Bagian 6 (Re-update)

catatan :

nuo : iya atau ya 



Sesosok tubuh mengambang di permukaan kolam teratai. Saat ini,bunga yang melambangkan kemurnian itu masih belum mekar, semuanya tenggelam dalam kolam lautan akar teratai. Rambut panjanghitam sosok itu mengambang ke permukaan dalam keadaan telungkup. Sepasang tangannya terbentang dengan lengan baju merah selutut memanjang basah, rok merah hati bentuk ekor ikan yang di pakai mayat itu menjalar menuju ujung kolam yang hampir dapat di sebut danau karena luas dan dalamnya.

Mayat itu seputih salju dengan posisi berenang sangat janggal. sepatu kain merahg bata bagian kanannya mengambang di tepi danau sementara pasangan sepatu terebut melekat di kaki perempuan yang semasa hidupnya merupakan selir kesayangan dengan berbagai kemewahan.

Salju bagai membekukan membekukan momen ini. Perempuan cantik itu tak lagi menyahut pekikan para dayang dan kasim yang menyedihkan ini. Orang-orang mulai berkumpul di sekitar kolam, terkejut, berteriak maupun melolong sedih. Beberapa prajurit tengah berenang ke arah mayat tersebut sambil menahan hawa dingin, mereka bekerja sama menaikkan tubuh beku An Shu ke permukaan. Saat mayat itu di putar telentang, tampak wajah berkerut-kerut dengan ekspresi kesakitan mengerikan. Matanya tertutup, alisnya bertaut dalam, bibir pucatnya menggigit membuat semua orang yang melihat terdiam bagai merasakan kesakitan An Shu sesaat sebelum mati.

Di tempat lain. Yun duduk termenung sendirian di depan kursi utama istana Kecermelangan Abadi. Tiada seorang pun berada di istana tersebut. Yun duduk sendirian termenung memikirkan situasi yang datang mendadak tanpa sempat ia pikirkan kemungkinan seperti ini. An Shu mati? Jadi siapa pelaku dari semua kecelakaan yang menimpanya? Benarkah pelakunya An Shu? Yun menyapukan pandangannya ke sekeliling ruang berhias benda-benda langka pemberian berbagai Negara, seperti bunga terumbung karang merah, bunga teratai dari giok bersemu merah, mutiara yang dapat memancarkan wangi harum lavender. Yun mendesah, dirinya patut bersedih di sini. Sebagai seorang permaisuri, Ibu Negara, kediamannya saja tak dapat menandingi setengah kemewahan kediaman seorang selir beranking dua. Mau tak mau Yun mengumpati para nenek moyang Guang dan raja Guang Wei dalam hati. Dasar lelaki mata keranjang maunya yang baru!

Yun mendesah. Sudahlah, tak ada gunanya iri hati pada orang yang telah tiada. Ia beranjak berdiri berniat menghilangkah kegelisahannya. Yun berjalan ke rak pajangan di sudut ruangan. Pandangannya teralihkan saat melewati ruang istirahat. Bukan kemewahan ranjang besar di tengah ruangan yang membuatnya tak dapat mengalihkan tatapannya, melainkan sesuatu yang terjatuh di bawah jendela besar dalam ruangan tersebut. Yun melangkah memungut dengan susah payah kertas diremas tersebut. Alisnya bertaut ketika isi dalam kertas tersebut terlihat jelas di matanya. Kolam? Apa maksudnya ini? Yun tak mengerti, ia menunduk lagi, mengabaikan perut buncitnya yang terlihat. Tidak ada apapun lagi selain ini.

"Jangan-jangan ini adalah surat yang di tulis pembunuh itu..." guman Yun lebih pada dirinya.

Suara langkah kaki memasuki istana membuat Yun tersadar dari lamunannya dan buru-buru memasukkan kertas itu ke dalam saku di balik bajunya. Ia melahkah keluar dari ruangan tersebut. Saat dirinya sampai, raja Guang baru bersiap duduk di tempatnya tadi beristirahat, para pelayan dan kasim sudah berkumpul berlutut di depan Guang Wei. Yun berjalan menuju arah keramaian. Hatinya diremas saat mendekat dan mendapati lelaki yang menjadi suaminya itu terlihat sedih. Mata tajam lelaki itu memerah berkaca-kaca, matanya sedikit basah dan bibirnya terkatup rapat. Betapa kehilangannya Raja Guang atas kepergian wanita kesayangannya. Bagaimana tidak? Lihat saja setiap inchi ruangan ini dipenuhi berbagai barang langka menjadi bukti betapa besarnya kepedulian dan kasih sayang yang dikerahkan Raja pada An Shu.

