14 / Nam Hyemin Side
Seoul, 5 Oktober 2016
Seorang siswi SMP tahun pertama yang memiliki rambut pendek, sedang berjalan santai melewati lorong kelasnya. Ia menundukkan kepalanya, menghindari tatapan mengejek dari teman-teman sekolahnya.
"Hei, lihatlah! Bukankah dia perempuan desa itu?" celetuk seseorang.
"Dan yang paling mengejutkan juga dia tidak memiliki ibu." Tawa semua orang yang di sana pun semakin pecah.
"Ugh, kasihan sekali tidak punya ibu, pasti dia selalu merepotkan ayahnya."
"Sial, aku benci ini," gumam siswi itu.
Brukk
"Oh maafkan aku," ucapnya memohon.
Siswi itu tertabrak oleh seseorang. Salahkan saja ia yang sedari tadi berjalan serambi menunduk.
"Kau tak apa? Ayo berdiri!" pinta orang yang tadi ditabrak siswi itu.
"Ewh, kenapa kau memegangnya?" celetuk salah satu siswa dari kejauhan.
"Memangnya kenapa?" ucap orang yang membanti siswi yang menabraknya serambi menaikkan salah satu alisnya.
"Sudahlah, Min Yoongi memang seperti itu."
Tangan Yoongi terulur untuk membantu siswi itu berdiri. Siswi itu merapikan barang-barangnya yang berantakan, setelah itu akan bergegas pergi dari sana.
"Kau Hyemin, kan?" tanya Yoongi tiba-tiba.
Siswi itu menoleh pada Yoongi. Lelaki itu mengekorinya dari belakang.
"Iya, memangnya kenapa?"
"Ah tak apa..."
Hyemin melanjutkan jalannya, tak memperdulikan Yoongi yang sedari tadi melihatnya.
"Eh tunggu!" pekik Yoongi.
Langkah Hyemin terhenti. Ia menatap Yoongi yang berjalan dengan cepat ke arahnya.
"Mari berteman, kudengar kau tak memiliki teman di sini," ujar Yoongi dengan senyum gummy-nya.
Hyemin menatap Yoongi dengan kebingungan. Ia menjadi was-was.
Selama ia bersekolah di sini, tak ada satu pun yang mau berteman dengannya. Perempuan itu terkejut mendengar perkataan Yoongi yang ingin berteman dengannya, bukankah aneh?
Yoongi itu siswa keren di sekolahnya. Tampan, pintar, kaya, dan paket komplit untuknya. Sedangkan Hyemin, ia hanya siswi pindahan yang biasa-biasa saja. Tak ada yang menarik dari dirinya di sekolah itu.
"Kau bercanda? Jangan membuang-buang waktuku."
Yoongi menghela napasnya. "Apakah aku terlihat seperti sedang bercanda? Ayolah kita berteman!"
"Aku tidak percaya denganmu. Bisa saja kau se-kelompok dengan yang lain untuk mencaci makiku."
"Jadi selama ini kau selalu dicaci-maki dengan mereka? Hah, ini tidak bisa dibiarkan." Yoongi menggeleng tidak percaya.
Hyemin kebingungan. Yoongi, siswa asing itu membuatnya kebingungan.
"Kenapa kau sangat khawatir?" tanya Hyemin.
"Tentu saja aku khawatir, kau kan temanku," jawab Yoongi.
"H–huh? Aku bukan–"
Yoongi menarik tangan Hyemin sebelum perempuan itu menyelesaikan perkataanya.
"Kau cerewet sekali. Sepertinya kita harus bergegas pergi ke kelas jika tak ingin mendapat hukuman."
⟭⟬
"Aku tadi menyuruhmu untuk membeli roti dengan selai nanas? Bagaimana bisa kau beli roti tawar? "
Suaranya menggelegar dipenjuru lorong kantin. Semua menatap iba pada seorang gadis yang tengah dijambak oleh sekumpulan pelajar populer. Tetapi, tidak ada sama sekali yang berniat untuk membantu gadis itu.
