Chapter 8: Attempted Murder
Begitu melihat kondisi mayat yang, astaga, sangat berantakan, Becca tak bisa menahan diri untuk tidak berbalik dan mendorong semua orang yang menghalangi jalannya, kemudian mencari tempat yang tersembunyi untuk memuntahkan seluruh isi perutnya. Apa yang baru saja ia lihat mungkin akan menghantuinya sampai ia mati. Bagaimana tidak, bagian dalam mobil benar-benar berubah seperti tempat pemotongan daging.
Bau anyir dari darah yang mulai teroksidasi, percikan darah di jendela, potongan-potongan kecil otak dan daging manusia yang menempel di kursi, roda stir, dashboard, hingga pintu mobil adalah kombinasi yang tepat disebut sebagai bau neraka. Ia hanya melihat mayat dalam waktu kurang dari lima detik saja, dan itu sudah membuat kedua matanya berair dan makanan yang ada di lambungnya naik kembali ke kerongkongan.
Bahkan setelah Becca merasa isi lambungnya sudah benar-benar terkuras habis, ia masih merasa mual dan akhirnya ia hanya bisa memuntahkan udara kosong—yang justru membuat perut dan dadanya sakit. Perlu waktu dua menit penuh baginya untuk benar-benar melupakan apa yang ia lihat sehingga ia hanya bisa duduk berjongkok dengan telapak tangan menutupi wajahnya.
Siapa yang melakukan ini? Apakah si monster? Jika memang benar, mengapa ia menggunakan cara membunuh yang berbeda? Apakah dia marah karena aku menemukan petunjuk untuk menangkapnya? Becca menggigit lidahnya sendiri karena sempat ragu bahwa mayat penuh darah yang tadi ia lihat hanya sebatas halusinasinya saja. Namun ketika ia merasakan sakit dan mendengar ada petugas polisi lain yang muntah sepertinya, ia menjadi yakin bahwa mayat dengan kepala hancur itu benar-benar nyata adanya.
"Ada apa denganmu?" ia membungkuk, mengintip wajah Becca dari samping kanan. Becca tidak memberikan jawaban dan hanya menggelengkan kepalanya, itu membuat Freen mendengus pelan. "Kau tidak pernah yang melihat seperti ini oleh karena itu kau tidak bisa mengendalikan keinginan untuk muntah. Ayo, biasakan dirimu." Dengan itu, Freen menarik lengan Becca dan menuntun wanita itu berjalan mendekati TKP yang sudah diberikan garis pengaman.
Freen meminta sebuah masker dari salah satu petugas dan mengoleskan bagian dalamnya dengan minyak aromaterapi dalam jumlah yang cukup banyak sebelum memberikannya pada Becca. "Pakai itu untuk menyamarkan bau darah. Tidak akan benar-benar membuatnya hilang, tapi setidaknya kau tidak sampai muntah seperti tadi."
"Terima kasih," Becca segera memakai masker itu dan juga sarung tangan karet miliknya. Ia berjalan mendekati pintu tempat pengemudi mobil berada, membukanya perlahan untuk mengamati mayat dari jauh. "Sejak tadi aku stand by di kantor dan aku yakin tidak ada panggilan telepon yang melaporkan penemuan mayat. Siapa yang menemukannya?"
"Aku yang menemukannya," Freen menjawab lagi. Kali ini ia berdiri di samping Becca dengan satu tangan menahan pintu mobil dan kepala setelah masuk ke dalam. Ia segera mengeluarkan kepalanya dan menampilkan ekspresi tak nyaman—jelas ia juga terganggun dengan bau mayat. "Selesai bertemu dengan profiler yang aku janjikan padamu, aku sengaja lewat di jalan ini untuk mencari sesuatu. Dan aku menemukan mobil ini berada di tempat yang tidak seharusnya. Selanjutnya, seperti yang kau lihat sekarang."
"Kau menyentuh mobilnya?" Becca bertanya lagi. Namun sepertinya ia tidak lagi membutuhkan jawaban saat mendapati Freen tidak mengenakan sarung tangan karet. "Shit, kau tidak memakai sarung tangan? Bagaimana jika ada sidik jarimu yang tertinggal, bodoh!" hardiknya. Ia pun mengambil sarung tangan cadangan miliknya dan memberikan benda itu pada Freen.
