Lembar 5 - Haruskah Menjauh

Catra memakan mi ayam Pak Somad dengan lahap dan uap mengepul, menyentuh seluruh wajahnya. Kuah berwarna merah itu menimbulkan sensasi yang hebat bagi Saka. Dia memiliki trauma tersendiri dengan makanan yang berwarna merah. Baginya, merah itu sama aja pedas, dan Catra memang jagonya makan pedas. Jangan ditanya berapa sendok sambal yang dituang ke mangkuk mi itu. Arif yang siap memulai makan batagornya terhenti untuk menyembunyikan tempat sambal di meja itu.

Rahman yang hanya memakan kacang terbengong melihat Saka hanya memegangi perut sambil meringis, sedangkan roti bakarnya tak tersentuh sama sekali.

"Woi, Ka! Kamu ngapain kayak gitu?"

Saka menyeka dahinya yang mulai berkeringat. "Aku mulai stres lihat kelakuan Catra!"

Merasa namanya tersentil, Catra menghentikan makannya. Dia mendongak hingga bibir merah merona itu terpampang. Saka semakin meringis melihatnya. "Ganteng kan, aku?"

"Anjir, ganteng dari Hongkong! Tuh bibir udah kayak habis nyentuh aspal!" balas Saka, "buang aja makanan racun itu! Selera makanku langsung anjlok tahu!"

Catra hanya mencebik dan kembali mengaduk-aduk mi ayam. Dia mengangkat helaian mi ayam itu hingga memperlihatkan beberapa biji cabai yang menempel di setiap helainya. "Hem ... ini makanan paling enak gaes ...."

Saka semakin erat memegangi perut. Arif dan Rahman menahan tawa.

"Coba lihat bijinya, gaes ...."

"Kampret nih, anak! Aku ke toilet dulu!" Saka langsung beranjak dari kursi.

"Ye ... aslinya kamu kebelet, kan!" teriak Rahman sambil melempar kulit kacang.

Mereka terbahak melihat Saka lari terbirit-birit sambil memegangi perut dan pantatnya, seakan-akan kotoran itu sudah keluar di celana.

"Aku yakin dia udah kecipirit," tambah Arif dengan tawa yang terbahak.

Melihat Saka yang seperti itu menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Mereka yang menyukai pedas, terutama Catra, sering sekali mengerjai Saka dengan hal konyol itu. Enggak peduli kalau perut akan mules-mules nantinya. Bagi mereka, melihat tingkah Saka seperti itu adalah obat penghilang sakit perut paling manjur.

"Sengaja banget ngerjain Saka!" seloroh Rahman.

Catra hanya nyengir kuda dan dia kembali menyantap makanannya.

Rahman yang mengerti ekspresi itu langsung mengerutkan dahi. "Kamu kenapa?"

"Emang kenapa?"

"Widih ... tumben-tumbenan kamu sensi gitu. Kayak cewek lagi PMS!" sergah Arif.

"Iye ... baru hari pertama nih, Bang!" ujar Catra dengan nada kesal.

"Mau dibeliin pembalut, Dek?" tambah Rahman.

"Boleh, Bang, buat nyumpal mulut Abang!" Catra mendelik tak keruan, sedangkan Rahman dan Arif cekikikan.

Catra kembali memakan mi ayam, tapi kali ini dia mendesah kepedasan. Kedua temannya merasa ada yang aneh dengan temannya ini. Biasanya Catra suka asyik main ledek-ledekan, tapi kali ini malah nyembur dengan pelototan mata. Ditambah lagi dengan tingkah bungkam saat memakan mi ayam.

"Ada masalah, Cat?" tanya Arif.

Catra menggeleng. Arif dan Rahman saling bertukar pandang.

"Biasanya tuh mulut udah lari-larian."

Catra hanya menyedot ingus lalu meminum teh hangatnya.

"Ya kali omongan kamu Bener, Rif. Masa dia lagi PMS?"

Mereka berdua memandangi Catra dari atas hingga ke bawah dengan saksama. Mencoba mencari sesuatu yang menguatkan alibi mereka. Catra menghentikan kegiatan makan mi ayamnya kemudian menghela napas panjang.

"Bisa enggak, kalian diam! Kepedesan tahu!"

Rahman menoyor kepala Catra. "Udah tahu kepedesan masih aja dimakan!"

"Bener kata Saka." Arif merebut mangkuk mi ayam dan menukar dengan batagornya." Makan batagorku aja!"

Catra memandang jijik ke arah batagor Arif. "Kampret, aku dikasih bekas!" Dia mencoba merebut mangkuk mi ayamnya, tetapi Rahman ikut berkonspirasi mencegah pergerakan Catra. "Enggak usah ikut-ikut!"

"Ye ... siapa juga ikut-ikut! Kita ini sayang sama perut kamu, bukan kamu!" balas Rahman.

"Eleuh ... ngomong aja kalau kamu homo!"

"Anjay!" Rahman melepas tangannya dari lengan Catra.

