Lembar 16 - Pertama Kali
Resah!
Beberapa hari ini Citra merasakan resah yang luar biasa. Dalam diam, dia mengetahui seluruh gerak mencurigakan Catra. Ruang geraknya benar-benar terbatas. Dia juga mulai berhati-hati dengan apa yang akan ia lakukan agar enggak menimbulkan kecurigaan. Citra merasa seperti seorang buronan yang diintai oleh seorang polisi.
Citra tahu betul tentang apa yang Catra lakukan akhir-akhir ini. Dia tahu kalau Catra selalu duduk di kursi paling pojok di perpustakaan saat dia sedang asyik-asyiknya membaca buku atau mencari referensi tambahan tentang pelajaran. Citra tahu kalau Catra selalu berada dalam radius tidak lebih dari satu kilometer saat menguntitnya berjalan menyusuri koridor sekolah. Citra tahu bahwa diamnya Catra di kelas adalah salah satu topeng agar gerak-gerik cowok itu tidak ketahuan. Jadi, sebisa mungkin Citra enggak boleh menimbulkan kecurigaan.
Jujur, Citra enggak mau kesenangannya ini menjadi bahan pembicaraan di sekolah. Dia enggak mau hobinya ini diketahui oleh seluruh penduduk di sekolah. Dia hanya ingin menikmati kesenangannya ini seorang diri tanpa ada yang boleh memasukinya. Baginya, kesenangan akan menjadi rancu ketika orang lain ikut andil di dalamnya. Dia enggak mau meladeni pertanyaan-pertanyaan berisik dan mengganggu. Biarlah kesenangannya ini hanya ia nikmati seorang diri dan biarlah orang-orang menikmatinya tanpa harus mengetahui siapa dia.
Mata bulat Citra menatap buliran pasukan air dari langit meluruh dengan begitu indah. Gemerutuk di langit menambah suasana hatinya yang bagitu dramatis. Hujan. Dia harus menunggu hujan bersama satu cowok yang duduk di anak tangga terbawah untuk kedua kalinya. Walaupun jarak cowok itu cukup jauh dengan jaraknya, tetapi tetap saja Citra merasa risi dengan tingkah Catra. Dia ingin sekali memaki tingkah cowok itu. Semoga saja cowok itu enggak berjalan mendekat seperti tempo hari.
Mata Catra terus terfokus pada cewek berambut panjang yang sedang berdiri di ujung koridor. Sudah hampir lima belas menit cewek itu enggak melakukan pergerakan apa pun. Dia berharap semoga Citra enggak melakukan pelarian seperti tempo hari. Rencananya hari ini adalah menguntit Citra hingga cewek itu pulang ke rumah, dan Catra enggak mau tubuhnya basah. Bukannya dia takut hujan, melainkan dia enggak nyaman kalau seluruh bajunya basah!
Sejak pertengkarannya dengan Toni tempo hari, Catra absen dari ekstrakulikuler mading. Dia enggak akan balik ke Bulletin kalau enggak membawa Citra beserta bukti yang konkret. Dia ingin membuktikan kepada teman-temannya bahwa dugaannya ini benar, bukan hasil dari imajinasinya. Kenapa Catra begitu yakin? Itu semua karena dia mengenali betul ciri khas puisi milik SOS. Dia sudah cukup lama berkecimpung di dunia literasi, jadi dia tahu teknik dan ciri khas yang dipakai seseorang untuk membuat kalimat atau rangkaian puisi. Suatu saat temannya akan mengakui kehebatannya ini.
Catra memilih beranjak dari anak tangga terbawah itu. Dia berjalan mendekati Citra yang masih bergeming di tempatnya. Semerbak wangi bunga menguar lembut ketika rambut itu diterpa angin hujan sore ini. Catra memejamkan mata sejenak tanpa disadarinya, menghayati aroma yang menelisik indra penciuman. Sebuah aroma yang sudah begitu familier baginya, tetapi entah kenapa kali ini begitu berbeda. Apakah ini efek petrichor yang berpadu dengan wewangian bunga?
Catra berdeham untuk membuang pikiran absurdnya.
Citra sedikit bergeser ketika mendengar deheman cowok itu.
"Hujan."
Citra hanya diam mendengar suara Catra yang melebur bersama hujan.
Catra menoleh, melihat helaian rambut yang menutupi wajah cewek itu dari samping. Tangannya ingin sekali menyingkirkan helaian yang menghalangi pandangannya.
