Prolog


Seorang laki-laki berambut gelap duduk di sisi tempat tidurnya. Hening dan senyap tidak pernah pecah dari dua jam yang lalu, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Lampu tidak dinyalakan, pendingin ruangan tidak dihidupkan. Namun di luar hujan, suhu yang rendah di dalam ruangan persegi berukuran sedang itu berkelebat hingga menembus sweater abu-abu yang laki-laki itu kenakan. Namun barang secerca pun, ia tidak merasakan dingin.

Hanya ada suara samar-samar hujan yang beradu dengan tanah, detak jarum jam dinding di tepi ruangan, bunyi petikan senar gitar yang laki-laki itu mainkan sebait-bait, atau suara gelas keramik berisi kopi hitam yang beradu dengan rak meja kaca setiap kali laki-laki itu meraih gelas untuk ia sesap perlahan.

Laki-laki itu menghela napas pelan. Rambutnya berantakan, lingkaran hitam di bawah matanya menandakan setumpuk pertanyaan dan pikiran di kepalanya yang belum menemukan jawaban, menandakan jam tidurnya yang kacau.

Semuanya sama, keadaannya sama, atmosfirnya sama, semuanya sama seperti sebelum ia memulai perjalanan itu. Ia telah kembali di tempat semula. Ia telah pulang.

Namun ada satu hal yang berbeda. Tidak sama seperti hari-hari sebelumnya, hening tidak lagi membuat laki-laki itu tenang.

Ia menumpukan kedua siku tangannya di atas paha, membungkuk hingga wajahnya tenggelam di kedua telapak tangannya.

Seisi kamar yang biasanya rapi itu kini berantakan. Tempat sampah di ujung ruangan penuh dengan remasan kertas putih, buku-buku tebal di atas meja kayu hanya terbuka di tengah lembaran tanpa dibalik hingga penghujung halaman, koper hitam di pojok ruangan terbuka dengan isi yang berhamburan begitu saja.

Hanya dengan satu kali lihat, semua orang bisa menebak bahwa laki-laki yang masih terdiam itu sedang dalam keadaan yang kacau.

Tiba-tiba bunyi bel pintu memecahkan keheningan. Perlahan, laki-laki itu mengangkat kepalanya, menatap kosong ke lantai keramik hingga bunyi dentuman bel yang kedua membuatnya berdiri perlahan.

Ia melangkah ke arah pintu. Begitu laki-laki itu telah berdiri di depannya, ia meraih gagangnya hingga teras rumahnya terlihat.

Di luar sepi, tidak ada orang. Suasananya remang-remang, lampu jalanan di sudut pembelokan adalah satu-satunya penerangan malam itu. Namun di tengah cahaya yang redup, ia mendapati seorang pria paruh baya yang mengayuh sepeda hingga tak terlihat karena berbelok di ujung jalan. Ia lihat, pria itu mengenakan seragam khas kurir lama yang selalu melayani di sekitar daerah kompleksnya.

Laki-laki itu menunduk, matanya terarah pada sebuah kotak berbungkus kertas cokelat tua yang dililit plester tergeletak di depan telapak kakinya.

Ia menautkan alis, lalu membungkuk dan meraih kotak itu.

 Gama menggoyangkan kotak cokelat itu tepat di sebelah daun telinga kirinya. tidak berat, lumayan ringan.

Laki-laki itu pun kembali menutup pintunya, melangkah ke kamarnya sambil membawa kotak itu di tangan.

Ia membuka plester di sekujur benda itu, menyebabkan suara khas robekan kertas, membiarkan setiap carikan berwarna cokelat tua itu berjatuhan di lantai.

Lalu sesuatu menangkap mata cowok itu begitu separuh dari bungkusannya terlepas. Benda itu berwarna merah tua, merah tua yang samgat ia kenal.

"Gama lo suka warna apa?" tanya perempuan itu antusias.

Mata Gama melebar.

Dengan cepat ia berjalan ke arah jendela lalu mengibas gorden hingga cahaya lampu jalan menyelusup masuk ke dalam kamarnya. Dengan gerakan tangan yang cepat dan sigap, ia buru-buru merobek sisa bungkus kertas itu hingga menyisakan sebuah benda berwarna merah tua.

Gama terhenyak, tangannya tiba-tiba kaku. Benaknya serasa mencelus.

Benda itu. Benda yang sangat dikenalinya.

Jurnal merah tua.

-

"Gama jurnalnya bagus-bagus, lihat!" seru Mayla, setengah badannya sampai menyelusup dari jendela caravan demi melihat tumpukan jurnal warna-warni di depannya.

