02. A Single Apology
Close your eyes for a moment
Hold my hand to that future
Let's run away
―BTS – Life Goes On
***
Suara gelak tawa adalah hal pertama yang didengar Yoongi saat dua tungkai itu melangkah. Dengan muka khas bangun tidur, jemari yang menggaruk perut serta rambut secara bergantian. Mengumpulkan kesadaran sepenuhnya, pemuda tersebut pada akhirnya membuka pintu kamar.
"Kau harusnya melihat bagaimana wajah Kak Hoseok saat aku benar-benar melempar ular mainan itu, Jung. Dia bahkan berlari pada Mama dan mengadu seperti bocah lima tahun."
Yoongi mengernyit, tidak memahami pembicaraan sekalipun dua orang yang berada di ruang tengah itu tampak benar-benar asyik. Sisa-sisa tawa yang mereka lontarkan membuat lelaki bermata sabit itu pada akhirnya memilih mengedikkan bahu. Membiarkan dua presensi yang tak asing lagi berada di rumahnya itu larut dalam pembicaraan mereka.
"Berarti kau benar-benar memberikan ular itu, ya? Ah, aku jadi penasaran bagaimana rupa Kak Yoongi kalau aku juga melakukan hal serupa."
Yoongi menarik sudut bibirnya. Sepertinya dua bocah itu sama-sama tidak tahu dengan keberadaannya di sini. Menenggak habis air minumnya sampai tandas, Yoongi melangkah menuju kamar mandi. Membersihkan wajah dan menggosok gigi agar setidaknya ia tidak terlihat menjijikan dengan wajah khas bangun tidur itu.
"Oh? Kak Yoongi sudah bangun?"
"Tentu saja, kau pikir ini siapa? Hantu?" sahut Yoongi, mengambil tempat di sisi sofa lain dan meraih bungkus jajan yang tergeletak di atas meja.
"Tumben sekali Kak Yoongi bangun pagi. Biasanya juga nanti siang. Ah, Ibu meninggalkan sisa sarapan di atas meja. Kak Yoongi bisa menghangatkan sendiri kalau lapar."
"Nanti saja," ucap Yoongi, mengabaikan ucapan Jungkook. Matanya menilik lembar-lembar kertas yang berada di atas meja, "Kalian kerja kelompok atau belajar?"
"Kerja kelompok, Kak," Yoongi menoleh, gadis yang duduk di sebelahnya itu tampak enggan membahas perkara yang sama, "dan aku kembali satu kelompok dengan kelinci satu ini."
Terkekeh, Yoongi membalas, "Lagi? Serius?"
"Ya, aku bahkan sampai bosan untuk satu kelompok dengannya."
"Eiy, jangan beritu, Reun. Kau bahkan pernah sampai menangis karena berpisah denganku. Ingat ketika satu kelompok dengan Kim Taehyung?"
"Itu, sih memang dasar dia saja yang keterlaluan. Kak Yoongi tahu, tidak?"
Yoongi memasang atensi, Areun sudah siap mengadu dan bercerita seperti biasa, lantas gadis itu kembali memulai cerita, "Pokoknya Kim Taehyung itu benar-benar keterlaluan. Dia sama sekali tidak mau ikut kerja kelompok. Alasannya banyak sekali. Sok sibuk. Dih, memang dia saja yang begitu? Semua orang juga sibuk, tahu. Memang dasar dianya saja yang malas."
Yoongi tersenyum, "Jadi, kesimpulannya kau yang menyelesaikan semuanya?"
Areun mengangguk antusias, "Iya, waktu itu―"
"Setelah nangis-nangis sampai matanya bengkak seperti bola pingpong. Pada akhirnya, aku yang membantu dia menyelesaikan itu, Kak. Ujung-ujungnya sama saja. Tidak satu kelompok, tapi tetap mengerjakannya bersama."
