Chapter 5: Not A Safe Place Anymore
Empat buah mobil—satu mobil SUV hitam milik Rebecca, tiga mobil dinas polisi yang terparkir di depan gerbang kediaman pribadi Sersan Rebecca Armstrong. Semua tim investigasinya datang dengan pakaian sipil ke rumahnya untuk melakukan penyelidikan—juga mengikuti saran Letnan Chankimha untuk tidak membiarkan Rebecca datang sendirian ke rumahnya dan memulai penyelidikan dengan menanyakan orang-orang yang ada di lingkungan tempat tinggal Rebecca.
Semua foto-foto yang ditinggalkan oleh si monster menunjukkan berbagai macam angle yang berbeda sehingga dapat disimpulkan ia pernah beberapa kali singgah di sekitar situ, menjadi salah satu penghuni, atau bahkan menyusup ke dalam salah satu rumah hanya untuk memantau kehidupan Rebecca.
Lingkungan rumah Rebecca sendiri adalah lingkungan rumah yang tergolong sepi. Semua penghuninya kebanyakan adalah pegawai kantoran yang pergi di pagi buta, pulang saat matahari mulai terbenam, dan mematikan lampu-lampu rumah mereka ketika malam. Bahkan ada beberapa unit rumah yang kosong karena si pemilik hanya sekedar menggunakan rumah itu sebagai property yang akan dijual kembali beberapa tahun lagi setelah harganya naik berkali-kali lipat.
Kedatangan petugas-petugas polisi itu memang sempat menarik perhatian beberapa orang, tetapi karena mereka semua datang dengan wajah tegang seperti sedang terjerat hutang, maka tidak ada yang berani mendekat karena segan dan memilih melihat dari kejauhan. Mereka semua sudah mendapatkan arahan dari Rebecca ketika di kantor—sersan muda itu datang menggunakan dua plester salonpas di bagian tengkuk setelah pulang dari rumah sakit di sore harinya untuk menginap di apartemen Nam agar ia bisa pergi ke kantor di esok pagi—sehingga begitu turun dari mobil, polisi-polisi itu segera bergerak menyebar sesuai dengan tugasnya masing-masing.
Beberapa hal yang harus dilakukan setelah mendapatkan surat perintah adalah mendatangi satu persatu rumah di sekitar kediaman Rebecca untuk meminta izin melakukan penggeledahan, menanya-nanyai orang sekitar mengenai kemungkinan adanya orang tidak dikenal yang berkeliaran, sekaligus mengecek kamera CCTV yang ada di sekitar sana. Rebecca masih berada di sisi mobilnya, menatap rumahnya sendiri seperti ia sedang menatap sesuatu yang asing dan begitu jauh.
Membayangkan apa yang mungkin ada di sana ketika ia tidak ada di rumah saja sudah membuat bulu kuduknya merinding
Di salah satu mobil dinas, Noey yang semula berdiri di halaman rumah bersama dengan Heng dan Freen tampak berlari kembali untuk membuka bagasi belakang mobil untuk mengambil suatu alat elektronik kecil dan kembali ke halaman rumah untuk memberikannya pada Freen. Sejujurnya, Rebecca masih tidak memiliki cukup keberanian untuk masuk ke dalam rumahnya. Tetapi karena ini sudah tugasnya untuk mencari petunjuk yang akan membawanya pada si pembunuh, maka ia perlu melawan rasa takut itu.
Menggunakan remote untuk mengunci pintu mobilnya hingga suara beep yang cukup keras terdengar, Rebecca berjalan cepat melangkahi bebatuan kecil yang menempel di sol sepatunya untuk bergabung bersama rekan timnya yang lain untuk memulai penggeledahan di dalam rumahnya sendiri. Menjatuhkan tatapan singkat pada Freen, Rebecca kembali merasa tidak mengenali letnan muda itu meski mereka berdua sempat berbicara selama beberapa jam dua hari yang lalu.
