Chapter 4: Intriguing Kindness

Kehidupannya selalu berfokus pada kegiatan kampus yang padat dan pekerjaan paruh waktu yang membuatnya tidak pernah sempat berpikiran untuk takut kepada apapun selain pada kewajiban yang harus ia penuhi sebagai seseorang yang mulai beranjak dewasa. Lagipula, kalau diberikan pertanyaan tentang siapa yang paling ia takuti saat ini, maka Neungluthai Suppamongkon pasti akan menjawab bahwa ia takut pada dosen-dosennya dan takut pada bos di tempat kerja paruh waktunya.

Setiap hari, setelah ia menyelesaikan semua urusannya di universitas di jam tiga sore, wanita itu akan bergegas pergi untuk berganti pakaian dan pergi ke tempat kerja paruh waktunya. Ia bekerja sebagai pegawai shift sore di minimarket 24 jam sebagai kasir hingga pukul 10 malam dan setelah itu ia akan langsung pulang ke apartemennya untuk membersihkan diri, mengerjakan tugas, dan beristirahat untuk pergi ke kampus esok harinya.

Hari ini, pelanggan toko sedang sepi dan ia sudah mulai mengantuk. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 8 malam, shiftnya baru akan selesai dua jam lagi dan ia sudah mulai mengantuk. Ia sudah selesai merestock barang-barang yang ada di toko dengan stok di gudang sehingga sekarang ia bisa bersantai sembari bermain ponsel atau sedikit menyicil tugas mata kuliahnya.

Tiga hari ke belakang, ia diberi pesan oleh manajernya untuk lebih waspada sebab kamera cctv yang ada di belakang meja kasir, area parkir, dan menuju gudang sedang rusak. Manajer sudah menghubungi tukang reparasi untuk memperbaikinya, akan tetapi mereka baru bisa mengirim staff di akhir minggu nanti.

Semua kewaspadaan itu membuatnya lebih cepat lelah hari ini. Jadi untuk mengalihkan pikiran dari penat yang mulai menggerogoti, ia memutuskan untuk menghubungi temannya untuk menghapus sepi. Mereka mengobrol tentang banyak hal, tentang laki-laki dan perempuan cantik yang ada di lingkungan fakultas hingga keluhan-keluhan yang membuat masing-masing dari mereka jenuh selama beberapa hari terakhir.

Hingga pada satu momen, temannya ini mulai membahas sesuatu yang sedang ramai di televisi. "Song, saat pulang nanti kau harus memesan Grab Car. Jangan berjalan pulang seperti biasa. Aku tidak ingin kau melihatmu di tv sebagai korban pembunuhan."

Song tergelak kecil atas ucapan sang kawan yang menurutnya tak masuk akal. "Astaga, tempat kerjaku dan apartemenku itu sangat dekat. Kau tidak perlu khawatir. Toh, aku bisa berlari dengan cepat. Kau tahu itu, benar?"

"Aku tahu, Song. Tapi kau harus tetap waspada, oke?"

"Baik, baik. Aku mengerti," Song mendongak, telinganya mendengar suara mobil yang diparkir di halaman parkir. Itu berarti sebentar lagi akan ada pelanggan yang masuk. "Tunggu sebentar, ada pelanggan."

Suara bel berbunyi bersamaan dengan pintu kaca yang didorong oleh seorang wanita bertopi hitam, berambut panjang yang mengenakan celana jeans hitam dan hoodie abu-abu. Song mengucapkan salam padanya dan wanita itu membalasnya dengan senyuman sebelum berlalu pergi ke rak tempat makanan ringan. Aroma mint menyeruak masuk ke dalam hidungnya ketika wanita berambut panjang itu berlalu.

Song melirik sekilas wanita itu dari kejauhan sebelum kembali berfokus pada ponselnya sembari menunggu pelanggan tadi kembali ke kasir untuk melakukan pembayaran. Belum sepuluh menit berlalu dan Song baru saja menulis tiga paragraph esainya, pelanggan tadi berjalan mendekat dan meletakkan barang belanjaannya di meja kasir. Segera saja ia berdiri dan memasukkan ponselnya ke dalam saku dan mulai mengerjakan tugasnya.