Menerima pemberian Becca dengan gestur malas, Freen menjawab santai, "Mereka tidak akan mencurigai polisi yang menyelidiki mobil ini. Lagipula, apa aku terlihat seperti pembunuh berantai bagimu? Tidak, 'kan? Jadi, berhenti menatapku seperti aku ini seorang buronan dan mulai memotret mayat sebelum ia dipindahkan."
"Dasar, keras kepala! Hey, awas saja jika kau menyeretku ke dalam masalahmu." Becca balas menggertak sebal dan Freen hanya menanggapi dengan dehaman keras.
Ibunya pernah mengatakan sesuatu tentang orang yang pantas diberikan satu atau lebih pukulan keras di bagian kepala, dan Becca merasa Freen termasuk dalam kategori orang yang pantas dipukul lebih dari tiga kali. Jika saja ia tidak sedang bekerja, mungkin Becca bisa dengan mudah memukul letnan itu di bagian pundak hanya untuk memuaskan kekesalan yang ada dalam dirinya.
Lagipula, orang ini seperti sedang bermain-main dengannya. Terkadang ia bisa bersikap baik dan ramah sebagaimana seorang teman dan rekan kerja pada umumnya, tapi terkadang ia juga bisa menjelma seperti setan penghuni neraka yang selalu menggoda manusia. Tapi, hey, meskipun Sarocha Chankimha ini orang yang cukup menyebalkan karena sikapnya yang kasar, frontal, dan terkadang terlalu tajam, ia termasuk anggota yang berguna—bahkan lebih berguna daripada rekan kerjanya yang lain. Jadi ya... Becca terpaksa harus menekan amarahnya dalam-dalam jika ia ingin bekerja sama dengannya lebih baik lagi.
Ketika Becca mengecek bagian belakang mobil dan bangku penumpang, Freen memberanikan diri membuka pintu kursi samping kemudi—tempat di mana mayat itu duduk. Saat pintu dibuka, nampaklah percikan-percikan darah dan potongan daging yang menempel di bagian dalam pintu. Pada jok mobil juga ada genangan darah hitam yang cukup tebal. Karena baunya, beberapa petugas sampai berjalan menjauh dan baru kembali setelah bau busuk mayat melebur menjadi satu dengan udara.
Bagian kepala mayat sepenuhnya hancur. Tulang tengkorak retak parah, bola mata hilang satu dan satu bagian lainnya menggantung bebas hampir putus. Kepalanya terlihat seperti buah kelapa yang dihancurkan oleh batu. Dengan isi kepala dan serpihan tulang yang menumpuk di dalam rongga kepala yang hancur dan berceceran di kursi, kaca jendela, dan bagian interior mobil lain.
Kepalanya dihancurkan dengan benda tumpul. Palu, mungkin?
Di antara potongan-potongan daging dan tulang yang menjijikkan itu, ia mendapati sebuah benda berwarna putih yang terjepit di celah lembut tulang tengkorak yang pecah. Tanpa ragu, Freen mengambil benda itu yang rupanya adalah lembaran kertas yang dilipat. Surat? Ia membuka lipatan kertas dan memang benar, ada tulisan yang ada di baliknya.
Memang sedikit tidak jelas karena kertas itu sudah berubah warna menjadi warna darah. Tapi ia masih bisa membaca sebagian besar isinya. Lagi-lagi surat itu ditujukan pada Rebecca Armstrong—dan kalau boleh jujur, Freen juga terkejut jika pesan ini ditinggalkan oleh pembunuh yang sama dengan pembunuh yang membuat korbannya menyerupai patung. Isi monster benar-benar mengubah gayanya membunuh.
Saat Freen beralih dari mayat dan berjalan mendekati kursi kemudi—yang berarti ia harus memutari bagian depan mobil—ia menemukan sesuatu berwarna kuning yang tergeletak di dalam genangan darah hitam. "Sersan Armstrong, cepat kemari!" panggilnya. "Ada palu dengan gagang kuning. Sepertinya itu senjata pembunuhnya."
