Lembar 4 - Interaksi
Tangan Catra menulis jawaban soal-soal logika matematika yang diberikan Pak Bari melalui ketua kelas. Hari ini Pak Bari nggak bisa mengajar di kelasnya, jadi beliau memberi lembaran kertas tugas untuk mengisi jam kosong. Kelas XI MIPA 2 ramai ketika tidak ada guru seperti kelas-kelas yang lainnya. Beberapa anak mengabaikan kertas yang diberikan oleh ketua kelas. Mereka akan mengerjakan tugas itu jika anak pintar di kelas ini selesai mengerjakannya. Beberapa ada yang pergi ke kantin untuk jajan atau ngobrol di sana dan sisanya memilih menyelesaikan tugas itu, termasuk Citra dan Catra.
Gerakan tangan Catra terhenti saat menulis jawaban yang salah. Dia mencari stipo di tempat pensilnya. Dahinya berkerut saat nggak menemukan benda itu. Dia merasa sudah memasukkan benda itu kemarin malam, tetapi kenapa stipo itu nggak ada? Matanya mengedarkan pandangan ke meja. Dia menangkap benda yang ia inginkan. Matanya melirik Citra yang masih serius mengisi jawaban.
Benak Catra bimbang. Haruskah dia meminjam stipo ke Citra? Dia takut kalau omongannya nggak ditanggapi oleh Citra seperti pagi tadi. Sapaan yang ia tujukan kepada Citra nggak mendapat tanggapan apa-apa. Cewek itu hanya menatap meja seolah-olah mengalami masalah pendengaran. Padahal Catra tahu benar kalau Citra itu manusia normal tanpa ada cacat sedikit pun.
Dengan sangat terpaksa, Catra memutuskan untuk meminjam stipo itu. "Cit, pinjam stipo boleh? Stipoku ketinggalan di rumah."
Gerakan tangan Citra terhenti, tetapi kepalanya nggak menoleh sama sekali.
"Boleh, nggak?" Satu alis Catra naik. Dia menunggu respons teman sebangkunya. Apakah cewek ini juga pelit dengan benda yang dipunya. "Ya udah ka—"
Perkataan Catra terhenti saat melihat Citra meletakkan stipo itu di atas kertas tugasnya tanpa menoleh.
"Thanks."
Catra menggunakan stipo itu dengan perasaan yang mengganjal. Pasti ada sesuatu yang nggak disukai Citra darinya. Hidungnya mengendus tubuhnya sendiri secara diam-diam. Dia yakin kalau tubuhnya nggak bau justru wangi cologne masih menempel.
"Cit."
Gerakan tangan Citra terhenti.
"Aku yakin kamu nggak tuli."
Mata Citra terus menatap lembaran tugas, kepalanya menunduk semakin dalam, dan dia merasa nggak nyaman.
"Kamu nggak suka duduk sama aku?" tanya Catra langsung ke pokok permasalahan.
Namun, Citra tetap diam.
"Ada yang salah sama aku?"
Tangan Citra meremas pulpen.
Catra mengerutkan kening melihat gelagat aneh itu.
"Kamu takut sama aku?"
Kini Citra menggigit bibir bawah.
Catra mengembuskan napas kesal. Dia mengacak rambut frustrasi. Harus dengan cara seperti apa agar cewek ini menanggapinya?
"Oke kalau kamu nggak mau ngomong sama aku, mungkin kamu nggak nyaman di dekatku. Tapi paling enggak kamu kasih respons. Jujur, aku jadi nggak percaya diri kalau sikapmu kayak gitu!
Citra masih saja terdiam.
Melihat respons yang begitu-begitu saja, Catra meletakkan stipo itu dengan sentakan. Sontak Citra mengangkat kepala dan menoleh ke arahnya. Catra tertegun melihat wajah terkejut itu. Ini adalah pertama kalinya dia bisa melihat wajah Citra dengan begitu jelas. Biasanya dia hanya melihat wajah itu di balik rambut panjang yang sedikit menutupi wajah. Ternyata wajah itu nggak begitu jelek. Lumayan untuk ukuran cewek sependiam Citra. Biasanya cewek pendiam identik dengan wajah yang nggak terlalu cantik sehingga membuat rasa percaya diri itu menurun. Sepertinya alasan Citra menjadi seorang yang pendiam bukan karena wajah yang dimilikinya.
Citra kembali memalingkan wajah dan mulai mengerjakan tugasnya lagi.
