Lembar 6 - Dia dan Latar Belakangnya

Empat hari berlalu. Empat hari juga dia berhasil melakukan hal yang ia diskusikan dengan teman-temannya sewaktu di kantin, tentang menganggap Citra enggak ada. Sebenarnya Catra sedikit kesulitan melakukan hal itu. Dia enggak terbiasa cuek bebek atau diam membisu sepanjang hari, sepanjang pelajaran. Namun, demi memelihara suasana hatinya dari rasa dongkol, dia terpaksa melakukan hal itu.

Catra bukan tipe orang yang dingin dan enggak mau peduli. Tingkat kepeduliannya begitu tinggi sehingga banyak teman yang nyaman menjalin persahabatan dengannya. Dan gara-gara tingkat kepedulian yang tinggi itulah dia diangkat menjadi ketua Bulletin di SMA Trimurti, ditambah lagi tingkat keingintahuannya melebih batas normal teman-teman sekolahnya. Buktinya sampai sekarang dia mati-matian mencari jati diri SOS di saat semua anggota telah menyerah.

Tangan kiri berbalut jam digital hitam itu memilah-milah potongan kertas yang sudah dibentuk indah kemudian meletakkan ke atas karton berwarna putih; menatanya. Rani dan Sita sibuk mengguntingi kertas dan mengelem beberapa pernik-pernik kecil.

"Ton, fotonya bawa ke sini."

Toni, cowok jangkung berkulit sawo matang itu membawa beberapa lembar foto yang telah ia cetak semalam. Catra mengambil sebuah foto seorang guru ekonomi yang menjadi kesayangan murid SMA Trimurti.

"Enaknya fotonya Bu Yayuk ditaruh di atas artikel atau di bawah, ya?"

Toni maju mendekat kemudian memiringkan lembaran artikel dan meletakkan foto itu di samping artikel. "Gini lebih artistik."

Catra menggosok dagu sambil manggut-manggut. Saat ini anak Bulletin sedang merancang mading agar bisa segera ditempel sore ini juga. Setiap senin pagi, SMA Trimurti selalu menyajikan berita-berita selama sepekan mengenai sekolah mereka. Sebisa mungkin tim Bulletin menyajikan informasi yang berguna. Isinya bukan hanya monoton soal gosip sekolah, melainkan ilmu pengetahuan yang enggak diajarkan di sekolah juga disajikan. Isinya yang begitu bervariasi itulah yang membuat mading sekolah begitu menarik.

"Cat, PDF majalah udah aku kirim ke percetakan." Audrey yang sedari tadi berkutat di atas komputer memutar badan.

"Hem," jawab Catra

"Ran, anggaran siapin yak."

Rani hanya mengacungkan jempol kemudian kembali mengelem pernik-pernik.

Audrey kembali menghadap komputer. Ekor mata Toni menangkap gerakan yang membutanya sebal.

"Ke sini cuma numpang duduk doang!"

Audrey menghentikan tangannya yang akan mengambil ponsel. "Sirik!"

"Siapa yang enggak bisa cuma utak-atik komputer, biar dikata sibuk kayak yang lainnya."

Audrey langsung berdiri hingga kursi yang didudukinya terdorong. Rani dan Sita terkejut mendengar derit kursi itu.

"Eh! Apa sih, salahku? Dari kemarin sewot!"

Toni hanya melengos menanggapi bentakan Audrey.

"Eh, kutu kupret! Itu telinga buat gantungan baju!"

Catra mengembuskan napas panjang. Dia memijit pelipis matanya melihat Audrey dan Toni mulai bersitegang.

"Kamu ngomong sama aku?" tanya Toni dengan enteng.

Wajah Audrey memerah melihat respons terlalu sarkas itu. Rani berdiri mendekati Audrey. "Udah, ah. Enggak usah dengerin Toni."

Audrey enggak menghiraukan perkataan Rani, dia melangkah maju mendekati Toni. Namun, Catra sudah memasang badan dan berdiri di antara mereka. Dia melipat tangan. "Mending kamu urusin blog kamu."

Audrey melirik sinis ke arah Toni. "Entar dikata sibuk!"

"Urusin blog kamu. Aku mau bulan depan beres."