Gama mendengus, laki-laki itu hanya menatap ke jalanan beraspal pudar di depannya sambil membayangkan betapa lamanya ia akan duduk dan menyetir dengan posisi yang sama. Membayangkan itu, Gama meringis. "Cepat pilih, jangan buang-buang waktu."

"Gama lo suka warna apa?" tanya perempuan itu antusias.

Gama tidak menjawab, laki-laki itu lagi-lagi hanya mendengus pelan.

"Es batu, lo tuli?" Gama menggertakkan gigi kesal sambil memejamkan matanya sebentar begitu Mayla memanggilnya dengan julukan itu lagi. "Lo suka warna apa? gue harus ambil yang mana?"

"Terserah," jawabnya singkat.

"Cih." Mayla mendecih, melirik sinis Gama sesaat sebelum kembali sibuk dengan berbagai pilihan warna jurnal di depannya.

Sembari Mayla sibuk dengan obrolannya Bersama wanita tua asing penjual jurnal, tanpa sadar, Gama mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya. Ia menoleh, memperhatikan Mayla dan ekspresi wajahnya yang tidak pernah berhenti menyengir, atau matanya yang menyipit setiap kali ia tertawa.

Tiba-tiba Mayla langsung menarik separuh badannya dari jendela lalu duduk bersandar di jok mobil sembari memegang sebuah jurnal di tangan. Gestur tiba-tiba Mayla itu membuat Gama terkejut, dengan sigap ia kembali menoleh ke depan, menatap jalanan lagi sembari berdeham.

Tanpa bertanya lagi, Gama langsung saja menginjak pedal gas hingga caravan tua yang mereka naiki kembali berjalan, menyusuri jalan beraspal pudar yang terlihat sangat panjang dan kering bagi Gama.

Sementara Mayla melambaikan tangan kepada wanita tua tadi sambil berteriak dengan Bahasa inggris yang belepotan, Gama melirik kea rah jurnal berwarna merah tua yang kini tergeletak di atas dashboard.

"Kenapa merah tua?" tanya Gama spontan, bahkan dirinya sendiri terkejut dengan isi kepalanya yang tiba-tiba keluar menjadi ucapan pelan.

"Hm?" Mayla kembali duduk bersandar di jok mobil sembari menoleh kea rah Gama yang sibuk dengan kemudinya, tidak menatap Mayla sama sekali. "Pertanyaan yang bagus," respon Mayla.

"Karena lo itu seperti merah tua," ucap Mayla sederhana.

Mendengar itu, Gama mengernyitkan alis.

"Kalau Gama dari yang aku tahu itu terang, seperti merah biasa pada umumnya. tapi selalu berdiri di balik hitam, sembunyi di belakang situ sampai menjadi kebiasaan," jeda. "Jadi Gama, sampai kapan kau mau berada di situ?"

Gama terpaku, walau wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, dalam hati ia sama sekali tidak pernah meyangka akan mendengar jawaban seperti itu dari Mayla yang sepenilaiannya tidak pernah bicara serius.

Tanpa sadar, ujung bibir laki-laki itu naik membentuk senyum kecil.

Tanpa tahu, sedari tadi Mayla menoleh melihatnya, menunggu reaksi balasan dari Gama.

"Oh!" Mayla tiba-tiba memekik, membuat Gama menoleh ke arahnya sepersekian detik. "Lo senyum?"

Mendengar itu Gama seperti tersedak air liurnya sendiri, ia pun berdeham, kembali fokus pada kemudi mobil di depannya.

"Eh tadi gue gak salah lihat kan?" ucap Mayla antusias. "Es batu lo bisa senyum juga ternyata!" seru Mayla. Ia mulai menggoyangkan lengan Gama.

Lagi-lagi gestur tiba-tiba Mayla membuat Gama terkesiap, kemudi mobil pun bergoyang searah dengan tarikan lengan Mayla. "Eh lepas bego gue gak liat jalan!" Namun Mayla semakin menarik lengannya sambil memekikkan kata-kata yang tidak lagi ia dengar.

Mobil pun bergerak tidak mulus, roda ban membelok ke kiri lalu ke kanan membentuk pola zig-zag hingga membuat Gama mual. Jantungnya serasa hampir terjatuh ke bawah begitu begitu mobil tua itu berjalan miring dan melaju menuju pembatas jalan di sebelah kanan yang berarti gawat pangkat dua karena demi apa pun itu mereka sedang berada di dataran tinggi.

