Lembar 1 - Pengisi Rubrik Misterius

Waktu menunjukkan pukul empat sore, tetapi cowok yang memakai jam tangan digital itu tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Satu persatu anggota majalah Buletin sekolah sudah keluar dari ruangan, hanya tersisa dua cewek yang masih berkutat dengan file foto yang akan diedit. Rani, salah satu dari mereka menengok ke belakang dan masih mendapati Catra berpangku tangan sambil melihat layar komputer. Dia menghela napas kemudian mencolek Sita yang masih asyik menata lay out naskah. Rani mengedikkan dagu ke arah Catra ketika Sita menoleh.

Sita berdecak dengan memutar bola mata ke atas. "Nggak ngaruh juga kamu pantengin email kayak gitu."

Catra terhenyak dari konsentrasi tingkat tinggi itu. "Ngagetin aja!"

"Ye ... siapa juga yang ngagetin. Kamunya aja yang ngelamun sambil liatin email."

"Mending kamu pulang, deh. Daripada di sini kayak zombie," imbuh Rani.

Catra berdecak. "Kenapa kalian nggak pulang duluan aja? Kenapa harus aku? Bukannya cewek nggak dibolehin pulang malam, ya?" Dia melihat jam tangan digital di tangan kirinya. "Udah jam empat pula, nanti emak kalian pada nyariin. Ntar ujung-ujungnya kalian alasan Catra nambah-nambahin tugas! Padahal kalian aja yang pengen nungguin aku."

Mulut Rani dan Sita langsung menganga. Kepedean. Cowok satu ini benar-benar kepedean. Memang, sih, dia itu cakep level standar, pinter dalam negosiasi dan debat, ketua majalah Buletin, tapi tingkat pedenya itu bisa membuat semua citra itu anjlok! Kecuali para adek kelas yang nggak tahu daleman dia (baca: sifat sebenarnya, bukan pakaian dalam yang dipakai) atau cabe-cabean yang pengen jadi anggota majalah Buletin untuk menarik perhatian Catra.

Sita mengambil spidol dengan asal kemudian melemparkan ke arah Catra. Cowok itu berhasil menangkap spidol dengan sebuah cengiran.

"Makasih spidolnya."

"Yo sama-sama. Simpen baik-baik buat ngubah wajahmu yang sok itu!" balas Sita.

"Kepedean tahu nggak! Cakep kagak, jelek iya!" tambah Rani.

Catra hanya cekikikan kemudian kembali menatap layar komputer. "Strawberry on The Shortcake alias SOS, siapa sih, orang ini? Aku harap dia anak sekolah ini, bukan dari sekolah lain. Ya ... secara, kita nyebar alamat email ke beberapa sekolah untuk menjalin hubungan yang baik antar sekolah. Meminimalisir tawuranlah intinya."

Seluruh anggota majalah Buletin tahu kalau Catra sedang gencar-gencarnya mencari pengirim email yang selalu lolos seleksi di rubrik puisi. Sejak satu setengah tahun lalu, puisi dari SOS itu selalu nampang di blog majalah sekolah bahkan dijadikan versi madingnya juga. Banyak teman-teman di sekolah yang mengagumi puisi milik pengirim misterius itu. Puisi itu seperti candu bagi penggemar literasi di sekolah. Namun, anggota Buletin masih belum bisa menemukan orangnya, si pengirim itu.

Sejak Catra dinobatkan menjadi ketua Buletin enam bulan yang lalu, dia menyusun beberapa strategi untuk menemukan si pengirim itu. Berkali-kali Catra mengirimkan email, tetapi berkali-kali juga tidak mendapat balasan. Bahkan di saat dia mengancam bahwa puisi itu nggak akan diterbitkan kalau nggak menunjukkan jati diri, tetapi pengirim itu masih saja bergeming dengan sunyinya.

"Nyerah aja. Dari semester satu sampai masuk semester dua nggak ada perkembangan juga, ya udah tinggal aja. Biarin aja kayak itu. Beres, kan? Semua nggak usah dibikin repot, Cat!" Rani sudah tidak tahan dengan obsesi teman satu ekstranya ini.

"Nah itu bedanya ketua sama anggota. Ketua itu punya visi-misi yang jelas!"

"Dengan ngepoin orang?"