Areun mendelik, "Kau tidak benar-benar membantuku, Jung.Kau hanya menemaniku, tidak melakukan apapun."
"Dasar tidak tahu diri, aku yang membelikanmu setumpuk cokelat dan es krim waktu itu."
Suasana hangat pun seolah menguar. Memenuhi rumah diselingi perdebatan ringan yang kerap Yoongi dapatkan. Hal-hal rutin setiap akhir minggu. Di saat setiap anak-anak sekolahan menghabiskan waktu untuk berlibur atau berkencan, dua bocah itu justru membawa tas berisi setumpuk buku-buku tebal dan membabat habis seluruh latihan yang ada di sana.
Tipikal anak-anak rajin. Namun Yoongi tak mempermasalahkannya. Pemuda itu justru bersyukur lantaran dua adiknya itu tidak masuk ke dalam pergaulan yang salah. Berita mengenai anak-anak yang salah menjalani pergaulan memang cukup meresahkan.
Semuanya seolah sempurna. Hidup Yoongi benar-benar sempurna. Agaknya, lelaki itu cukup tahu diri. Realistis. Mengingat tatkala teman-teman sebayanya tergiur dengan rumah besar dengan anggota keluarga konglomerat, pemuda tersebut tidaklah meminta hal yang muluk-muluk.
Mengendarai mobil pemberian ayah, lekas menjemput Min Jungkook, kemudian pulang bersama menikmati makan malam buatan ibu yang masih mengepulkan uap-uap panas. Suasana hangat itu semakin bertambah manakala setiap anggota keluarga bergantian untuk menceritakan keseharian mereka.
Kendati agaknya, malam itu Yoongi merasa sedikit saja hal yang aneh. Manakala menemukan presensi Min Jungkook yang tengah duduk sendiri di halte, tanpa Jung Areun yang biasanya selalu menumpang dengan kilah menghemat pengeluaran. Pemuda tersebut duduk dengan kepala yang menunduk, memandangi syal merah mudanya. Bahkan tidak akan sadar kalau saja Yoongi tidak segera menekan klakson pertanda kedatangannya.
"Ada masalah di sekolah?" tanya Yoongi, Jungkook hanya menghela, kembali menatap luar.
"Aku berkelahi dengan Areun."
"Lagi?" Yoongi bertanya setengah tak percaya, "dulu ketika kalian belum berpacaran, kalian tidak sesering ini bertengkar."
"Entahlah, Kak. Ku pikir, kita bisa berhubungan normal seperti anak lain kebanyakan. Nyatanya, ini semua sulit sekali. Areun ... terlalu sulit untuk aku mengerti."
Yoongi menghela, mencoba memahami kondisi si bungsu. Pemuda itu memelankan pedal gas manakala berhenti di sebuah lampu merah, "Kalian hanya terlalu lelah, Jung. Sudah di tingkat akhir begini, kalian pasti sibuk dengan tugas masing-masing. Wajar saja Areun sedikit sensitif."
Jungkook mengedikkan bahu, "Tapi bersama Kak Yoongi tidak, tuh," ucapnya setengah merajuk, "sepertinya ... hanya Kak Yoongi saja yang benar-benar mengerti Areun."
"Hei," Yoongi protes, "kau cemburu padaku?"
"Mungkin?"
Yoongi terkekeh, pemuda itu mengulurkan tangan untuk sekadar menepuk pelan kepala adiknya, "Jangan cemburu. Aku sudah menganggap Areun sebagai adikku sendiri, sepertimu. Jadi wajar saja aku memperlakukannya sama seperti aku memperlakukanmu. Sedikit berbeda, sih karena dia perempuan."
Jungkook tidak tampak baik. Setidaknya begitu pikir Yoongi. Pemuda itu bahkan hanya menghela napas sekali lagi tanpa tanggapan. Pun manakala Yoongi kembali menekan pedal gas mobilnya, si bungsu hanya menatap jalanan luar yang ditutupi salju seraya memeluk tas yang berada di pangkuannya.