Mayla yang sadar akan kegawatan itu sebenarnya sudah sedari tadi berhenti bergelayut di lengan Gama.

Namun mungkin ini dosa mereka kepada pemilik rental mobil karena telah membawa pergi caravan itu selama tiga hari dari waktu pengembaliannya.

Karena entah kenapa Gama tidak bisa membelokkan kemudi mobil di depannya, seperti macet dan tersangkut sesuatu padahal sekarang arah mereka miring, melihat itu, Mayla ikut membantu menarik kemudi tersebut sebelum mereka terjun ke bawah dan mati menyedihkan di negara orang sebagai warga asing yang tidak jelas asal-usulnya.

Karena panik, dengan bodohnya Gama lupa bahwa di dekat pedal gas ada pedal rem. Maka Mayla yang menginjakkan pedal itu untuk Gama berhubung saat itu ia sedang ingat.

Bersamaan dengan itu kemudi mobil akhirnya bisa ditarik hingga ban mobil kembali berbelok kencang, tidak selaras dengan pedal rem yang diinjak kaki Mayla. Alhasil terdengar bunyi yang memilukan telinga antara roda caravan dengan aspal jalanan.

Mobil pun akhirnya berhenti terpaksa, membuat Gama dan Mayla terpelanting ke depan.

"Aduh," Mayla meringis memegangi ujung dahinya.

Gama yang ada di sampingnya menunjukkan reaksi yang tidak jauh beda, laki-laki berkaus hitam itu juga meringis menahan sakit di rahangnya karena terbentur kemudi caravan.

Setelah selesai meringis dan kembali memijak tanah, dengan gestur pelan, Gama menoleh kea rah Mayla sambil enatap cewek itu tajam.

Merasakan itu Mayla tiba-tiba merasa atmosfir di sekitarnya berubah menjadi tegang dan meyeramkan. Ia menelan ludah gugup. Sambil menjilat bibir, ia menengadah ke atas menatap langit-langit caravan, lalu menunduk menatap sepatunya. Begitu terus sampai diulang-ulang yang penting matanya tidak bertemu dengan mata Gama.

"Lo gila?!" Gama berseru, dari semua kata makian dalam Bahasa Indonesia, dua kata itu adalah yang pertama keluar dari mulut Gama. Cowok itu menggertakkan gigi sambil memejamkan mata, gestur yang sudah Mayla hafal mati karena dalam dua hari ini ia selalu menjadi penyebabnya . Mayla meringis, mempersiapkan diri untuk kalimat selanjutnya. "Tadi itu kita hampir mati! Memangnya kenapa juga lo narik-narik lengan gue padahl gue lagi nyetir?! Lo gak liat kita sekarang ada di dataran tinggi?! Kalau bukan karena kemudi tadi bisa dibelokkan di detik-detik terakhir, mungkin kita berdua sudah mati di dasar jurang!"

Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah Mayla dengar dari Gama selama dua hari duduk bersebelahan dengannya.

Gama sendiri juga terkejut bisa merangkai kalimat sepanjang itu dalam satu kali tarikan nafas. Mayla benar-benar sesuatu.

"Tapi setidaknya gue nginjak pedal rem?" ucap Mayla dengan suara kecil yang hampir mirip cicitan, tersenyum canggung kea rah Gama.

Melihat reaksi balasan Gama yang hanya menatapnya tajam membuat Mayla bingung. Perempuan berbadan kecil itu pun mengulum bibir bawahnya sambil meraih jurnal merah tua yang terjatuh dari dashboard.

Gama menghela napas. Dengan hati-hati ia pun menginjak pedal gas hingga caravan kembali berjalan normal.

"Gama lo punya pensil gak?" tanya Mayla ketika ia pikir kepala Gama sudah mendingin.

"Di saku jok," jawabnya singkat dan datar.

Mayla pun merogoh ke belakang, berusaha mencari benda yang dimaksud Gama. Benar saja, ia menemukan sebuah pensil berwarna kuning terang.

"Warnanya ngejreng bat," komentar Mayla spontan.

"Yasudah, simpan kembali," ucap Gama.

Mendengar itu Mayla mencibir kea rah cowok di sebelahnya, yang hanya dibalas dengan decakan kesal bahkan tanpa dilirik sama sekali.

Tak lama setelah itu suara goresan pensil yang beradu dengan lembaran kertas terdengar. Lagi-lagi tanpa sadar, Gama melirik kea rah Mayla sebentar.

TUK.

