Chapter 9: Unwanted Premonitions

Pernahkah kalian merasa, dalam satu titik dalam kehidupan yang kalian alami hingga saat ini, kalian merasa bahwa semuanya seakan tertumpuk menjadi satu dan membentuk sebuah benteng tak terlihat yang menjepitmu dari segala sisi? Meskipun benteng itu sebenarnya tak nampak, tapi kalian bisa merasakan bahwa hati dan jiwamu sedang terkunci dalam satu tempat yang begitu sempit dan sesak. Sebegitu sempitnya hingga kau merasa jantung yang ada di rongga dadamu seakan bisa meledak kapan saja.

Perasaan mengerikan semacam itu mungkin tidak bisa dideskripsikan dengan sempurna. Karena memang, sebuah perasaan yang begitu kompleks dan pelik kebanyakan tidak memiliki padanan yang pantas bagi dalam sebuah kalimat. Semuanya terasa kacau, dan rasanya sulit sekali untuk tidak memikirkan segala hal negatif yang sudah terlanjur berjejalan di dalam kepala.

Mengerikan. Benar-benar mengerikan. Dan itulah yang Becca rasakan sekarang.

Emosi negatif, pikiran buruk dari peristiwa-peristiwa yang sudah ia alami selama ini, pembicaraan-pembicaraan yang melibatkan dirinya, sampai tanggung jawab besar yang menyerupai bongkahan batu raksasa yang dijatuhkan di atas kedua bahunya, membuatnya tidak bisa berpikir sama sekali. Yang ada di kepalanya sekarang hanya suara-suara yang tak ia kenal, berbisik dan berteriak. Membuat semua suara aneh itu saling bercampur di dalam kepalanya yang sudah tak karuan.

Kasus pembunuhan berantai yang menjadi semakin kacau dan mengerikan, tanggung jawabnya atas nyawa-nyawa tak berdosa yang melayang karena obsesi dan dendam seorang psikopat, teror yang ditujukan pada dirinya dan keluarganya, percobaan pembunuhan dari salah seorang anggota tim investigasinya, dan fakta baru bahwa salah satu anggotanya adalah polisi bermasalah yang pernah membunuh lebih dari dua orang dan masih memiliki izin untuk bertugas dan membawa senjata api hingga sekarang.

Meskipun Becca berusaha keras menata semua permasalahan yang kini membebaninya, mengurutkannya berdasarkan skala prioritas agar ia bisa perlahan-lahan menyelesaikannya tanpa perlu membuat kepalanya meledak, semua tatanan yang sudah ia benahi sedemikian rupa itu terus hancur berserak setiap detiknya. Ia sudah bisa merasa, psikis dan pikirannya sudah tak bisa lagi membantunya.

Saint, sang kepala divisi, memanggilnya ke ruangannya setelah menyelesaikan semua hal yang berhubungan dengan mayat di tempat kejadian perkara (tentu saja itu termasuk pembicaraan serius dengan keluarga korban berkaitan dengan perizinan otopsi). Ia tidak bertemu dengan Freen di kantor setelahnya, beberapa orang yang ia tanya memberitahu Becca jika wanita itu pergi ke rumah sakit untuk mengobati luka sayatan pisau di tangannya.

Pria itu—tidak, kakak sekaligus mentornya itu membicarakan mengenai hal sensitif berkaitan tentang kesehatan jiwa dan psikologisnya. Saint sendiri sepertinya sudah tahu benar tentang perubahan kepribadiannya yang sangat kontras hingga akhirnya, sebagai akibat dari kondisinya yang mungkin sudah cukup mengkhawatirkan hingga mempengaruhi performa kerja, Saint akhirnya memanggilnya untuk memberikan dispensasi—mari katakan itu sebagai penyampaian yang lebih halus dari diskorsing.

Ya, paling tidak itu hukuman ringan yang pantas diberikan padanya setelah menyerang anggota forensik hingga terluka hanya karena halusinasi.

Awalnya, Becca tentu tidak terima dengan apa yang disampaikan Saint. Secara tidak langsung, ia juga telah melukai integritas dan dedikasinya sebagai seorang polisi yang sedang aktif bertugas. Tapi karena atasannya itu mengatakan semuanya dengan serius—termasuk dengan risiko paling buruk jika ia terus memaksa bekerja dengan kondisi psikologis yang tidak stabil—dan juga berjanji bahwa ia akan diizinkan kembali setelah satu bulan.

Satu bulan adalah waktu yang sangat lama baginya, tetapi mungkin masih cukup singkat bagi Saint. Pria itu sempat menyebutkan jika Becca bisa saja mendapat diskorsing selama tiga bulan jika tindakannya menembak senjata api secara asal dan menodong Freen dengan pistol dimasukkan ke dalam hitungan. Itu termasuk kecerobohan dalam menggunakan senjata api karena ia berpotensi membunuh Freen dengan safety pistolnya yang sedang dilepaskan.

Pada waktu itu, Becca juga tidak berpikir untuk mengembalikan safety pistolnya. Semuanya terjadi dengan sangat cepat sampai-sampai Becca tidak memiliki waktu untuk memikirkan risiko dari perbuatannya itu. Jika ia lambat sedikit saja, Freen bisa memukuli Seng hingga pria itu sekarat. Jika sudah demikian, mereka akan kehilangan kesempatan untuk menginterogasinya demi mendapatkan informasi penting.