"Yang Mulia . . . " Yun hanya ingin mengucapkan beberapa kata untuk menghibur Wei, tetapi Raja mengintruksikan dirinya duduk.

Yun mengangguk menyebabkan kunciran perak di sanggulannya berdenting lembut. Ia mematuhi perintah, duduk diam di samping kursi utama. Ia tak akan bertindak tolol seperti perempuan dalam drama berusaha mengucapkan kata-kata menghibur di saat seorang raja tak ingin membicarakan apapun. Raja Guang menatap tumpukan pelayan dan kasim yang berlutut dihadapannya. Ia memukul meja dengan marah, membuat siapa pun dalam ruangan hening ini terlonjak kaget. Begitu pun bayi dalam kandungannya, menendang-nendang perut ibunya tak senang. Yun mengelus-ngelus perut buncitnya. Seolah menyadari aksinya, Raja Guang melemparkan tatapan meminta maaf padanya dan Yun menyambutnya dengan anggukan kecil.

Raja beralih menatap kumpulan pelayan dan Kasim An Shu dengan sapuan dingin. Lelaki itu menghentikan tatapannya pada dua orang dayang dan kasim.

"Kepala Pengurus Sun dan Du, siapa yang bertugas berjaga di depan kamar An furen semalam," raja menatap kedua kepala pengurus itu bergantian.

Tubuh kepala dayang itu bergetar hebat, kasim paruh baya disebelahnnya juga bergetar, namun kasim itu lebih kuat dari pada dayang tersebut, ia bersujud menjawab pertanyaan, "Yang Mulia, malam itu adalah giliran kepala dayang Ma dan kasim kecil bertugas," suara kasim itu bergetar bagai gempa.

Dayang Ma buru bersujud bersamaan dengan seorang kasim muda berwajah pucat sepucat kertas. Mereka melontarkan kata ampun bersamaan. Hal itu malah menambah kemarahan Guang. Rahang lelaki tu mengeras dan matanya menatap tajam bagai melihat dua orang pembunuh. Berkali-kali lelaki itu menarik napas demi mengstabilkan perasaannya. Hal itu entah kenapa membuat otak tak benar Yun mengingat kejadian serupa. Hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Bedanya, dialah yang berada pada posisi kedua orang tersebut, ia di tampar Guang Wei karena An terjatuh dari tangga dan perempuan angkuh itu menuduh Yun adalah pelakunya. Yun tersenyum miris menyaksikan kilasan memori pahit dari perempuan yang tubuhnya ia 'pinjam' sementara.

Hatinya ikut sesak memikirkan seutas kenangan itu. Sungguh menyedihkan perempuan ini, sebelum An Shu memasuki istana, kehidupan rumah tangganya begitu sempurna, ia menerima kasih sayang suaminya yang baginya sangat besar dan bagi 'Yun permaisuri' merupakan segalanya. Tetapi segalanya berubah setelah An Shu masuk ke dalam istana. Sikap suaminya berubah sepenuhnya terhadap perempuan itu. Raja Guang tak lagi berkunjung padanya, terhadap dirinya pun tak pernah lagi bertanya kabar. Lelaki itu mungkin tak tahu, Wan Yun bukan menginginkan barang-barang beharga yang diantarkan orang-orang bagian harta setiap bulan maupun pemberian raja, sebagai anak perempuan dari istri sah perdana menteri, ia sudah terbiasa menyaksikan semua ini. Keinginannya cukup sederhana, ia menginginkan cintanya dibalas lelaki yang menjadi suaminya. Namun lelaki itu sepertinya tak menyadari perasaan istrinya.

Yun menunduk menatap perut buncitnya. Bahkan bayi ini adalah hasil Wan Yun membuat mabuk suaminya dan memaksanya bermalam di kediamnya. Betapa menyedihkannya kehidupan ini. Yun menghembuskan napasnya perlahan-lahan demi menenangkan perasaan tertusuk-tusuk di hatinya. Segalanya sudah berlalu, sikap raja padanya pun telah berubah. Setidaknya inilah yang dapat dilakukannya, memperbaiki semua hal dalam kehidupan perempuan itu, mengembalikan harga diri yang patut di terima Wan Yun dan menjamin bayi di perutnya ini terlahir tanpa rintangan apapun walau harus menyerahkan jawanya sekalipun Yun tak takut. Ia sudah pernah merasakan mati.

"Ampun Paduka! Malam itu majikan An Shu tak keluar dari ruangannya seinchi pun," jawab Dayang Ma hampir menangis.