Pensil kuning terang yang tadi Mayla pegang terjatuh ke bawah, membuat ia menunduk mencari benda itu. Melihatnya, Gama hanya bisa mendecak sambil samar-samar menggelengkan kepalanya.

-

TUK.

Sebuah benda terjatuh menimbulkan suara kecil yang kontras dengan heningnya kamar Gama. Laki-laki itu menunduk, mendapati sebuah pensil berwarna kuning terang tergeletak di dekat telapak kakinya.

Gama menunduk meraih benda kecil itu, menatap setiap detailnya dengan pandangan kosong.

-

"Gam, Gam, berhenti sebentar gue pusing," aduh Mayla di tengah jalan. "Kayaknya gue mau muntah, serius."

Mendengar itu Gama meringis lalu memberhentikan mobil. "Jangan muntah di sini."

Mendengar ucapan Gama yang sama sekali tidak ada unsur pedulinya membuat Mayla mendecih sebelum membuka pintu mobil dan berjongkok di pinggir ilalang. Mengeluarkan rasa asam yang perih di pangkal lehernya.

Melihat itu lagi-lagi Gama tidak sengaja menoleh, berusaha melihat kondisi perempuan itu.

Namun lagi-lagi dengan gestur yang cepat seperti biasa, Mayla bediri dan kembali masuk ke dalam caravan dengan wajah seperti kehabisan nafas. Membuat Gama menoleh ke depan lagi dengan cepat sambil berdeham.

Sebelum menyalakan mobil, Gama meraih ke belakang lalu melempar botol air mineral kea rah Mayla namun meleset dan menghantam pinggir wajah cewek itu.

"Aduh!" ringisnya. "Ikhlas sedikit kek," gerutu Mayla sebelum memutar tutup botol dan meneguk isinya hingga tandas.

Begitu ia lihat Mayla telah selesai, Gama mulai menginjak pedal gas. Hingga caravan kembali bergerak, namun kali ini lebih pelan.

Ketika Mayla kembali ingin meraih jurnal merah tua di atas dashboard dengan pensil kuning terang di tengahnya, Gama mendecak hingga membuat tangan Mayla berhenti di udara.

"Jangan menulis, itu yang buat lo pusing," ucap Gama spontan. Namun setelahnya, Gama menambahkan. "Nanti kalua lo muntah, gue repot."

"Ish." Mayla menatap Gama kesal. "Yang penting bukan gue yang repot, tidak masalah." Mayla kembali meraih jurnal dan pensil, menulis lagi.

Gama mendecak. "Memangnya itu apa? kurang kerjaan sekali menulis jurnal di saat-saat seperti ini!" gerutu Gama.

"Rahasia," ucap Mayla singkat sambil nyengir. "Kalau nanti kita sudah kembali ke Jakarta, gue mau ngasih jurnal ini ke seseorang."

"Ke siapa?" tanya Gama.

"Rahasia." Dengan satu jawaban itu, Mayla kembali menulis.

-

Jurnal merah tua itu kini ia pegang di tangannya.

Getir di pangkal tenggorokan Gama berusaha ia telan bulat-bulat. Benaknya sedikit sesak.

Jari-jari Gama mengusap sampul jurnal itu, masih dengan pikiran yang kacau, ia membuka halaman pertama. Sebuah kertas note kecil berwana putih yang terselip di halaman pertama menangkap perhatian Gama. Dengan cepat, ia membungkuk dan memungut secarik kertas itu.

Goresan pensil membentuk tulisan tangan yang rapi tertera di atas kertas kecil itu.

Untuk orang yang pernah duduk di sebelahku 7 hari 7 malam di depan kemudi caravan.

Untuk orang yang kesulitan merangkai kalimat setiap kali ingin mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan benaknya sendiri.

Untuk orang yang kujuluki es batu walau kutau dia tidak sedingin itu.

Hari itu kau pernah bertanya kan, Gama? Jurnal ini untuk siapa. Kau juga pernah bilang, apa yang kutulis di dalamnya hingga ujung pensil kuning terang milikmu itu beberapa kali patah.

Ketika kau membaca ini, mungkin sekarang kau telah pulang, mungkin sekarang kau telah kembali. Dan aku minta maaf karena tidak melakukan hal yang sama.

Bahkan ketika kembali pun, Jakarta tidak terasa berbeda dengan Dallas. Bahkan ketika pulang pun, aku tidak seperti berada di rumah. Tapi tidak apa, ingat kan? Aku ini Mayla. Tersesat sampai antartika pun aku masih mampu berkawan dengan penguin.

