[M] Chapter 20: Bitter Truth

WARNING

Mulai dari chapter ini dan beberapa chapter selanjutnya, aku akan memberikan tanda Mature karena terdapat adegan kekerasan, kanibalisme, penyiksaan, dan gore yang mungkin akan mengganggu bagi sebagian besar orang. So, read at your own risk!

---

Setelah menghabiskan waktu beberapa menit untuk memulihkan kesadaran serta mengembalikan fungsi otot-ototnya yang sempat mati disebabkan oleh cairan aneh yang disuntikkan oleh si pembunuh berantai, Becca akhirnya dapat mengembalikan sense yang ia miliki sehingga ia menyadari bahwa dirinya sudah tidak lagi ada di dalam unit apartemen yang biasa Freen tempati, melainkan berada di tempat antah berantah yang sepertinya jauh dari keramaian manusia.

Ia dipaksa duduk pada sebuah kursi kayu dengan kedua tangan dan kaki dibebat oleh lakban hitam sebanyak beberapa kali gulungan. Rasa sakit dapat ia rasakan, namun itu bukan berasal dari alat geraknya yang dibelenggu, tetapi berasal dari bagian dalam kepalanya. Rasa sakit yang semula hanya menggelitik perlahan berubah menjadi denyutan nyeri yang menyakitkan, menjalar hingga ke bagian belakang kepala dan sampai pada pelipis mata.

Biasanya di saat seperti ini, ia akan mulai berhalusinasi dan melihat sesuatu yang seharusnya tidak ada. Tapi sekarang tidak demikian, karena ia hanya melihat Freen tengah berdiri di depan meja dengan jaket hitam dan sepasang sarung tangan hitam pula. Meski angin dari daun jendela tanpa kaca di seberang ruangan membuat helaian rambut menutupi mata, Becca masih bisa melihat dengan jelas bagaimana wanita berambut panjang itu mengasah sebilah golok dengan pisau lainnya dan menghasilkan suara desingan nyaring yang menakutkan.

Dan... ah, itu dia. Bayangan hitam itu ada pada tubuh Freen, membuat tampilan seakan-akan kedua entitas yang jauh berbeda itu telah menjadi satu kesatuan dan itu membuat Becca bergidik ngeri. Ia melemparkan pandangan ke segala arah—berusaha mengabaikan tubuh dengan kepala hancur yang digeletakkan di sudut ruangan—untuk mencari sesuatu yang mungkin saja dapat membantunya untuk merobek lakban yang mengikat tangan dan kakinya. Jika ia cukup cepat dan cermat, mungkin ia bisa menyelamatkan diri dan meminta bantuan.

Hanya saja, ia tidak menemukan apapun selain puing-puing plafon putih yang berceceran di beberapa sisi dan juga balok kayu kecil yang bergelimpangan. Semua benda tumpul itu jelas tidak mungkin bisa membantunya untuk memotong semua lilitan perban ini. Saat ia sedang kebingungan untuk mencari cara bagaimana untuk meloloskan diri, tiba-tiba dari depan terdengar suara desing nyaring yang lebih keras dari sebelumnya dan disusul dengan suara langkah kaki dan suara tawa bernada rendah yang perlahan mendekatinya.

Ada bayangan. Bayangan hitam besar di permukaan lantai berdebu tempatnya berpijak. Ujung bayangan itu bermuara pada sebuah tubuh manusia yang menatapnya dengan senyum menakutkan. Becca menggemeretakkan giginya—daripada takut, ia lebih marah dengan apa yang wanita ini lakukan padanya, pada semua orang yang ia bunuh, dan keluarganya. Apa maksudnya tentang dirinya sendiri yang membuat psikopat ini melakukan semua hal gila itu? Becca tidak mengerti, pun tidak mau mengerti. Di pikirannya, semua yang ia katakan adalah omong kosong belaka dan sebuah bualan sinting yang dilontarkan untuk membuatnya lemah.

Ia tidak boleh terlihat lemah di depan si pembunuh ini. Karena jika demikian, itu hanya akan membuatnya senang karena merasa berhasil menjatuhkannya. Becca lebih kuat dari itu. Sayangnya, tak peduli betapa kuat ia membujuk dirinya sendiri untuk tetap berani berhadapan langsung dengannya, Becca tidak bisa menyembunyikan hatinya yang hancur berserak. Sejak awal, ia berusaha melupakan fakta bahwa Freen—orang yang sangat ia percaya akan melindungi dan bersamanya sampai akhir—ternyata adalah sosok di balik penderitaan yang ia alami. Ia tidak bisa menangis, tapi ia tahu benar air matanya mulai mengalir.