Omong-omong, selama Becca dirumahkan, posisinya sebagai kepala tim investigasi khusus akan diserahkan sementara pada anggota lain. Yang mana itu akan ditentukan kemudian oleh Saint setelah berdiskusi dengan anggota lain dan juga pimpinan divisi lain. Perlu diketahui tim investigasi khusus yang dipimpin Becca saat ini adalah tim yang memiliki posisi krusial di kepolisian karena saat ini sedang mendapat banyak perhatian dari publik dan media sehingga semua yang terjadi, utamanya dalam struktur keanggotaan, harus diperhatikan dan ditata dengan sangat baik.

Penyelidikan atas kasus pembunuhan berantai masih terus berlanjut selama Becca tidak bertugas. Mungkin ia akan mendapatkan beberapa informasi tentang perkembangan penyelidikan dari teman-temannya, tetapi tetap saja ia tidak bisa bertugas karena ia tidak memiliki surat tugas dan hak atas penyelidikan selama ia diskors.

Dan di sinilah ia sekarang, di sebuah fasilitas rehabilitasi yang berfokus untuk melayani hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan jiwa dan psikologis. Saint sendiri yang menyarankan tempat ini padanya karena ia memiliki kenalan psikiater di sana dan Becca sendiri juga tak mau repot-repot mencari tempat lain sehingga ia menjatuhkan pilihan pada fasilitas rehabilitasi tersebut.

Datang dengan wajah terlipat murung dan kantung mata hitam yang tampak jelas, Becca hampir menakuti beberapa orang perawat di meja resepsionis ketika ia menanyakan perihal registrasi dan beberapa informasi lain mengenai psikiater yang merupakan kenalan Saint—Dokter Billy. Setelah menjelaskan beberapa hal dan mendapatkan nomor antrean untuk masuk ke dalam ruangan, Becca beranjak pergi dari meja registrasi untuk menyusuri lorong menuju ruangan tempatnya bertemu dengan dokternya nanti.

Butuh waktu beberapa menit dan bertanya pada tiga orang perawat untuk menemukan pintu dengan papan nama Patchanon Ounsaard menggantung di depan pintu putih itu. Begitu menemukannya, Becca baru bisa menghela napas lega dan mencari tempat duduk terdekat untuk menunggu.

Selama ia bersandar pada kursi, diam dan merenung sembari melayangkan pandangan pada setiap orang yang kebetulan lewat di depannya, Becca tanpa sadar masih menyempatkan diri untuk memperhatikan ciri-ciri, figur, hingga pakaian yang semua orang itu kenakan. Ia tertawa miris—kebiasaannya setelah ia menjadi seorang polisi benar-benar sudah melekat jauh di dalam kepribadiannya. Saat ia sedang tidak bertugas sekalipun ia masih memperhatikan setiap orang yang lewat dengan sebegitu detailnya.

Apakah ini satu dari beberapa hal yang membebani pikirannya? Mungkin.

Berbicara dengan pikiran, sesuatu tiba-tiba muncul sekelebat di dalam kepala. Mengenai si monster yang mengubah caranya menghabisi korbannya. Di dua kasus pembunuhan sebelumnya, ia membunuh korbannya dengan sangat bersih dan rapi. Ia mencekik korbannya, menenggelamkan mereka ke dalam cairan pengharum pakaian yang dicampur dengan cairan pemutih, kemudian menguliti mereka seperti sapi sebelum akhirnya membuat mereka seperti sebuah patung yang dipamerkan di depan publik.

Pertama kali ia melihat mayat tersebut dari jauh dengan keadaan yang berdarah-darah, Becca mengira ia sedang dihadapkan oleh kasus pembunuhan lain. Asumsinya itu patah begitu saja ketika Freen memanggilnya untuk menyerahkan sebuah kertas dari si pembunuh yang ditinggalkan untuknya—dan karena itulah ia bisa tahu bahwa yang melakukan hal biadab ini adalah pembunuh yang sama dengan yang ia cari sekarang.

Yang menjadi masalah adalah; mengapa ia mengubah caranya membunuh, tetapi tetap mempertahankan pola yang ia buat? Alasan yang sempat terpikirkan oleh Becca adalah untuk menghindari polisi mulai mengendus jejaknya. Tapi ternyata asumsi itu sepenuhnya salah karena si pembunuh tetap meninggalkan surat kaleng dan memastikan polisi tahu bahwa mayat itu adalah hasil karya miliknya—dengan sentuhan yang sedikit berbeda.

Hal lain yang membuatnya curiga adalah Letnan Sarocha yang menemukan mobil berisi mayat itu untuk pertama kali. Maksudnya, dari banyaknya orang yang mungkin lewat di sana, kenapa harus dia? Tidak, bukan berarti ia mencurigai Freen sebagai pelaku. Becca hanya merasa jauh lebih waspada karena ia tahu si monster berhasil mempengaruhi seseorang di kepolisian untuk membunuhnya.