Sebenarnya aku iri padamu. Sudah lama aku ingin mengatakannya. Jangan sia -siakan upayamu menyetir lambat ketika aku mabuk darat, atau upayamu menyetir ugal-ugalan ketika kita dikejar oleh mobil bersiren merah di belakang kita, jangan takut setiap kali teringat dengan minimarket berhantu di pinggir jalan yang remang-remang, jangan benci pria tua yang pernah mencuri semua uang yang kita dapatkan, jangan lupa dengan perjalanan dan setiap peristiwa yang pernah kau alami.

Aku hanya ingin berterimakasih karena telah mengantarku kembali walau aku belum menemukan tempat yang layak untuk pulang.

Sekali lagi kau pernah bertanya kan, Gama? Jurnal ini untuk siapa.

Kau tidak perlu lagi mencari tahu.

Karena Gama, dari awal, jurnal ini memang untukmu.

Dari Mayla, perempuan yang rindu caravan biru muda dan orang yang pernah mengemudikannya

-

Tenggorokan Gama rasanya tercekat. Begitu secarik kertas itu telah ia baca sampai ke penghujung paragraf, lagi-lagi Gama merasakan getir.

Dengan tangan yang mendadak lemas, laki-laki dengan wajah lelah dan rambut yang berantakan itu membalik halaman pertama dari jurnal merah tua yang ia genggam.

Dallas, Selasa, 26 Juli 2017 ....

Lalu setiap menit dari perjalanan yang telah selesai itu kembali terangkai di dalam pikirannya.

                                                                                                   ***

a/n

      Cerita kedua! Jadi setelah satu tahun lebih tidak muncul, saya memutuskan untuk kembali menulis dan menjadikan stranger passanger naskah pertama untuk memulai kembali!:)

       sebenarnya saya mau bikin chapter credits sebelum prolog, tapi gak jadi karena terlalu ribet dan mutusin untuk menuliskan semuanya di author's note ini jadi tidak heran kalau a/n ini lebih panjang dari prolognya:v but feel free to skip this if you want

       A little fact about stranger passenger, jadi beberapa waktu lalu sekolah saya ngadain semacam teater, bisa disebut kompetisi karena punya rank, dan semua kelas dalam satu angkatan wajib mementaskan teater mereka sendiri-sendiri. Persiapannya juga total kayak pentas beneran. aula dibungkus sana-sini supaya gelap total, dan bahkan pakai lighting yang kompleks dan gak ngasal. Nah ajang ini termasuk serius dan semua kelas latihan berhari-hari selama 4 bulan demi ini.  Dan kelas X Mipa 2 alias kelas saya nunjuk saya jadi penulis naskahnya. awalnya saya bingung, sempat mau ambil cerita rakyat saja. tapi salah satu teman saya bilang kenapa gak pakai naskah wattpad saya saja, nah saya tidak habis pikir. awalnya kelas saya benar-benar stuck cuman karena saya telat mutusin ide apa. guru seni yang nugasin teater di sekolah saya jadi gemes dan akhirnya saya berakhir bacain ide stranger passenger ke depan kelas and guess what naskah ini akhirnya fix jadi naskah teater. saya pun tidak jadi nge-upload cerita ini di wattpad. walau sempat misuh-misuh, ternyata semua keputusan saya terbayarkan berkat teman-teman kelas yang benar-benar berjuang untuk hari pementasan! big thanks! caravan di buat sampai kemaleman, kamar gama dan mayla jadi berkat gergaji dan kayu-kayu yang sama-sama kami bawa pake motor, shooting trailer sampai pergi ke area yang entah apa namanya, ilalang bahkan dicabut beneran dari padang samping jalan tol walau diliatin banyak orang. semuanya berkesan dan saya seneng teaternya sesuai harapan, untuk itu saya memutuskan untuk kembali ke wattpad dan mendedikasikan cerita ini untuk mereka! 

ini beberapa cover Stranger Passenger versi teater:

  Untuk semua readers yang mungkin datang dari Sketcher's Secret di sebelah, atau yang kebetulan menemukan cerita ini nangkring di beranda akunnya, saya ucapkan terima kasih karena sudah mampir! semoga prolog ini mampu membuat kalian ikut ke dalam perjalanan Gama dan Mayla sampai epilog!

(p.s untuk trailer teater stranger passenger kalian bisa cek mulmed di atas dan untuk semua behind the scene dan cerita-cerita dibaliknya, kalian bisa cek ig @dienceux!)

Regards,

copyright 2018, stranger passenger by Lychadiva


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top