String Of The Future

[19 Maret 2000]

Rumah kayu yang ada di hadapan Majorie ini membawa banyak sekali kenangan. Mulai dari saat dia bermain kejar-kejaran dengan kedua saudara laki-lakinya, dan saat dia bercengkrama dengan kedua orang tuanya. Hal yang membuat Majorie merindukan banyak hal. Setidaknya, dia senang karena bisa kembali ke sini, meski semuanya tidak sama lagi kini.

Bulan lalu, ayahnya meninggalkan dunia ini dalam keadaan tenang. Membuat Majorie tidak memiliki orang tua yang tersisa. Hal ini membuat Majorie sedih, karena dia tidak sempat memperlihatkan anaknya kepada kedua orang tuanya. Tapi di sisi lain, apa yang bisa dia lakukan? Semuanya tidak akan bisa dicegah.

Majorie mengelus perutnya, sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah kayu itu. Rumahnya bertingkat dan nyaman, dengan lapangan luas yang mengelilinginya. Ada sebuah sungai yang membatasi sepetak tanah milik keluarganya yang ditanami kentang dan sayur-sayuran di bagian belakang rumah itu, beserta dengan beberapa pohon apel dan jeruk di pinggiran sungai yang menaungi lingkungan sekelilingnya. Tidak ada yang berubah dari rumah itu, dan Majorie tidak ingin mengubah apapun dari rumah ini.

"Nah, kau rapikan saja apa yang ada di bawah. Aku akan angkat barang-barang dari loteng untuk dipilih," kata Jacob, suami Majorie.

"Hei, aku juga ingin untuk memilihnya! Aku akan naik ke loteng, dan memilih barang bersamamu. Kan, kalau kamu menurunkannya, nanti kau harus mengembalikannya lagi kalau ada barang yang masih mau disimpan," sahut Majorie.

"Aku tahu. Tapi kau tidak boleh melakukan hal yang berat. Aku tidak akan membiarkan kau naik tangga, karena aku yakin si kecil tidak akan suka kalau kau kelelahan."

Jacob mendekat, kemudian dia berjongkok dan mencium perut buncit Majorie. Si pria terkekeh, dan mengelus perut istrinya.

"Nah, kalian diam-diam saja di sini ya. Ayah akan angkat barang-barangnya. Kalau Ayah ketemu mainan yang masih bagus, akan Ayah simpankan untukmu," kata Jacob.

"Huh, baiklah, kalau kau memaksa. Aku akan biarkan kau yang angkat barangnya dan aku akan pilih barang apa saja yang masih bisa kita pakai," ujar Majorie.

"Baguslah kalau begitu. Aku akan ke loteng sekarang. Kau bisa lihat-lihat di sini, kalau ada yang ingin kau ubah atau apalah."

Majorie mengangguk, kemudian dia berkeliling di sekitar rumah. Seisi rumah masih sama seperti saat terakhir kali dia datang kemari. Tidak ada hal yang ingin dia ubah dari rumah ini, karena dia ingin tetap mengenang kedua orang tuanya karena dia akan tinggal di sini sekarang. Mungkin dia akan memindahkan pakaian dan beberapa barang pribadi milik orang tuanya, tapi tidak akan ada yang Majorie ubah dari rumah ini.

Melihat ke luar rumah itu, Majorie bisa merasakan ketenangan yang selama ini dia rindukan. Sudah sepuluh tahun dia tinggal di Galway, karena dia ingin kembali ke kota kelahirannya. Ibunya berasal dari Galway, tetapi ketika umurnya lima tahun, ayahnya memutuskan untuk pindah ke kota kelahirannya, Claire, setelah pensiun dari pekerjaannya. Mereka memutuskan untuk mengurus tanah pertanian dan beberapa hewan ternak, untuk membangun kehidupan masa tua yang lebih tenang dan jauh dari keramaian kota Galway.

Majorie menghabiskan masa kecilnya di rumah ini, dan ada banyak memori yang memenuhi kepalanya ketika berada di rumah ini. Dia memandang ke jendela yang mengarah ke halaman belakang rumahnya, yang membuatnya ingat akan saat di mana dia akan menghabiskan sore harinya di bawah pohon apel dan memandang sungai yang jernih, meski sekekali kepalanya harus kejatuhan buah apel yang sudah masak.