"Kak."
"Hm?" Yoongi menoleh sejenak menyadari panggilan Jungkook untuknya.
"Areun itu semakin cantik, ya."
Yoongi terkekeh. Astaga, begini ternyata jika sedang dimabuk cinta? Ia menggeleng tak habis pikir, tidak biasanya Min Jungkook itu mudah memuji seseorang. Siapapun itu termasuk keluarganya sendiri. Namun apa yang sedang didapatinya sekarang? Menoleh sejenak untuk melihat ekspresi Jungkook, Yoongi menghela melihat pemuda itu yang masih fokus dengan jalan raya. Menampilkan seulas senyum tipis yang Yoongi berani bertaruh, di dalam kepala Jungkook kini sedang terbayang wajah Jung Areun yang dinilai cantik menurutnya.
"Ya, dia cantik, tapi tidak secantik teman-temanku, sih." Yoongi berkata jujur. Terang saja karena mayoritas para gadis di kampusnya itu sudah tumbuh dewasa dengan berbagai riasan dan perawatan di tubuh serta wajah mereka.
Namun jika dipikir sekali lagi, Jung Areun tidak seburuk itu.
"Bukan wajahnya, Kak," Jungkook menyela, pemuda tersebut memutar kepala hanya untuk curi pandang pada Yoongi dengan senyum di wajahnya, "tapi sikap dan hatinya."
"Jung, jangan bertingkah sok romantis begitu di hadapanku. Menggelikan sekali." Yoongi bergidik lantaran melihat senyum Jungkook yang nampak berbeda tersebut.
"Tapi serius, deh," ucap Jungkook sekali lagi, mengabaikan pinta Yoongi untuk kembali membahas Jung Areun menggebu. Seolah melupakan tiap memori perkelahian beberapa saat yang lalu, "Hal pertama yang membuatku tertarik dengan Jung Areun itu bukan wajahnya, tapi otaknya."
Menarik satu sudut bibirnya, Yoongi menimpal, "Karena hanya dia satu-satunya yang mengerti kau?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Karena hanya dia satu-satunya yang setara denganku. Dari segi apapun itu."
"Bukannya Areun itu peringkat sepuluh di sekolahmu, Jung? Kenapa tidak dengan Kim Soo-Ah saja?"
"Si peringkat dua itu?"
"Ya."
"Entahlah," Jungkook sendiri tampak bingung. Ia mengedikkan bahu, "Rasa-rasanya Areun lebih baik saja. Meskipun―ya, keduanya sama-sama pekerja keras. Tapi entah kenapa di mataku, Areun lebih baik."
"Jadi?"
Jungkook tersenyum lebar. Yoongi bahkan bisa mengingat dengan jelas tiap detik yang terjadi malam itu. Terutama dengan deretan gigi Min Jungkook dan gigi kelinci khas yang ditampilkan olehnya. Manakala itu, Yoongi bisa mengingat dengan jelas, bagaimana ucapan dari si bungsu setelahnya.
"Aku sangat menyukai Areun, Kak. Suka sekali. Doakan agar hubungan kami bertahan lama, ya? Sekalipun terus-terusan berkelahi macam tadi."
"Yoongi?"
Yoongi tersentak. Nyaris menjatuhkan ponsel yang tengah berada di genggamannya jika saja lelaki itu tidak kalah gesit. Pria itu menoleh. Melihat wanita yang tengah berdiri menatap heran padanya, dengan satu keranjang di genggamannya.
"Ibu? Sedang apa?"
"Harusnya ibu yang bertanya padamu," ucap wanita itu, "apa yang kau lakukan di sini? Seharusnya kau bersiap dan menjemput Areun."
Yoongi menggaruk tengkuknya. Bagus sekali, dia sudah seperti maling yang terciduk hendak mencuri, "Iya, ya? Hanya melihat kamar Jungkook saja," ucapnya.