"Kamu enggak bawa payung?"
Lagi-lagi Citra terdiam.
"Aku bawa jas hujan di jok motor kalau kamu mau."
Sungguh, Citra benci dengan suasana yang seperti ini. Dari awal, sejak cowok ini menghubunginya melalui email, dia sudah merasa risi dengan tingkah cowok ini.
Catra melirik jaket abu-abu yang dikenakannya. "Enggak mungkin juga kita lari-lari pakai ja—"
Belum selesai Catra menyelesaikan kalimatnya, Citra sudah berlari menerabas hujan, melewati setengah lapangan sekolah.
"Sial!"
Mau enggak mau, Catra ikut berlari sambil melepas jaket yang sudah terjepit tas. Dengan gerakan susah payah dan penuh pengorbanan, Dia berhasil melepas jaket dari tubuhnya dan memperlebar langkah. Dalam hitungan detik, langkah mereka sejajar. Jaket itu berhasil menutup kepala mereka dari rintik langit itu.
Seketika langkah Citra terhenti kemudian dia mendongak. Catra sempat menahan napas ketika mata bulat itu menyapa pandangannya. Untuk beberapa saat, hujan bukanlah sebuah masalah bagi Catra. Dia lebih mempermasalahkan dadanya yang mulai sesak.
"Apa maumu?" Suara lembut itu lolos begitu saja.
Jakun Catra bergerak naik-turun. Mulutnya yang selalu banyak bicara mendadak bisu.
Citra masih menatap Catra tanpa gentar, tetapi yang ditatap mendadak linglung. Citra mengembuskan napas kasar, kemudian dia melanjutkan langkah lebarnya, meninggalkan Catra yang masih terpaku. Entah apa yang dipikirkan Catra hingga membiarkan cewek itu pergi begitu saja. Catra hanya merasa seluruh sendinya melemah, bibirnya terbungkam dan otaknya bercecer.
****
Lani langsung membuka pintu rumah ketika mendengar deru motor milik anaknya. Dia sedikit termangu melihat penampilan Catra yang basah kuyup. Enggak biasanya Catra pulang dalam keadaan seperti ini. Anaknya lebih memilih pulang larut ketimbang hujan-hujan. Sejak kecil Catra enggak begitu suka hujan.
"Kamu hujan-hujanan?" tanya Lani.
Catra masih diam mematung di depan pintu. Tatapan cowok itu terlihat kosong.
"Cat?" Lani semakin khawatir. "Catra!"
Pandangan Catra mulai terisi kembali. Panggilan Lani seperti membangunkan Catra dari tidurnya. "Iya, Ma."
Lani menempelkan telapak ke dahi Catra kemudian dahinya berkerut. "Enggak demam." Dia melihat motor yang terparkir. "Enggak bawa jas hujan?"
"Bawa."
Dahi Lani berkerut. "Terus?"
Kini dahi Catra berkerut.
"Catra, kamu kesambet apa?!" Nada suara Lani meninggi. Pasalnya dia begitu khawatir dengan tingkah anaknya yang di luar batas normal.
"Apaan, sih Ma!" Catra melepas sepatu dan kaos kaki, enggak menghiraukan mamanya yang membutuhkan jawaban.
"Kamu itu ditanyain orangtua malah jawabnya kayak gitu. Kamu kenapa?"
"Enggak kenapa-kenapa," jawab Catra singkat.
"Terus kenapa kamu hujan-hujanan? Kamu kan enggak suka hujan, Catra ...!"
"Terus kenapa kalau Catra enggak suka hujan?"
Wajah Lani mendadak pucat. "Beneran kamu kesambet! Kamu pasti kesambet!" Dia menarik-narik lengan anaknya hingga tubuh itu sedikit limbung.
"Mama ... Catra baik-baik aja!"
"Enggak!"
Catra memasang wajah serius, tangannya menggenggam lembut tangan mamanya. "Ma, Catra capek. Catra mau istirahat." Dia berlalu meninggalkan Lani yang masih syok.
Iya, dia lelah. Lelah memikirkan hal aneh yang baru saja terjadi dalam dirinya. Entah kenapa suara Citra seperti sebuah mantra yang membuat Catra linglung.
***
Sekali-sekali ngasih visualisasi tokohnya 😋😋 untuk Citra, coming soon.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top