Lamunan Majorie terpecah ketika dia mendengar suara langkah kaki. Ketika dia menoleh, dia bisa melihat suaminya meletakkan sebuah kotak di sebelah beberapa kotak lainnya. Si pria menghela napasnya, dan membuka isi kotak itu.

"Nah, kurasa aku kau akan suka memilih yang ini terlebih dahulu. Ada banyak sekali bagian dari alat musik yang ada di sini, apa semuanya punyamu?" tanya Jacob.

"Tidak juga. Ada beberapa yang jadi milik kedua kakak laki-lakiku. Seingatku ada satu set drum yang rusak di sini, kita bisa singkirkan itu. Lalu ada beberapa pianika dan alat musik lainnya," jawab Majorie.

"Rupanya kau tidak bercanda ketika bilang bahwa kedua orang tuamu menyukai musik, ya?"

"Hei, ibuku terpikat pada ayahku yang bekerja sampingan sebagai pengamen di jalanan ketika beliau baru sampai di Galway dan membutuhkan uang ekstra. Sementara itu, ibuku sendiri berasal dari keluarga yang menyukai musik, dan beliau sudah bernyanyi sejak masih kecil. Ayahku memikat kedua mertuanya dengan kemampuannya bermain piano dan bernyanyi, jadi kurasa kau tahu kalau kami semua adalah maniak musik."

"Baiklah, baiklah. Tidak heran kalau nyanyianmu terdengar seperti suara malaikat. Aku juga menemukan kotak biola di sini, kurasa ini milikmu?"

Majorie menatap sebuah kotak musik yang Jacob letakkan di atas meja makan. Melihat kotaknya, Majorie langsung tahu apa isinya. Itu adalah kotak berisi biola lama miliknya, yang dia tinggalkan ketika pindah ke Galway. Biola pertamanya, yang dia mainkan semenjak usianya lima tahun. Dia melangkah mendekat ke arah kotak itu, dan membukanya.

Benda yang ada di dalamnya masih utuh. Sebuah biola terletak di dalamnya, lengkap dengan busurnya. Majorie tersenyum, karena dia sudah tidak lama melihat biola kesayangannya ini.

"Ini biola pertamaku. Sudah cukup lama semenjak aku melihat dan memainkannya. Saat aku ke Galway, pamanku menghadiahkan sebuah biola baru, yang masih kupakai sampai saat ini. Aku harap bunyinya masih bagus, mungkin perlu untuk disetel."

"Hm, kau bisa coba itu. Aku akan turunkan barang-barang lainnya, kalau kau mau nanti kita bisa pilah bersama."

Majorie tidak membuang waktu lagi setelah mendengar perkataan dari Jacob tadi. Dia membuka kotaknya dengan perlahan, dan menatap sebuah biola berwarna putih yang ada di dalamnya. Setelah beberapa saat, Majorie mengambil biola itu, dan mengecek apakah senarnya masih berfungsi dengan baik atau tidak. Setelah menyentuh dan menyetelnya selama beberapa saat, Majorie yakin kalau senarnya masih bisa berfungsi, tapi butuh sedikit rosin untuk melicinkan gesekan antara senar biola dan busurnya. Langsung saja dia mencari tasnya, tempat di mana dia meletakkan biola yang dia bawa dan mengambil rosin yang dia miliki.

Si perempuan sangat fokus untuk menyetel biolanya. Tangannya bergerak dengan lincah, memainkan tangga nada untuk mengecek suara dari alat musik itu. Setelah beberapa saat mengeceknya, akhirnya Majorie bisa mendapatkan nada-nada lembut yang bisa dia ingat terdengar dari biolanya. Suaranya membawa kenangan kembali ke dalam diri Majorie, ketika dia masih kecil dan mulai mempejajari biola, hingga akhirnya dia menyukai alat musik ini.

Setelah merasa kalau bunyi yang dihasilkan oleh biolanya terdengar baik, Majorie mulai memainkan sebuah lagu rakyat Irlandia, lagu pertama yang dia pelajari dengan biola itu. Alunan nada itu membawa Majorie kembali ke masa kecilnya, di mana dia berhadapan dengan ibunya dan mempelajari berbagai lagu dan nada indah yang selama itu hanya bisa dia dengar dari alunan biola ibunya.