"Roti tawar? Dasar bodoh. Kau ingin aku mati tersedak makan roti tanpa selai, kan?!"
"Tulis dikeningmu bahwa kau idiot jika kau sebodoh ini."
Tangannya mencari sebuah spidol hitam yang ada di saku seragamnya.
"Pegang dia! Aku bantu tulis kalau begitu."
Gadis itu menyuruh teman-temannya untuk menahan Hyemin yang sedang meronta-ronta untuk dilepaskan.
"Lepaskan!" pekik Hyemin.
"Aku bilang diam!" balas seorang gadis yang ada di hadapan Hyemin.
Mata Hyemin memanas. Ia tidak bisa menahan rasa sakit di punggungnya karena sedari tadi ia di dorong ke dinding terus-menerus. Dan ia juga malu, semua orang yang berlalu lalang menatapnya aneh tanpa ingin berniat membantunya.
"Orang lain harus tahu juga kalau kau itu idiot."
Masih dengan tangan yang mencoret-coret kening Hyemin. Gadis itu tertawa sinis melihat Hyemin yang mulai mengeluarkan air matanya.
"Hei diam! Kalau tidak, akan aku beri tahu pada pacarku," ancam gadis itu. Lalu, berlalu pergi bersama temannya setelah merasa puas melakukan hal jahat pada Hyemin.
⟭⟬
"Hentikan!" Suara yang parau itu menggelegar dipenjuru gang sempit.
"K–kalian, kenapa melakukan ini padaku?" tanyanya dengan mata yang memerah.
"Entahlah, aku hanya ingin melihat seseorang yang tanpa ibu ini menderita," ucapnya serambi diiringi tawa.
"Hyemin..."
Hyemin mendongak. Matanya menatap benci pada teman-teman sekolahnya itu.
"Asal kau tahu, kau ini tidak layak di sini dan ini bukan tempat orang miskin sepertimu."
Tangan Hyemin terkepal dengan erat. "Memangnya kau di sini menjadi seorang pemimpin? Tidak, kan?!"
Bugh
Salah satu siswi berambut panjang memukul punggung Hyemin menggunakan balok kayu.
"Berani sekali kau padaku!" murkanya dan menjambak rambur Hyemin.
Hyemin mengaduh kesakitan dan memohon untuk dilepaskan. "Berhenti, jangan sakiti aku."
"Huft, tanganku telah ternodai. Sebaiknya kita kembali, ayo pergi!"
Semua teman sekolah Hyemin yang baru saja merundungnya pergi dari sana dan meninggalkan Hyemin yang telah terkapar lemah serambi menangis kencang.
"Apa aku harus selalu bersembunyi sendiri seperti ini?" gumam Hyemin dan masih menintikkan air matanya.
"Tidak, seseorang akan datang untuk melindungimu."
Hyemin menoleh ke belakang mencari sumber suara. Ada seorang nenek-nenek berjalan mendekatinya. Lalu membantu Hyemin untuk berdiri.
"Berdirilah, jangan menjadi orang yang menyedihkan seperti ini," ucap nenek itu.
"Terima kasih," ucap Hyemin. Gadis SMP itu masih setia dengan tangisannya.
"Sampai saat itu tiba, kamu harus hidup dan berani. Karena takdir orang itu adalah melindungimu."
Nenek itu mengusap puncak kepala Hyemin dengan sayang. "Tak apa, jangan bersedih seperti ini. Ada waktunya kau akan menjadi wanita yang kuat."
"Terima kasih, maafkan aku...," lirih Hyemin yang masih menangis.
"Sudah jangan menangis, sana pulanglah! Orang tuamu nanti akan mencarimu jika pulang larut," ucap nenek itu dan pergi meninggalkan Hyemin yang terdiam di tempatnya.
Hyemin berjalan gontai, ia menatap nanar pada jam tangannya yang sudah retak karena ulah teman sekolahnya tadi. Padahal itu hadiah dari ayahnya minggu lalu saat ia memenangkan lomba tari tingkat SMP di Universitas Seni Seoul.
"Maaf, aku tak bisa menjaga benda ini dengan baik..."