Wajah wanita itu kembali terlihat tidak bersahabat, menunjukkan bahwa ia tidak tertarik untuk berbicara apapun selain yang berhubungan dengan pekerjaan. Sorot mata dingin dari kedua iris cokelat muda itu seakan menusuk hati setiap orang dan membuat siapapun yang bertatapan langsung dengannya. Jika ia mau, mungkin Freen bisa membunuh orang hanya dengan satu kali tatapan mata yang menakutkan itu.
Bahkan saat Rebecca berjalan mendekatinya, si Chankimha itu tak mau repot-repot menatap ataupun menyapanya melainkan langsung memintanya untuk berjalan duluan dan membuka pintu rumahnya dengan kunci yang Rebecca bawa. Menghembuskan napas berat karena tak ingin membuat suasana tegang menjadi semakin runyam, Rebecca pun menjalankan permintaan Freen tanpa mengucapkan apapun. Rebecca, selaku pemilik rumah berdiri di depan pintu dengan kunci di tangan.
Noey, Heng, Seng, Irin, dan Freen berada di belakangnya—semuanya dalam posisi waspada dan perlahan-lahan mengeluarkan pistol dari sarung pistol yang tersampir di sabuk masing-masing. Begitu pintu dibuka dan pemandangan gelap dari dalam rumahnya nampak di depan mata, Rebecca langsung menyambar pistol dan senter di sabuk, dan melesak masuk ke dalam dengan menyebarkan tatapan waspada ke bagian kanan dan kiri.
"Seng, Irin, Noey. Ke atas." Rebecca berbisik, menghentikan langkahnya tepat di dekat tangga dan menggunakan telunjuk tangan kirinya ke arah anak tangga menuju lantai dua.
Tiga orang personel yang disebut namanya pun segera berlari cepat meniti belasan anak tangga tanpa menghasilkan suara ketukan dari sepatu yang terus beradu dengan lantai marmer. Membiarkan ketiga anggotanya menyelesaikan urusan mereka untuk menggeledah apapun yang mencurigakan di lantai atas rumahnya, Rebecca memimpin Heng dan Freen untuk menggeledah semua tempat di lantai satu.
Ruang tengah yang berisi beberapa sofa, sebuah televisi 80 inchi yang ada di atas meja tv dengan satu set home theater yang berada di kanan dan kirinya, beberapa rak penuh buku dan meja berisi beberapa hiasan meja.
Ketika Heng berjalan sendirian dengan pistol di tangan untuk menuju koridor guna memeriksa pintu ke arah garasi depan yang tertutup, Freen melesat cepat di samping Rebecca. Sebuah alat menyerupai remote control dengan antenna hitam kecil mencuat di bagian atas tergenggam erat di tangannya. Ada sebuah lampu berwarna kuning terang yang menyala dan mati dengan tempo medium. Tempo lampu itu semakin lama makin cepat saat Freen mendekati salah satu rak buku berisi berbagai buku-buku referensi yang berkaitan dengan kedokteran psikologi, dan undang-undang terbaru yang ada di Thailand.
Hingga pada satu titik, tepat pada salah satu sela buku yang didekati oleh Freen membuat alat di tangannya menggila. Lampu kuning tersebut terus menyala dan mengeluarkan dengungan keras sampai-sampai Heng dan Rebecca berlari tergopoh-gopoh ke arahnya. Tanpa menunggu untuk ditanya, Freen meletakkan alat tadi di atas meja dan segera menarik keluar beberapa buku tersebut. Pada salah satu sela buku, terselip satu buah kamera kecil yang masih aktif. Kamera itu terjatuh di lantai, tepat di samping kaki Freen—hampir terinjak olehnya jika saja Rebecca tidak menahan kaki wanita itu agar tetap diam di tempatnya.
Sersan muda itu berjongkok untuk mengambil kamera, mendekatkan benda kecil itu di matanya untuk mendapat pengelihatan lebih baik dari benda yang sudah memata-matai kehidupannya selama ini. Kamera itu sangat kecil. Lebih kecil dari ibu jarinya, dan mungkin seukuran baterai jam tangan. Rebecca mengangkat wajah, sedikit terkejut ketika sadar bahwa Freen juga tengah menatapnya dengan dahi berkerut dalam. Dan saat itu, memastikan bahwa mereka tengah memikirkan sesuatu yang sama, Freen segera berbalik untuk mengambil alatnya dan bergerak ruangan lain, meninggalkan Rebecca yang masih termangu dengan kamera kecil di tangannya.