Ibu menghela napasnya. Memilih menaruh keranjang di sisi ranjang sebelum menuntun Yoongi untuk kembali duduk di pinggiran ranjang Jungkook, "Ibu hendak mengganti seprei di kamar Jungkook, Yoon. Sekaligus membersihkan kamar ini. Sudah satu bulan tidak tersentuh."
"Maaf aku sibuk akhir-akhir ini, Bu."
"Bicara apa kau, Yoon," ibu tampak tidak suka, "sudah baiknya kau memang sibuk. Mempersiapkan pernikahan bukanlah perkara yang mudah. Kau dan Areun harus mempersiapkan semuanya dengan matang. Urusan membersihkan rumah biar ibu saja. Lagipula, ini salah ibu yang tidak memerhatikan Jungkook akhir-akhir ini."
Yoongi menoleh. Ibunya itu kini tengah memindai setiap sudut kamar Jungkook dengan seulas senyum tipis di wajahnya. Untuk beberapa saat saja, hati Yoongi seperti terasa diremas kuat. Ditekan kuat. Mengetahui kerutan-kerutan yang berada di sekitar mata ibunya, juga gurat lelah yang bisa Yoongi tangkap dengan jelas.
"Bu?"
"Ya?" Ibu menoleh, membalas tatapan Yoongi.
Yoongi tidak berkata apapun setelahnya. Namun agaknya, perasaan seorang ibu tidak pernah salah. Biar bagaimana pun, Yoongi adalah anak kandungnya. Jadi, manakala si sulung itu tengah menghela napas berat dan menundukkan kepala, ibu pun turut menghembuskan napasnya.
Ibu bangkit, Yoongi mengikuti langkah wanita itu dengan arah matanya. Ia mengambil sebuah bingkai foto yang berada di atas nakas, tepat di samping lampu tidur milik Jungkook untuk dibawanya di hadapan Yoongi. Foto kelulusan Min Jungkook.
"Kemari Yoon," ucap Ibu. Memberikan tanda bagi Yoongi untuk duduk lebih dekat dengannya.
"Lihat," Ibu menyondorkan bingkai foto tersebut. Jungkook dengan Areun, bersama Yoongi yang berada di tengah merangkul keduanya. Mereka bertiga tersenyum lebar sekali. Nyaris menciptakan kurva melengkung dengan kedua matanya, "Jika Jungkook masih ada, dia pasti sudah sebesar Areun sekarang. Tetap menjadi si Min manja Jungkook sekalipun usianya sudah dua puluh lima. Ibu bahkan bisa membayangkan bagaimana dia terus merengek minta dibuatkan susu setiap pagi sebelum ia berangkat kerja di kantor."
"Aku sangat menyukai Areun, Kak. Suka sekali. Doakan agar hubungan kami bertahan lama, ya? Sekalipun terus-terusan berkelahi macam tadi."
"Jika Jungkook masih ada," Yoongi menelan ludah getir, kendati tetap mempertahankan air mata yang sudah membendung di pelupuknya. Tidak boleh menangis di depan ibu. "Pasti dia yang kini sedang mempersiapkan pernikahannya dengan Areun, Bu. Aku ..." menghela napas dengan berat untuk kesekian kalinya, Yoongi melanjut, "aku yang akan menjadi kurir pengantar undangan ke tiap-tiap rumah. Tersenyum lebar karena dua adikku pada akhirnya bisa hidup bahagia."
"Jadi ini masalahnya," Ibu tersenyum hangat. Meletakkan bingkai foto tersebut di sisi ranjang sebelum meraih tangan Yoongi untuk digenggamnya, "Kau merasa bersalah karena telah mengambil Areun dari Jungkook. Begitu, Yoon."
"Lebih parah dari itu, Bu,"ucap Yoongi, ia menunduk. Menggigit bibir kuat-kuat menahan tangis, Yoongi berucap getir, "Aku merasa merebut kebahagiaan milik adikku sendiri."