⟭⟬
Seoul, 09 Mei 2018
Hyemin POV
Sejak tahun pertama SMP aku mulai berteman, ralat maksudku bersahabat dengan Yoongi.
Beberapa minggu lagi, aku akan lulus SMP. Setelah banyak hari melelahkan yang telah kujalani akhirnya bisa keluar dari penjara ini.
Saat ini, aku sedang duduk santai di taman kota. Ada Yoongi di sampingku, lelaki itu sedang meminum yogurt susunya.
"Setelah ini kau ingin lanjut bersekolah di mana?" tanyaku serambi menikmati sejuknya angin yang berhembusan.
"Hei, sepertinya kita harus satu sekolah lagi nanti." Bukannya menjawab, Yoongi malah mengucapkan hal lain.
"Tck, aku malas denganmu terus."
"Jadi, kau sekarang malas setelah berteman denganku selama tiga tahun?"
Yoongi merajuk, ia mempoutkan bibirnya dengan imut. Hal itu seketika membuatku gemas sendiri.
Yoongi itu tipe lelaki yang cool di sekolahnya. Ia juga terkenal sebagai siswa dingin yang tampan. Tetapi jika Yoongi sudah bersamaku, harga diri lelaki itu entah telah pergi ke mana. Aku bahkan sangat heran sekali dengannya.
"Aku hanya bercanda, kau ini sensi sekali."
"Akan aku ramal kita nanti satu sekolah lagi," ucapnya dan terkekeh kecil.
"Terserah kau saja. Aku akan pulang!" seruku dan beranjak pergi dari sana. Lama-lama telingaku akan pengang jika terus-menerus mendengar celotehan unfaedah dari Yoongi.
"Yak! Tunggu aku!"
⟭⟬
Cklekk
Pintu rumahku terbuka. Aku menoleh sedikit ke arah pintu dan mendapati ayahku yang baru saja pulang kerja.
"Ayah, ini sudah malam sekali. Mengapa baru pulang?" tanyaku dan membantu mebereskan barang-barangnya.
"Pekerjaanku berat, Hye. Jadi, Ayah harus pulang larut."
"Seharusnya kau tak menunggu Ayah pulang seperti ini, bukankah kau besok sekolah?" tanya ayah dengan lesu.
Dia tampak kelelahan. Aku pun memberikannya segelas air minum padanya.
"Tapi aku khawatir dengan Ayah," kataku dengan lirih.
"Tak apa, jangan pedulikan Ayah. Kau harus fokus sekolah dan Ayah fokus mencari nafkah untuk masa depanmu."
"Sebentar lagi kau juga akan masuk SMA, jadi bersemangatlah!"
Dia tersenyum. Oh tidak, jangan tersenyum seperti itu. Hal itu malah membuatku semakin merasa bersalah.
"Sekarang tidurlah," pintanya, lalu berlalu pergi kamarnya.
Aku menatap pintu kamar ayah yang telah tertutup rapat. Tanpa sadar, aku menintikkan air mataku.
Ingin sekali rasanya menceritakan semua yang aku alami saat ini pada ayah. Tapi aku bisa apa? Aku merasa, aku dan ayah tidak sedekat yang aku bayangkan.
Aku hanya bisa mengadu pada Yoongi, tapi bukankah lebih melegakan jika mengadu pada keluarga sendiri?
Orang yang setiap hari selalu berada di sekitarku, lalu mulai bangun tidur di pagi hari hingga hendak tidur di malam haruli, ya... keluarga kita. Orang yang selama ini aku anggap sebagai tempat terakhir untuk mengadu, ternyata mereka tak sedekat yang aku pikirkan.
⟭⟬
Yang kumiliki saat ini adalah hanyalah ayah dan Min Yoongi. Tak ada yang lain.
Ayahku selalu pulang malam, maka dari itu aku selalu sendiri di rumah setelah pulang dari sekolah. Aku tidak tahu pekerjaan apa yang membuat ayah menjadi sering pulang larut malam, ia tak mau memberitahukanku apa pekerjaan-nya.