Freen berlutut di depannya. Golok tajam yang sejak tadi ia asah dijadikan sebagai tumpuan tangan kirinya. Wanita itu menundukkan kepala agar ia bisa melihat langsung wajah hancur Becca yang tampak sangat putus asa—dan melihat itu, ia tersenyum puas. "Bahkan saat menangis pun kau masih sangat cantik, ya? Pantas saja ibuku sangat menyayangimu. Aku tidak heran," katanya. Ia mengusap air mata Becca dengan sarung tangan hitamnya yang masih basah oleh darah Mind. Refleks, Becca mengangkat wajah dan berusaha menyingkirkan tangan Freen dari wajahnya tapi wanita itu justru mencengkeram dagunya dan memaksa untuk menatapnya. "kenapa? Kau membenciku? Ah... hatiku sakit. Becca, kau bilang kau mencintaiku. Kenapa perasaanmu berubah begitu cepat? Aku tidak mengerti."

Apa? Untuk apa ia menyebut bahwa Ibunya menyayangiku? Apa yang terjadi? Aku bahkan tidak ingat dan tidak pernah bertemu dengan Ibu kandung Freen.

"Lepaskan." Becca mendesis. Sedikit merasa jijik karena darah yang menempel hampir di tiap sisi wajahnya.

"Okay, baiklah," Freen terkekeh dan mengusap rahang Becca untuk yang terakhir kali sebelum benar-benar melepaskannya. Wanita itu mendengus dan bangkit berdiri, golok di tangannya ia ketukkan di lantai selama beberapa kali sebelum ia mulai berjalan mengitari kursi tempat Becca didudukkan. "12 tahun. 12 tahun aku menghabiskan waktu dan tenaga untuk mencarimu. Mulai saat kau dan keluargamu masih tinggal di Chiang Mai hingga kalian memutuskan pindah ke Bangkok 9 tahun yang lalu. Becca, kau mungkin tidak tahu apa alasan Ayahmu mengajak kalian semua pindah ke kota lain karena ia selalu memberi alasan tentang pekerjaannya." Becca memandang Freen dengan alis berkerut tajam. Pasalnya, darimana ia tahu Keluarga Armstrong berpindah ke Bangkok tepat 12 tahun yang lalu? "Bingung? Jangan khawatir, malam ini, aku akan membongkar semua rahasianya. Hidup kita hampir berakhir, jadi untuk apa menyimpan rahasia lebih lama lagi, huh."

Freen berhenti di depan Becca, saling menatap dengan dua tensi yang berbeda. Harimau dan rusa adalah perumpamaan yang pantas untuk dilekatkan pada situasi mereka sekarang. Freen sebagai harimau buas yang siap memangsa dan Becca sebagai rusa yang terpojok dan tidak memiliki ruang untuk menyelamatkan diri.

Di belakang kursi, kedua tangannya yang terikat oleh lakban mengepal erat sampai setengah tubuhnya bergetar hebat. Ia tidak tahu apakah dirinya sedang takut atau apa, tapi ia tidak bisa berbohong bahwa semua ini membuatnya ketakutan setengah mati.

"Alasan mengapa Tuan Armstrong memutuskan pindah bersama keluarganya ke Bangkok adalah karena orang yang membuatnya tetap tinggal sudah mati dibunuh." Tepat setelah itu Freen tertawa tetapi Becca dapat melihat kedua matanya masih terbuka lebar dan itu adalah senyuman yang paling mengganggu dari semua yang pernah ia lihat. Si Chankimha itu tiba-tiba menghentikan tawanya, mendengus dan melanjutkan, "Ya... dia sudah mati dibunuh dan pembunuhnya mati gantung diri beberapa saat setelahnya. Bagaimana? Apakah kau familiar dengan peristiwa ini?"

Kilatan memori mendadak terlintas di dalam kepala. Tentang apa yang dikatakan Ayahnya di dalam mobil tempo hari dan apa yang dirinya dan Freen bicarakan pada hari di mana Becca diculik. Tentang ayah kandung Freen—Nattanan Chamroon—yang mati gantung diri setelah membunuh istrinya, pengkhianat dan provokator yang menghancurkan Chankimha Enterprise yang juga merupakan direktur utama dari perusahaan multinasional, semua teror, penguntitan, dan pembunuhan berantai yang menyadur nama keluarga ARMSTRONG, hingga alasan mengapa Freen mengatakan bahwa Becca-lah yang membuatnya menjadi seperti ini.

Sungguh, segala bentuk asumsi sudah berjejal masuk ke dalam kepala. Ia menyusun semua benang kusut dan menguraikannya agar dapat menjadi satu garis lurus, hingga akhirnya semua sampai pada satu kesimpulan yang sangat tidak bisa ia percaya. Itu tidak mungkin terjadi, pikirnya. Lagi-lagi wanita ini memanipulasiku, batinnya. Tapi meski ia menganggap asumsinya itu tak benar, apa yang terjadi dan fakta yang disodorkan kepadanya benar-benar memberikan ungkapan sebaliknya dan ia ditinggalkan dengan penuh pertanyaan sampai tidak bisa berkata-kata bahkan hanya dengan satu kalimat.