Bagaimana monster itu masuk dan meletakkan benda semacam ini di rumahnya tanpa ia ketahui? Padahal ia selalu mengunci pintu depan dan balkon yang ada di lantai dua ketika ia keluar rumah. Ia juga yakin betul bahwa ia tidak pernah lupa mengunci pintu pagar dan bagasi. Lantas... mengapa si pembunuh bisa masuk tanpa merusak kunci rumah?
Berbicara dengan orang terdekat, jika diingat lagi, Rebecca tidak pernah memberikan salinan kunci rumahnya ke orang lain selain anggota keluarganya terdekatnya sendiri. Bahkan Nam yang sudah hampir seperti saudaranya sekalipun. Jadi... bagaimana bisa?
Ia merasakan tangannya mulai kehilangan kekuatan untuk menggenggam. Otot-otot di tangannya seakan melemah sehingga kedua tangannya hanya bisa jatuh lunglai di sisi tubuhnya sementara Rebecca berdiri sendirian dengan ribuan pertanyaan yang mungkin tak akan bisa terjawab. Perasaan aneh itu kembali menyerangnya, membuat sekujur tubuhnya merinding setengah mati.
Ribuan pasang mata itu kembali lagi. Berkumpul di rumahnya yang gelap, bersembunyi di antara sudut-sudut hitam yang tidak terkeca cahaya. Semuanya menatap tajam ke arahnya, selayaknya binatang buas di hutan belantara yang sedang mengendap-endap mengintai mangsa. Jantungnya berdegup kencang, membuatnya sangat tidak nyaman dan gelisah di waktu bersamaan.
CRACK
Kesal dan frustasi yang kelewat akut ia tumpahkan begitu saja dalam satu kali ayunan tangan. Kamera kecil itu dibanting ke lantai dengan keras olehnya, lalu dikarenakan angkara yang membutakan kedua matanya yang memerah, Rebecca menghentakkan kaki kanannya sekeras mungkin hingga menghancurkan alat elektronik itu hingga bentuknya menyerupai serpihan-serpihan kaca kecil berwarna putih yang kontras dengan lantai rumahnya.
Sebenarnya kau itu siapa? Apa yang sudah aku lakukan padamu sampai kau menguntitku sampai seperti ini? Emosinya benar-benar kacau. Jika dilihat dengan sekilas saja, mungkin seseorang bisa menangkap roda merah yang muncul di telinga dan wajahnya diakibatkan oleh darah panas yang terpompa naik ke kepala. Aku bersumpah, jika kau melakukan hal yang sama dengan keluargaku, aku akan pastikan hukum rimba yang akan berlaku terhadapmu.
Rebecca berjalan masuk ke dalam ruang kerjanya, menendang pintu jati berat itu hingga membentur dinding di belakangnya. Ruangan yang cukup luas itu memang gelap, dan Rebecca segera menyalakan lampu. Meja kerja, komputer, printer, rak buku, lemari arsip, lemari berisi senapan-senapan lawas segera tampak di matanya. Tanpa menunggu lagi, ia segera membongkar semua isi laci meja dan menjatuhkan semua barang-barang yang ada di dalam lemari arsip dan rak buku miliknya ke lantai.
Si Armstrong muda itu merogoh saku celana untuk mengambil sepasang sarung tangan karet yang masih dibungkus plastik. Dengan tergesa, ia menggunakannya di kedua tangan untuk menghindari kemungkinan ia mengontaminasi sidik jari lain yang mungkin ada di buku-buku itu dengan miliknya sendiri.