Hari-hariku penuh dengan seseorang yang bernama Min Yoongi. Lelaki itu selalu mewarnai hidupku yang sangat gelap ini. Dia berhasil membantuku melawan rasa negatif yang selama ini paling kubenci.
Tetapi, saat mulai masuk tahun ke-tiga SMP. Hari-hari yang kulewati seperti tidak ada artinya. Aku selalu mengumpat karena semuanya terasa menjengkelkan.
"Dunia memang kejam dan menjengkelkan, tapi aku bisa apa?"
"Aku hanya bisa berjuang sampai akhir hayat."
Aku merasa, aku mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan dunia ini. Aku mencoba dengan keras untuk tidak terganggu dengan semua hal, tetapi aku terus gagal dan membodohi diriku sendiri.
Seperti saat ini, aku dirundung lagi oleh teman sekolahku. Lagi.
"Hei, perempuan tanpa ibu!"
Muak, itu adalah kata yang menggambarkan diriku sekarang. Kata 'tanpa ibu' itu membuatku geram, se-hina itukah diriku bagi mereka?
Mereka mengatakan itu dengan seenak hatinya tanpa mengerti perasaanku yang telah hancur berkeping-keping.
"Aku sangat lelah dengan hidup ini."
Aku merasa seperti tidak berguna. Aku merasa seperti tidak punya teman. Aku merasa tidak cukup baik untuk siapa pun dan aku tidak pernah bisa bahagia seperti yang lain.
Ibu, di mana wanita itu? Apakah dia tidak merindukan putrinya ini. Apakah dia akan sedih jika melihat putrinya hidup seperti ini? Sepertinya tidak, dia bahkan tidak pernah menemuiku selama bertahun-tahun.
"Aku ingin menangis, tapi bagaimana caranya?" gumamku. Tatapanku semakin sendu menatap jalan raya kota Seoul yang ramai.
Semuanya terasa melelahkan, ingin rasanya beristirahat dengan tenang. Tetapi sepertinya itu akan menyulitkan bagiku.
"Bukankah itu melelahkan?" tanyaku pada diriku sendiri.
"Ya, ini melelahkan. Tapi aku harus terus maju untuk orang-orang yang membutuhkanku. Tidak mungkin jika hanya untuk diriku sendiri saja."
Walaupun sesuatu yang aku lakukan terasa sangat melelahkan, tapi aku merasa harus tetap untuk melakukannya. Entah itu karena memang ditujukan untuk orang lain atau mungkin sebenarnya ditujukan untuk diriku sendiri.
Lagi pula, di dunia ini tidak ada yang tidak melelahkan kecuali bernapas dan berdoa.
Aku merasa cemas. Semua orang sedang berjalan ke tujuan mereka masing-masing.
"Tapi, aku masih belum tahu, ke mana tujuanku?"
Pikiran burukku seketika menghilang setelah mendengar berita yang membuatku sangat bahagia. Padahal itu hanya berita kecil, tapi sangat membuatku sangat bersyukur.
"Hyemin, kita diterima di SMA seni!" pekik Yoongi dengan kegirangan.
Bukankah aku akan mulai dewasa? Aku akan duduk di bangku SMA!
Aku harus yakin, aku pasti bisa membahagiakan ayahku. Aku tidak ingin selalu merepotkannya, seharusnya sejak dulu aku telah menjadi anak yang berguna untuknya.
Tidak ada lagi Hyemin yang lemah dan menyedihkan. Aku akan tidak lagi memperdulikan lingkungan yang selalu membenciku. Setelah ini, aku harus menjadi kuat dan membuat ayah bangga.
Tapi, mungkin saja nanti saat aku duduk di bangku SMA realitanya tidak sesuai dengan ekspetasiku yang sekarang. Ah, semoga itu tidak terjadi.
"Halo sekolah baru, teman baru, suasana baru, dan semuanya! Aku datang, semoga tidak mengecewakanku."
Aku berjalan beriringan dengan Yoongi memasuki gerbang sekolah yang bagiku masih sangat asing. Kisahku yang sesungguhnya baru saja dimulai saat ini.
TBC ⟭⟬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top