Seng. Ia tidak menyangka jika ia mendapat pengaruh dari seseorang untuk membunuhnya—paling tidak itulah yang ia ketahui sampai sekarang. Dari yang ia ingat, Seng sedang mendapatkan servis khusus dari personel lain di ruang interogasi dan masih berlangsung hingga sekarang. Jadi ia masih belum tahu keterangan apa saja yang pria itu berikan.

Ia teringat kasus pembunuhan berantai yang cukup terkenal dua atau tiga tahun yang lalu. Kasus itu terjadi di Jepang, tepatnya di wilayah Tokyo. Lebih dikenal dengan Kasus Pembunuhan Berantai BlackMail dan Pembunuhan Berantai Doberman. Kedua kasus itu tidak bisa dipisahkan karena saling berkaitan. Bahkan pada headline berita internasional pun kedua kasus ini selalu disebutkan bersama-sama.

Memang informasi detail dari kasus itu tidak pernah ia temukan karena kendala bahasa yang membuatnya sulit mendapatkan informasi yang ia butuhkan. Tapi ia tahu jika pelaku dari pembunuhan Doberman adalah orang yang sangat dekat dengan polisi yang waktu itu bertugas menyelidiki kedua kasus tersebut. Siapa yang tahu jika pelaku pembunuhan yang selama ini dicari oleh seluruh satuan kepolisian adalah orang yang dekat dengan si polisi itu sendiri? Itulah yang ada di pikiran Becca. Ingatannya akan kasus ini jugalah yang membuat Becca merasa harus lebih waspada dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Karena terkadang, orang yang menyakiti kita sedemikian parahnya adalah orang yang sangat dekat dengan diri kita.

Menghembuskan napas dan menggunakan punggung tangannya untuk menghapus tetesan keringat yang tanpa sadar mulai membasahi dahi dan sisi wajahnya, lamunannya mendadak dibuyarkan oleh nomor antrian yang terpampang besar-besar pada monitor di samping pintu berubah dan menunjukkan nomor miliknya. Becca melirik lembaran kertas kecil di tangannya untuk memastikan sebelum benar-benar berdiri dan beranjak masuk.

Ruangan Dokter Billy adalah ruangan berbentuk persegi dengan sebuah meja penuh arsip dan kertas-kertas yang ditata rapi yang ada di sudut lain ruangan. Di situlah Dokter Billy duduk menunggunya—pria itu seperti tahu akan kedatangannya sampai-sampai ia berdiri di samping meja dengan tatapan antusias.

"Saint mengatakan padaku jika ada satu personelnya yang akan datang. Silakan duduk," Billy mempersilakan Becca duduk di kursi seberang mejanya. Ia pun berjalan kembali ke kursinya sendiri dan mulai menyimak kertas informasi pasien yang sudah diberikan oleh asistennya. "Rebecca Patricia Armstrong. Sudah kuduga, kau bukan orang asli Thailand?" ia bertanya sembari membalik lembaran kertas dan membaca sisi lain kertas tersebut.

"Ayahku keturunan British, Ibuku orang asli Thailand."

Billy mengangguk dan meletakkan kertas informasi di atas meja. Ia kemudian menunduk untuk membuka laci dan kembali mengeluarkan beberapa lembar dokumen dan meletakkannya di atas meja. "Kupikir sebelum memulai kita perlu mengetahui lebih banyak darimu dan alasan mengapa kau datang kemari. Karena ini pertemuan pertama kita dan apa yang kita lakukan akan sangat, sangat mudah."

Becca menghembuskan napas. Ia sudah lebih dulu jengah melihat kertas-kertas dan sebuah bolpoin yang diberikan padanya. "Kau tidak akan menanyaiku beberapa hal dan memberiku beberapa obat? Aku perlu segera menyelesaikan ini dan kembali bekerja."

"Untuk mendiagnosa gangguan psikologis yang kau alami tidak bisa dilakukan dengan cepat. Perlu ada pendekatan profesional melalui beberapa metode sebelum aku bisa menyimpulkan. Dan kertas itu adalah salah satunya," Billy menyandarkan punggungnya pada kursi, "kau datang kemari karena sesuatu yang serius. Saint memberitahuku jika kau cukup terganggu karena kasus pembunuhan yang terjadi baru-baru ini, bukan?"

"Mari kita batasi percakapan ini agar tidak keluar dari konteks pasien dengan dokternya, oke?" Becca memaksakan senyumannya. Sebisa mungkin ia mencoba tetap sopan di depan Billy kendati ia sepenuhnya tidak suka pekerjaannya diungkit. Itu membuatnya tampak seperti orang gila yang membutuhkan perhatian khusus. Dengan agak sebal, Becca mengambil bolpoin dan mulai fokus mengisi lembar anamnesa seperti yang diminta.

Billy pun tertawa kecil atas respon Becca. Tepat seperti yang disampaikan Saint padanya—ia harus berhati-hati saat berbicara dengan Rebecca Armstrong. Dengan caranya merespon orang lain, wanita itu barangkali tidak bermain-main dengan ucapannya jika ia mengancam akan memenggal kepala orang yang menurutnya mengganggu.