Keberadaan biola ini membawa banyak kenangan bagi Majorie. Dia ingat kalau dirinya akan menghabiskan sore harinya untuk berkeliling di lapangan yang ada di belakang rumahnya sambil memainkan biolanya. Dia akan berlarian di sepanjang lapangan, dan ketika dia lelah, maka dia akan beristirahat di bawah pohon apel dan memandang sungai yang ada di hadapannya sambil melamun atau memainkan lagu lainnya.

Karena itulah, Majorie kini membawa biola itu bersamanya menuju ke lapangan belakang rumahnya. Dia memaikan beberapa lagu rakyat lainnya, sambil membiarkan dirinya melangkah dan menari mengikuti irama yang ada di dalam kepalanya. Dia melihat beberapa kupu-kupu di sekitarnya, dan burung yang berkicau di atas pohon. Semuanya terasa seperti dia kembali ke masa kecilnya. Perasaan yang indah dan dirindukan oleh Majorie setelah sekian lama dia disibukkan dengan banyak hal dalam hidupnya.

Majorie merasa bahwa dia seperti kembali ke masa kecilnya. Dia menyukai masa-masa itu, ketika dia belum disibukkan dengan kehidupan orang dewasa. Ketika dia masih belum mengkhawatirkan apapun tentang masa depannya. Meski sebenarnya, dia selalu berangan-angan dan ingin tahu akan apa yang terjadi di masa depan.

Langkah kakinya membawa ke dekat sungai, tepat di bawah pohon apel tempat dia biasanya berada. Majorie memandangi sungai selama beberapa saat, kemudian memainkan lagi biolanya sambil memejamkan matanya. Kali ini, Majorie memainkan sebuah lagu lawas yang menjadi favoritnya untuk dia mainkan di tempat kerjanya dulu, lagu lama dari band kenamaan The Beatles.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah hal yang tidak dia sangka akan terjadi. Sebuah cahaya mulai muncul dari alat musiknya, yang perlahan membentuk sebuah alur cahaya yang mengelilinginya. Majorie memejamkan matanya, sehingga dia tidak sadar akan hal ini. Keanehan ini baru terasa ketika dia merasakan kalau tangannya ringan dan tidak terdengar suara apapun dari biola yang dipegangnya.

Ketika membuka matanya, barulah Majorie menyadari kalau sesuatu terjadi. Biola yang ada di tangannya kini menghilang entah kemana. Anehnya lagi, kini ada seorang anak laki-laki di hadapannya. Si anak laki-laki tersenyum kepada Majorie, yang di balas si wanita dengan pandangan bingung.

Majorie tidak tahu bagaimana caranya untuk mengggambarkan situasi ini. Dia tahu kalau ada sesuatu yang ajaib, karena tidak mungkin biolanya menghilang dalam sekejap dan tiba-tiba muncul anak kecil di hadapannya. Pikirannya mulai mengkhayalkan apa yang sebenarnya terjadi, yang semuanya jatuh pada kesimpulan kalau anak laki-laki ini adalah biolanya.

Terlepas dari keajaiban itu, menurut Majorie anak laki-laki ini terlihat sangat menggemaskan. Rambutnya berwarna gelap dan memberi kontras bagi kulitnya yang cerah. Matanya yang berwarna biru seperti es terlihat berkilauan, ditambah dengan senyumannya yang lebar membuatnya semakin lucu. Si anak kecil mengenakan kemeja lengan panjang berwarna hitam dan celana panjang berwarna senada, ditemani dengan sebuah sepatu yang bagus. Dasi kupu-kupu berwarna putih yang dia kenakan membuat penampilannya jadi semakin memikat.

Kalau memang ide yang ada di dalam kepalanya benar dan anak ini adalah wujud manusia dari biola kesayangannya, Majorie bisa dibilang cukup kaget. Karena siapa yang tahu kalau biolanya ini bisa berubah wujud jadi seorang anak yang menggemaskan? Melihat anak itu, Majorie jadi tidak bisa menolak untuk tersenyum, meski di dalam kepalanya masih ada banyak pertanyaan yang harus dia tanyakan.

"Hei, nak. Kamu siapa? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Majorie.

"Halo, namaku Daniel! Aku adalah temanmu!" ujar si anak kecil, dengan nada ceria.

"Hah? Temanku?"

Daniel mengangguk, "Iya, aku temanmu. Kamu selalu bermain denganku di sini, dan sudah lama semenjak kita bermain. Aku mengira kalau kamu sudah melupakan aku. Tapi, aku senang karena kamu kembali!"