"Apakah tidak ada orang lain selain dirimu di sini? Tempat ini sangat sepi dan sempat membuatku takut untuk mampir tadi."

Mendengar itu, Song refleks melemparkan senyum. Sembari memasukkan beberapa botol pemutih pakaian, pengharum pakaian, makanan, dan beberapa barang-barang lain ke dalam kantung plastic besar, ia menjawab, "Biasanya selalu ramai pada jam ini, tapi hari ini memang berbeda. Aku juga tidak tahu mengapa. Mungkin orang-orang terlalu lelah untuk mampir sekedar membeli minuman dingin atau onigiri? Oh, totalnya 1000 Baht, nona."

"Sepertinya aku tidak termasuk golongan orang itu. Yeah, aku baru saja pindah di sekitar sini dan perlu membeli beberapa barang untuk mengisi apartemenku," wanita bertopi itu mengeluarkan dompet dan beberapa lembar uang, kemudian meletakkannya di atas meja sembari mengedarkan pandangan ke rak barang sebelum kembali menatap Song dengan senyuman manis. "Tempat ini menyediakan banyak hal, nampaknya aku akan sering mampir."

"Benarkah? Akhir-akhir ini lebih banyak orang yang meninggalkan lingkungan ini untuk pergi ke tempat lain. Jika memang begitu, aku senang ada orang baru yang datang."

Wanita bertopi ini sangat cantik—Song baru saja menyadari itu ketika ia bertatap muka langsung dengannya, dan sial, seandainya ia dilahirkan sebagai seorang laki-laki, mungkin Song akan memberanikan diri untuk mendekatinya. Menyadari bahwa ia sudah memandang wanita di depannya tanpa melakukan apapun selama lebih dari 10 detik, Song terkesiap dan langsung memasukkan lembaran uang ke dalam mesin kasir dan memberikan beberapa koin untuk kembalian.

"Terima kasih. Jangan khawatir, akan kupastikan aku akan menjadi pelanggan tetap." wanita itu menerima uang kembalian dan receipt dari Song, memasukkannya ke dalam saku, kemudian beranjak untuk membawa dua kantung plastic besar penuh belanjaan. Tak lupa wanita bertopi itu berpamitan pada Song mengingat mereka mungkin akan bertemu lagi dalam beberapa hari ke depan.

Song baru akan mengambil ponselnya lagi seandainya saja wanita bertopi tadi tidak berputar balik dan kembali masuk ke dalam toko. Ia sempat berpikir, apakah ia salah memberikan uang kembalian ataukah wanita ini memiliki barang lain yang belum ia beli sehingga ia kembali masuk dengan terburu-buru. Apapun itu, Song tetap tersenyum menyambutnya dan menanyakan apa yang ia butuhkan—selayaknya seorang pegawai toko yang baik.

"Oh, hampir saja aku lupa. Apa kalian menjual produk pengawet seperti... formalin?"

Rebecca tahu bagaimana caranya bertahan hidup. Ia mendapat pelatihan militer yang selama beberapa bulan, membuat mental dan psikisnya terbentuk dengan sangat baik hingga di titik tidak ada satu pun yang membuatnya takut—bahkan kematian sekalipun. Tapi apakah di posisi ini semua kemampuannya itu dapat ia gunakan dengan baik untuk melindungi diri? Tentu saja tidak.

Karena di dalam mimpi buruknya, ia selalu berada dalam posisi terikat dengan tubuh-tubuh manusia yang termutilasi dan kolam darah berbau amis yang membuatnya nyaris muntah. Dadanya sesak, rasanya seperti sebongkah batu besar yang ditimpakan langsung ke dadanya, benar-benar membuatnya seperti tikus yang diinjak.

Ia tidak tahu apa kesalahan yang sudah ia lakukan selama ini sehingga ia selalu dihantui oleh mimpi mengerikan semacam ini setiap kali ia tertidur. Tidak hanya darah dan potongan tubuh manusia yang hadir di dalam mimpinya, melainkan sosok hitam yang entah mengapa menjadi semakin dekat setiap kali ia bermimpi tentangnya. Sosok yang semula menyerupai titik hitam di kejauhan, kini sudah berada beberapa meter di depannya.