Sedikit banyak, Billy sudah tahu apa yang menjadi masalah Becca. Saint yang memberitahunya secara detail dengan pasiennya yang satu ini—dan itulah yang menjadi alasan mengapa Billy menganggap Becca masuk dalam jajaran pasien prioritas saat ini. Perubahan sikap dan kepribadiannya yang terlalu mencolok itu perlu diberi perhatian khusus. Biasanya orang akan mengalami hal semacam itu jika ia mengalami tekanan besar dalam hidupnya sehingga ia tidak bisa lagi mengontrol dirinya sesuai dengan keadaan lingkungan.

Ditambah lagi dengan halusinasi. Billy juga tahu jika Becca menyerang petugas forensik yang bekerja bersamanya. Ia mengklaim petugas itu berniat menyerangnya dengan pisau yang mana pisau yang dimaksud itu tidak pernah ada. Ia yakin, halusinasi semacam itu sudah dialami berkali-kali oleh Becca. Namun wanita itu tetap diam dan menyembunyikan kondisinya hingga ia menjadi semakin sering berhalusinasi.

Beberapa saat yang lalu Billy sengaja mengungkit sedikit tentang pekerjaan Becca. Ia langsung menyentak saat ia menyebutkan tentang kasus pembunuhan. Jadi untuk sementara ini, Billy menduga kasus pembunuhan berantai inilah yang mempengaruhi kondisi psikologis Becca. Ia sudah sampai di tahap serius karena halusinasi yang ia alami membuatnya tidak bisa membedakan ilusi dengan kenyataan hingga ia melukai orang lain. Dan Billy bersyukur Saint bermurah hati untuk memberikan waktu bagi Becca untuk mendapatkan penanganan serius.

Dan Billy juga dengan senang hati membantunya. Toh, ia sudah berjanji pada Saint untuk membantu semaksimal mungkin sebagai bentuk balas budi karena Saint telah menyelamatkannya dari perampokan yang dilakukan di rumahnya dua tahun yang lalu.

"Ah, bagus. Terima kasih, Armstrong," Billy mengangkat lembaran anamnesa yang sudah diisi oleh Becca. Matanya memindai semua keterangan yang ada di sana sembari melirik Becca dari balik kertas. "Kapan kau mau menjadwalkan pertemuan selanjutnya?" tanyanya.

Becca tampak berpikir sejenak. Kemudian ia menjawab, "Minggu depan? Hari Rabu, pukul 3 sore?"

"Syukurlah kau memilih jam sore. Aku memiliki jadwal lain siang harinya jadi hampir saja aku menolak dan memindahkan jadwalmu ke hari lain." Billy mengambil penjepit kertas dari dalam laci. Ia menggunakan benda itu untuk merapikan lembaran anamnesa milik Becca sebelum meletakkannya di atas meja dengan posisi terbalik. "Kau tahu, aku berteman dekat dengan Saint. Temannya adalah temanku juga. Jadi kau tidak perlu terlalu serius denganku dan anggap saja kita ini teman yang sudah lama saling kenal, oke?"

"Tentu saja, Dokter." Dan lagi, Becca mengangguk dan membalas seadanya. Jelas sekali ia tidak tertarik dengan topik konversasi lain.

Billy tersenyum tipis. Namun meskipun di mata Becca senyuman itu dibuat agar ia tidak merasa tertekan selama pemeriksaan, ia tetap bisa menemukan bahwa sebetulnya Billy tengah menyembunyikan sesuatu yang sangat serius. Ekspresi tersirat itu disembunyikan jauh di dalam iris gelapnya. Apapun itu, Becca cukup pandai bahwa apa yang ada di dalam pikiran Billy adalah sesuatu yang tidak ingin ia ketahui—paling tidak, untuk sekarang.

Seperti memiliki telepati, Billy tampak mengerti dengan apa yang ada dalam pikiran Becca. Pria itu lantas memiringkan kepala. Dengan nada bicara yang lebih lembut—dan penuh pengertian, ia berucap, "Jangan khawatir, Armstrong. Jika kau memiliki ambisi yang cukup untuk pulih, kau pasti bisa melewati ini. Kau tidak sendirian karena kita akan bersama-sama melewati ini, oke?"

Pembicaraannya dengan Dokter Billy beberapa waktu yang lalu membuat hatinya terasa sangat berat. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan sesuatu yang negatif tentang dirinya sendiri. Apa yang salah dengannya? Mengapa Billy tampak sedikit tertegun sebelum pria itu menyelesaikan pertemuan mereka dan mengirim Becca keluar ruangan?

Becca menggeram frustasi. Keseimbangannya mendadak berkurang, membuat wanita itu terhuyung-huyung sampai ia harus menyandarkan tubuh pada dinding. Matanya berair—ia tidak menangis, tidak pernah ingin menangis. Tapi hari ini, ia telah mengeluarkan air matanya karena hatinya yang mendadak nyeri.

Ia takut. Sangat takut. Ia tidak siap dengan semua yang akan ia ketahui tentang kondisi psikisnya. Ia takut bahwa suatu hari nanti ia tidak akan pernah bisa kembali seperti dirinya semula. Ia takut suatu hari nanti ia akan benar-benar kehilangan kendali atas dirinya sendiri—sungguh, membayangkannya saja sudah membuat tenggorokan Becca tercekat. Rasanya sungguh sesak, mengetahui bahwa ada sesuatu yang salah dengan dirinya sementara ia tidak memiliki seseorang yang cukup dipercaya untuk berbagi emosi dengannya.

