoh’. Lebih baik dia jatuh dari tebing, daripada berjodoh dengan cowok sombong. “Jangan ngarep! Bosen gue ketemu lo mulu.”

“Bosen-bosen, entar suka.”

Please, gue butuh kantong asoy buat muntah! Tanpa menanggapi Devan, Keisya langsung membawa kardus yang tadi dikemasnya, lalu menjauh dari cowok itu.

“Gue ditinggal lagi.” Masih mengenakan kostum badut, Devan terus mengejar Keisya dan berteriak memanggil namanya. Namun, tidak sedikit pun Keisya menoleh. “Tunggu, Kei!”

Saat Keisya hendak mendorong pintu ballroom, terdengar suara gedebuk yang cukup keras dari belakang. Seketika dia menoleh ke belakang, ternyata Devan sudah tergelatak di lantai dan ditertawakan oleh kru EO-nya. Pemandangan itu, membuat Devan seakan tidak dimanusiakan.

Tanpa banyak berpikir, Keisya membuang kardus dari tangannya, lalu segera mendekati Devan.

“Jatuh, ya, lo? Kasihan deh. Makanya, nggak usah sok imut!”

Devan mengulurkan tangan, minta diangkat. “Bantuin gue berdiri, elah. Nih, kostum kepala berat!”

Keisya mendengkus. Walaupun enggan, tetapi sebagai manusia yang masih memiliki hati nurani dia harus membantu sesama. Begitu menggenggam tangan Devan, cowok itu perlahan berdiri, lalu diam sejenak. “Udah, ‘kan? Sekarang jangan lari-lari lagi pakai kostum ini.”

“Dapat!” Tanpa aba-aba, cowok itu memeluknya erat.

“Devan!” Keisya melotot, pipinya memanas, tubuhnya panas-dingin, tidak menyangka Devan akan memeluknya tiba-tiba. Dia memukul-mukul cowok itu, tetapi tenaganya tidak ada apa-apa, pelukannya justru makin kencang. Tak ada yang mau menolong, semua kru malah diam dan lanjut mengobrol.

Rasanya, Keisya ingin menghilang saja dari muka bumi. “Lepasin gue, berengsek!”

“Please, sebentar aja. Gue gak pernah kenal cewek yang doyan maki-maki macam lo.” Devan mengusap-usap pundak Keisya berulang kali.

Rasanya, sia-sia dia memukul Devan karena hatinya telanjur tenggelam dalam pelukan hangat cowok itu. Tubuh Keisya melemah, tangannya terkulai. Pipinya memanas ditatap oleh para kru. Belum pernah dia dipeluk orang lain, selain ibu dan ayahnya dulu. Kesal, malu, dan nyaman seolah menjadi satu.

“Dev?” Telinga Keisya menempel tepat di dada bidang Devan. Suara detak jantung cowok itu terdengar kencang, perlahan membuat Keisya tersadar. Lo kenapa? Belum sempat dia bertanya, cowok itu sudah duluan melepaskan pelukan.

Devan mengusap-usap puncak kepala Keisya. Samar-samar suaranya terdengar dari balik topeng. “Gimana, gue udah cocok belum jadi good cuddler?”

“Gila, ya?"

“Gak apa-apa gila asal gemesin.”

“Gue bukan anak kecil yang mau aja dipeluk-peluk gitu! Mentang-mentang lo jadi badut.”

“Sekarang gue percaya, emang bukan duit yang lo butuhin, tapi pelukan.”

Keisya diam sejenak, kalau tidak butuh uang untuk apa bekerja? Dirinya hanya tidak ingin mendapatkan uang dari rasa kasihan. Ada sensasi tersendiri saat menerima uang dari keringat sendiri. Namun, apa benar dia juga butuh pelukan?

“Sok tau lo!”

Keisya mendengkus. Walaupun memang sempat merasakan kehangatan dan mood-nya jadi lebih baik setelah dipeluk, tetap saja memeluk orang lain di usianya yang beranjak dewasa adalah hal yang salah, apalagi jika orang itu lawan jenis.