"Tidak..." ucapnya dengan terbata-bata. Matanya memandang Freen dengan tatapan tidak percaya. "Tidak mungkin. Kau pikir ini serial drama...?"

"Cerita ini bisa menjadi serial drama yang mungkin akan disukai oleh banyak orang karena apa yang sedang kau pikirkan sekarang adalah plot twist yang tidak pernah disangka akan datang," Freen menghembuskan napas. Ia mengangkat golok ke atas meja dan kembali dengan pisau sashimi, kemudian berlutut di depan kaki Becca. "Ayahmu berselingkuh dengan Ibuku, Becca. Itulah mengapa sejak kedua orang tuaku mati, ia membawa keluargamu ke Bangkok."

Ia mencengkeram kaki kanan Becca, kemudian dengan kejam dan tanpa ampun Freen mengiris achilles tendon yang ada kaki kanannya. Becca sontak berteriak kesakitan atas sayatan pisau tajam tersebut. Tubuhnya bergetar hebat, kakinya lemas seketika, darah merah menyembur dan menggenangi lantai di bawah kakinya. Perih, ngilu, mati rasa, nyeri, ia tidak bisa mendeskripsikannya. Becca hanya bisa mengaduh, mengumpat, dan menggerakkan tubuhnya dengan serampangan meskipun hasilnya akan tetap sia-sia karena lakban itu masih membuatnya terbelenggu.

Freen mengangkat pisau tersebut hingga setinggi mata. Ia melakukan itu untuk melihat darah yang menempel dan menetes-netes dari bilah pisau. Di depannya, Becca merintih penuh keputus-asaan dan Freen tentu dengan senang hati ingin melengkapi penderitaannya itu. Ia pun berdiri dari posisi berlututnya untuk mengambil botol berisi cairan asam nitrat yang sudah ia siapkan.

Asam nitrat adalah cairan kimia yang cukup berbahaya. Perlu menggunakan peralatan khusus seperti sarung tangan karet untuk menyentuh wadahnya karena jika tidak, cairan ini dapat mengakibatkan luka bakar serius. Freen pertama kalinya menggunakan bahan kimia jenis ini saat ia merendam tubuh Saint dan Heng di apartemen yang ia sewa khusus untuk menyimpan mayat dan peralatan yang ia pakai untuk membunuh—lokasinya di dekat 7-11 tempat ia menjemput Song.

Ia sudah meninggalkan tubuh itu di bathtub selama lebih dari satu hari sekarang. Tapi rasanya ia tidak akan bisa melihat apa yang cairan asam itu lakukan pada kedua tubuh pria itu.

Menghela napas, Freen membuka tutup botol dan menuangkan sedikit cairan asam itu pada luka irisan lebar yang ada di kaki Becca. Jelas saja, cairan asam korosif yang langsung bersentuhan dengan lapisan daging dan jaringan otot yang terbuka tidak akan membuat Becca diam begitu saja. Perih yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, malahan ia juga merasakan bagian dalam kakinya terbakar. Sang Sersan mengangkat wajah, menajamkan mata pada pembunuh sinting yang sedang tersenyum puas melihatnya tersiksa.

"Kau bohong, Freen. Kau pikir aku akan percaya padamu setelah kau melakukan semua ini? Itu tidak mungkin terjadi!" Becca mengerang pelan. Ia menundukkan kepala untuk melihat kondisi kakinya yang sangat memprihatinkan. Darah masih mengalir keluar, dan ia tidak tahan melihatnya sehingga ia langsung menengadahkan kepala dan mengumpat di sela napas.

"Menurutmu mengapa ayahmu tampak terkejut saat aku datang ke rumahmu untuk pertama kali? Mengapa ayahmu langsung menamparku di kantor polisi? Apa kau tidak berpikir sampai ke sana?" Freen berdiri dari posisinya dan mengembalikan botol di atas meja, kemudian kembali berhadapan dengan Becca. "Itu adalah fakta, Nong. Hah... aku ingat sekali waktu aku memberanikan diri memeriksa barang-barang peninggalan ayah dan ibuku saat aku SMA. Rupanya dia menyimpan foto anak kecil di dalam dompetnya. Kupikir itu aku, tapi ternyata itu fotomu." Nada bicaranya berubah menjadi lebih pelan, terdengar seperti bisikan. Perubahan emosi nampak secara jelas di sana, tetapi Becca terlalu sibuk dengan rasa sakitnya sehingga ia tidak menyadari kesedihan dan duka yang tiba-tiba muncul pada wajah Freen.