Saat semua buku-buku dan folder-folder miliknya sudah berserakan di lantai, Rebecca meletakkan pistol dan senternya di atas meja sebelum berjongkok untuk mengobrak-abrik semua benda yang ada di bawah kakinya demi mencari kamera pengintai atau alat penyadap yang mungkin terselip di sana. Satu buku dibuka halaman demi halamannya dengan cepat, dan saat tidak ada yang ia cari di sana, Rebecca akan melemparnya ke sudut ruangan kemudian mengambil buku yang lain untuk melakukan hal yang sama.
Tak disangka, Rebecca menemukan 4 kamera kecil dan 2 alat penyadap. Ia menjejerkan semuanya di atas meja dan menyingkirkan semua buku miliknya menjauh dari kakinya dengan kasar—ia menendangnya ke samping. Tak peduli dengan suara dentuman serta gemeresak yang dihasilkan ketika buku itu membentur dinding dan rak kayu.
Dari luar ruangan, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Jelas sekali siapapun pemilik langkah kaki itu sedang berlari tergopoh-gopoh ke ruangannya sekarang. "Nong! Ada apa?" seorang laki-laki tinggi—kepalanya hampir mencapai bagian atas pintu—mendobrak masuk dengan tiba-tiba. Rebecca dapat mendengarnya mengumpat kecil di antara hembusan napas, mungkin terkejut dengan kekacauan yang ada di dalam ruang kerjanya. "Kau... baik-baik saja? Apa yang kau lakukan?"
"Bagaimana—" Rebecca meletakkan tangannya di atas meja, membantunya untuk mengangkat tubuh karena lututnya sudah tak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Tidak setelah ia menemukan benda-benda mengerikan yang ada di dalam ruang kerjanya. "Bagaimana aku hidup di tempat ini tanpa tahu ada psikopat sinting di luar sana yang mengawasi setiap gerak-gerikku, Heng?"
"Lagi? Oh Tuhan," Heng membuka pintu lebih lebar, mengambil lirikan kecil pada Freen yang berlari dari area dapur ke ruang tengah dan membungkuk untuk meletakkan sesuatu di atas meja, laki-laki itu berjalan maju dengan berhati-hati agar tidak menginjak apapun. Cukup dekat, ia bisa mendengar napas Rebecca yang menghembus lebih keras—tidak beraturan.
Heng membuka segel plastik penyimpanan barang bukti yang ia bawa. Dengan berhati-hati, ia memasukkan semua benda yang ditemukan oleh Rebecca ke dalam plastik dan menutupnya kembali. Ruangan itu benar-benar berantakan. Dengan buku-buku, robekan kertas, dan folder arsip tebal yang berceceran. Namun daripada menaruh perhatian lebih pada benda-benda yang berserakan, Heng lebih menaruh kekhawatiran luar biasa pada kondisi Rebecca yang menurutnya semakin memburuk dari waktu ke waktu.
Rasanya ia tidak sedang bersama Sersan Rebecca Armstrong—junior sekaligus rekan kerjanya yang ceria dan selalu bersemangat. Rebecca yang berdiri di sampingnya kini tak jauh berbeda dengan mayat hidup yang berjalan-jalan tanpa emosi. Ia seperti sedang berada bersama orang asing yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Sesuatu telah membuat Rebecca berubah menjadi orang lain yang tak ia kenal.
Mencoba untuk memberanikan diri, Heng membuka suaranya dan berbicara dengan hati-hati, "Nong... jika kau merasa tak baik, kita bisa pergi keluar untuk menghirup udara segar."
"Kenapa aku harus melakukan itu?" tanpa menengok, Rebecca menyahut.
"Hanya sebentar. Setelah itu kau bisa kembali ke dalam sini dan mencari apa yang kita butuhkan. Seng dan yang lain sepertinya belum selesai di atas sana, jadi mungkin kau bisa memantau personel yang sedang bertugas di luar."
Rebecca menimbang sejenak, tapi pada akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di dalam. Meski rasa takut dan gelisah terus membuatnya sesak dan masih saja tak meninggalkannya sendiri, ia terus memaksa melawan semua itu untuk terus maju. Ia tak lagi meladeni jawaban Heng dan menoleh ke samping, pada satu lemari arsip. Pandangannya lalu turun ke bawah, pada jejak hitam bekas kaki lemari yang sedikit terlihat.