Dan Rebecca benci ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali, bahkan di dalam mimpinya. Semuanya terasa nyata, terror yang ia rasakan terasa sangat nyata. Dengan gumpalan rasa takut yang bergulat dalam kepala, Rebecca mencoba berbicara. "Siapa... siapa kau? Apa salahku? Kenapa kau terus menghantuiku seperti ini?"

Ia sadar betul bahwa sosok itu mungkin tidak akan memberinya jawaban yang ia inginkan, lagipula ia hanya berupa bayangan hitam yang menyerupai siluet menusia. Sosok itu tentu tidak akan membahayakan baginya, bukan?

Hanya saja, mungkin saat ini ia hanya terlalu percaya diri. Sebab ia sama sekali tidak menduga jika sosok hitam tersebut mendadak melesat ke arahnya—melayangkan sesuatu tepat di depan wajahnya, yang mungkin adalah sebuah benda yang luar biasa tajamnya karena hal selanjutnya yang ia rasakan adalah benda dingin yang menebas setengah bagian kepalanya. Telinganya berdenging hebat detik itu juga, tapi anehnya ia tidak bisa berbicara ataupun berteriak.

Apakah ia sudah mati? Mungkin? Ia tahu ia sudah dibunuh di dalam mimpinya sendiri, dan mungkin saja... ia juga sudah mati di dunia nyata.

Dalam mimpinya itu, kepala Rebecca yang terpenggal berada di bawah kakinya. Sayup-sayup ia mendengar sebuah suara—suara aneh yang seakan-akan sedang diucapkan oleh ratusan orang secara bersamaan dan menciptakan dengungan serta bisikan tak jelas yang sulit diterima oleh telinga Rebecca yang perlahan-lahan kehilangan fungsinya.

Namun satu hal yang dapat ia dengar dari bisikan-bisikan mengerikan itu sebelum matanya terpejam rapat adalah, "The enemy is near." Dan tepat setelah itu, Rebecca terbangun dengan keringat dingin yang membasahi wajah dan lehernya.

Semuanya... hanya mimpi? Ia mencoba mengatur napasnya yang tersengal—sedikit meringis karena lecutan perih mendadak menusuk dadanya, tetapi ia tak peduli—dan segera saja tangannya meraba leher hingga wajahnya. Semuanya masih normal. Kepalanya masih ada di sana dan tidak terpenggal, pun ia juga tidak merasakan adanya luka serta lilitan perban di wajahnya. Jadi itu benar-benar mimpi. Apa yang terjadi... kenapa sosok hitam itu membunuhku? Rebecca mengerang kecil, dada kirinya masih terasa sangat sakit sehingga ia terpaksa harus menekannya dengan tangan kanan.

Mimpi buruknya kali ini benar-benar sudah di luar batas dan bahkan sudah terlalu nyata—lebih nyata daripada mimpi manapun yang ia alami selama dia hidup dan lebih mengerikan dari semua pengalaman buruk yang sudah ia alami selama ini. Ia tidak ingin berasumsi apapun, tapi mengapa ia merasa bahwa sosok hitam di dalam mimpinya itu seperti sudah memberinya pertanda bahwa petaka yang buruk akan segera datang kepadanya?

Ia sudah tahu bahwa nasibnya mungkin tidak akan berakhir baik sejak pembunuh berantai itu menguntitnya bahkan sampai ke tempat kediamannya. Harusnya ia tak perlu merasa takut mengingat ia memiliki keberanian yang cukup hingga ia mampu bertahan sejauh ini. Akan tetapi, setelah melihat bagaimana psikopat gila itu menghabisi korbannya dan berbagai macam bentuk terror yang menunjukkan bahwa ia sedang mengincar Rebecca, maka jelas saja itu mulai membuat psikisnya terguncang.

