lembar 26 - Teruntuk Tuan
Satu bulan yang sibuk, satu bulan penuh jarak dan satu bulan rindu itu subur. Di balik sikap cueknya, Catra rindu dengan tatap mata Citra. Di balik diamnya, Citra rindu perhatian Catra. Dua remaja yang mulai mengerti arti jarak dan mengejanya menjadi kata rindu.
Mereka disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Catra sibuk dengan ujian sekolah dan menjadi panitia pentas seni. Dia berada di tim publikasi. Koneksi antar sekolah yang dipunya Catra cukup menyumbang banyak ide untuk memasarkan tiket malam pentas seni; mendatangi beberapa SMA yang ada di Surabaya, menjalin hubungan dengan ekskul mading di beberapa sekolah, dan tentu dia nggak melupakan Bulletin. Tugasnya di Bulletin sedikit ringan karena dibantu oleh Rani. Ya... meskipun cewek itu sinis dengan Catra, tetapi Rani benar-benar membantu Catra dalam Bulletin.
Sedangkan Citra, dia juga disibukkan dengan ujian sekolah. Dia juga sedang bahagia dengan suasana keluarga yang baru. Papa yang mengantar ke sekolah, Mama yang selalu memeluk dan mencium tiap kali dia keluar dari mobil, serta malam hari yang riuh karena dihabiskan dengan menonton televisi. Selain dua kesibukan itu, Citra mempunyai satu kesibukan lagi. Sebuah kesibukan yang mungkin bisa membantu memperbaiki hubungannya dengan Catra.
Sebulan berlalu, akhirnya malam pentas seni diadakan. Hall yang disewa satu hari itu mulai terlihat ramai. Beberapa anak muda memakai pakaian kekinian datang dengan membawa tiket elektronik yang disiapkan panitia. Mereka men-scan barcode agar bisa masuk. Di depan pintu masuk terdapat Catra dan beberapa temannya sedang memberi petunjuk kepada pengunjung yang datang. Mereka terlihat begitu sibuk dan bahagia. Semoga acara malam ini berjalan dengan lancar.
Di tengah kesibukan Catra, dia masih sempat-sempatnya mencari sesosok yang sudah lama nggak dia sapa. Hingga jarum jam menunjukkan pukul enam sore, sosok itu belum datang juga. Ada sedikit kecewa yang singgah di hati Catra, tetapi dia bisa memaklumi karena cewek itu nggak mungkin datang di acara seramai ini. Kalau pun datang, sama siapa? Dia nggak punya teman satu pun.
Acara malam pentas seni berlangsung. Catra meminta izin kepada temannya untuk masuk karena dia harus memimpin Bulletin.
"Yo... gimana sudah menyebar?" Suara Catra bergema di HT masing-masing anggota. Mereka lebih memilih HT untuk berkomunikasi.
"Delapan enam," sahut Toni lalu disusul dengan yang lainnya.
"Inget, ya, rekamannya harus jelas, ambil angel foto yang bagus, bagian dokumentasi jangan lupa pepet kameramen siapa tahu bisa dikasih rekaman lebih dulu dari pada panitia. Inget, kita harus terdepan."
"Lapan enam." Suara Audrey terdengar begitu jengkel.
Kali ini Audrey nggak bertugas dengan Toni, jadi dia agak sedikit bad mood. Maka dari itu Catra selalu menekan Audrey biar nggak meleng.
Seperti biasa, acara dimulai dengan beberapa sambutan dari kepala sekolah hingga beberapa ketua yang terlibat di dalamnya. Catra melihat jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh.
"Setengah tujuh bintang tamu datang. Rani stand by di pintu belakang. Toni, kamu ke sana dulu, ya." Catra hanya bisa berdiri di depan pintu masuk bagian dalam sambil memantau karena tugas utamanya sebagai panitia pentas seni nggak bisa ditinggalkan begitu saja.
"Delapan enam."
Dahi Catra berkerut. "Sita?"
"Ya, aku udah di pintu belakang. Tenang aja."
"Rani mana?"
"Dia lagi mencret! Noh jadi penunggu toilet!"
Catra mengusap wajah, dia takut Sita nggak segercep Rani. "Gercep, ya, gercep!"