Catra merengut kesal dan menyeruput teh hangatnya. "Aku lagi stres tahu enggak!"

"Enggak!" jawab Arif dan Rahman bersamaan.

Catra memandangi mereka bergantian.

"Kalau aku enggak tahu, ngapain aku nanya kamu!" tegas Arif.

Catra mengembuskan napas dan menundukkan kepala. "Apes tahu enggak! Apes! Aku males duduk sama Citra!"

Mulut Rahman dan Arif membentuk bulatan. "Syukurin aja, Cat!" ujar Rahman.

"Syukur duduk sama anak yang cuma bisa geleng dan angguk kepala!"

Arif mengerutkan dahi. "Maksudnya? Dia kan emang pendiam toh?"

"Saking pendiamnya, mulutnya kayak dilakban, kepalanya udah kayak boneka dasbor yang angguk-angguk pas mobil lagi jalan!" Catra kembali menyeruput teh.

"Ah masa?"

"Kamu pikir aku ngigau!" Catra enggak terima dengan perkataan tidak percaya dari Arif.

Dari kejauhan, Saka berjalan memasuki kantin dan mendekati mereka dengan wajah berbinar. Tangannya mengelus perut yang sudah enggak mulas lagi. Setelah sampai di bangku tempat temannya berada, dia langsung menyingkirkan mangkuk mi ayam Catra ke meja kosong di belakang mereka.

"Lega!" Saka duduk di dekat Rahman dan melihat ketiga temannya memasang wajah serius. "Lagi ngomongin apa? Serius amat wajahnya. Ada PR habis jam istirahat?"

"Lagi ngomongin Citra." Rahman mencomot satu iris roti bakar Saka.

"Emang kenapa sama Citra?" tanya Saka sekali lagi.

"Kayak boneka dasbor yang angguk-angguk dan enggak bisa ngomong," tambah Arif.

Mulut Saka membentuk bulatan.

Rahman melongo. "Udah, gitu doang?" Tangannya mengambil lagi seiris roti bakar.

Mata Saka mengedarkan pandangan ke sekeliling kemudian mengedikkan dagu ke arah cewek berambut panjang. "Tanya aja ke Vira. Dia dulu kan, temen sebangkunya Citra."

Catra mengikuti arah pandang Catra. Ada benarnya juga kalau bertanya kepada Vira. Siapa tahu dia bisa mengerti keinginan Citra. Dia hanya enggak mau menjadi orang yang mengganggu kenyamanan seseorang. Catra menepuk tangannya sekali kemudian memanggil nama Vira dengan lantang. Terlihat jelas kerutan di wajah cewek berambut panjang itu.

"Sini bentar!" teriak Catra.

Dengan ragu, Vira mendekati mereka. "Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi.

Arif berdiri. "Duduk dulu, dong. Kapan lagi ada cewek cantik di sekitar kita."

Catra berdecak. "Kamunya aja yang kurang ganteng!"

Arif mendelik. "Rese!"

"Aku mau ngomong, kamu duduk aja dulu."

Vira mengembuskan napas panjang lalu duduk di samping Catra, tempat duduk Arif. "Kamu mau jadiin aku bahan wawancara bulan ini? Maaf ya, bukannya aku enggak mau, tapi aku enggak suka diwawancarai."

Rahman dan Saka cekikikan sambil meledek Arif yang kecewa melihat perilaku sombong Vira.

Catra menggaruk pelipis. "Enggak, aku enggak ada niat buat wawancarai kamu."

Vira mengibaskan rambut kemudian melipat tangan di dada. "Terus?"

"Mau tanya Citra."

"Oh ... cewek bisu itu!"

Kening Catra mengerut. "Jelek banget omongan kamu!"

"Terus harus dinamai pakai apa? Diajak ngomong mulutnya mingkem terus. Masih mending orang bisu yang ngomong pakai isyarat tangan, lha dia orang normal belagak bisu!"

"Emang dia kayak gitu."

"Dari dulu, dari kelas satu! Saran aku, mending kamu anggap dia enggak ada. Toh, kamu enggak butuh-butuh amat sama dia!" Vira berdiri. "Udah ah, enggak perlu jelasin panjang lebar soal anak itu!" Dia beranjak dan meninggalkan mereka.

Mereka bertiga melongo hingga Vira enggak terlihat batang hidungnya, kemudian Arif kembali duduk di bangkunya dan menepuk pundak Catra. "Aku rasa ada benernya juga, Cat. Dia kesel, kamu kesel, daripada sakit ati, mending kamu anggap Citra enggak ada."

Catra terdiam. Haruskah dia menganggap Citra enggak ada? Bukankah orang seperti itu harus memiliki teman?

Rahman mengambil dua iris roti bakar dan memakannya. "Aku setuju, sih."

Saka mengibaskan tangan. "Udah jangan ter—" Dia tiba-tiba melongo kemudian menatap Rahman yang sedang asyik mengunyah roti bakar miliknya. "KAMPRET! ROTI BAKARKU BALIKIN!" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top