Ketika lemari itu tetap berada di tempatnya dan tidak dipindahkan atau digeser, seharusnya jejak hitam itu tidak nampak karena tertutupi oleh lemari. Karena jejak hitam itu terlihat dengan mata telajang, Rebecca menduga posisi lemari arsip itu sudah bergeser sedikit dari tempatnya semula.
Heng turut mengikuti arah pandang Rebecca. Sepasang iris miliknya jatuh pada noda hitam yang ada di lantai kemudian, memandang wajah Rebecca untuk membaca apa yang ia coba katakan padanya secara non-verbal. Ia mengerti apa yang harus ia lakukan selanjutnya, apalagi saat Rebecca mulai menggunakan kekuatan lengan dan tubuhnya untuk menggeser lemari ke sisi lain ruangan dan menjauhkannya dari dinding.
Jelas ada yang disembunyikan di balik lemari itu dan mereka berdua perlu mengerahkan tenaga bersama-sama untuk menggeser lemari besar itu melewati tumpukan buku serta lembaran kertas yang berceceran.
Sementara Heng dan Rebecca berusaha keras menggeser lemari, Seng, Irin dan Noey berlari kecil menuruni tangga untuk berkumpul di ruang tengah—Freen ada di sana, sedang berdiri menunduk dengan tatapan fokus pada layar laptop. Seng mendekat, meletakkan tiga buah alat penyadap di atas meja sebelum ketiga bergabung dengan Freen yang ternyata sedang menonton rekaman kamera CCTV yang ada di lantai dua dan pintu depan yang mengarah ke halaman depan.
Dari yang Freen lihat—tentu saja berdasarkan hasil yang ia dapatkan setelah mengutak-atik penyimpanan kamera pengawas di rumah Rebecca—si pemilik rumah sudah mengatur agar rekaman kamera akan terhapus secara otomatis setelah satu bulan lamanya. Ia memang tidak bisa memperkirakan kapan semua kamera dan alat penyadap ini, tapi ia berharap dengan semua rekaman CCTV yang tersisa di kartu memori dan penyimpanan awan bisa membantunya menemukan si monster.
Satu demi satu rekaman ia buka dan cek dengan kecepatan 4x. Ia memulai pada rekaman dua minggu yang lalu—yang mana pada waktu itu, ia masih mengurus perpindahannya dari Chiang Mai jadi ia sedang ada di Bangkok untuk mengurus dokumen penting. Hari yang sibuk.—sebuah rekaman dari kamera pengawas yang ada menghadap halaman dan gerbang depan. Saat itu malam hari, dan tampaknya Rebecca kebetulan sedang di luar rumah karena gerbangnya masih terkunci rapat.
Tidak ada yang mencurigakan di beberapa menit pertama. Hingga Irin tiba-tiba berucap seraya menunjuk layar laptop, "Ada pergerakan di ujung sana, bayangan hitam."
"Hantu?" Seng menyela, yang mana karena ucapannya itu ia langsung dihadiahi oleh pukulan kecil di pinggang dari Noey.
Freen menghentikan rekaman video dan memperbesar ke bagian yang ditunjuk oleh Irin. Diperhatikan lebih jelas lagi, memang nampak bayangan hitam menyerupai tubuh manusia yang melompat turun dari dinding yang berbatasan dengan rumah lain di sampingnya. "Ini manusia," gumamnya.
Video kemudian dilanjutkan kembali. Kali ini mereka membiarkan video itu bergerak untuk memperhatikan pergerakan sosok hitam yang hanya muncul selama beberapa detik saja sebelum ia berada di luar jangkauan kamera. Freen menekan tombol space, dan memutar video lain yang menunjukkan angle yang berbeda dari video pertama. Video itu berasal dari kamera pengawas yang berada di dekat pintu depan Rebecca—tentu saja menunjukkan sosok tersebut jauh lebih jelas dari sebelumnya.
