Lembar 20 - Merah Jambu
Lembarku ini masih kosong.
Tak lama kau tumpahkan tinta.
Menghitam sudah.
Lembarku ini masih kosong.
Tak lama kau jatuhkan tinta.
Merah sudah.
Kau tahu, yang tumpah itu bukan tinta
Tapi yang tumpah adalah rasaku.
Kau tahu, yang jatuh itu bukan tinta.
Tapi aku yang jatuh cinta padamu.
----
"Heh Luki, mau kabur ke mana!" Suara Ratni menggelegar hebat ketika Bu Endang baru keluar dari kelas. Dari awal dia sudah menangkap gerik aneh dari cowok itu. "Jangan asal kabur, ya!"
Catra hanya menoleh lalu menggeleng melihat mulut Ratni yang menggelegar itu.
"Eh, bisa dikecilin enggak tuh volume!" Puspa masih kesal dengan ucapan Ratni tempo hari.
"Bodo amat. Suka-suka gue dong!"
Puspa hanya mencebik.
Ratni menghampiri Luki lalu menarik lengan baju cowok itu. "Habis ini piket! Jangan asal kabur."
"Aku ada kelas peminatan!"
"Halah, paling juga kabur ke kantin! Enggak usah alasan! Siapa yang angkat-angkat bangku!"
Satu per satu dari penduduk di kelas itu keluar, tidak memedulikan pertengkaran Ratni dan Luki. Beberapa lagi ada yang cekikikan melihat penderitaan Luki, murid termalas di kelas ini. Sedangkan ketiga teman Catra sudah bersiap untuk keluar kelas.
"Kamu piket, kan?"
Citra hanya diam.
"Aku tunggu di depan gerbang, ya." Catra tersenyum lebar sambil mengacungkan kedua jempolnya. "Woi tunggu!" Dia segera berlari menuju ketiga temannya. Lengkaplah sudah empat serangkai itu berkumpul.
Citra hanya bisa menelan ludah dan memandangi punggung Catra yang mulai menghilang. Entah kenapa napasnya tersengal, deru jantungnya tidak bisa bekerja normal dan ....
Dia menyalakan ponsel, membuka catatan di ponsel lalu menekan bekali-kali dengan sedikit senyuman yang tersungging. Bolehkah dia menyebut hal ini seperti puisi yang telah ia buat semalam?
***
Empat serangkai yang masih berada di koridor depan sekolah melongo ketika melihat dua pasang teman mereka saling melempar senyum malu-malu kucing. Seperti dalam kisah sinetron, mereka saling pukul dengan wajah yang tersipu.
Rahman langsung bergidik jijik melihat adegan berlebihan itu.
"Mereka waras?" Saka menyenggol lengan Catra.
Catra hanya meringis sambil mengangkat bahu. "Aku udah lama enggak ke Bulletin. Mau fokus sama SOS dulu."
"Yakin banget kalau Citra itu SOS," gumam Rahman.
"Enggak usah banyak komentar kalau enggak tahu seluk beluknya."
Rahman berdecak sambil mengacak rambut yang sudah berantakan.
"Pantes Toni enggak pernah kelihatan batang hidungnya," ujar Arif.
"Udah berita basi kalau mereka berdua saling suka. Gengsi aja mereka."
"Kalau dipikir-pikir kita kayak punya kelainan," gumam Arif.
Mereka menghentikan langkah kompak dan memandang Arif dengan kerutan.
"Maksudmu?" tanya Saka.
"Coba pikir, dari kelas sepuluh sampai kelas sebelas kita selalu berempat. Tidak pernah ada wanita di antara kita."
Mereka bertiga saling melemparkan pandangan sambil mengangguk-angguk.
"Ditambah lagi kita enggak pernah ngomongin cewek. Bener, enggak?"
Mereka kompak menggaruk kepala.
"Semoga jangan ada rasa di antara kita." Kini Arif menunjukkan cengiran kuda.
"Najis!" Saka menepuk-nepuk lengannya seolah membuang kotoran yang menempel.
"Dasar Pak Kyai somplak! Jangan-jangan kamu yang belok!" semprot Rahman.
"Astagfirullah, aku kan cuma memperingatkan."
"Tahi!" umpat Rahman.
"Sok alim!" tambah Catra.
Arif hanya menggeleng sambil mengelus dadanya.
"Jangan-jangan kamu... naruh hati sama kita." Saka memasang wajah horor.
Arif tersenyum penuh arti sambil menaikturunkan alis. Mereka bertiga mendelik dan dalam hitungan detik bubar begitu saja, menjauh dari Arif.
"Yah... kalian mau ke mana?"
"Pulang," balas Rahman.
"Sori aku enggak belok. Aku masih cinta Pevita Pearce," imbuh Saka yang sudah keluar koridor.
"Aku mau ke Bulletin. Udah lama enggak ke sana!" Catra sudah melangkah cepat.