Dengan entakan kaki, Audrey memutar tubuh dan berjalan mencak-mencak hingga duduk di kursi. Catra memutar badan, menghadap Toni, lalu satu alis terangkat. Toni membuang muka dan kembali menata beberapa foto di atas kertas karton putih. Dari hal itu, Catra mampu menangkap gelagat aneh dari Toni. Sejak dua minggu ini kedua temannya itu bertengkar tanpa sebab, sepertinya ada percik cemburu dalam diri Toni. Catra akan mengorek secara pelan-pelan.

Mereka kembali sibuk memperindah mading. Membutuhkan waktu dua jam untuk menyelesaikan itu semua. Bagian terakhirnya adalah menempelkannya di koridor sekolah. Itu bagian Toni dan Catra. Semua anggota Bulletin sudah pulang, hanya Catra dan Toni yang masih sibuk naik-naik di atas bangku menempel mading. Setelah mading itu tertempel, Catra dan Toni mengambil tas yang ada di ruang ekskul. Langkah Catra terhenti saat notifikasi email berbunyi. Dia seperti lupa cara bernapas saat melihat nama SOS di dalam email itu.

Pada angin sore itu,

Kulihat sauhmu menjauh.

Meninggalkan rasaku yang utuh.

Pada debur ombak itu,

Kau mengabu.

Menggantungkan air di kelopak mataku.

Pada siluet senja itu,

Kau menuju.

Meninggalkan hati yang teramat rapuh.

Aku tersentak tak percaya.

Ternyata, rasamu melindap ... senyap.

Lalu, pada sore yang tua.

Kularungkan namamu pada bait puisi yang tak pernah purba.

Darah Catra berdesir-desir membaca sekelumit puisi yang masuk ke email Bulletin. Dia seolah ikut merasakan apa yang dirasa oleh SOS, ikut patah hati. Pada siapa SOS kehilangan hatinya? Hanya itu yang ada di pikiran Catra. Begitu kejamnya orang itu hingga membuat orang selembut SOS patah hati!

Catra mendesah kesal. Kapan dia bisa menemukan identitas SOS itu.

"Kenapa?" tanya Toni yang berjalan di sampingnya. Dia sedang memperbaiki letak kamera yang menggantung di leher.

"SOS lagi."

"Mau ditaruh di mana? Mading udah ketempel."

"Blog aja, deh. Nambahin kerjaan Audrey yang katamu kurang kerjaan."

Toni mendengkus.

"Kesel?"

Toni kembali mendengkus.

"Kalau cemburu bilang aja cemburu."

"Siapa juga yang cemburu!" sembur Toni.

"Biasa aja keleus, enggak usaha kayak knalpot. Itu tandanya kamu cemburu. Paling gara-gara Audrey kena hukum sama Reno, kan!"

Toni memukul lengan Catra. "Kampret! Sok tahu!"

Catra cekikikan sambil memegangi lengannya, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat satu sosok berdiri di samping kelasnya. Dia sedang melihat Citra tersenyum di depan layar ponsel yang menyala. Catra melihat jam di pergelangan tangan, jam empat, kenapa Citra masih ada di sini?

Toni mengikuti arah pandang Catra dan melihat keberadaan cewek itu, kemudian dia geleng-geleng kepala. "Pasti dia lagi enggak betah di rumah."

Catra langsung menoleh ke Toni. "Maksudnya? Kamu kenal?"

Toni mengangguk. "Aku sama dia satu kompleks perumahan. Dua rumah dari rumahku. Dulu Bunda orang yang paling banyak membantu proses pemakanan abahnya."

Dahi Catra semakin berkerut.

"Kakeknya. Dia kalau manggil kakek dengan sebutan abah. Dia dari keluarga broken home, ayahnya selingkuh terus emaknya minta cerai. Selang dua bulan perceraian, emaknya nikah lagi."

Entah kenapa dada Catra begitu sesak mendengar hal itu.

"Terus dia jadi super pendiam sejak abahnya meninggal. Jadi ... kayak kehilangan sosok yang bisa ngerti dia."

Catra menelan ludah dengan susah payah. Jadi, selama ini sikapnya benar-benar keterlaluan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top