Ekspresi itu dengan cepat menghilang dan digantikan oleh raut wajah hampa yang tidak memproyeksikan emosi apapun, dan itu menjadi tanda bagi Freen untuk melanjutkan apa yang harus ia lakukan. Diseretnya sebuah palu martil yang tadi ia gunakan untuk menghancurkan kepala Mind, membawanya mendekati Becca dan mengangkatnya dengan kedua tangan. Becca yang masih tertunduk, begitu mendengar suara lantang dari senjata tumpul pun langsung terkesiap dan berusaha melepaskan diri dari ikatan lakban sekuat tenaga.

"Fuck, berhenti dengan semua omong kosongmu. Berhenti mengarang cerita tidak masuk akal. Berhenti! Berhenti! Aku mohon, berhenti!" Si Bungsu Armstrong itu berteriak frustasi. Matanya terpejam erat sementara kedua tangannya bergerak liar demi melepaskan ikatan lakban. Sial, memang sial. Usahanya justru membuat Freen tertawa meremehkan.

"Berhenti?" Freen menjawab santai, "Tidak. Ceritaku belum selesai, jadi kau tidak bisa memintaku untuk berhenti. Lagipula, masih banyak permainan lain yang belum kita coba di atas meja itu dan malam masih panjang. Jadi untuk apa terburu-buru, iya 'kan?" ia menghembuskan napas, kemudian memiringkan kepala. "Ayahmu memanfaatkan ibuku demi menghancurkan karir ayah dan Chankimha Enterprise. Selama 3 tahun, Tuan Armstrong melakukan itu dan selama dua tahun ibu berbohong di depan ayah dan aku. Sayang sekali, ia tidak pernah mengetahui rencana bulus Tuan Armstrong karena ia sangat percaya dengan sahabatnya yang satu ini. Jadi ia tidak menyangka dan sangat terkejut ketika ia tahu bahwa Armstrong adalah penyebab hancurnya Chankimha Enterprise dalam satu malam."

DUG

Freen menjatuhkan ujung palu ke lantai, namun masih menggenggam erat gagangnya. Ia menyentuh lutut Becca dengan telapak tangannya, mengusap-usapnya perlahan. "Tiga tahun kami hidup dalam kebohongan hingga puncaknya ayah sadar akan semua kebohongan sialan itu dan mulai menggila dengan membunuh ibu dan dirinya sendiri. Kau tahu, dengan tidak tahu malunya ayahmu datang ke proses pemakaman orang tuaku dan bahkan mengatakan padaku yang masih kecil untuk tetap kuat. Sungguh ironi."

"Aku tidak memiliki siapapun lagi di sisiku, Becca. Tidak ada. Waktu itu aku masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan aku menghabiskan waktu bertahun-tahun menderita sendirian sampai aku diadopsi. Hingga akhirnya aku mencapai usia yang cukup dewasa untuk mengetahui rahasia gelap yang disimpan oleh ayah melalui buku catatannya, dan barang-barang peninggalan mereka yang disimpan di dalam kotak."

"Alexander William Armstrong. Nama itu ada dalam buku catatan ayah, dan selama beberapa bulan aku mencari tahu segala hal tentang Keluarga Armstrong. Di waktu yang bersamaan, aku juga menemukan rahasia ibu hahaha. Hah... apa ada yang lebih buruk dari mengetahui fakta bahwa ibu yang kau sayangi dan terlihat sayang kepadamu ternyata lebih menyayangi anak orang lain? Kupikir tidak. Ayahmu menghancurkan hidupku. Kau menghancurkan hatiku karena kau telah merebut satu-satunya hal yang seharusnya menjadi milikku. Itu tidak adil, Becca. Apa yang terjadi padaku itu tidak pernah adil."

Freen tiba-tiba berdiri dan langsung mengayunkan palu martilnya sembari berteriak dengan penuh emosi. Pukulan palu besi itu mendarat tepat di atas ibu jari kaki kiri Becca, membuatnya lagi-lagi berteriak kesakitan. Ia bisa mendengar suara crack, disusul dengan rasa ngilu dan perih yang lagi-lagi mendera tanpa ampun. Becca tidak bisa melihat dengan jelas dengan air mata yang menutupi pandangan. Tetapi ia bisa melihat sesuatu berwarna putih yang mencuat keluar dari ibu jari kakinya yang berlumuran darah dan itu jelas bukan sesuatu yang bagus.

Kini kedua kakinya sudah dilumpuhkan. Bagaimanapun juga ia tidak akan bisa leluasa bergerak dan berlari meskipun ia berhasil menyelamatkan diri. Malam masih panjang, dan Freen tidak akan membiarkan waktu berlalu dengan cepat. Ucapan Freen barusan telah memantik api di dalam pikirannya dan—oh Tuhan, dengan semua yang baru saja ia dengarkan, Becca ragu jika ia bisa mempercayai orang lain lagi setelah ini. Itu pun jika ia bisa keluar dalam keadaan hidup.