"Lho tugas kita, kan, ngepoin orang. Contohnya si Lazuardi yang nggak pernah masuk sekolah tapi selalu peringkat satu kita tanyain. Gimana cara belajarnya meskipun jarang masuk sekolah, kiat-kiat apa yang dipakai, buku apa yang dibaca hingga kegiatannya sehari-hari. Itu apa namanya nggak kepo?"

Rani menggeram kesal sebelum berbalik dan membereskan barang-barangnya. Sita hanya melihat Rani dengan tatapan sedih, kemudian berbalik menatap Catra dengan kesal. Justru yang ditatap hanya mengangkat bahu dan menipiskan bibir.

"Males ngomong sama kamu!" Rani langsung beranjak pergi.

"Keterlaluan kamu, Cat!"

"Dia aja yang mudah tersinggung." Catra memutar tubuh dan mulai menutup program yang telah dibuka. Begitu juga dengan Sita yang sudah malas melanjutkan tugas itu.

Kedua teman Catra mulai keluar dari ruang ekskul. Catra juga ikut keluar setelah membereskan beberapa lembaran artikel. Dia menyusuri koridor sekolah yang sepi. Terdengar suara air yang menyentuh atap sekolah. Hujan deras. Sepertinya hujan hari ini memakai formalin. Buktinya air dari langit itu tetap bertahan turun sejak dua jam yang lalu. Langkah lebarnya berangsur mengecil ketika telah sampai di ujung koridor sekolah. Matanya melihat lapangan begitu basah dan nggak menyisakan lahan kering sedikit pun. Dia melihat Sita dan Rani berjalan membelah hujan dengan berbagi payung.

Catra mengembuskan napas panjang. Dia terlalu enggan untuk menyeberangi lapangan sekolah dan mengambil motor yang terparkir di sana.

Dia melihat lagi jam di pergelangan tangan kiri. "Nunggu hujan reda aja, deh."

Lalu bola matanya bergulir ke arah mading sekolah. Dia mendapati seorang cewek berdiri di depan mading dengan senyuman yang tersungging. Catra mengenali cewek itu. Dia adalah teman sekelasnya. Catra melangkahkan kaki dan mendekati cewek itu. Matanya tertumbuk pada puisi milik SOS yang ditulis di mading.

Di minggu pertama, di semester kedua ini, SOS sudah mengirimkan tiga puisi sekaligus di email Buletin. Satu di antaranya dimasukkan di mading sekolah.

Pada musim hujan yang masih belia ini.

Aku masih menapaki jalan basahmu.

Bermain bersama kenanganmu.

Pada senja yang makin lampau.

Waktu menuliskan larik-larik kepergianmu.

Mengubah rindu menjadi ngilu.

Rasa sakit ini bukan salahmu.

Barangkali aku yang terlalu perasa.

"Perasa," gumam cewek itu yang nggak menyadari kehadiran Catra.

"Lagi baca puisinya SOS?"

Cewek itu berjengit dan tubuhnya hampir saja menabrak dinding mading.

"So-sori. Nggak maksud ngagetin, Cit."

Citra, nama cewek itu. Citra langsung menundukkan kepala saat matanya mendapati tubuh itu menjulang tinggi di hadapannya. Tanpa menghiraukan bahasa tubuh Citra, Catra bersedekap dan terus memandang mading itu.

"Menurut kamu, SOS itu cewek apa cowok?"

Citra hanya terdiam. Hanya hujan yang mengisi kesunyian itu.

"Aku penasaran sama SOS ini. Kamu tahu nggak siapa dia?" Kini Catra mengalihkan pandangan ke arah Citra. Dahi Catra berkerut saat melihat wajah tertunduk teman sekelasnya ini. Dia mundur beberapa langkah saat menyadari jaraknya begitu dekat. "Sori, aku bikin kamu risi."

Citra masih tetap nggak menjawab. Dia malah balik kanan dan mulai melangkah. Namun, kakinya terhenti ketika berada di ambang koridor. Kepalanya mendongak melihat hujan yang masih belum mereda.

"Tunggu di sini aja sebentar daripada hujan-hujanan."

Entah kenapa perkataan Catra seperti sebuah perintah yang menyuruh Citra untuk segera pergi. Tanpa menghiraukan perkataan itu, Citra memberanikan diri melangkah maju dan menerabas hujan lebat itu.

"Eh ...."

Catra hanya terperangah. Benar-benar nekat sekali cewek bernama Citra itu. Atau ... dia yang cemen? Takut kehujanan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top