Ia tak ingin lagi ada orang lain menatapnya seperti orang gila yang harus dijauhi, ia tak ingin rekan-rekan kerjanya menganggapnya sebagai sosok yang patut dikasihani.

Apa? Apa dosa yang pernah aku lakukan sampai aku mendapatkan sesuatu sepahit dan semenyakitkan ini?

Mungkin kondisinya cukup mengkhawatirkan sampai-sampai ada seorang perawat yang mendekatinya dan menanyakan apakah ia baik-baik saja atau membutuhkan sedikit bantuan. Becca segera menolak. Beralasan bahwa ia sedikit merasa tak nyaman sebab flu yang menyerangnya sejak semalam—meski keadaannya ia sehat-sehat saja—agar si perawat dapat pergi meninggalkannya.

Kebohongannya berhasil. Si perawat pun pergi setelah berpesan padanya untuk berhati-hati dan cukup beristirahat. Becca pun segera beranjak dari koridor karena tidak ingin menarik perhatian lebih banyak orang.

Saat ia sudah berada di lobi, ia tak tahu mengapa, tapi sesuatu memaksanya untuk melihat ke arah deretan kursi yang digunakan untuk menunggu panggilan pasien. Keinginan itu begitu memaksa sampai akhirnya Becca menyerah dan ia benar-benar melihat ke arah deretan kursi tersebut. Dan ia benar-benar terkejut karena ia menemukan seorang wanita berkaus hitam dengan jaket canvas berwarna putih sedang menatapnya dari jauh.

Freen, wanita itu ada di sana.

Becca sedang tidak berhalusinasi. Itu benar-benar dia, Sarocha Chankimha.

Wanita itu berkaus hitam itu segera berdiri dari tempat duduknya begitu matanya bertatapan dengan milik Becca. Ia berjalan menjauh dari kursi, terlihat agak ragu mendekati Becca sehingga Freen segera menghentikan langkahnya di tengah jalan dan memutuskan untuk menunggu Becca mendekatinya.

Becca menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan membuat senyuman canggung yang terlihat sangat kaku. Ia melambaikan tangan ke depan, pada wanita berambut panjang yang berdiri di lobi fasilitas. "Hai?" panggilnya. Ha, lihat, betapa canggungnya ini. Aku tahu Freen sedang mengataiku di dalam hatinya.

"Hai. Maaf, bukan bermaksud menguntitmu atau bagaimana. Aku bertanya pada Saint sehingga aku tahu kau datang ke tempat ini dan dia juga memberiku perintah untuk mengawasimu selama kau dirumahkan."

Becca terhenyak. Hampir saja ia membentak Freen saat itu juga. Tapi ia segera menguasai diri mengingat dirinya sedang berada di tempat publik dan ia juga tidak ingin berakhir diikat dalam salah satu bangsal, sehingga ia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Saint meminta Freen untuk mengawasinya seperti seorang tahanan kota? Oh, bagus sekali. Apakah ada yang lebih buruk lagi baginya?

Karena tidak ingin menarik perhatian Freen dan membuatnya mendapat pertanyaan-pertanyaan tak penting lainnya, Becca akhirnya membuka pertanyaan lagi. "Oke, kau bertanya pada Saint tentangku. Kenapa kau lakukan itu dan kenapa kau peduli?"

"Apakah aku tidak boleh bersikap seperti ini pada rekan kerjaku? Apa kau sudah lupa siapa yang datang untuk merawatmu di rumah sakit?" wanita lainnya membalas. Suaranya terdengar seperti orang yang sedang putus asa—mungkin ia merasa kecewa karena ucapan Becca barusan. Freen kemudian mengibaskan tangannya pada udara kosong dan melanjutkan, "Aku tidak ingin lagi beradu mulut denganmu karena aku ingin membuat hubungan kita menjadi lebih baik, Armstrong. Tolong?"

Becca terdiam. Tidak biasanya Freen menatapnya dengan tatapan seperti kucing yang sedang meminta makanan. Sepasang netra cokelat muda itu menatapnya dengan lembut, seolah memberikan afirmasi bahwa ia benar-benar serius dengan apa yang ia ucapkan. Astaga, Becca jadi merasa bersalah karena telah menjawab Freen dengan ketus beberapa waktu yang lalu.

Wanita yang lebih muda baru saja akan meminta maaf. Namun ia batal mengucapkan satu pun ucapan maaf karena ia menyadari ada sesuatu yang baru ia lihat di wajah wanita di depannya. Sebuah luka goresan memanjang, berbentuk setengah horizontal mulai dari bagian bawa mata hingga pipi. Panjangnya mungkin tidak lebih dari enam senti dan cukup dalam. Bekasnya masih berwarna merah, menandakan darah yang ada pada luka gores itu masih belum terlalu kering.