Ada banyak hal yang ada dalam pikirannya setelah Freen mengatakan semua itu padanya. Tapi ia tidak memiliki tenaga dan waktu untuk menelan semuanya begitu saja. Ia hanya fokus untuk memusatkan tenaga pada kedua tangannya, berusaha sekuat-kuatnya untuk menarik dan melonggarkan lakban hitam yang melingkar di sana. Adrenalin yang merasuk jauh dalam pembuluh darah cukup memberinya kekuatan lebih dan tenaga untuk bergerak. Terbukti, lakban tersebut semakin lama menjadi semakin longgar dan tangannya mulai bisa bergerak dengan leluasa.

Tinggal satu hentakan, kedua tangannya bisa terlepas dan ia bisa menyerang Freen. Memperhatikan Freen yang masih mengangkat palu martil dan menimangnya dengan kedua tangan, memberinya pemahaman bahwa wanita itu masih ada pada posisi waspada. Jika ingin menyerang balik, Becca perlu mencari momentum yang tepat.

"Terima kasih pada catatan ayah, aku berhasil mencari tahu seluk beluk keluargamu. Demi mencarimu, aku mendaftarkan diriku agar aku bisa masuk ke Akademi Polisi. Kau tahu mengapa aku bisa dengan mudah dipindahkan ke Bangkok meskipun baru saja bertugas selama beberapa tahun? Ingatkah kau tentang insiden penembakan di Bank Chiang Mai?" Freen bertanya. Dijatuhkannya palu di lantai dan kembali dengan sebuah obeng serta solder. Ia menyalakan api solder dan mendekatkan ujung obeng pada bara api hingga warnanya berubah hitam. Ia siap untuk menyiksa lagi.

"Kau sengaja melakukannya?" dengan napas terengah, Becca melanjutkan ucapan Freen dengan suka rela. Ia hanya menerka, tapi jika dilihat dari keadaan Freen sekarang, sepertinya tebakannya itu seratus persen tepat.

Dan benar saja, Freen tersenyum lebar. Ia mengangguk dengan antusias, jelas terlihat senang karena Becca sudah tahu apa yang sebenarnya ia lakukan. "Pandai. Kau sangat pandai. Benar, aku sengaja melakukan penembakan itu dan menjadikan itu sebagai alasan untuk dibawa pergi dari Chiang Mai ke kantor polisi daerah lain," sahutnya. "Apa yang kau lihat di media massa dan yang kau dengarkan dariku beberapa minggu lalu adalah sebuah kebohongan kecil. Orang yang kutembak mati seharusnya ada 9 orang. Ayahku membungkam mulut keluarga mereka dengan uang dan menghapus semua barang bukti agar aku bisa bebas." Ia menjelaskan, masih dengan kedua tangan menggenggam solder dan obeng yang saling menempel. "Sejak itu aku tahu betapa tidak terkalahkannya kau jika memiliki sosok atau kekuasaan yang lebih besar di belakangmu. Mungkin, inilah yang dirasakan Alexander Armstrong setelah ia menghancurkan keluargaku."

"Jadi kau tahu bahwa aku adalah polisi yang bertugas di Departemen Kejahatan Berat sehingga kau datang ke Bangkok dan mulai melakukan pembunuhan berantai untuk menarik perhatianku?" Becca mencoba bertanya. Tujuannya adalah untuk mengulur waktu agar ia bisa mengumpulkan informasi mengenai celah-celah yang bisa ia pakai untuk kabur dan potensi kelemahan Freen. Wanita itu sendiri terlihat tidak keberatan dengan pertanyaannya, jadi ia mencoba untuk menggali lebih dalam. "Saat pembunuhan pertama terjadi, kau masih belum ada di sini. Chiang Mai dan Bangkok memiliki jarak yang cukup jauh, jadi bagaimana kau bisa melakukan semua itu dengan rapi? Mind? Apa dia membantumu?"

"Tidak," Freen menarik napas. Ia mematikan solder dan menurunkan kedua tangannya, sejenak tampak ragu untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya ia ingin lakukan dengan obeng yang panas membara itu. "Mind hanya membantu mencari wanita-wanita yang akan menjadi calon korban. Hingga akhirnya, mereka semua membawaku datang kepadamu. Huh, kau tidak sadar aku sudah menguntitmu bahkan sebelum pembunuhan pertama dimulai? Aku tinggal di Bangkok selama beberapa waktu sebelum resmi dipindahtugaskan untuk mengurus beberapa dokumen."

"Kau memiliki banyak waktu sampai-sampai kau menghias dan membuat dua korban pertama seperti sebuah patung di galeri seni."

