Lembar 25 - Keluarga
Dari: [email protected]
Subjek: Undangan Pentas Seni SMA Trimurti
Hai SOS.
Melalui surat elektronik ini, kami anggota Bulletin mau undang kamu ke acara pentas seni kami. Kami lebih senang lagi kalau kamu ikut berpartisipasi dalam acara ini.
Jika kamu nggak keberatan, balas email ini, ya. Kamu juga bisa WA ke nomor ini 088673217920, nanti kita bisa chitchat.
Thanks.
***
Mata bulat itu membaca berkali-kali email yang terpampang di depan matanya. Keraguan masih saja membumbung tinggi dalam benak. Haruskah dia mengambil langkah yang mungkin merugikan dirinya sendiri?
Merugikan?
Dia menghela napas panjang. Kata merugikan mengingatkannya akan seseorang yang berbicara padanya siang tadi. Apakah dia dirugikan? Apakah mereka hanya mengambil keuntungan dari dirinya? Apakah itu benar? Dia sama sekali nggak bisa menemukan jawaban yang tepat. Jawaban yang bisa membuat hatinya tenang.
Dari arah pintu yang sedikit terbuka itu, terlihat seorang wanita cantik tengah mengintip di balik pintu. Perlahan dia membuka pintu, sedangkan gadis yang duduk termenung itu nggak menyadari kehadirannya. Matanya menatap email yang terpampang jelas. Penglihatannya masih awas meskipun setiap hari pekerjaannya menatap komputer.
Ratih, nama wanita itu, mengusap wajah. Rupanya anaknya tengah bimbang. Dia teringat dengan dirinya dulu yang begitu pendiam seperti Citra. Dia tahu bagaimana rasanya ketakutan ketika sesuatu yang baru memasuki kehidupan.
"Udah, ikut aja."
Citra langsung berjengit dan buru-buru menutup email-nya. Dia memutar kursi dan melihat Ratih sudah berdiri tepat di belakangnya. Dia hanya memandang Ratih dengan wajah kesal.
Dua sudut bibir Ratih terangkat, dia melipat tangan, lalu duduk di atas kasur. Citra hanya diam dan melihat gerakan ibunya.
"Udah lama, ya, kita nggak berdua begini."
Memang sudah lama, lama sekali. Sejak Citra duduk di bangku SMP. Sejak bertemu dengan Om Setyo. Citra ingin sekali berkata seperti itu, tetapi dia enggan membuka permasalahan baru.
"Aku mau sendiri."
Ratih menghela napas, sadar dengan kesalahannya. "Maafkan, Mama."
Entah kenapa kata-kata itu membuat mata Citra memanas.
Pandangan Ratih bergulir ke foto pria tua yang memeluk Citra dengan erat. Matanya mulai berair. "Sudah lama Mama nggak mengunjungi makam Abah. Kamu pasti juga rindu sama Abah, ya, kan?"
Dengan keberanian yang dia punya, Citra berkata, "Apa peduli Mama dengan Abah? Urus saja suami Mama."
Kali ini tangis Ratih pecah. Ratih tahu apa yang Citra rasakan. Ratih benar-benar bodoh, kenapa dia mengulang kesalahan ibunya sehingga anaknya sendiri menjadi korban, menjadi seperti dirinya.
"Maafkan Mama," ucapnya sesenggukan. Ratih memaki dirinya dalam hati, memaki kebodohannya.
"Mama bisa keluar. Aku ingin tenang."
Ratih menggeleng dan tetap menangis. "Boleh Mama peluk kamu, Nak?"
Mendengar panggilan Ratih kepadanya membuat Citra merebak. Ya ... Citra mencoba kuat sejauh ini, Citra mencoba diam sejauh ini, dan Citra mencoba memyembunyikan air matanya selama ini. Namun, kali ini pertahanannya runtuh ketika mendengar panggilan itu.
"Mama.... " Air mata Citra jatuh meluruh.
Mereka berdua saling berpelukan, meluapkan rindu, mengungkapkan bahasa yang selama ini tak pernah terucap, dan menangisi kebodohan mereka dalam mempertahankan ego.
"Maafkan Mama." Ratih semakin memelum erat anaknya. "Mama benar-benar bodoh. Setelah melihat foto Abah, Mama teringat nenekmu."