"Wajahmu... terluka? Ada apa dengan wajahmu?" tangannya tanpa sadar bergerak sendiri untuk menyentuh rahang Freen. Ia menundukkan wajah Freen agar wajah wanita itu berada sejajar dengan matanya. Kini, ia dapat melihat dengan jelas luka goresan merah yang ada di wajah Freen. Bagian sisi lukanya tidak terlalu rapi dan cenderung kasar, berbeda dengan luka yang berasal dari sayatan benda tajam. "Siapa yang mencakar wajahmu?"

Menyadari apa yang ia lakukan telah di luar kuasanya dan merasa ia telah melakukan sesuatu yang tidak sopan pada seniornya, Becca buru-buru melepaskan sentuhannya dari wajah Freen dan melangkah mundur. Di sisi lain, Freen tampak kebingungan dengan pertanyaan Becca. Wanita itu menyentuh wajahnya sendiri dan ketika ujung jarinya menyentuh luka goresan itu, ia sontak meringis menahan perih.

"T—Tidak tahu. Ini mungkin ulah Seng," ucapnya. Ditatapnya wajahnya sendiri dengan menggunakan layar ponselnya yang mati. "Sial, kenapa aku tidak menyadari ini sebelumnya. Tahu begini aku akan menutupnya dengan plester luka."

Becca bertanya lagi, "Apakah sakit? Luka itu terlihat cukup dalam."

"Sedikit... dan mengganggu penampilanku. Sudahlah, ini bukan masalah besar," Freen menurunkan ponselnya. Kini ia tidak lagi menyentuh wajahnya meskipun jelas sekali ia tampak terganggu dengan luka goresan di bawah matanya. Wanita tinggi itu kembali berpaling pada Becca dan berucap, "Jadi, apa yang dokter katakan padamu?"

"Bukan sesuatu yang penting. Ia hanya memintaku mengisi kertas anamnesa dan menjadwalkan pertemuan selanjutnya minggu depan," Becca membalas. "Dan kau, kenapa kau datang ke tempat ini hanya untuk bertemu denganku?"

Freen mengendikkan bahu. "Aku tahu kau tidak ingin tinggal di rumahmu sampai kasus pembunuhan ini selesai. Jadi aku menawarkan apartemenku untuk kau tinggali sementara waktu. Tenang saja, apartemenku cukup luas untuk ditempati dua orang. Kita tidak akan saling bersinggungan selama melakukan urusan masing-masing."

Oh, Tuhan. Jika aku memang didiagnosa psikosis, aku berharap yang satu ini adalah salah satu halusinasi yang terjadi karena gangguan itu.

Becca menggigit bibir bawahnya. Terkejut, tak senang, dan tidak bisa berkata-kata. Ia benar-benar terkejut atas ucapan Freen barusan. "Hell, no! Lebih baik aku tinggal di rumah orang tuaku."

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin membantumu saja. Tapi kuharap kau mempertimbangkan hal ini mengingat sekarang si pembunuh menjadikanmu salah satu targetnya dan ia paham betul dengan keluargamu. Aku jadi khawatir jika kau memaksa tinggal di sana, justru akan membuat keluargamu menjadi dalam bahaya," Freen menerangkan. Dan demi Tuhan, setan, iblis, dan sejenisnya, mengapa wanita itu terlihat berbeda dari biasanya. Ia tampak lebih... bersahabat, mungkin? Apa yang Saint jejalkan padanya? Narkoba? Becca tidak mengerti dengan perubahan aura dan sikap dari wanita di depannya ini. Ia ingin menyahut, tapi Freen dengan cepat menyela ucapannya, "Di samping itu, aku bisa memberimu perkembangan kasus secara berkala. Kalau kau tidak mau, tidak masalah, sungguh. Pilihan ada di tanganmu dan aku hanya datang untuk memberimu tawaran ini satu kali."

Becca tampak berpikir. Ia berjalan menjauh dari Freen beberapa langkah dan memunggunginya. Freen, orang asing—koreksi, rekan kerja yang baru ia kenal selama beberapa minggu mengajaknya untuk tinggal bersama dalam satu apartemen. Wanita ini sepertinya orang yang akan memukul siapapun yang melangkahi batas personal yang ia buat, tapi karena alasan perintah Saint ia mau dan meminta Becca untuk tinggal bersamanya.

Oke, baik. Saatnya berpikir. Becca menyandarkan tubuh pada dinding yang dingin, menoleh ke belakang sekilas untuk menemukan Freen sudah berpindah dan duduk pada salah satu kursi panjang yang ada di lobi. Wanita itu sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon—sebuah konversasi yang serius sepertinya.

Tentang tawaran itu... jika Becca menolak, maka ia tidak tahu akan menumpang tinggal di apartemen Nam atau rumahnya sendiri. Itu pun jika ia merasa yakin tidak akan ada apapun yang menusuknya diam-diam di balik sudut gelap dari kamar tidurnya. Nam pun sepertinya sangat sibuk dengan mayat sehingga akhir-akhir ini ia jarang berada di apartemen. Meski ia meminta dan Nam akan dengan suka rela memberinya keycard, bukan berarti ia bisa bebas berkeliaran di apartemennya.

Tapi jika ia menerima tawaran Freen, ia mungkin bisa mendapatkan perkembangan kasus yang seharusnya ia tangani lebih cepat. Tidak akan ada delay informasi dan ia juga tidak akan merasa tertinggal. Dan mungkin aku juga bisa melakukan penyelidikan mandiri tanpa diketahui siapapun.