Majorie tersenyum. Ada sesuatu yang sangat menyenangkan dari anak ini. Dia sangat lembut dan menggemaskan. Rasanya, Majorie menyukainya, entah karena alasan apa. Apalagi, kalau anak ini merupakan wujud manusia dari alat musik kesukaannya, tidak heran kalau dia menyukai biolanya ini. Keduanya sama-sama menarik hati Majorie.

"Oh, maafkan aku! Aku pergi karena aku ingin pergi kuliah dan mencari pekerjaan. Tapi tenang saja, sekarang aku kembali ke sini, dan aku akan bermain denganmu lagi."

"Benarkah? Aku senang mendengarnya!"

"Aku juga senang bisa bertemu denganmu, Daniel. Aku tidak menyangka kalau kamu akan muncul seperti ini."

"Ma-maafkan aku! Apa aku mengejutkanmu? Aku hanya sangat senang karena kamu kembali. Biasanya aku hanya akan bermain di loteng dan menunggu kamu kembali, tapi aku sangat merindukanmu sehingga aku ingin menyapamu secara langsung."

Majorie terkekeh, "Aku agak terkejut, tapi kalau dipikir lagi, aku mengerti kenapa aku bisa menyukaimu ketika pertama kali melihatmu. Kau memang sangat menggemaskan."

"Te-terima kasih. Aku juga senang bisa bermain denganmu."

"Nah, karena sekarang kamu ada di sini, kamu mau bermain apa?"

Si anak kecil terdiam untuk berpikir selama beberapa saat. Majorie menunggunya dengan sabar, dan dia mengamati ekspresi Daniel selama beberapa saat. Anak itu terlihat menggemaskan, dengan pandangannya yang terlihat sedang berpikir keras.

"Bagaimana kalau kamu bercerita? Kita tadi sudah bermain, dan aku ingin tahu cerita apa yang kamu miliki selama kamu pergi."

Majorie mengangguk, "Baiklah, kalau begitu, ayo kita duduk di bawah pohon ini. Aku akan ceritakan apa saja yang terjadi padaku."

Keduanya kini duduk di bawah pohon apel yang ada di dekat mereka. Majorie menceritakan keputusannya untuk melanjutkan kuliah di Galway, dengan tinggal bersama seorang pamannya yang berada di sana. Dia bertemu dengan banyak orang yang menarik, menemukan teman-teman baru, hingga akhirnya dia bekerja sebagai seorang guru musik yang mengajar privat bagi muridnya. Di sela-sela pekerjaannya, Majorie kadang bekerja di sebuah pub pada malam hari, di mana dia akan memainkan musiknya.

Di sanalah dia bertemu dengan Jacob. Di antara aroma minuman keras dan keriuhan pub, Majorie dapat menangkap pandangan seorang pria yang tidak pernah bisa berhenti memandangnya dari saat dia masuk ke dalam pub. Pria itu jadi sering berkunjung ke tempatnya bekerja, sebelum akhirnya mereka berkenalan dan berkencan.

Sekarang, di sinilah Majorie. Dengan pernikahannya yang bahagia dan seorang anak di dalam kandungannya. Kini, dia kembali ke rumah masa kecilnya dan memutuskan untuk memulai kehidupan yang lebih tenang. Masih ada banyak hal yang bisa Majorie lakukan di sini, dan dia ingin untuk membesarkan anaknya dengan suasana yang nyaman, seperti saat dia masih kecil.

Daniel mendengarkannya dengan penuh minat, sambil memainkan selembar daun yang jatuh dari pohon apel. Majorie berusaha untuk menjelaskannya sesederhana mungkin, karena yang ada di hadapannya ini adalah seorang anak kecil. Si anak kelihatannya memahami apa yang Majorie katakan, dan dia tersenyum.

"Wah! Itu petualangan yang sangat seru! Andai saja aku bisa, maka aku juga akan berpetualang seperti itu!" kata Daniel.

"Iya, petualangan itu seru. Tapi, aku juga merindukan rumahku. Karena itulah aku kembali ke sini. Toh, Jacob juga setuju, karena dia ingin untuk lebih sering menjenguk ibunya," sahut Majorie.