Tawa Arif langsung pecah melihat ketiga temannya lari terbirit-birit. Ternyata mereka lebih takut dengan hal yang seperti ini daripada menghadapi Bu Ilse.
Catra melangkah cepat menuju ruang ekskul. Tidak bisa dimungkiri kalau dia rindu dengan suasana Bulletin. Bagaimana kabar di dalam sana. Selama sebulan ini dia melihat hasil kerja teman-temannya masih terlihat bagus. Mading tetap terpasang, blog masih terkelola dengan baik dan juga majalah sekolah terbit di awal bulan. Ya, terkadang Rani memberi info lewat pesan WhatsApp. Temannya satu itu selalu mendukung semua langkah yang ia ambil, walaupun kadang-kadang sedikit menjengkelkan.
Dari kejauhan dia bisa mendengar suara Rani sedang memberi arahan. Sebuah senyum tersungging di bibir Catra, dia bersyukur mempunyai teman seperti Rani. Catra sudah berdiri di ambang pintu, dia besedekap sambil melihat Rani memberi pengarahan kepada adik kelas. Perkataannya terhenti ketika salah satu adik kelas mendapati keberadannya.
"Catra!" pekik Rani.
Sita yang sibuk di depan layar komputer ikut menoleh.
Catra melenggang masuk dengan tangan melambai. "Hai."
"Sok ganteng," Cibir Rani.
"Kamu aja yang nganggep dia ganteng. Aku mah minus."
Mata Rani langsung mendelik.
Catra menahan tawa melihat kelakuan Rani.
"Kalau ketawa, ketawa aja. Enggak usah ditahan. Entar kecipirit tahu rasa!" Rani melengos. "Dari aku cuma itu aja. Aku kasih waktu dua minggu ya untuk laporan. Sit, ada tambahan?"
Sita menggeleng. "Dari kamu udah detail semua."
"Oke, kalian bisa bubar."
Para anggota Bulletin satu per satu berpamitan dan keluar dari ruangan. Hanya dua orang yang masih tinggal untuk mengerjakan tugas.
"Tumben ke sini? Udah nyerah nyari SOS-nya?"
"Bilang aja cemburu," sindir Sita.
Kali ini Catra terbahak. Entah benar atau enggak, yang jelas Catra senang melihat dua sahabat ini saling olok.
"Makasih udah dibantuin."
"Semoga aja usaha kamu enggak sia-sia," kata Rani
"Kamu yakin, Cat?" Sita kembali menatap komputer.
"Yakin banget."
"Udah cek email?" tanya Sita.
"Email Bulletin?"
Sita mengangguk.
"Ada email baru masuk dari SOS," ujar Rani.
Catra merogoh saku celana, mengambil ponsel dan membuka email. Dia langsung terpaku melihat deretan tulisan itu. Jakunnya terlihat naik-turun setiap kali mengulang kalimat yang terpampang. Lalu, dia mengulum senyum sambil menggaruk tengkuk.
"Kamu waras?" tanya Rani.
Catra mengangkat wajah lalu tersenyum lebar. "Waras sekali, yang enggak waras itu Audrey sama Toni. Aku balik dulu." Dia langsung keluar dari ruang ekskul.
"Kamu yang enggak waras!" teriak Rani.
"Ngatain orang enggak waras padahal kamu sendiri kayak orang gila kalau dia nyinggung SOS."
Rani langsung berlari dan membekap mulut ember Sita.
Ada hal yang baru bermunculan di dada Catra setelah membaca puisi itu. Bahagia yang ia rasakan kali ini benar-benar berbeda. Akan tetapi, dia masih belum bisa mengategorikannya sebagai rasa cinta karena di dalamnya masih terdapat sebuah ambisi. Di satu sisi, dia seperti mendapatkan satu clue lagi yang menunjukkan bahwa Citra memang SOS. Di sisi yang lainnya, dia senang Citra mau mengakui usahanya.
Catra berlarian menaiki tangga dan yakin kalau tugas piket Citra sudah selesai. Belum sampai di tangga bagian akhir, dia sudah mendapati Citra menuruni tangga. Mata mereka saling menatap. Citra terpaku dengan raut terkejut, sedangkan Catra terpaku dengan senyuman bahagia.
"Udah selesai piketnya?"
Citra terdiam dan mengambil jalan ke samping, tetapi Catra menghalanginya. Cowok itu mengulurkan tangan.
"Aku tunggu sampai taksi online-nya datang."
Citra masih terlihat enggan untuk meraih tangan itu. Tanpa perlu meminta izin, cowok itu langsung mengamit tangan Citra.
Catra naik satu langkah untuk menyejajarkan pandangan, kemudian dia memajukan kepala dan berbisik, "Aku juga mau jadi tinta buatmu."
Wajah Citra langsung memerah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top