Mendengar namanya dipanggil, Becca yang sedang memeriksa bagasi mobil dan tidak menemukan apapun selain debu-debu halus pun segera menutup bagasi dengan satu gebrakan keras dan berjalan cepat mendekati Freen. Baru saja ia akan menjawab, Freen sudah menyodorkan kertas berlumur darah. Dia melakukannya lagi. Becca menerima surat itu dengan tangan gemetar, ia tak perlu menanyakan dari mana ia menemukan surat itu karena sudah jelas itu adalah peninggalan si pembunuh.
"Sersan Armstrong, ini hadiahku untukmu." Becca meremas kertas itu dengan penuh emosi. Freen sampai harus merampasnya agar ia tidak sampai merobeknya dan merusak barang bukti. "Sialan. Sial, sial, sial. Fuck! Fuck me! Mengapa dia selalu bisa lolos di saat aku sudah hampir menangkapnya! Mengapa dia selalu lepas dari tanganku saat aku sudah mendapatkan petunjuk!"
Dua pukulan keras ia lepaskan pada permukaan keras mobil itu. Sakit, memang. Tapi ia tak peduli. Ia sedang marah, sangat marah sekarang. Rasanya ia ingin sekali mengeluarkan pistolnya dan menembak kepalanya sendiri hanya untuk menghapus semua bisikan-bisikan yang membuatnya menyalahkan dirinya sendiri. Ia masih sepenuhnya sadar sekarang, sehingga ia tidak bisa membunuh dirinya sendiri sehingga ia hanya bisa memukuli mobil di sampingnya.
Freen pun meletakkan tangannya tepat pada body mobil, membuat kepalan tangan Becca tidak menghantam benda keras itu melainkan hanya menyentuh tangannya saja. "Rebecca! Itu bukan salahmu! Bangunlah!" wanita bermarga Chankimha itu berteriak di depan wajahnya. Ia tidak berani menyentuh tangan atau bahu Becca karena sarung tangannya sudah kotor oleh darah. Freen ingin menggertaknya lagi hanya untuk menyadarkannya, tapi melihat rupa Becca yang sudah cukup membuatnya kasihan justru membuatnya ingin menepuk bahunya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Meski kenyataannya tidak demikian.
Padahal ia tidak pernah suka dengan rekan kerja yang merepotkan. Padahal ia tidak pernah mau bekerja sama dengan orang yang lemah. Tapi mengapa dengan Rebecca Armstrong, ia tidak pernah bisa menunjukkan sisi tegasnya lebih jauh lagi? Di mana dirinya yang dulu? Di mana sosok Letnan Chankimha yang ditakuti oleh setiap personel saat ia masih menjawab di Chiang Mai?
Ada sesuatu dalam diri Rebecca yang membuatnya tidak sampai hati menggertak atau mengancamnya. Ia ingin tahu itu apa, jadi untuk menghindari perselisihan yang lebih buruk, Freen mencoba mengatur nada bicaranya menjadi lebih lembut saat melanjutkan, "Baiklah. Mengapa kau tidak pergi bersama Seng dan mengecek kamera CCTV yang ada di gedung kosong sana? Aku akan mengurus mayat ini untukmu, oke?"
Sayangnya, Becca tidak memiliki pendapat yang sama dengannya. Wanita itu jelas saja menolak meskipun wajahnya sudah pucat pasi. "Tidak, tidak perlu. Aku bisa melakukan ini."
"Rebecca..." Freen mengulang. Kini ia berdiri di depannya, menghalangi Becca yang berusaha mendekati mayat. "Tenangkan dirimu. Baru setelah itu kau boleh membantuku di sini, mengerti? Maaf, tapi aku tidak ingin membuatmu pingsan lagi seperti dulu."
Becca menatap lurus pada sepasang iris cokelat muda sang letnan. Tatapan tajam itu sudah melunak dan lebih nyaman dilihat sekarang. Ia berhasil membuat Becca menjadi lebih tenang, dan akhirnya mengalah dan mengikuti apa yang Freen sarankan kepadanya. "Baiklah. Aku akan kembali dalam setengah jam, Sarocha." Freen mengangguk mantap, dan ia melihat kepergian Becca yang rupanya sudah ditunggu oleh Seng beberapa meter di depan sana.