"Aku senang karena kau kembali, dan membawa petualangan yang seru ke rumah! Aku takut kalau kamu akan melupakanku, karena aku kadang merasa kesepian di loteng saat menunggumu kembali."

"Tenang saja, aku sudah kembali. Kalau aku akan pergi, aku tidak akan pergi lama-lama kok. Lagi, sebentar lagi rumah ini akan jadi makin ramai karena akan ada teman baru untukmu."

Daniel memandang Majorie dengan pandangan penasaran. Si wanita tersenyum, dan dia mengelus perut buncitnya. Sebuah gerakan lembut bisa dia rasakan dari janinnya, yang membuat Majorie terkekeh.

"Ah, sepertinya teman barumu ini juga tidak sabar untuk bertemu denganmu," kata Majorie.

Si anak kecil memandang Majorie dan perut buncitnya dengan bergantian. Setelah beberapa saat, dia yang masih agak kebingungan kini memandang ke arah si wanita dan bertanya.

"Teman baruku ada di dalam sana?" tanya Daniel.

Majorie terkekeh, "Iya, dia ada di dalam sini. Dalam waktu lima bulan lagi, dia akan terlahir di dunia ini. Aku akan memiliki anak, dan aku yakin dia akan jadi teman baikmu."

Wajah Daniel tiba-tiba saja jadi berseri-seri. Kelihatannya dia senang sekali karena kabar ini. Majorie tidak bisa berhenti berpikir bahwa anak ini terlihat sangat menggemaskan. Keberadaannya membuat si wanita semakin tidak sabar untuk menantikan kehadiran anaknya. Dia yakin kalau anaknya akan menyukai nada-nada indah yang dia mainkan bersama dengan Daniel.

"Wah! Aku tidak sabar untuk menunggunya! Aku ingin untuk segera bertemu dengan teman baruku!"

Majorie terkekeh, lalu dia mengambil tangan kanan Daniel dan meletakkannya di atas perutnya. Beberapa gerakan bisa terasa dari janinnya, yang membuat wajah Daniel jadi ceria ketika merasakannya.

"Dia juga tidak sabar untuk bertemu denganmu, sepertinya."

"Aku juga! Bagaimana wajahnya nanti? Apa dia akan terlihat cantik atau tampan? Apakah dia akan menyukai musik dariku?"

"Aku rasa dia akan menyukaimu, Daniel. Kamu adalah teman yang baik bagiku, jadi kurasa kamu juga akan jadi teman yang baik untuk anakku."

"Siapa namanya? Tentunya dia punya nama, kan?"

Si wanita terdiam sejenak, karena selama beberapa bulan ini sebenarnya dia tidak begitu memikirkan soal yang satu ini. Dia terlalu fokus untuk memikirkan kepindahannya dan apa saja yang harus dia siapkan untuk anaknya, sampai dia tidak begitu memikirkan lagi siapa nama yang harus dia berikan untuk buah hatinya kelak.

"Eh, sebenarnya aku tidak memikirkannya lagi. Jacob memberikan beberapa ide untuk nama jika anak ini perempuan. Aku menyukai nama Clarisse, yang juga merupakan nama nenek buyutnya Jacob. Tapi, aku tidak tahu nama yang cocok untuk anak laki-laki."

Daniel mengangguk, kemudian dia terdiam selama beberapa saat sambil menatap sungai yang ada di hadapannya. Kemudian, Daniel menatap Majorie.

"Boleh aku yang memberikan nama untuknya?"

Majorie terdiam selama beberapa saat, kemudian terkekeh. Kalau suaminya tahu kalau sebuah biola memberikan nama untuk anak mereka, maka dia akan tertawa. Tapi, kalau namanya bagus, apa yang salah? Dia akan senang karena bisa memberikan nama dari sebuah kejadian yang ajaib.

"Boleh saja. Kalau kau bisa memberikan ide yang bagus, kurasa aku akan memakainya."

Si anak terlihat sangat senang, dan dia kini memasang wajah berpikir yang serius. Majorie hanya bisa melihatnya dan tersenyum. Andai saja anak ini betulan manusia, sepertinya dia akan jadi teman baik bagi anaknya. Dia tidak tahu apakah anaknya akan jadi seseorang yang dipenuhi dengan keceriaan seperti suaminya atau suka memikirkan keselamatan orang lain seperti dirinya. Mau yang manapun, dia merasa kalau anaknya akan menyukai Daniel.