Devan membuka topeng, lalu tersenyum manis. Rambut kusut dan berkeringat itu mengeluarkan aura tersendiri, membuatnya terlihat makin ganteng. Keisya jadi mabuk kepayang. Namun, dia segera tersadar ketika cowok itu tiba-tiba mengacungkan jari kelingking. “Lo yakin gak mau foto bareng Micky yang ganteng ini? Jarang-jarang gue begini.”

“Oke, tapi bayar nggak?”

“Bayar pake cinta.”

“Basi banget dah kayak bubur benyek!”

Meski hanya bercanda, entah kenapa kata ‘cinta’ dari mulut Devan berhasil membuat degup jantung Keisya berdetak tak karuan. Demi menutup rasa panas di pipi, Keisya memanggil salah satu pegawai EO untuk meminta tolong dipotret.

Dengan membelakangi sinar matahari yang menyorot dari kaca, Devan menghadap kamera, merangkul Keisya akrab, dan memamerkan gigi sampai terdengar bunyi ‘klik’. Keisya ikut tersenyum, membiarkan Devan merangkulnya layaknya sahabat hingga beberapa kali rekannya itu mengambil gambar.

Usai berfoto, Keisya menatap girang hasilnya di kamera, yaitu bayangan hitam tubuhnya dengan Devan, seperti siluet. Rasanya dia ingin mencetak gambar itu. Terutama foto Devan yang tersenyum manis, mood boster sekali. Tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyum.

“Lo cantik kalau nyengir.” Devan terkekeh kecil, embusan napasnya hangat terasa di telinga Keisya.

Seketika, pipi Keisya panas. Kenapa akhir-akhir Devan jadi sering memujinya? Dia jadi kegirangan sendiri atau ini salah satu cara baru untuk mengasihaninya? Cepat-cepat Keisya menggeleng, menghapus lamunan. “Apa, sih?”

“Gue mau buat perjanjian sama lo.”

“Perjanjian?”

“Panggil gue, kalau lo butuh pelukan. Gue janji bakal selalu ada buat lo.” Keisya mengernyit, siapa juga yang mau minta dipeluk? Namun, jujur rasanya tadi nyaman, Devan memang juara dalam menghangatkan. “Asal jangan peluk orang lain selain gue.”

~•••~

“Spanduk udah, bunga juga siap, balon-balon lengkap. Apa lagi yang kurang?” Di ruang OSIS, diam-diam Daffa menyiapkan segala perlengkapan berwarna biru yang nantinya akan diberikan untuk Keisya. Pagi ini, dia akan menembak gadis itu, dengan menyatakan perasaan yang sebenarnya. Untuk sekarang, tidak akan dia biarkan gadis itu dimiliki orang lain.

Cepat-cepat Daffa mengunci pintu ruang OSIS, sebelum banyak teman lain yang datang dan mengejeknya ‘bucin’ habis-habisan. Berdua dengan Laura saja sudah membuat tubuhnya panas-dingin, apalagi orang lain.

Bukannya menjawab pertanyaan Daffa, Laura justru menyelami ponsel sambil duduk anteng di kursi. “Ketua OSIS lagi ngomong bukannya dijawab malah main game. Lo bukan batu, ‘kan?”

Laura mengedik, sedari tadi bibirnya cemberut. Pasti kesal karena terjebak berdua saja dengan Daffa di ruang OSIS. “Gue bantu doa.”

“Oke, engga apa-apa. Doain gue sukses, ya.”

“Terserah. Ngomong-ngomong, tuh, barang menuhin tempat aja.”

“Makanya biar engga sempit, gue nembak Keisya pagi-pagi begini.”

Laura hanya mengangguk, perhatiannya tertuju pada surat kecil yang tergeletak di lantai. Lantas, dia menaruh ponsel di meja, lalu membantu Daffa menyelipkan surat dalam sebuket bunga mawar. “Dear Keisya--”

“Jangan dibaca!” Daffa merebut kembali surat itu. “Cuma Keisya yang boleh tau.” Seketika, Laura terdiam. “Menurut lo, alay engga gue nembak pakai beginian?”