"Tak keluar?! lantas kenapa tubuh An furen ditemukan di tengah kolam?" suara Guang Wei berubah sengit, "Apa kau bisa jelaskan apa gu apa alasannya," Guang Wei menatap tajam pada dayang Ma.

Tangan dayang Ma bergetar hebat, "Ma . . . Malam itu hamba hanya mendengar suara burung mengepakkan sayap yang samar dan sisanya . . .hamba benar-benar tak tahu Yang Mulia!" dayang Ma membenturkan kepalanya ke lantai kayu dengan keras.

"Tak tahu apapun?! Kau melalaikan tugas dan masih berusaha mencari alasan?!" Raja Guang Wei mengeram marah, "prajurit! Seret kedua pelayan tak becus ini, pukul mati," kata Guang Wei lantang.

Para prajurit bertindak cepat menyeret kedua orang tak bersalah itu menuju pintu luar. Dayang dan kasim menyedihkan itu berteriak-teriak memohon ampun teriakkannya mengingatkan Yun akan suara ayam ketika disembelih. Suara gabungan keduanya memekakan telinga dan bergema nyaring di ruangan besar itu. Yun menelan ludah saat suara-suara teriakkan mengerikan bergaul dengan bunyi pukulan tongkat kayu besar tak beraturan terdengar di dalam ruangan. Yun meremas kedua tangannya berusaha menenangkan diri. betapa kejamnya penguasa zaman dahulu, membayangkan 3 hingga 5 orang prajurit perkasa membawa tongkat sebesar seukuran paha manusia memukul sekuat tenaga sampai mati sudah cukup menimbulkan rasa mualnya dan ia tak dapat berbuat apapun demi menghentikan semua ini. Raja masih di pengaruhi emosinya dan tak dapat berpikir jenih, kalau dirinya memohon keampunan raja mungkin nyawanya dan bayinya pun akan ikut mati bersamanya. Suara mengerikan itu berlangsung beberapa menit mengecil dan sepenuhnya sunyi. Seorang prajurit yang dengan celananya yang terciprat darah datang menghormat.

"Yang Mulia, kedua pelayan itu telah mati," katanya tegas dan maskulin.

Raja guang mengangguk pelan, "Apakah sudah ditemukan sesuatu mengenai kematian An Shu furen?" tanya raja Guang datar.

"Kami menemukan selembar kain emas tipis, surat wasiat An furen yang diselipkan ke atu dekat kolam," prajurit itu mengeluarkan sesuatu dari balik saku lengan bajunya dan diserahkan kepada raja.

Guang Wei membuka gulungan kain tipis tersebut dan membaca isinya. Wajah lelaki itu berubah masam dan matanya berkaca-kaca sedih. Walau disembunyikan tetapi Yun melihat bahunya sedikit bergetar. Entah kenapa pikiran akan lelaki itu bersedih atas kematian wanita lain begitu menyiksa hatinya sampai-sampai lidahnya terasa kelu. Yun mengepalkan tangannya, menahan rasa sakit ini. Ia yakin perasaan itu tak mungkin dimilikinya mengingat hubungan antara dirinya dan Guang Wei baru berlangsung tak berapa lama.

"Wanita bodoh . . . kau  tak perlu mati hanya gara-gara gu tak berkunjung . . . " guman Guang Wei pelan dan sedikit bergetar, "Kasim Mong," panggil Guang Wei dengan suara lelah.

Seorang kasim tua yang sendari tadi berdiri diam di sudut cepat-cepat bergerak ke samping Wei. Baju ungu kelamnya terlihat longgar tak sesuai postur tubuhnya yang kecil. Ia membungkuk hormat pada Wei. Topi bentuk bundar hitamnya diikat kuat-kuat pada dagunya, tangannya yang kurus sawo matang terlihat seperti ranting layu.

"Hamba di sini Yang Mulia," katanya santun.

"Gu ingin acara berkabung An furen diadakan semewah mungkin. Siapkan semua barang terbaik untuknya dan acaranya dilakukan selama 5 hari,"

"Nuo," jawab kasim Meng seraya menunduk, kasim kurus itu berjalan secepat burung terbang ke luar dari gedung.

Raja guang memijit-mijing keningnya, "Kalian semua, pulanglah. gu ingin sendirian di sini," Guang Wei menutup matanya tak ingin melanjut lagi.

Yun berdiri bersamaan dengan para pelayan. Mereka berlutut menyuarakan undur diri secara bersamaan. Yun menatap suaminya yang duduk bersandar lelah itu. Lelaki itu sama sekali tak memandang balik padanya, Yun akhirnya berbalik berjalan melintasi barisan dayang dan kasim dan melangkah lebar melewati gerbang pintu.

To be continue.  . .

Ke part 2

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top