Benar, itu dia. Jika ia menerima penawaran Freen, ia bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus. Ia juga bisa mendapatkan perlindungan lebih karena ia tinggal bersama dengan rekan sesama polisi—si pembunuh berani dan juga tidak akan tahu jika ia ada di sana. Barangkali, Becca juga bisa menggali lebih banyak informasi tentang Freen Sarocha.

Kenyataan bahwa polisi dengan predikat personel terbaik atau teladan ini dipindahkan karena kasus yang sangat serius tentu menggugah rasa ingin tahunya.

Setelah mengambil waktu beberapa menit untuk berpikir, Becca akhirnya berjalan kembali dan mendekati Freen. Wanita itu mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel dan mendongak ke atas, menunjukkan raut wajah datar saat Becca berjalan mendekat. Ekspresi itu tidak berubah sedikit pun saat Becca berucap, "Baiklah, aku menerima tawaranmu karena kita adalah rekan kerja dan Saint yang memerintahkan itu padamu jadi jika aku menolak, itu akan berakibat buruk padaku."

"Jadi, kau percaya padaku sekarang?" satu alis Freen terangkat dan Becca merespon dengan anggukan malas. "Itu bagus. Kau bisa datang sekarang dan merapikan kamarmu, karena aku harus kembali ke kantor untuk menemui Mind." Si Letnan memasukkan ponsel dalam saku celana dan berjalan mendahului Becca menuju pintu kaca fasilitas. Pada satu titik, ia menghentikan langkahnya, menunggu Becca menyusul dengan langkah cepat.

"Phi Mind? Saint sudah menambah personel baru saat aku pergi?"

Benar juga, aku belum memperkenalkan Mind dengannya. Freen menggumam, ia kemudian mengambil sebuah kartu nama dari dalam saku kemeja. "Dia criminal profiler yang waktu itu aku beritahu. Ia setuju untuk bekerja sama dengan tim investigasi dan akan datang untuk menemui Heng dalam beberapa jam."

"Heng?"

"Ya. Selama kau pergi, dia yang akan memimpin," Freen memutar bola matanya dengan malas. Ia tampak sedikit tidak senang saat menyebut nama pria tinggi itu. "Aku juga tidak tahu apa yang dilihat Boss Saint dari orang itu. Ada banyak anggota lain yang lebih kompeten, dan itu bukan Heng."

Sedikit banyak, Becca memiliki pemikiran yang sama dengan Freen mengenai Heng. Pria itu memang bekerja di kepolisian lebih lama, tetapi ia tidak memiliki dedikasi apapun terhadap pekerjaannya dan terlalu nyaman dengan apa yang ia miliki sekarang. Mungkin itulah alasan mengapa ia tidak mendapatkan kenaikan pangkat yang lebih tinggi meski usianya beberapa tahun lebih tua dari Becca.

Becca berjinjit selama beberapa detik. Ia mengedarkan pandangan ke area parkir, tampak seperti sedang mencari sesuatu di sana. "Kau membawa mobil?" tanyanya. Agak merasa aneh karena ia tidak menemukan mobil putih milik Freen di antara barisan mobil yang terparkir di lahan parkir depan.

Freen mengangkat tangannya yang dibebat oleh perban tebal. Sesuatu berwarna merah tampak menembus perban tersebut dan membuat permukaan putihnya menjadi ternoda. Rembesan darah itu cukup banyak dan menutupi hampir seluruh bagian perban yang menutupi permukaan tangan. Itu terlihat buruk, tentu. Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika Freen masih memaksa membawa mobil. Mungkin darah tidak hanya merembes, melainkan langsung menetes-netes seperti keran air.

"Menurutmu dengan tangan sobek seperti ini aku bisa menggenggam roda stir dengan nyaman?" Freen balas bertanya—kali ini nada bicaranya yang agak kasar itu kembali muncul dan Becca merasa ia benar-benar sedang berbicara dengan Freen yang asli sekarang. Sikap menyebalkannya itu kembali dengan cepat seperti angin topan yang menghempaskan debu dan dedaunan.

Becca menarik napas panjang. Diambilnya kunci mobil dari dalam saku celana dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir beberapa meter di depan. Ia mengayunkan tangan pada Freen, memberikan isyarat agar wanita itu mengikuti dan menyusulnya. Ditekannya tombol yang ada pada kunci mobil dan suara nyaring yang memberikan tanda bahwa kunci pintu sudah terbuka pun terdengar. Becca membukakan pintu untuk Freen, membiarkan wanita itu masuk sebelum menutupnya kembali dan beranjak ke tempatnya di kursi kemudi.

"Kalau boleh jujur, aku cukup khawatir dengan keadaanmu. Katakan saja ini sebagai akibat dari perasaan bersalahku karena sudah membuatmu pingsan di hari pertamaku bekerja di kantor," Freen memulai pembicaraan. Ia tampaknya tak tenang dengan keheningan yang ada.

Becca menengok selama beberapa detik untuk menjawab, "Semuanya juga berkata demikian."