“Jujur, udah enggak zaman lagi, tapi enggak masalah. Menurut gue, alay itu kalau lo enggak bergerak maju buat memperjuangkannya.”

“Apa gue udah cukup berjuang?”

Laura menghela napas, menatap Daffa lekat-lekat sambil mengingat kelakuan cowok itu tiap bertemu dengannya. “Itu, sih, lo sendiri yang ngerasain. Tapi sepenglihatan gue, lo memang selalu ada buat dia sampai rela makan waktu, padahal ada yang lebih penting. Dan itu cukup layak disebut berjuang.”

Daffa diam. Apa benar dirinya sudah berjuang? Sedangkan, Keisya saja tidak pernah peka dengan perasaannya? Semua kode yang dia lempar, seakan mengudara begitu saja. Gadis itu tidak pernah membalas hal yang sama.

Daffa tersentak begitu Laura menepuk pundaknya. “Rileks, Daf, tegang banget muka lo. Gue yakin lo berhasil. Siapa, sih, yang mau nolak cinta anak OSIS cakep dan pintar?”

“Tumben lo bijak, pakai muji gue segala.”

“Lo aja yang sering menganggap diri lo jauh lebih dewasa daripada gue. Padahal, gue yang lebih bijak.”

Daffa mengernyit mendengar itu, perasaan dia tidak pernah merasa lebih dewasa dari gadis itu. Terus, kenapa cewek ini berlagak sok tahu? “Memang iya?”

“Udah, cepet bukain pintu! Pujaan hati lo juga udah nunggu, tuh, di luar.”

Melihat Keisya sudah duduk di teras, buru-buru Daffa menyembunyikan semua perlengkapan di bawah meja, keluar dari ruang OSIS, lalu duduk di samping Keisya. Gadis itu masih sibuk membidik gambar dengan kamera, ke arah matahari yang masih malu-malu menampakkan diri di langit.

Embun sepeninggal hujan begitu dingin menusuk kulit Daffa, membuat bulu kuduknya berdiri. Sedangkan, Keisya duduk anteng seakan menikmati suasana bersama suara cicit burung yang merdu di atas pohon. Sudah lama dia tidak duduk berdua dengan Keisya sambil menikmati nuansa pagi yang tenteram seperti ini. Sebelum gadis itu akhirnya memutuskan keluar dari OSIS.

Setelah menyadari kehadirannya, tatapan Keisya yang awalnya meneduhkan berubah tajam. Jika saja tatapan itu laser, pasti tubuh Daffa sudah terbelah-belah. “Lama banget gue ditungguin dari tadi. Kebelet lo?”

“Maaf, tadi ada sesuatu yang perlu gue urus.”

“Makin sibuk aja lo akhir-akhir ini, kayak susah banget ditemuin. Lagi menghindari gue apa gimana, sih?”

“Gimana ngga sibuk. Orang lo udah keluar dari OSIS.”

“Tuh, ‘kan diungkit lagi. Gue pergi, nih.”

Maksudnya gue kangen, Kei. Lo engga ada peka-pekanya memang.
Tangan Daffa dingin membeku, tidak sabar untuk menyatakan perasaannya pada Keisya, tetapi rasa takut tiba-tiba menghampiri. Bagaimana jika semua tidak sesuai ekspektasinya?

“Gue ke sini mau nitip kamera. Soalnya, abis pulang sekolah mau langsung kerja. Boleh, ‘kan?”

“Santai, Kei, kayak ngobrol sama orang lain aja. Ruang OSIS ini masih milik lo, kok. Lo bebas mau ngapain aja.”

“Tetap aja gue harus izin sama lo.” Keisya menyodorkan kamera pada Daffa. “Titip, ya, tolong jagain kamera gue.”

Daffa tersenyum menerima kamera itu. Untuk menghilangkan degup jantungnya yang terus berdetak, dia iseng melihat-lihat foto dalam kamera Keisya. Sampai jarinya berhenti pada salah satu foto Devan yang membuat alisnya bertaut. Tunggu, ini beneran Devan?