Mereka berjalan bersama menuju salah satu gedung kosong dengan kamera CCTV yang menghadap ke arah gang kosong tempat ditemukannya mobil berisi mayat ini. Mungkin mereka sedang memperkirakan di mana operator kamera itu berada selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka kembali berjalan mendekati salah satu gedung apartemen.
Dan saat itulah Freen melihat Seng mengeluarkan sesuatu yang berkilat-kilat dari celah celananya dengan mata kepalanya sendiri.
"HEI, BENDA APA YANG KAU BAWA ITU? MINGGIR!"
BRUG
Becca tersentak kaget begitu suara keras terdengar tepat di belakangnya, disusul oleh suara teriakan keras yang membuatnya refleks berjalan menjauh dan berbalik untuk melihat apa yang terjadi di belakangnya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat Freen sedang menindih Seng dan mencengkeram sebilah pisau di tangan kanannya, wanita itu tampak meringis menahan sakit namun ia masih tidak melepaskan cengkeramannya dari mata pisau sebelum benar-benar melepaskannya dari cengkeraman Seng dan melemparkannya ke sembarang arah.
Cipratan darah berceceran di tanah saat Freen melempar pisau. Lelehan darah juga tampak meluncur turun dari telapak tangan, lengan, dan membasahi pakaian yang ia kenakan. Tapi ia tidak peduli dengan luka sayatan itu seakan itu bukanlah masalah besar.
"Pengkhianat, brengsek. Untuk siapa kau bekerja, huh?" Freen terlihat sangat marah sekarang. Kedua matanya memerah, menunjukkan seberapa besar emosi yang sudah menunggu untuk dilepaskan dan sekarang ia sudah menemukan objek yang tepat untuk melampiaskan emosinya. Perih yang berasal dari sayatan mata pisau yang ada di telapak tangan sama sekali tidak ia rasakan.
Sebelum ledakan amarahnya benar-benar terjadi, Freen menyeret Seng menjauh beberapa meter dari hadapan Becca dan anggota timnya yang lain. Tak peduli dengan keberadaan orang lain yang mungkin mendokumentasikan kekerasan yang akan ia lakukan, Freen menarik kerah kemeja Seng, memaksa pria itu berdiri dan langsung mendorong tubuhnya sekuat tenaga pada mobil Becca yang terparkir di sampingnya. Dentuman dan erangan penuh kesakitan tak lekas membuat Freen berhenti karena ia langsung menyeret Seng dan membanting tubuhnya di atas aspal.
Letnan itu melakukannya seolah ia sudah pernah dan cukup terbiasa melakukan hal semacam itu sebelumnya. Menginjak, mencekik, memukul, semuanya dilakukan tanpa henti dan tanpa ampun. Rintihan rasa sakit, dan ucapan Seng yang memohon agar Freen mau mendengarkan penjelasannya tidak didengarkan sama sekali oleh sang letnan.
Freen menghentikan pukulannya sejenak. Ia melepaskan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dan menggenggamnya kuat-kuat. Dengan itu, ia memukul pelipis dan bagian mata Seng hingga kaca yang melapisi jam tangannya pecah berkeping-keping dan membuat goresan luka yang lebih menyakitkan.
"Kenapa kau melakukan itu? Kenapa kau menarik pisau di dekat Rebecca, hah? Jangan mengelak! Kau kira aku tidak melihat apa yang kau lakukan di belakang sana, sialan!" Freen menarik tangannya ke atas dan kembali menghujam wajah Seng dengan dua pukulan yang jauh lebih keras dari sebelumnya.
Beberapa detik penuh ketegangan yang membuat para petugas polisi yang turut hadir memeriksa TKP membeku dan terdiam saat melihat perkelahian nyata yang terjadi di depan mata pun mulai bergulir. Kali ini, ada beberapa orang petugas yang berani bergerak untuk memisahkan Freen yang semakin kesetanan dari Seng yang mulai kehilangan lemas karena dipukuli habis-habisan.