Sesegera mungkin Freen menekan tombol space. "Ini orang yang kita cari," ujarnya. Ia melanjutkan videonya lagi untuk memperhatikan gerak-gerik sosok manusia berpakaian hitam yang muncul di dalam rekaman video. Rekaman tersebut berwarna hitam putih karena mengandalkan night mode, tetapi ia masih bisa melihat pakaian dan perawakannya dari pinggang hingga ujung kepala.
Si pelaku ini memakai pakaian hitam—celana hitam, sepatu kets berwarna putih dan hitam, juga jaket hitam bertudung lengkap dengan topi putih. Wajahnya tertutup oleh masker hitam sehingga kamera hanya bisa menangkap sepasang bola matanya yang berkilat-kilat di depan kamera. Hal yang membuatnya terkejut adalah rambut kecokelatannya yang diikat, kemudian diselipkan di dalam topi.
Tidak, Freen tidak bisa meyakini bahwa orang ini adalah laki-laki. Jelas-jelas postur tubuhnya berbeda dengan laki-laki yang pada umumnya memiliki bahu lebar dan tinggi. Kalau pun tidak, pasti paling tidak ada satu aspek yang bisa menunjukkan bahwa orang yang sedang ia lihat dalam rekaman kamera cctv ini adalah seorang laki-laki. Faktanya, rambut dengan warna terangnya yang panjang, dan postur tubuhnya ini benar-benar membuatnya yakin bahwa ia adalah seorang perempuan.
Ini mungkin menjadi satu-satunya yang sukses membuatnya kehilangan kata-kata. Pembunuh berantai yang meneror Rebecca dan membunuh tiga orang perempuan selama beberapa bulan terakhir.
Ketiga rekannya yang berada di sekelilingnya pun sama terkejutnya sekarang. Sama sekali tidak menyangka bahwa pelaku pembunuhan keji yang mereka cari adalah seorang perempuan. Freen mengambil tangkapan layar yang paling jelas menunjukkan fitur wajah si pembunuh—mata, bentuk wajah, dan yang menunjukkan warna serta perkiraan panjang rambut. Ia juga memutar kembali video sebelumnya untuk mengambil tangkapan layar yang menunjukkan tubuhnya lebih jelas mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Ia memindahkan semuanya ke dalam flash drive cadangan, lalu menutup laptop tersebut dan membawanya—ia berniat membawa semua benda itu ke kantor untuk keperluan penyelidikan lanjutan. Laptop itu kemudian diberikan pada Seng agar diamankan. Jadi laki-laki yang dimintai tolong itu berlari kecil menuju pintu keluar, Freen yang mulai menyadari ketidakhadiran seseorang yang seharusnya ikut ada di sana pun tak bisa menahan diri untuk berjalan ke sana ke mari—mencari-cari keberadaannya.
"Di mana Sersan Armstrong? Dia harus tahu ini," Freen mendesis seraya mendorong beberapa pintu ruangan dengan tangan kirinya. Ia baru saja hendak mendorong pintu terakhir lebih keras jika saja pintu itu tidak terbuka sendirinya saat ujung jarinya baru saja menyentuh permukaan pintu. Pintu pun terbuka, dan dua orang manusia yang sepertinya telah memporak-porandakan ruangan itu segera nampak di depan mata.
Heng yang semula mematung begitu mendengar suara langkah sepatu milik Freen sontak memalingkan kepala dengan raut wajah tegang masih nampak jelas di sana. Segera saja, Freen melangkah maju dan menggeser tubuh Heng menjauh dari depan dinding dan lemari yang sudah tidak ada lagi di posisinya semula. Sekarang, ia mengerti mengapa laki-laki tinggi itu sampai mematung di depan dinding dengan Rebecca yang berjalan menjauh sembari mengacak-acak rambutnya dengan mengeluarkan geraman-geraman tanpa arti.
Dinding di depannya ini... telah dikotori oleh cat merah bertuliskan huruf S. Huruf keempat yang menjadi bagian dari tiga huruf selanjutnya.
ARM dan S, menjadi ARMS.