"Hei, aku melakukan itu untuk menarik perhatianmu. Publik dan kepolisian selalu tertarik dengan sesuatu yang tidak wajar, tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Baiklah, mereka mungkin sudah sering melihat patung gypsum di museum. Tapi patung yang terbuat dari tubuh manusia asli?" Becca mendengus. Lagi-lagi ingatannya membawanya kembali pada mayat pertama yang ia temukan—sebuah awal dari mimpi buruk. Melihat raut penuh teror di wajah Becca, membuat Freen dengan cepat melanjutkan kalimatnya. "Dilihat dari wajahmu, sepertinya memang benar mayat itu menarik perhatianmu ya? Juga, foto polaroid dan semua surat yang kutinggalkan di tempat kejadian perkara."

"Fuck." Becca menyumpah dalam hati. "Jika semua ini memang sudah kau rencanakan sejak awal, berarti kau juga lah yang orang yang menyusup masuk ke dalam rumahku dan menyembunyikan alat penyadap. Kau juga bisa dengan mudah memanipulasi barang bukti yang diperiksa, memerintahkan Seng dan orang lain untuk membunuhku, menjebak teman-temanku, dan ikut membantu penyelidikan padahal kau sendiri yang melakukan semua kekacauan ini." ia merasakan rasa besi di dalam mulutnya. Mungkin ia terlalu keras menggigit bibirnya sendiri sampai membuat robekan kecil dan darahnya merembes masuk ke dalam mulutnya. Becca menghembuskan napas, menatap Freen dengan mata menyalang. "Pantas saja kau dengan ajaib selalu ada di dekatku setiap kali aku sedang dalam masalah. Saat Seng ingin membunuhku, saat ada orang yang menyerangku di depan umum."

Freen tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Becca. "Benar. Aku yang membuatmu gila, aku juga yang membuatmu merasa berharga, dan aku juga yang akan menghancurkanmu sampai tak bersisa. Melihatmu merasakan penderitaan lebih buruk dari apa yang sudah aku rasakan... tidak ada yang lebih baik dari itu."

Becca mengerang, dan menggelengkan kepala. Susah payah ia berusaha mengabaikan halusinasi yang mulai menguasai isi kepalanya. "ID Card milikku yang ditemukan di tempat kau membunuh Seng. Kau yang melakukannya?" Sersan itu memastikan sekali lagi.

"Benar. Aku mengambil ID Card milikmu di dalam salah satu kantung jaket yang kau letakkan di dalam kamar. Aku juga lah orang yang meninggalkan kantung plastik berisi potongan tubuh di atas kap mobil. Aku juga lah orang yang memenuhi kulkasmu dengan potongan tubuh manusia. Sekarang, semuanya sudah jelas. Tidak ada lagi rahasia, bukan? Semuanya membutuhkan momentum, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit. Seharusnya kau memberiku apresiasi."

Memang sinting. "Kalau begitu... apa yang terjadi pada Heng dan Saint, apakah itu juga ulahmu?" Becca bertanya lagi. Kali ini, jika ia menjawab iya, maka tidak ada alasan bagi Becca untuk menahan diri lagi.

Tapi Freen justru tidak memberikan jawaban. Wanita itu justru berbalik dan berjalan mendekati karung berwarna gelap yang ada di sudut ruangan. Ia menyeret karung yang terlihat berat itu ke depan Becca dan menjatuhkannya. Dahi Becca berkerut, dan ia langsung ingin muntah begitu aroma busuk dari sesuatu yang ada dalam karung itu menguar dan memaksa masuk ke dalam rongga hidungnya. Jangan katakan jika isi karung itu adalah mayat? Astaga, ini sudah gila. Ini sudah benar-benar gila!

"Setiap tindakan yang kita lakukan selalu memiliki konsekuensi. Dan ini adalah konsekuensi yang harus mereka terima karena telah menghalangi rencana yang sudah kubuat selama bertahun-tahun. Kau tahu, aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku."

Freen kemudian membungkuk, satu tangannya masuk ke dalam karung dan ia mengeluarkan sesuatu yang besar, berlumuran oleh darah kental yang sudah mulai membusuk dan mengeluarkan aroma mengerikan. Itu adalah sebuah kepala. Kepala Saint, lebih tepatnya. Refleks, Becca berteriak begitu Freen mencengkeram kepala itu di bagian rambut dan mendekatkannya di depan wajah Becca. Tak berhenti di situ, Freen kembali membungkuk dan mengeluarkan satu kepala lain dan kali ini, itu adalah kepala Heng.

"Apa—dasar setan! Apa yang kau lakukan pada mereka!" hardiknya. Sebagai respon, Freen melemparkan kedua kepala itu ke tubuh Becca dan membuat kedua kepala itu jatuh menggelinding di bawah kakinya. "Kau akan mati, Sarocha. Kau akan tamat. Kau akan benar-benar tamat. Kau tidak akan bisa lari setelah melakukan ini!"