"Kevin. Bagaimana kalau Kevin? Kurasa itu adalah nama yang bagus!"

Majorie terkekeh, "Ya, kurasa itu nama yang bagus. Namanya bukan sesuatu yang sangat unik, tapi itu nama yang bagus. Kevin ... baiklah, kalau begitu. Aku akan menamai anak ini Kevin kalau dia adalah seorang laki-laki."

Daniel tersenyum, dan dia mengelus perut Majorie. Dia kelihatan sangat senang, dan si wanita juga ikut senang ketika melihat ekspresi Daniel.

"Aku tidak sabar untuk bertemu dengannya! Aku akan menjadi teman yang baik untuknya dan bersamanya selamanya! Aku tidak akan meninggalkannya, dan aku akan bermain bersamanya setiap hari!"

Majorie terkekeh, "Aku harap begitu. Entah dia akan menyukai bermain biola atau tidak, aku harap dia akan menyukaimu. Tapi, bagaimana kamu bisa bermain dengannya kalau dia tidak bisa bermain biola?"

Si anak terdiam, dan kini dia terlihat bingung. Majorie tahu kalau pertanyaannya ini agak aneh, tapi dia ingin tahu apakah Daniel memiliki jawaban atas pertanyaannya. Daniel mungkin hanya sosok ajaib dari biola kesayangannya, tapi siapa yang tahu?

"Kalau begitu, aku akan berdoa kepada Tuhan supaya aku bisa bersama dengannya selamanya!"

Majorie terkekeh, lalu mengelus kepala Daniel. Jawabannya naif sebagaimana wajarnya anak-anak, walau begitu Majorie tetap menghargainya. Dia akan sangat senang jika anaknya akan dijaga oleh seseorang seperti Daniel, seseorang yang dia bisa percaya.

"Kalau begitu, aku berharap agar doamu bisa terwujud. Aku yakin kalian akan jadi teman baik."

"Tentu saja! Aku senang karena kamu sudah kembali, dan aku akan memiliki teman baru! Kalau begitu, sekarang aku harus kembali."

Si wanita mengangguk, sebelum akhirnya Daniel berdiri. Sebuah cahaya terang menyinari dirinya, yang membuat Majorie harus melindungi wajahnya. Cahaya itu berpendar biru dan ungu, sebelum akhirnya meledak dan berubah menjadi benang-benang cahaya yang mengambang di angkasa. Majorie memandanginya dengan takjub selama beberapa saat.

"Majorie?"

Si wanita masih terkesima karena apa yang dilihatnya, jadi dia agak kaget ketika mendengar ada seseorang yang memanggilnya. Ketika menoleh ke asal suara, dia dapat melihat suaminya ada di dekatnya. Kepalanya masih agak kacau karena apa yang barusan dia saksikan, dan dia tidak tahu apa yang harus dia katakan.

"Hei, kau kenapa? Dari tadi kau hanya duduk di sana, apa yang ada di dalam pikiranmu?" tanya Jacob.

Majorie tersenyum. Dia tahu kalau menjelaskan apa yang baru saja terjadi tidak akan menghasilkan sesuatu. Jacob akan jadi sama bingungnya dengan dirinya karena dia sendiri masih tidak bisa memahami bagaimana semua itu bisa terjadi. Si wanita melirik ke arah pangkuannya, dan dia melihat kalau biolanya sudah kembali padanya. Majorie tersenyum, lalu memandang suaminya.

"Tidak apa, aku hanya melamun. Kembali ke sini mengingatkanku akan apa saja yang sudah terjadi di masa lalu."

Jacob terkekeh, "Aku mengerti. Nah, aku sudah selesai menurunkan barang-barang itu. Kita bisa pilih mana yang mau kita pakai dan mana yang tidak."