Melemaskan kedua tangan yang semula ia biarkan dalam posisi mengepal dan kini beralih menyentuh bahu Rebecca dengan satu sentuhan lembut, Freen berusaha keras mengalihkan pandangan dari dinding pada Rebecca yang sedang menyandarkan kepala pada kaca jendela. "Sersan." Panggilnya.
Rebecca mengangkat wajah—oh, Freen melihat dengan jelas bagaimana tatapan mata kosong itu menusuk sesuatu di dalam hatinya. Bagaimana bisa sebuah cahaya milik seseorang musnah begitu saja seperti ini?
"Heng, tolong pantau petugas yang bekerja di luar. Aku akan menyelesaikan beberapa hal dengan Letnan Chankimha di sini." Perintah Rebecca. Wanita itu membungkukkan tubuh, memungut beberapa buku di lantai dan meletakkannya di atas meja. Mengetahui bahwa Heng masih ada di tempatnya, sersan muda itu terpaksa memberikan penegasan ulang. "Kenapa masih berdiri di sana? Bukankah aku sudah memberimu perintah?"
"Tapi—" Heng menyahut, tapi ia segera menutup mulutnya lagi dan memilih untuk bungkam dan melirik Freen.
Seakan mengerti apa yang ada dalam pikirannya, Rebecca melanjutkan, "Ini tidak seperti aku akan mengeluarkan pistolku lagi dan menembak kepalanya di sini, Heng. Seberapa besar kekesalanku padanya, aku tidak akan membunuhnya dengan cara itu. Jadi, cepat pergi dari sini agar kami bisa menyelesaikan ini semua."
Ia ingin membalas lagi, tapi siapa dia ketika Rebecca sudah memberinya perintah mutlak? Secara teknis, Rebecca adalah atasannya dan sebagai anggota polisi yang menjunjung tinggi sistem hirarki dan rasa hormat, Heng tidak berhak untuk menolak perintah atasannya kecuali ia menginginkan suatu hukuman. Jadi dengan bahu yang agak turun, Heng berbalik pergi dan menutup pintu ruang kerja Rebecca.
Memindahkan perhatiannya dari pintu yang sudah tertutup, Freen mengeluarkan tawa remeh ketika ia berpaling pada Rebecca. "Menembak, kau bilang? Kau ingin membunuhku sekarang? Ide bagus, tapi aku tidak menyukai ide membunuh dengan menggunakan senjata api. Terlalu berantakan. Darahnya bisa berceceran di sembarang tempat dan merepotkan petugas pembersih TKP. Aku telah melihat banyak sekali orang mati dengan berbagai macam cara, berbagai macam bentuk luka, dan berbagai macam... senjata. Menembak dengan senjata api itu terlalu klasik dan aku juga tidak ingin serpihan otakku menempel di langit-langit, jadi kau mungkin membutuhkan sedikit referensi dariku jika kau ingin membunuhku."
Apa-apaan? Rebecca terbelalak. Sepenuhnya tidak bisa menyembunyikan raut terkejut dari wajahnya begitu mendengar ucapan Freen yang terdengar mengerikan di telinganya. "Kau sudah gila, Sarocha."
"Memang," mengerutkan dahi dan kembali menunjukkan ekspresi dingin yang paling Rebecca benci, wanita yang lebih tinggi mengambil beberapa langkah mendekati Rebecca hingga membuat wanita lainnya terpaksa melangkah mundur hingga membentur dinding. "Dan kau cukup berani mengeluarkan satu-satunya penyelamatmu sementara kau tahu kau akan terjebak bersama orang gila, sendirian, di tempat tertutup ini."
Rebecca menarik napas, melirik pistol miliknya yang ada di atas meja. Jaraknya cukup jauh dari tempatnya terpojok sekarang. Tapi jika ia bergerak cukup cepat dalam keadaan terpaksa, ia bisa mendorong Freen dan mendapatkan kembali pistolnya. "Jika kau menyentuhku, aku akan benar-benar menembakmu."