Setyo yang sedari tadi mencari-cari istrinya, akhirnya menemukan Ratih di dalam kamar Citra. Dia tertegun melihat pemandangan langka itu. Setyo hanya berdiri dan memperhatikan mereka berdua. Dia nggak mau menginterupsi komunikasi yang hangat itu.
Setyo melihat Ratih merenggangkan pelukan, lalu berjongkok di depan Citra. Wanita yang ia cintai itu mengusap pipi basah Citra.
"Maafkan Mama, Nak."
Citra masih sesenggukan dan diam.
"Kamu tahu, sebenarnya Abah juga bukan ayah kandung Mama."
Mata Citra membulat dan memandang Ratih begitu lekat.
Ratih mengangguk. "Iya. Abah suami kedua Nenek. Melihat foto Abah, mengingatkan Mama dengan Nenek. Mama benar-benar bodoh karena sikap Nenek dan Mama tiru hingga sekarang dan menjadikanmu korban seperti Mama. Kenapa Mama nggak bisa seperti Abah yang mencintai mama walaupun bukan anak kandung?" Ratih kembali menangis dan menggenggam erat kedua tangan Citra.
"Mama."
"Maafkan Mama, Nak. Mama janji akan berubah."
"Mama."
"Mama sayang sama Citra. Sayang sekali, tapi entah kenapa Mama sibuk dengan keegoisan Mama. Mama takut kehilangan Om Setyo sehingga mengabaikanmu."
Citra ikut menangis lagi dan dia langsung merengkuh Ratih, memeluk wanita itu dengan erat. "Aku juga sayang sama Mama. Aku kangen Mama."
Melihat itu mata Setyo berkaca-kaca. Ah, dia bukan tipe lelaki yang melankolis. Dia begitu serba salah melihat pemandangan itu. Akan tetapi, melihat pemandangan itu membuatnya harus mencairkan suasana ini.
"Ada yang kangen sama aku?" sela Setyo. Dia tahu pertanyaan itu benar-benar konyol.
Citra dan Ratih seketika berhenti menangis, mereka menoleh ke arah Setyo dan menghapus air mata masing-masing.
Setyo menghela napas panjang. "Oke. Aku memang nggak bisa berbasa-basi. Jadi... bagaimana kalau kita mulai lagi dari awal?"
Citra dan Ratih masih terdiam. Mereka masih nggak mengerti ke mana arah pembicaraan.
"Em... kita tahu kalau dulu kita sama-sama salah. Jadi sebaiknya kita mulai dari awal. Aku ayahmu, oh, jangan panggil ayah, panggil Papa aja." Setyo maju dan berada di ambang pintu. "Dalam hal ini aku juga salah bukan hanya mamamu. Jadi.. papa juga minta maaf." Dia mengangkat kedua bahu.
Citra hanya mengedipkan mata. Dia nggak pernah lihat Setyo bertingkah seperti itu. Ratih berdiri, lalu mengajak suaminya masuk dan berdiri di depan Citra.
"Ayo kita bangun bagaimana keluarga semestinya. Saling memperbaiki diri." Ratih mengulurkan tangan kepada Citra.
Dengan ragu, Citra meraih tangan itu dan menggenggamnya. Sedangkan Setyo, dia terlihat ragu ingin menyentuh bagian atas kepala Citra.
"Bolehkah?" Setyo menatap Citra.
Citra mengembangkan senyum yang begitu tulus. "Iya, Papa."
Setyo seperti jatuh cinta kedua kali mendapat sambutan hangat itu. Dia mengelus bagian atas kepala Citra dengan penuh kasih sayang sambil memeluk Ratih.
"Jadi mulai besok Papa anter kamu habis itu anter Mama. Seperti itu, kan, tugas seorang Papa?"
Ratih tertawa lebar dan semakin memeluk erat suaminya. "Makasih, sayang."
Ya... memang seperti itulah fungsi sebuah keluarga. Seorang papa yang melindungi keluarganya, seorang mama yang memberi kehangatan dan seorang anak yang memberi cahaya.
Malam ini menjadi titik balik Citra dalam menilai sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru belum tentu memorak-porandakan ketenangannya. Justru sesuatu yang baru itu membuatnya begitu bahagia dan membuatnya semakin bersyukur dengan sebuah perubahan.
Seperti kehadiran Catra yang entah mengapa seperti membawa keberuntungan dalam hidupnya. Lalu, rencana apa yang akan dia lakukan demi memperbaiki hubungannya dengan Catra?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top