Daffa ingin meminta penjelasan Keisya, tetapi gadis itu tampak canggung bertemu dengan teman-teman OSIS. Dari tadi gadis itu menyengir tidak jelas dan terus menyikut lengannya, seperti ingin pergi dari tempat ini. Akhirnya, Daffa urung bertanya dan segera menjalankan rencananya.

“Kei, gue jamin hari ini bakal jadi momen terbaik buat lo.”

“Maksudnya?”

Tanpa menjawab, Daffa langsung masuk ke ruang OSIS, kembali dengan menggenggam buket bunga, lalu menggenggam erat tangan Keisya sampai membawanya ke tengah-tengah lapangan sekolah.

Senyum lebar tersemat di wajah Daffa sambil bertekuk lutut di hadapan Keisya.  Sebelah tangannya memegang bunga dan sebelah lagi memegang tangan Keisya. Matanya melirik beberapa orang yang kini berkerumun di pinggir lapangan.

“Daf, lo apa apaan, sih? Orang-orang pada ngelihatin. Cepat berdiri!” Keisya menarik-narik tangan Daffa. Namun, cowok itu enggan beranjak.

Suara hiruk-pikuk para murid menggema ke seluruh lapangan, ditambah spanduk bertuliskan “Will You Be Mine?” yang dibawa oleh Laura.

“Kei, gue tau cara ini jadul, tapi gue mau buktikan kalau sebenarnya gue sayang banget sama lo. Gue udah suka sama lo selama setahun. Kei, Will you be mine?”

Telinga Daffa berdengung ketika para siswi berteriak heboh. Jujur, lututnya bergetar hebat karena menjadi pusat perhatian. Ada yang mendukungnya dengan cara memekik 'terima', bahkan banyak juga yang berseru 'wuuu'.

“Daf, gue nggak bisa.”

Sebuah ultimatum seakan mendarat dalam dada Daffa. Berdenyut nyeri, seperti dipukul palu godam. Tangannya lemas. Apa kali ini dia akan gagal? “Maksudnya engga bisa nolak, 'kan?”

Keisya menggeleng, wajahnya pucat saat menatap sekeliling. “Gue nggak mau pacaran, Daf. Lo tau sendiri kondisi Ibu sekarang gimana. Gue nggak ada waktu buat pacar-pacaran.”

“Justru karena itu, gue mau nyemangatin dan nemenin lo. Kapan pun lo butuh.”

“Daf, keputusan gue nggak berubah.”

Telapak tangan Daffa mengepal sampai buku-bukunya memutih. Suara tertawaan murid lain makin menusuknya hingga ke lubuk hati. Rasa sesal kini bergelayut. Lebih baik, dia mengubah diri jadi rumput, bila perlu hilangkan saja wajahnya bersama angin daripada cintanya kandas ditolak Keisya.

“Kenapa, Kei? Atau mungkin lo udah kepincut sama Devan?” Daffa membuat Keisya mematung. “Jangan mau pacaran sama sampah kayak dia!”

Seketika, Keisya menampar pipi Daffa hingga berbunyi ‘plak’, wajah sahabatnya itu sampai berpaling. Suasana yang awalnya ramai mendadak sunyi seperti kuburan.

“Sorry, Daf, refleks!” Keisya menutup mulut, menatap Daffa tanpa ekspresi, lalu pergi meninggalkannya sendiri di tengah lapangan tanpa rasa iba.

“Sialan!” Nasib sial sepertinya sedang menimpa Daffa. Sia-sia dia saja dia memesan spanduk jauh-jauh hari, bunga dengan harga selangit, bahkan rela mentraktir teman-teman agar mereka semua mendukungnya. Bukti Keisya yang menamparnya tadi, sudah cukup membuktikan bahwa gadis itu lebih mencintai Devan. Gue bakal buat perhitungan dengan lo, Devan Cal Nelson.

----

Komennya dong guys, jangan lupa dipesan ya. 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top