Majorie mengangguk, kemudian dia mengambil biolanya dan berdiri. Apapun yang terjadi, Majorie tidak akan melupakan apa yang terjadi hari ini. Dia jadi semakin tidak sabar untuk menunggu kelahiran anaknya, karena dia berharap kalau apa yang diharapkan oleh Daniel menjadi nyata.

~~~~~

[16 Agustus 2012]

Seorang wanita tengah berdiri di sebuah lapangan rumput hijau yang berada di belakang sebuah rumah. Riak air sungai terdengar menenangkan, apalagi ditambah suara gesekan biola yang indah, suasananya jadi semakin indah. Wanita ini adalah Majorie, yang menikmati sorenya dengan melakukan apa yang dia sukai.

Sebuah suara langkah kaki mendekat ke arah Majorie, yang membuatnya menoleh. Seorang anak perempuan dengan rambut kecoklatan yang bergelombang berlari ke arahnya, yang membuat si ibu tersenyum.

"Mama!" seru si anak perempuan.

"Iya? Ada apa nak?" tanya Majorie.

"Tadi kakak mengirim e-mail! Katanya dia ingin video call dengan ibu!"

"Oh iya? Baiklah kalau begitu, ayo kita masuk, dan kita lihat bagaimana kabarnya kakakmu."

Kedua orang itu masuk ke dalam kediaman mereka. Rumah Majorie masih sama saat pertama kali dia kembali dan tinggal di sana. Ada beberapa hal yang baru, misalnya sebuah komputer yang terletak di sudut ruang tengah. Majorie menuju ke sebuah aplikasi panggilan video yang tengah populer saat itu, dan membaca pesan yang dikirimkan oleh anaknya, kemudian tersenyum. Dia mengetikkan jawabannnya, dan menekan tombol enter untuk mengirimnya.

Tak lama kemudian, sebuah panggilan masuk ke aplikasi itu. Majorie menekan mouse untuk menjawabnya, dan langsung disapa dengan sebuah wajah yang familiar. Warna dan tekstur rambutnya mengingatkannya akan dirinya, yang sewarna jahe dan agak bergelombang, tapi matanya dan tatapannya mengigatkannya akan Jacob. Senyumannya yang agak nakal juga mengingatkan akan sang ayah, meski bentuk bibirnya mirip dengannya.

"Halo Ma! Apa kabar? Apa semuanya baik-baik saja? Bagaimana kabar Ayah dan Clarisse?" tanya lawan bicara Majorie.

"Semuanya baik- baik saja, nak. Bagaimana denganmu, Kevin? Apakah hari-harimu di akademi berjalan dengan baik?" ujar Majorie.

Si anak laki-laki tersenyum lebar. Majorie tahu, kalau anaknya tersenyum dengan lebar, itu berarti kalau ada sesuatu yang baik terjadi. Kevin menatap ibunya selama beberapa saat, kemudian terkekeh. Sang ibu tentunya senang karena dia bisa melihat kalau putera kesayangannya ini baik-baik saja selama menempuh pendidikan di negeri yang jauh.

"Semuanya baik-baik saja, Ma. Minggu pertama ini sangat menyenangkan, ada banyak sekali orang dengan berbagai macam karakter dan dari banyak daerah."

"Begitukah? Pasti menyenangkan. Kau sudah menemukan teman baru?"

Kevin terkekeh, "Bisa dibilang begitu? Kebanyakan orang di sini dari Amerika, yang tentunya tidak aneh. Tapi ada juga orang-orang dari benua lain. Dari 300 siswa di angkatanku, setidaknya ada empat orang lainnya yang berasal dari Irlandia, meski dari daerah yang berbeda."

"Wah, jadi, merekalah teman-temanmu?"

Kevin mengangguk, "John yang mengumpulkan kami semua. Dia adalah ketua angkatan kami, dan katanya jarang ada anak dari luar Amerika yang jadi ketua angkatan. Lalu, ada dua kakak tingkat yang menarik, yaitu Brian dan David yang selalu bersama sejak hari pertama berada di akademi. Tapi, aku rasa Daniel akan jadi teman favoritku."

Mendengar nama itu, Majorie langsung memandang dengan penuh minat. Nama ini tidak asing bagi Majorie, dan dia ingin tahu apa yang membuat anaknya tertarik pada teman barunya ini.

"Daniel? Kenapa? Ada apa dengannya?"