Sialan. Yoongi mengutuk dalam hati bagaimana aliran liquid itu mulai menuruni matanya. Keluar dari pertahanan terakhir Yoongi dengan seenak jidat. Jatuh satu tetes tepat di atas tangan ibunya. Jadi, tidak mungkin Ibu tidak tahu bahwasanya Yoongi tengah merengek seperti bayi saat ini.
"Aku merindukan Jungkook, Bu."
Pada akhirnya, Yoongi tidak bisa untuk menahan tangisannya. Menahan setiap beban yang beberapa bulan terakhir ini benar-benar menyiksanya. Semuanya luruh begitu saja. Isakannya yang terdengar semakin kuat itu teredam lantaran Ibu yang sudah merengkuhnya erat. Membawa Yoongi ke dalam pelukannya, mengelus punggung lebar milik si sulung. Sedang Yoongi tidak melakukan apapun selain membalas pelukan ibunya tidak kalah erat. Menopang kepalanya di pundak Ibu, seolah seluruh bebannya bisa luruh begitu saja di sana.
Masih dengan sisa isakannya, Yoongi bisa merasakan suara bergetar milik Ibu. Yoongi tahu dia tidak seharusnya begini, Yoongi tahu Ibu benar-benar menahan tangisannya juga di depannya, tapi biarlah sekali ini saja. Sekali ini biarkan saja Yoongi melepas seluruh topeng yang ia kenakan. Mengeluarkan setiap beban yang menghimpit dadanya sampai ia sulit sekali untuk bernapas. Biarkan saja kali ini Yoongi mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya.
Kerinduan pada Min Jungkook dan segala perasaan rumit yang ia saja tidak mengerti.
"Ibu juga sangat merindukannya, Yoon," bisik Ibu, satu tangannya mengelus punggung Yoongi dengan telaten. Suaranya sedikit bergetar, tapi Yoongi masih bisa menangkap bagaimana ibunya mencoba untuk tetap tenang, "Ibu merindukannya ... setiap hari."
"Tapi, Yoon," Ibu kembali berucap, melepas pelukannya dan menuntun si sulung untuk membalas tatapannya. Bahkan tidak sungkan menghapus air mata Yoongi dengan jemarinya.
Ibu tersenyum hangat sekali. Menatap Yoongi dengan tatapan teduh khasnya, "Seperti halnya kau yang menginginkan Jungkook untuk bahagia, seperti itulah Jungkook juga menginginkanmu untuk bahagia."
"Maka dari itu," Ibu melanjut, memberi remasan kuat pada kedua tangan Yoongi yang tengah digenggamnya. Seolah mencoba memberikan kekuatan melalui itu, "Kau harus melanjutkan hidupmu. Bersiaplah dan jemput Areun. Persiapkan pernikahan kalian sebaik mungkin. Karena kau juga anak ibu, Yoon. Di sini, bukan hanya Jungkook yang berhak bahagia . Kau pun berhak merasakan hal yang sama."
Yoongi mengangguk, ia melepas genggaman ibunya untuk menghapus sisa-sisa air mata yang masih menggenang di pelupuk, "Maafkan aku, Bu."
"Tidak perlu minta maaf. Ibu tahu ini sangat berat bagimu," ucap Ibu, seraya mengelus surai hitam milik Yoongi.
Dering ponsel Yoongi menjeda sejenak kegiatan mereka. Yoongi mengambil ponsel yang tergeletak di atas ranjang tak jauh dari mereka. Nama Jung Areun terpampang jelas di sana.
Yoongi menghela. Ibu tertawa kecil dan menepuk punggung tangannya. Mengecup dahi Yoongi sekilas sebelum berujar, "Sana, Yoon. Jemput kebahagiaanmu saat ini."
Benar, pikir Yoongi. Aku harus bahagia.[]
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top