Sejak penemuan mayat pertama—Rebecca yang selama ini hanya mengurus kasus-kasus pembunuhan biasa (pembunuhnya hanya membunuh korban dan meninggalkannya begitu saja setelah berusaha menghapus jejak), langsung ditemui dengan kasus pembunuhan aneh yang menurutnya menjijikkan dan juga mengerikan di waktu yang bersamaan.

Semua surat kaleng dan foto-foto polaroid itu merusak dirinya sedikit demi sedikit. Dan ia tidak bisa membicarakan pada siapapun tentang hal ini—termasuk meminta bantuan. Karena ia tahu, tidak akan ada orang yang mengerti apa yang ia rasakan tiap kali ia melihat kembali pesan dari si pembunuh yang ditujukan pada dirinya.

Tidak pernah ia berpikir untuk pergi ke psikolog dan membicarakan hal-hal yang mengganggunya selama ini—well, sebenarnya sempat terbesit di pikirannya untuk pergi tapi jadwalnya yang sangat padat membuatnya menunda rencananya itu dan memutuskan untuk menepis semua pikiran buruknya seorang diri, yang nyatanya justru membuat kondisi psikologisnya menjadi semakin buruk.

Ia selalu dipenuhi oleh perasaan aneh, seakan-akan ada ratusan orang yang sedang menatapnya dengan tatapan keji dan merasa bahwa sewaktu-waktu akan ada orang yang menerjangnya. Rebecca tak pernah merasa aman di manapun juga, meskipun ia berada di kantor ataupun di tempat ramai—semua sosok tak nampak itu terus saja menghantui. Merusak pikirannya dari dalam dan membuat dirinya berubah perlahan-lahan.

Dan ia tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah hal itu mengonsumsi dirinya hidup-hidup.

Mencoba melupakan mimpi buruk yang baru saja mengganggunya dan perasaan aneh setelah mengetahui kepalanya terpenggal di dalam mimpi, Rebecca menggelengkan kepalanya perlahan dan mengangkat wajah—mendapati bahwa ia sedang berada di dalam ruang rawat rumah sakit seorang diri tanpa ada siapapun. Oh, mungkin tidak sepenuhnya sendirian karena ia melihat ada sebuah jaket yang tersampir pada sofa yang berada di sudut ruangan.

Ia sama sekali tidak ingat siapa pemilik jaket dengan warna army itu. Mungkin Dokter Nam? Pikir Rebecca. Pandangannya kini beralih pada meja putih yang ada di samping kanan kepalanya. Di atas sana ada dua botol air mineral dan ponsel miliknya. Dengan berhati-hati, ia mengambil ponsel itu dan memastikan ia tidak menjatuhkannya dengan tangannya yang masih gemetar.

Ada beberapa panggilan tidak terjawab dari Noey, Nam, Richie—kakak laki-lakinya. Ia menemukan nama Nam di sana sehingga tidak mungkin jaket yang ada pada sofa itu adalah milik dokter forensic itu. Menghembuskan napas perlahan seraya menimbang-nimbang apakah ia harus balik menelepon atau membiarkan panggilan mereka semua tidak terjawab, hingga akhirnya Rebecca menjatuhkan pilihannya pada pilihan kedua—membiarkan mereka dan tidak menelepon balik.

Untuk saat ini, ia hanya ingin sendiri dan tidak berbicara pada siapapun.

Rebecca pun memasukkan ponselnya ke dalam mode do not disturb dan mengembalikannya ke tempat semula sebelum benar-benar merebahkan diri di tempat tidur rumah sakit yang dingin. Ia memejamkan mata, sekali lagi berusaha mengatur napasnya dan ia membuka mata kembali begitu ia berhasil menguasai pikiran liarnya.

Televisi yang ada di depannya sedang menayangkan siaran berita dari konferensi pers yang dilakukan oleh kepolisian—televisi disetel dengan volume suara yang kecil sehingga Rebecca yang pikirannya sedang melayang entah ke mana tidak menyadari bahwa televisi tersebut menyala. Ia mengenali beberapa orang yang hadir di sana, salah satunya adalah Saint dan Letnan Chankimha. Seniornya itu lah yang sejak tadi berbicara di hadapan puluhan reporter.