Namun setiap kali ada seseorang yang menyentuh tubuh Freen dan menariknya menjauh, wanita itu refleks menoleh dan mendesis marah, membisikkan ancaman mengerikan yang sontak membuat orang yang berani memisahkan dua orang yang sedang berkelahi itu mundur dan tak berkutik.
"Lepaskan aku, dasar jalang gila! Aku harus melakukan ini! Aku harus membunuhnya, lepaskan aku! Dia harus mati. Becky harus mati sebelum dia membunuh orang lain lagi!" Seng menendang ulu hati Freen dengan lutut dan membalik posisinya, dan kini Freen yang tergeletak di tanah dengan kedua tangan terangkat untuk melindungi wajah. Seng menghentakkan kakinya dan menginjak dada Freen sekeras-kerasnya, membuat Freen menyemburkan udara dari mulutnya dan darah muncrat keluar dari hidung dan mulutnya.
Tendangan itu cukup menyakitkan. Paru-parunya seperti telah dipecahkan dan hancur berkeping-keping, dadanya terasa ditekan ke dalam dan membuatnya sangat sulit untuk bernapas. Freen tidak bisa menanggalkan pertahanan di kepalanya, karena jika begitu, Seng pasti akan menginjak kepalanya. Terpaksa ia membiarkan Seng menginjak tubuhnya untuk kali terakhir dan saat ia sudah menemukan momen yang tepat, Freen menggulingkan tubuhnya ke samping dan langsung mencengkeram kaki kiri Seng.
Menggunakan teknik gulat yang ia pelajari di kepolisian, Freen mengunci dan mematahkan lututnya, menjatuhkan Seng ke tanah hanya dengan satu gerakan cepat. Tak ingin lagi berada di posisi yang buruk, Freen tak membiarkan nyeri memperlambat gerakannya sehingga ia segera melompat dan menekan leher Seng dengan lututnya—membuat pria itu benar-benar terkunci dan tidak bisa bergerak lagi. Dan saat itulah, Freen mengepalkan tangannya yang berlumuran darah, berniat untuk menghabisinya satu kali lagi.
Pukulan bertubi-tubi dan kepalanya yang dihantamkan berkali-kali pada aspal membuat sebuah luka yang membuat darah mengalir keluar dan menetes-netes di permukaan aspal yang kering. Kesadarannya perlahan memudar seiring dengan pukulan Freen yang semakin membabi buta. Darah menganak sungai di dekat kaki, entah berasal dari kepala Seng atau buku-buku jari Freen yang terluka karena pecahan kaca halus yang menggoresnya.
Becca menatap apa yang terjadi di depannya dengan kaki gemetar. Mengetahui bahwa ia mungkin saja akan mati tertusuk seandainya Freen tidak mendorong Seng menjauh dan mengorbankan telapak tangannya hanya untuk mencengkeram mata pisau. Ia tidak mengerti apa yang sudah terjadi, butuh waktu baginya untuk menata ulang semuanya dan membuat susunan runtut dari peristiwa yang terjadi begitu cepat.
Seng, anggota tim investigasinya sendiri, telah melakukan percobaan pembunuhan kepadanya. Dan Freen adalah orang yang mengetahui hal itu sehingga ia segera menerjang Sseng dan menggagalkan upaya pembunuhan tersebut. Apa yang sudah terjadi? Mengapa Seng melakukan hal semacam itu padanya?
Kenapa?
Tanpa sadar, Becca mengeluarkan pistolnya dan melepaskan tembakan peringatan ke langit.
BANG
"Letnan Sarocha Chankimha! Berhenti memukulinya atau aku terpaksa melumpuhkanmu dengan tembakan di kaki!"
Suara tembakan mendadak terdengar. Disusul oleh suara langkah kaki cepat, dan tubuhnya yang benar-benar ditarik paksa oleh seseorang. Dan saat ia mencoba untuk melawan, sebuah logam panas segera menyentuh bagian belakang lehernya. Freen tahu itu adalah moncong pistol yang baru saja meloloskan pelurunya—Becca menodongkan pistol di lehernya dan jika ia tidak mau mati dengan leher berlubang, maka mau tak mau, ia harus melepaskan manusia brengsek yang ada di bawah kakinya ini.