"Kamu nggak marah?"
Sebenarnya Citra ingin sekali menyuruh cowok satu ini untuk diam dan nggak usah ikut campur dengan apa yang ia rasakan. Namun, Citra terlalu enggan membuka mulut. Dia nggak mau ada orang lain memasuki zona nyamannya.
"Cit, kamu nggak bisu, kan? Dari tadi aku terus yang ngomong, kamu cuma diam aja. Paling enggak kamu geleng kepala atau mengangguk." Catra menatap lembaran tugasnya. "Aku kayak duduk sama zombie. Masih mending zombie yang notabene orang mati. Lha ini orang hidup kayak orang mati!"
Kalau saja Citra mempunyai keberanian untuk memaki, pasti cowok ini sudah ia telan hidup-hidup. Kenapa juga mengurusi hidup orang? Bukankah mengurus hidup sendiri udah susah banget. Bagi Citra, cowok ini udah kelewat cerewet. Vira teman sebangkunya dulu nggak pernah mempermasalahkan tentang sikapnya, lalu kenapa cowok ini sewot?
Nasibnya benar-benar sial karena dipasangkan dengan cowok ini. Ketenangannya benar-benar terganggu dengan adanya cowok ini. Dan semua hal nggak nyaman ini berakar dari Bu Ilse. Di pertengahan semester pertama, Bu Ilse pernah memanggil Citra untuk berbicara empat mata.
"Kamu nggak suka masuk kelas MIPA?" tanya Bu Ilse saat itu.
Kepala Citra menggeleng.
"Terus?"
Citra nggak memberi tanggapan apa pun.
"Kamu nggak suka dengan teman-temanmu?"
Sekali lagi Citra menggeleng.
Bu Ilse mengembuskan napas panjang. "Oke, kalau kamu nggak mau ngomong. Ibu akan memberi kamu kesempatan untuk berubah sebelum Ibu mengambil langkah yang bisa membuat zona nyamanmu terusik."
Kata-kata itu begitu membekas di benak Citra. Kenapa Bu Ilse harus sepeduli itu? Bahkan mamanya nggak pernah mempermasalahkan tingkahnya ini, malah lebih cenderung mengabaikan keberadaannya. Lupa kalau mempunyai anak yang membutuhkan perhatian.
Lalu sekarang, Bu Ilse mewujudkan seluruh kata-katanya. Dia dipasangkan dengan cowok yang benar-benar mengusik zona nyamannya.
Catra mengusap-usap kertas soalnya. Dia sudah mengerjakan soal itu. Matanya kembali melirik ke arah Citra. "Mau lihat?" tanyanya karena melihat Citra berhenti mengerjakan soal. "Lihat aja." Dia menyodorkan lembar itu.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Lembaran yang ia sodorkan nggak mendapat tanggapan. Catra meletakkan lembar itu kemudian menopang dagu dan menatap Citra. Matanya hanya menangkap rambut panjang itu menutupi wajah.
"Aku nggak tahu harus kayak gimana bersikap sama kamu. Sepertinya kamu nggak nyaman sama aku, tapi aku berani jamin kamu bakalan nyaman sama aku. Kenapa aku berani ngomong kayak gitu? Karena aku bukan cowok kurang ajar yang suka mengolok-olok kekurangan orang. Yah ... walaupun kamu nggak punya kekurangan selain sikap pendiammu." Catra merapikan alat tulisnya. "Tapi paling enggak hargai orang yang ngomong sama kamu meskipun kamu nggak suka sama orang itu. Kalau kamu males ngomong, cukup pakai gerakan kepala. Dari hal kecil itu kamu sudah menghargai orang."
Citra tercenung mendengar penjelasan panjang lebar itu. Menghargai orang? Citra merasa selama ini nggak pernah menghargai orang. Dia selalu mengabaikan orang yang ingin berbicara dengannya.
"Aku sudah menghargaimu sebagai teman sebangkuku, jadi apa aku salah kalau aku minta dihargai?"
Dada Citra terasa berat. Entah kenapa dia merasa bersalah. Lalu tanpa ia sadari, Citra menggelengkan kepala.
Catra tersenyum lebar melihat gerakan kecil itu. "Makasih udah menghargaiku sebagai teman sebangkumu."
Mata Citra membulat dan langsung menoleh ke arah Catra. Apa yang sedang ia lakukan tadi sehingga membuat cowok ini tersenyum kepadanya? Menggeleng?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top