Becca pun menarik kedua tangannya dan merobek lilitan lakban yang sudah longgar. Ia menundukkan kepala, lalu dengan kekuatan penuh ia mengangkat kepalanya hingga tulang tengkoraknya menghantam rahang Freen dengan sangat kuat. Rasanya memang nyeri, tapi paling tidak ia bisa membuat Freen menjauh darinya selama beberapa waktu. Ia menatap ke sembarang arah dan pandangannya jatuh pada sebuah pisau di atas meja. Tak ingin membuang waktu lagi, Becca segera berlari dan menendang Freen hingga wanita itu jatuh terdorong menghantam dinding sementara ia segera mengambil pisau dan menjatuhkan meja.

Debu-debu beterbangan, kekacauan menjadi semakin riuh. Semua gerakan cepat yang ia lakukan membuat kedua kakinya menjadi semakin sakit sehingga setelah mendapatkan pisau, ia tidak langsung pergi dari tempat itu. Ia hanya bisa berdiri dan tidak bisa menggerakkan kakinya untuk melangkah.

"Ini dia... ini dia!" lagi-lagi Freen tertawa keras. Ia mengangkat wajah, memamerkan mulutnya yang mengeluarkan darah. Sepertinya hantaman Becca pada rahangnya berhasil membuat bagian dalam mulutnya robek karena gigi. Tapi apapun itu, Freen justru terlihat lebih sinting dari sebelumnya. "Ini dia perlawanan yang aku tunggu, Rebecca Armstrong. Ayo, bunuh aku. Bunuh aku!" teriaknya.

"Brengsek!"

Becca mengangkat meja yang ia jatuhkan tadi dan melemparkannya ke arah Freen. Benda berat itu berhasil mengenai tubuh wanita tinggi itu, tetapi ia tetap berdiri tegap dan tidak tumbang. Ia melompat maju, mengabaikan perih di kakinya, dan mengayunkan pisaunya dengan tujuan untuk menyayat tubuh Freen. Tak disangka, wanita itu dengan mudahnya menggenggam pisau Becca dengan satu tangannya. Ia menahan pisau tersebut meskipun bilah pisaunya mengiris-iris telapak tangannya.

Dan yang paling mengerikan adalah, meskipun lelehan darah mengalir tanpa henti dari telapak tangan Freen, wanita itu sama sekali tidak terlihat kesakitan. Dalam hati, Becca bertanya-tanya. Apakah ia sedang berhadapan dengan mutan atau manusia yang sedang kerasukan setan? Sebab dengan darah dan luka separah itu, tidak mungkin seorang manusia normal bisa menahan rasa sakitnya.

"Nice try, kid." Freen mendesis. Ia pun menendang ulu hati Becca dengan lutut, kemudian memukul kepala dan lehernya dengan siku. Sebagai serangan lanjutan, Freen menggunakan lututnya untuk menendang dada Becca sebanyak tiga kali sebelum membanting tubuhnya di lantai.

Becca tidak ingin menyerah. Ia meraih kaki Freen dan menjatuhkannya juga. Lantai adalah arena pergulatan mereka. Mencekik, mengunci, berusaha mematahkan. Masing-masing memiliki potensi untuk saling balas. Hingga pada puncaknya, Becca berhasil membuat Freen terjebak di posisi bagian bawah setelah berhasil mengunci kakinya dengan menggunakan teknik leglock. Ia memukuli wajah, pelipis, leher, dan rahang Freen dengan pukulan penuh. Bahkan saat buku-buku jarinya mati rasa pun Becca tetap tidak berhenti dan terus menghujam wajah Freen dengan kepalan tangannya.

Semakin lama, tenaganya semakin berkurang. Di saat pukulannya mulai melemah, Freen mengambil kesempatan untuk mencengkeram leher Becca dan mencekiknya, kemudian ia segera menyambar pisau yang berserakan di lantai dan langsung menyabet wajah Becca dengan sangat cepat sebelum ia mengangkat pinggangnya dan membuat Becca terjatuh ke samping. Wanita berambut pendek itu berteriak, sangat keras. Suaranya terdengar memilukan, memberi tanda bahwa rasa sakit yang ia rasakan sudah tidak tertahankan.

Becca menggunakan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya sendiri—tepat pada bekas di mana bilah pisau tajam milik Freen menyambar wajahnya beberapa saat yang lalu. Darah mengalir deras dari sela-sela jari Becca. Perlahan, ia menurunkan tangannya dan detik itu juga, darah dengan bebas menetes di lantai dan membentuk kubangan darah. Tapi, bukan darah itu yang membuatnya tersentak sekarang. Melainkan pandangan dari mata kirinya yang berubah menjadi gelap.

Pisau Freen menyayat pipi bagian bawah, melewati jembatan hidung dan langsung mengenai matanya. Semua darah itu berasal dari bola mata kirinya yang terkoyak, dan dengan satu mata yang sudah buta bersama dengan pedihnya luka yang ada pada tubuhnya, Becca merasa ia berada di situasi yang lebih berbahaya dari sebelumnya. Ia berusaha berdiri, satu tangannya masih menutupi mata kirinya yang masih terus mengeluarkan darah, dan tangan lainnya ia pakai untuk menjaga keseimbangan tubuh.