Mengikuti arah pandang Rebecca, Freen bergerak mundur dan menghembuskan napas pelan. Tampak senyuman kecil tiba-tiba muncul di wajahnya saat ia mengambil pistol milik si Armstrong muda dan menimang pistol itu di tangannya sebelum menyentuh ujung larasnya dan menyodorkannya pada Rebecca. Semula, ia tampak ragu menerimanya. Namun karena Freen menaikkan satu alis padanya—seakan bertanya-tanya mengapa ia tidak segera mengambil barang miliknya—Rebecca akhirnya menerima kembali pistol itu dan segera mengamankannya.
Freen menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Kini, dengan postur dan ekspresi yang lebih luwes dari sebelumnya, ia berucap, "Kau ceroboh. Jangan pernah meninggalkan pistolmu sembarangan. Bisa gawat jika ada orang yang merebutnya dan membuat posisimu menjadi dalam bahaya."
"Kau salah satu orang yang membuatku berada dalam bahaya, sepertinya." Rebecca berjalan melewati Freen dan kini ia berada di dekat pintu.
"Hei, aku bercanda, oke? Jangan terlalu menganggapku serius, itu bisa menyakiti hatimu dan membuat pikiranmu itu kacau."
"Aku yakin kau memiliki sesuatu yang ingin kau sampaikan."
Freen menggumamkan kata oke, dan ia kembali berhadapan dengan dinding yang dicoret dengan huruf S. Ia mengeluarkan ponsel dan memotretnya beberapa kali. "Kami menemukan siapa orang yang sudah menerormu dan... dia adalah seorang perempuan yang mana aku juga tidak menduga jika perempuan mampu berbuat sesuatu semengerikan ini," ucapan Freen membuat Rebecca mengangkat kepalanya, "Dengar, aku memiliki kenalan seorang criminal profiler. Kita bisa membuat asumsi mengenai modus operandi dan memprediksi apa yang si pembunuh ini lakukan selanjutnya, namun mungkin tidak seakurat profiler yang lebih ahli di bidang ini. Bagaimana? Kau ingin aku menghubunginya?"
"Lebih cepat, lebih baik, Letnan." Rebecca menggumam. Ia mengangkat dagu pada dinding di depannya, "Masalahnya, ia sudah memiliki target. Sepertinya apa yang kau katakan padaku sudah bukan lagi asumsi, melainkan sebuah fakta yang tertunda."
"Aku sudah tahu itu." Freen menjawab singkat sebelum ia melangkah keluar dengan ponsel di tangannya. Sebelum keluar, ia sempat menunjuk dinding di depan Rebecca dan ke arah luar jendela secara bergantian.
Rebecca mengangguk dan Freen pun menghilang dari pandangannya. Diambilnya ponsel di atas meja, kemudian mencari-cari kontak Nam. Ia perlu membereskan sekaligus membersihkan rumahnya dari jejak-jejak lain yang mungkin terlewat, jadi ia membutuhkan bantuan forensik.
Tak perlu waktu lama bagi dokter itu untuk menjawab telepon, dan begitu suara nyaringnya terdengar, Rebecca tanpa memberi kesempatan langsung menyerangnya dengan cepat, "Nam, aku memberitahumu perkembangan kasus dan kau memberitahuku perkembangan otopsi. Deal?"
"Huh? Ya, tentu. Baiklah, cepat katakan."
"Kami menggeledah rumahku dan kami menemukan banyak sekali jejak yang ditinggalkan si pembunuh. Ia juga tertangkap kamera CCTV dan sekarang Freen sedang menghubungi profiler sementara yang lain mengamankan rekaman dan menanyai warga sekitar. Ada coretan huruf S di ruang kerjaku, kupikir ini ada hubungannya dengan korban selanjutnya jadi aku berpikir untuk meminta timmu datang."
"Kita memang benar-benar saling membutuhkan satu sama lain, ya?" mengambil waktu sejenak untuk tertawa lepas dengan suara seraknya yang jelas-jelas menunjukkan bahwa ia sudah tak tidur nyenyak selama berhari-hari, Nam melanjutkan, "Omong-omong, Becky... mengenai hasil otopsi dan kasus ini, kau mungkin harus mempertimbangkan untuk membawa keluargamu kembali ke Inggris sebelum semuanya terlambat."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top