Letnan muda itu juga tidak ingin membuat karirnya di kepolisian tercoreng lagi setelah insiden yang terjadi di Chiang Mai sehingga begitu Becca memberinya tembakan peringatan, Freen segera menghentikan pukulan-pukulannya dan hanya memberikan sorot mata penuh kebencian pada Seng dan Becca secara bergantian.
Pada akhirnya ia terengah, nyaris kehabisan napas. Wanita itu menegakkan tubuhnya dan mengangkat kedua tangannya ke atas, memamerkan darah dan luka sayatan dalam yang ada di telapak tangan kanannya. Ia berjalan menjauh dari Seng—dengan sengaja menendang kepala pria itu tanpa ampun sebelum benar-benar berjalan menjauh dan berhenti di depan Becca yang sedang menatapnya dengan sorot mata tajam.
Dan setelah semuanya mulai tenang, Becca akhirnya bisa menggerakkan tubuhnya kembali. Dengan langkah gontai ia mendekati Freen untuk mengecek kondisinya, ia membiarkan anggota yang lain mengamankan Seng dan membawanya ke rumah sakit sebelum diperiksa di kantor polisi.
"Apa—Apa yang kau lakukan? Tidakkah kau sadar bahwa kau sudah membuat kekacauan di TKP?" wajah Freen yang semula menunduk ke bawah guna mengeluarkan semua darah yang bercampur dengan air liur di dalam mulutnya sontak terangkat begitu ia mendengar suara Becca di dekatnya. Darah masih mengalir keluar dari sudut bibir wanita itu dan Becca sempat terhenyak sesaat, hingga ia akhirnya menelan kembali semua kalimat yang hendak ia utarakan dan hanya memberi sapu tangan pada letnan yang terluka itu.
Mengernyit dalam, memberikan ekspresi kesal yang tampak jelas, Freen mendorong tangan Becca menjauh dan menolak pemberiannya. Justru, ia malah menjawab dengan nada tidak mengenakkan. "Menyelamatkanmu. Aku sedang menyelamatkan hidupmu. Kau bisa mati jika aku tidak melompat dan menghajar keparat itu!"
"Kau tidak perlu melakukan kekerasan seperti itu!"
"Lantas kau ingin aku melakukan apa?" Freen menjawab lagi. "Kau ingin aku bernegoisasi dengannya sementara ia akan menggoreskan pisau itu di lehermu, kau ingin begitu? Percayalah, itu tidak akan berhasil. Dia beruntung aku tidak membunuhnya di tempat!"
Berdebat dengan Freen tidak akan membuat pekerjaan dan situasi menjadi lebih baik. Jadi Becca memutuskan untuk tidak lagi menekan wanita itu lebih jauh. Toh, Freen sendiri juga sudah berpaling darinya dan berjalan mendekati mobil tempat mayat tadi berada—tetesan-tetesan darah tergambar jelas pada jalan yang ia lewati. Sepertinya sapu tangan masih tidak cukup membebat telapak tangannya yang tersayat
Becca memandang Freen dari jauh. Sebuah suara tiba-tiba terputar di kepalanya, suara yang berasal dari ingatan yang ia dapatkan saat ia masih di kantor tadi. Terima kasih pada kelancangan dirinya karena telah menguping pembicaraan orang lain, pandangan Becca terhadap Freen setelah ia memukuli Seng hingga sekarat dan ucapan salah satu anggota timnya berhasil membuat pandangannya terhadap Freen berubah.
"Letnan—ah tidak, Kapten Chankimha itu sinting. Ia memang digadang sebagai personel terbaik di Chiang Mai. Tapi itu sebelum ia membunuh orang dan membuat pangkatnya diturunkan serta membuatnya dipindah tugaskan di Bangkok. Singkatnya, ia dibuang. Menurutmu apa tidak aneh anggota baru sepertinya langsung dimasukkan dalam tim investigasi untuk pembunuhan berantai?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top