Lembar 13 - Kecurigaan
Lampu meja belajar Catra masih menyala dengan benderang, laptop di meja belajar masih terlihat siaga, dan tangannya yang memegang pulpen tak henti-hentinya mengetuk meja. Pukul sebelas malam, dia enggak mengantuk sama sekali. Padahal, besok dia harus ke sekolah untuk mengikuti ekstrakulikuler mading. Malam ini pikirannya dipenuhi oleh sesuatu yang ia temukan tadi siang di dalam kelas. Dia enggak menyangka kalau ketidaksengajaannya membuka note itu berujung pada tanda tanya yang begitu besar. Lalu sekarang, tanda tanya itu mengusik rasa kantuknya.
Catra penasaran, lebih tepatnya dalam bimbang karena dia membaca beberapa baris dalam notes kecil itu secara enggak sengaja. Hanya karena tampilan note kecil itu mirip dengan SOS sehingga dia begitu ingin mengetahui isi dari note itu. Belum sempat menyelesaikan bait kedua, note itu sudah direbut oleh pemiliknya, Citra. Cewek itu memandangnya dengan kesal setelah berhasil merebut note dari tangannya lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata. Dia enggak menyangka kalau Citra pemiliknya.
Lalu, apa yang membuat Catra terusik setelah membaca beberapa baris dalam puisi itu?
Pasalnya puisi yang ia baca itu memiliki ciri khas yang spesial. Puisi itu memiliki gaya yang sama seperti punya SOS. Jangan ditanya seberapa detailnya Catra menilai puisi SOS, hanya dengan sekali baca dia sudah tahu kalau itu ciptaan SOS.
Dan sebuah pertanyaan singgah, apakah Citra adalah SOS?
Jangan-jangan sifat pendiam cewek itu untuk menutupi identitas sebenarnya? Sebuah identitas yang selalu ia kejar-kejar sampai sekarang sehingga Citra sedikit menjaga jarak dengannya?
Pagi yang berkabut rekah di ujung timur. Anginangin ganjil berdesir. Kepingkeping embun menetes.
Ini pagi yang ganjil ....
Catra enggak bisa lagi meneruskan baris-baris puisi itu karena ia hanya mampu merekam beberapa kalimat di dalam note itu. Dia kembali membuka blog Bulletin lalu mencari kumpulan puisi milik SOS. Berkali-kali dia membandingkan tulisan yang ia baca tadi siang dengan karya-karya SOS. Ada kemiripan bahkan mirip sekali. Enggak mungkin cewek itu sengaja mencontoh gaya berpuisi SOS—mengingat Catra pernah memergoki Citra membaca puisi SOS di mading sekolah—karena puisi memiliki nyawa dan karakter sendiri-sendiri sekalipun si pengarang mencoba meniru. Sedangkan ini, benar-benar mirip.
Catra mengerang frustrasi dan mengacak rambutnya. Dia mengambil ponsel dan mulai mengetikkan sesuatu di grup WhatsApp Bulletin.
Catra: Kalian percaya enggak kalau SOS itu ada di sekitar kita?
Dia memandangi ponsel yang sama sekali enggak menunjukkan tanda-tanda temannya masih melek. Catra melihat jam di ponsel, dia baru sadar kalau sekarang sudah malam, pasti semuanya sudah tidur. Baru saja dia meletakkan ponselnya, Toni membalas.
Toni: yang kamu maksud Citra? Ngigau! Anak sepasif itu? Dari tadi mikirin dia mulu. Jangan-jangan kamu naksir sampai-sampai mengalami delusi!
Catra: Kampret! Itu mulut minta dijahit.
Audrey: Jahit? Terlalu nikmat buat dia. Dirobek aja!
Toni: Nggak tidur? Jangan-jangan lagi chat sama Rio!
Audrey: Terus urusan kamu apa?
Toni: Bisa-bisanya cewek chat sama cowok di malam hari!
Catra menggeletakkan ponselnya karena dia tahu ke mana ujung chat itu. Pasti besok pagi mereka udah ogah-ogahan ngomong dan ujung-ujungnya bertengkar. Memang susah kalau dalam satu ekstra timbul rasa suka. Jadinya ya ... kayak begini!