Lagi-lagi, Freen menerjang tubuhnya dengan melemparkan seluruh beban tubuhnya. Letnan itu berhasil membuat Becca tumbang dan terbanting ke lantai dengan keras. Ia naik ke atas tubuhnya, kemudian menahan leher dan kepala Becca—sepenuhnya membuat wanita berambut pendek itu terjebak dan tidak bisa bergerak. Freen tertawa bengis, darah di wajahnya membuat Becca kembali merasakan takut. Freen mencengkeram wajah Becca, kemudian dengan menggunakan tiga jari, ia menarik paksa bola mata Becca hingga keluar dari rongga mata.

Becca meraung, mencakar, memukul, memberontak sekeras-kerasnya sampai tubuhnya bergetar saat Freen menarik putus bola mata kirinya. Darah bercipratan ke segala arah, dan Freen hanya tersenyum bengis melihat Becca sangat tersiksa. Ia melihat ke bawah, pada bola mata Becca yang ada pada telapak tangannya. Tanpa mengatakan apapun, ia memasukkan bola mata itu ke dalam mulutnya dan memakannya mentah-mentah. Satu dari beberapa tujuannya sudah berhasil terpenuhi. Yaitu, mendapatkan sedikit dari bagian tubuh Becca untuk dimakan. Baginya, itu adalah sebuah berkah sekaligus tanda keberhasilan. Apalagi, wanita ini adalah mangsanya yang paling berharga sehingga tentu saja ia tidak akan mau menyia-nyiakannya.

Di sisi lain, Becca sudah berantakan—bahkan nyaris sekarat. Kendati kedua tangan dan tubuhnya berusaha sekuat-kuatnya untuk berontak dan memberikan perlawanan intens, ia tetap tidak bisa menyingkirkan Freen dari atas tubuhnya. Ia sudah kehilangan banyak darah dan tidak bisa ia pungkiri, semakin lama tubuhnya menjadi semakin lemas. Belum lagi dengan tekanan yang Freen berikan pada lehernya dan membuat pasokan oksigen yang ia hirup menjadi makin tipis.

Apakah ia akan segera mati?

"Aku mengorbankan banyak hal agar aku bisa membuatmu berada di bawah tubuhku, Becca. Dan sekarang aku bisa merasakannya, aku berhasil mendapatkanmu." Freen mengeratkan cengkeramannya pada leher Becca. Ia menggunakan jarinya untuk menekan dagu wanita itu ke bawah sementara tangan kanannya mengangkat pisau bernoda darah yang tadi ia gunakan.

Dengan kekuatan terakhirnya, Becca mencengkeram pergelangan tangan Freen. Sosok di depannya ini telah berubah dari yang terakhir ia ingat. Semua kenangan itu, semakin ia mengingatnya, semakin sakit dan pedih hatinya. Mengetahui ia hanya dipermainkan dan dimanipulasi adalah kenyataan yang tidak siap ia terima. Tapi apa daya, semuanya sudah terlanjur terjadi dan kini, ia sudah terjebak jauh di dalamnya.

Becca mengerang pelan. Tenggorokannya terasa sangat sakit saat ia memaksa untuk berbicara. "Waktu yang kita habiskan selama ini, apakah semua itu tidak berarti bagimu?"

Terdapat keheningan yang mencekik sesaat setelahnya. Dipenuhi oleh ketegangan yang membuat jantung berdebar. Bukan karena momen manis dan romantis seperti yang ada dalam film romansa, melainkan momen yang menentukan hidup-matinya seseorang. Detik itu, Becca merasa ujung parang milik malaikat maut sudah melingkar dengan bebas di lehernya. Satu jawaban dari Freen, berarti tanda bagi si malaikat maut untuk menarik parangnya dan memenggal lehernya.

Becca memandang kedua mata Freen dengan satu matanya. Gelap. Suram. Seolah tidak pernah ada jiwa yang bersemayam di baliknya. Wanita ini—Freen Sarocha Chankimha—sudah lama mati. Selama belasan tahun, hanya dendamnya yang meletup-letup saja yang membuatnya bertahan hidup. Ia tidak memiliki apapun lagi untuk dipertahankan, dan tidak memiliki rasa takut untuk kehilangan sesuatu. Dan semua hal yang terjadi dalam hidupnya hanya ia anggap sebagai angin lalu dan bukan sesuatu yang spesial.

Sehingga, ia tampak tidak ragu sedikit pun untuk menjawab, "Tidak."

Dan itulah akhirnya. Bersamaan dengan kalimat terakhirnya, tanpa ampun Freen menghujamkan pisaunya ke bawah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top