"Dia teman yang menyenangkan. Orangnya agak pemalu tapi dia sangat ramah dan lembut. Aku bertemu dengannya di taman belakang asrama akademi, ketika sedang duduk di bawah sebuah pohon apel dan bermain gitar. Kami membicarakan tentang rumah dan banyak hal lainnya. Dia sangat baik, aku yakin kalau Mama akan menyukainya."

Sebuah suara ketukan terdengar dari tempat Kevin berada. Si anak menoleh, kemudian melirik ke arah ibunya.

"Oh? Siapa itu? Sebentar, aku akan lihat siapa yang datang. Aku akan kembali lagi nanti!" kata Kevin, lalu dia bergegas pergi.

Sang ibu tidak bisa menahan senyumannya. Nama yang sama, bagaimana cara mendeskripsikan orang itu, dan tempat bertemu yang mirip ... Majorie tidak bisa memikirkan hal lain, kecuali kalau semuanya adalah sebuah kesengajaan. Dia melirik ke arah biola yang tadi dia letakkan di meja makan, kemudian terkekeh.

"Apakah ini pertanda bawah doamu dikabulkan, Daniel? Aku harap ya, karena aku akan sangat senang kalau sampai hal itu terkabul," bisik Majorie.

Tak lama kemudian, Kevin kembali. Dia tersenyum lebar, yang membuat Majorie jadi penasaran. Sang anak sepertinya bisa melihat ekspresi ibunya, jadi langsung saja dia berkata.

"Kita tadi baru saja membicarakan orangnya, rupanya dia malah datang. Dia kemari untuk membahas tugas awal kami tentang pengetahuan dasar tentang agen rahasia," kata Kevin.

"Kamu tadi bilang apa, Kevin?" tanya seseorang, yang berada di ruangan yang sama dengan Kevin.

"Oh! Aku tadi baru saja bicara dengan ibuku. Aku mencoba video call dengan beliau, dan kami membahas tentang kamu dan beberapa teman-teman baru kita."

"Oh tidak, kamu bilang apa pada ibumu? Jangan bilang kalau kamu menjelek-jelekkan aku ya!"

Majorie terkekeh, "Tidak apa, nak. Dia baru saja mau mulai membahas tentangmu tadi. Dari apa yang aku dengar dan lihat, sepertinya Kevin sangat menyukaimu," ujar Majorie.

Sang ibu dapat melihat kalau wajah anaknya memerah. Dia terkekeh, karena apapun yang ada di dalam kepala Kevin, sang ibu bisa menebaknya. Majorie bisa melihat kalau Kevin menyukai teman barunya ini.

"Ah, Kevin~ aku tahu kalau aku berusaha untuk bersikap baik, tapi kau bisa menyukaiku dengan mudah? Kita bahkan belum begitu mengenal satu sama lainnya!" kata suara itu.

"Kau adalah orang baik, Dan. Sejak pertama kali melihatmu, aku tahu kalau aku akan menyukaimu. Nah, jadi kau mau kemari untuk memperlihatkan wajahmu dan menyapa ibuku?" tanya Kevin.

Suara langkah kaki mendekat ke arah Kevin, dan seorang anak laki-laki muncul di sebelah Kevin. Rambutnya hitam dan keriting, dengan matanya yang biru seperti es dan bibirnya yang tipis namun memikat. Kulitnya berwarna cerah, dan sebuah senyuman menggemaskan terlihat dari wajahnya. Dia terlihat asing, tapi Majorie familiar dengan wajah itu.

"Uh, halo Bu McGuire. Namaku Daniel Rinne, senang bertemu dengan anda," kata si pemuda.

Majorie tersenyum, "Halo, nak. Kau tidak perlu terlalu formal begitu, kau bisa panggil aku Majorie, atau Mama. Senang bisa bertemu denganmu, nak. Aku bisa melihat kenapa Kevin menyukaimu," sahut Majorie.

"Kan? Aku sudah bilang kalau ibuku akan menyukaimu!" ujar Kevin.

"Aku bisa melihat kalau kau adalah anak yang baik, Daniel. Aku yakin kalau kau dan Kevin akan jadi teman baik. Kevin akan betah bersamamu dalam waktu yang lama, percayalah."

"Eh? Apakah ini tidak terlalu cepat untuk menyimpulkan hal ini?" tanya Daniel.

Majorie terkekeh. Dia tahu kalau semuanya terlalu cepat. Tapi dia tahu kalau 12 tahun lalu Daniel berdoa bahwa dia akan menjadi teman terbaik bagi anaknya, dan akan selalu bersamanya. Dia tahu, kalau apa yang diharapkan oleh biola kesayangannya ini telah menjadi kenyataan.

"Aku tahu, nak. Tapi aku merasa kalau kalian akan mengenal satu sama lainnya sampai akhir hidup kalian nantinya. Aku tahu.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top