"Iya ... cerewet!"
Mendengar kabar itu, Catra harap-harap cemas. Dia nggak yakin Sita bisa secepat Rani. Kali ini Catra pasrah dengan info apa yang didapat Sita.
Acara malam pentas seni berlangsung dengan begitu meriah. Beberapa band dari sekolah lain ikut mengisi, termasuk band andalan SMA Trimurti, Romacious band. Sebuah band yang diketuai oleh Puguh itu berhasil manggung di mana-mana. Mereka juga sering diundang oleh sekolah lain untuk mengisi acara. Suara khas Nuansa, sang vokalis, terdengar begitu lembut tapi berisi. Semua yang datang terlihat sangat menikmati malam pentas seni itu.
"Eh-eh, denger-denger ada SOS!"
Jantung Catra seolah terhenti mendengar itu, dia menoleh ke belakang. Dia melihat dua temannya sibuk melihat ponsel.
"Tuh, kan, bener!"
Catra mendekat. "Apanya?"
"Eh, iya, kamu kan ketua Bulletin," cewek itu memukul lengan Catra. "Akhirnya bisa datangin SOS!" Dia berjingkat kegirangan sambil mengacungkan dua jari.
"Apa, sih?"
"Nih, di blog Bulletin ada notifikasi kalau SOS bakalan hadir di pentas seni."
Catra langsung membuka ponsel dan melihat isi tulisan itu. "Sita, tahu Rani di mana?"
"Toilet, Catra!"
"Audrey, kamu yang nulis di blog?"
"Eh, orang lagi jungkir balik mana sempet nulis di blog. Gua kepet lu!"
"Catra!"
Cowok itu berjingkat ketika Rani muncul di belakangnya. Belum sempat Catra bertanya, dia langsung ditarik Rani.
"Ayo ikut aku."
MC di atas panggung mulai mendengungkan sebuah nama yang membuat Catra semakin bingung.
"Pasti semua nggak bakal nyangka kalau SOS ini mau datang ke sini." Suara MC membuat beberapa orang menggumam terkejut.
"Pada penasaran, kan? Siapa, sih, SOS atau Strawberry on The Shotcake itu? Aduh dari namanya aja sweet begitu. Se-sweet puisinya!" ucap MC satunya.
"Yok langsung aja, ya. Kita sambut SOS dan Puguh!"
Mata Catra terus terpaku di atas panggung, meskipun dia tengah menyeruak kerumunan. Puguh keluar dengan membawa gitar dan duduk di kursi, nggak lama kemudian seorang cewek muncul dengan kepala tertunduk. Seketika Catra berhenti dan semua teman satu sekolah yang ada di sana terdiam.
Cewek bermata bulat, berambut sebahu yang di-stylist dan memakai dress tosca itu terlihat begitu gugup.
"Kamu benar, Citra adalah SOS," ucap Rani.
"Hai," sapa Citra dengan senyuman yang begitu manis. "Ya ... aku Strawberry on The Shortcake. Aku yang sering mengisi rubrik puisi di Bulletin. Namaku Citra dari kelas XI MIPA II." Citra menoleh ke arah Puguh untuk memberi kode agar bersiap-siap. "Hari ini aku beranikan diri untuk membawakan puisi terbaru dariku."
Puguh mulai memetik gitarnya. Melantunkan nada akustik yang begitu lembut. Semua orang yang ada di hall terdiam, ikut mengalir dalam dentingan gitar dan puisi Citra.
Teruntuk Tuan.
Tahukah kau, Tuan?
Ada rasa yang tak pernah terurai.
Ada hati yang selalu bersembunyi.
Ada dendang kagum yang selalu mengiringi.
Realitas seperti mengkristal.
Tak memiliki celah untuk mengurai.
Merenggut yang telah mekar di dada.
Anggap saja rasa ini semu.
Hingga aku rela ditikam rasa.
"Dia mau naik ke panggung demi permintaan maafmu," ucap Rani. Dia hanya menatap Catra yang berbinar. Ada yang perih di dalam diri Rani. Namun, dia menyadari bahwa cinta nggak harus memiliki.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top