Dia membenarkan posisi duduknya kemudian membuka email dan mengetikkan sesuatu:
Penerima
Subjek
Citra? Kamu Citra, kan? Kenapa harus kamu tutupi identitasmu? Aku janji nggak akan mengumbar identitasmu kalau kamu mau mengaku. Tapi, kalau kamu masih diam, aku akan cari cara lain.
Sent email.
Catra tinggal menunggu balasan dari email itu. Otaknya sudah merencanakan hal-hal untuk menggali informasi lebih dalam lagi tentang Citra. Apa salahnya menjadi penguntit? Toh, dia enggak berniat jahat.
"We'll see, Citra atau ... SOS?"
****
Pagi yang berkabut rekah di ujung timur.
Anginangin ganjil berdesir.
Kepingkeping embun enggan menetes.
Ini pagi yang ganjil.
Di mana kopi tak mau lagi menghangat.
Kursikursi tua tak mau lagi diduduki.
Ditingkahi lidah yang mati rasa.
Ini mendung yang tak biasa.
Ada yang tak bisa kubaca
Dari bimbang yang mengabur.
Ini rasa yang seperti apa?
Citra menghela napas berkali-kali saat membaca halaman note yang sempat tertangkap basah oleh Catra. Kenapa dia bisa seceroboh ini? Seharusnya dia memasukkan note itu ke tas bukan di saku rok! Dia yakin cowok itu pasti mencurigainya karena mengingat betapa getolnya Catra mencari identitas pengisi rubrik puisi di Bulletin.
"Tapi ... tunggu dulu, mana dia bisa membedakan puisi ini dengan puisi SOS? Bukankah puisi itu sama aja? Apalagi dia awam di bidang seperti ini." Citra bergumam pada dirinya sendiri.
Ya, dia yakin kalau Catra enggak akan mengetahui karakteristik dalam sebuah puisi. Lalu, kenapa dia ketakutan seperti ini? Atau jangan-jangan dia takut Catra mengetahui perasaannya? Perasaan?
Citra menggelengkan kepala. Bicara tentang perasaan, Citra sama sekali belum mengenal rasa asing yang bercokol akhir-akhir ini. Dia masih dalam kebimbangan atas apa yang ia rasakan kepada Catra. Entah itu rasa benci atau rasa yang sama sekali enggak ingin dia sentuh. Dia selalu berharap kalau rasa yang ia alami saat ini hanya luapan kekesalan. Lalu, puisi yang ia buat tadi siang benar-benar mencerminkan suasana hatinya. Sesuatu yang ganjil ....
Citra hampir terlonjak dari kursi belajarnya ketika mendengar suara pintu kamar terbuka. Dia memutar tubuh dan melihat seorang wanita berdiri di ambang pintu.
"Mama yakin kalau kamu belum tidur." Ratih masuk ke kamar dengan membawa kantong plastik putih. "Nih, ada mi ayam dari Papa."
Citra hanya menatap bungkusan yang disodorkan Ratih tanpa mau menerimanya.
Ratih mengembuskan napas panjang lalu meletakkan bungkusan itu di atas meja belajar Citra. "Belajar sambil makan enggak ada salahnya. Lagi pula dia enggak ada niat buat ngasih racun di mi ayam." Dia mengacak ujung rambut Citra kemudian keluar kamar dan pintu itu tertutup.
Citra masih bergeming di posisinya. Bisa-bisanya Mama bicara seperti itu seolah-olah dia tukang curiga terhadap kebaikan orang lain. Dia hanya enggan suka dengan ayah tirinya. Citra menggigit bibir bawah lalu menoleh ke arah bungkusan mi ayam itu. Tukang curiga? Jangan-jangan dia juga mencurigai Catra yang bersikap peduli padanya?
Terdengar sebuah notifikasi email berdenting di ponselnya. Citra langsung meraih ponsel dan membuka email yang baru saja masuk itu. Lalu, matanya membelalak dan dia tercengang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top