"Tidak, maksudku... ambisimu terhadap kasus ini. Aku tahu kau merasa sangat terancam karena si pembunuh, tapi kau harus tahu jika kau tidak bekerja sendirian di sini. Kau memang bertanggung jawab atas semuanya, tapi bukan berarti semua hal itu harus kau yang mengerjakan," Freen menjeda sejenak sebelum beralih ke pembicaraan lain. "Dokter Nam sudah mengidentifikasi sidik jari yang ditemukan pada semua kamera tersembunyi yang ada di rumahmu. Kau pasti tidak akan percaya dengan hasil identifikasinya." Ia tersenyum tipis.

"Beritahu aku, Sarocha."

"Baik," ia menyahut. "Sidik jari korban ketiga ada pada kamera tersembunyi itu."

"Aku jadi semakin yakin si pembunuh itu berkomplot dengan beberapa orang." Wanita yang lebih muda menjawab seraya menggigit bibirnya sendiri. "Tidak mungkin pelakunya hanya satu orang wanita muda. Memindahkan mayat dari satu tempat ke tempat lain itu terlalu mustahil."

"Atau mungkin tidak. Aku berpikir si pembunuh cukup cerdik dan pandai untuk mempengaruhi orang lain agar bergerak sesuai keinginannya. Tidak ditemukan tanda perlawanan dari tiga korban sebelumnya, itu berarti korban tidak merasa terancam sebelum pembunuhan terjadi. Jika pelaku berkomplot, pasti akan muncul tanda-tanda perlawanan dari si korban. Di sini, kita tidak menemukannya," Freen berbicara panjang lebar dan memberikan jeda agar Becca memahami betul apa yang ia ucapkan. Ia melirik ke samping, mendapati Becca mengangguk pelan. "Ya, kecuali mayat keempat ini. Ia masih belum diotopsi, jadi aku tidak bisa memberikan informasi apapun padamu."

"Kau sudah tahu siapa nama mayat itu? Aku jadi teringat dengan huruf S yang diukir pada dinding ruangan pribadiku di rumah."

"Exactly. Aku sudah menyelidiki dan menemukan jika si pelaku menggunakan nama panggilan korban untuk membentuk susunan kalimat, "Freen berdecak. "Korban keempat yang ditemukan dengan kepala hancur bernama Song. ARMS, sudah empat kata. Korban selanjutnya pasti memiliki nama panggilan dengan awalan huruf masing-masing T, R, O, N, G secara berurutan. Kelihatannya kau mendapat kloter paling akhir, huh?"

"Jangan bercanda, Sarocha," Becca memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri. "Kita harus bisa meringkus pembunuh sinting itu sebelum ia membunuh lebih banyak orang lagi."

Freen terkekeh kecil. Ia merespon jawaban Becca dengan anggukan. Begitu terobsesi dengan balas dendam, huh? Kau ingin membuat si pembunuh merasakan rasa sakit yang sama denganmu, ya?

"Aku juga pernah berada di posisimu, Armstrong. Itu menghabiskan waktu seumur hidupku. Yang menjadi pembeda adalah, sekarang aku sudah mendapatkan apa yang aku cari dan hanya menunggu waktu untuk melakukan pembalasan dendam. Sedangkan kau, masih belum." Freen mengecilkan suaranya ketika ia berbicara. Saat menengok ke samping, Becca mendapati Freen sedang menyandarkan kepala pada kaca jendela. Wanita itu menatap keluar pada kendaraan-kendaraan lain yang lewat dengan tatapan kosong.

Menginjak rem dengan lembut untuk memberhentikan mobil di persimpangan dengan lampu lalu lintas yang berpendar merah, Becca melepaskan pegangannya dari stir untuk melemaskan jari-jarinya. "Apa itu... berhubungan dengan alasan mengapa kau dipindahkan dari Chiang Mai?" tanyanya. Detik itu juga, Becca diam-diam menyumpahi dirinya sendiri atas pertanyaan lancang yang tak seharusnya itu.

Freen tidak menjawab. Ia juga tidak menunjukkan ekspresi marah karena privasinya terganggu. Tapi Becca tahu ia sedang menyunggingkan senyuman dari balik surai-surai hitam yang menutupi samping wajahnya.

"Hah... semuanya lebih kompleks dari sebatas insiden penembakan di Chiang Mai, Sersan. Jika memang itu yang sedang kau pikirkan sekarang."






Author Notes:

Dua kasus pembunuhan berantai yang disebutkan di sini; Pembunuhan Berantai BlackMail dan Pembunuhan Berantai Doberman, berasal dari serial fiksi penggemarku yang lain. Judulnya adalah Unnatural. Aku menyebutkan dua kasus tersebut karena cerita ini memiliki latar waktu dan universe yang sama dengan Unnatural. Yang membedakan hanyalah negara tempat kejadiannya. Straight To Hell berlatar di Thailand, sedangkan Unnatural berlatar di Jepang. Tokoh-tokoh yang terlibat pun juga berbeda. Tetapi dalam salah satu chapter di STH, akan ada cameo yang berasal dari Unnatural.

Seandainya kalian tertarik dengan apa yang terjadi di Unnatural Series, kalian bisa cek profilku dan mulai membaca!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top