Rebecca memang tidak bisa mendengar suaranya sehingga ia tidak tahu apa yang ia ucapkan, tetapi melalui tulisan berjalan yang ada di layar kaca, ia dapat memahami bahwa Letnan Chankimha sedang memberikan himbauan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan larangan untuk keluar seorang diri di atas pukul 11 malam karena keadaan darurat yang melibatkan pembunuh berantai yang sedang buron.

Apapun yang terjadi di dalam rapat internal tadi siang—yang mana tidak bisa ia hadiri karena sedang dirawat di rumah sakit—pastilah menghasilkan suatu keputusan yang berharga, salah satu hasilnya adalah ini; polisi mulai bergerak untuk memberikan himbauan tegas yang ditayangkan di beberapa saluran televisi nasional.

Suara pintu terbuka berhasil membuat Rebecca mengalihkan pandangan siaran televisi—sebenarnya ia terlalu fokus pada sosok Letnan Chankimha, manusia menjengkelkan yang membuatnya ingin membuat kekacauan di kantor—ia melirik ke arah pintu, menemukan seorang wanita tinggi dengan rambut panjang masuk ke dalam ruang rawatnya dan menutup kembali pintunya dengan lembut.

"Oh," Freen melebarkan matanya selama sepersekon detik sebelum kembali ke pandangan dinginnya yang normal. "Kau sudah bangun. Bagus kalau begitu. Hampir saja aku berpikir kau sudah mati dan aku harus menangani kasus ini sendirian." Lanjutnya. Sepertinya ia baru saja kembali dari minimarket karena ia tampak sedang meneguk kaleng kopi dan membawa kantung plastic putih di tangan kirinya.

Terkejut, kemudian mengalihkan pandangan pada televisi yang masih menayangkan siaran berita di mana Freen masih berdiri di sana. Perlu waktu beberapa detik bagi Rebecca untuk menyadari bahwa siaran tersebut hanyalah siaran rekaman. Cukup menjelaskan mengapa Freen bisa ada di ruang rawatnya sekarang.

Freen berjalan mendekat dan menyeret kursi plastic ke samping tempat tidur Rebecca, wanita itu duduk di sana dan meletakkan kantung plastic di pangkuannya. Dikeluarkannya satu bungkus roti dan satu kotak susu dari dalam sana, kemudian meletakkannya di samping tubuh Rebecca. Si Armstrong muda tentu dibuat aneh karena perilaku senior menyebalkan yang tiba-tiba berubah menjadi seperti ini.

Bukannya ia tidak berterima kasih, tapi paling tidak ketika memberikan dan membantu orang lain, Freen perlu melepaskan ekspresi dingin itu di wajahnya—jujur saja, Rebecca merasa tidak nyaman.

Freen menghembuskan napas. Ia mengambil roti tadi, membuka bungkusnya, mengambil satu potongan besar dan memberikannya pada Rebecca. "Makan ini. Kau terlihat menyedihkan, aku tidak tahan melihatnya. Kau polisi kan? Jadi kau pasti digaji dengan layak. Tampangmu nyaris menyerupai gelandangan yang tinggal di bawah jembatan." Si Chankimha itu kembali menyodorkan rotinya pada Rebecca yang menatapnya seolah mengatakan apa-kau-serius-dengan-ucapanmu karena, ya, orang macam apa yang tiba-tiba datang dan langsung memberikan ucapan tajam seperti itu!

Menyadari Rebecca yang tidak kunjung menerima roti yang ia berikan padanya membuat Freen menjadi serba salah. Ia tidak tahu apa yang salah dari apa yang ia lakukan sekarang dan ia tak tahu lagi harus melakukan apa karena ia sudah berusaha sebisanya. Melirik sedikit pada roti yang ia sodorkan pada Rebecca, wanita yang lebih tua berceletuk, "Maaf, sepertinya kau tidak suka roti cokelat ya?" secercah kekecewaan terdengar dari suaranya saat ia berucap dengan nada rendah. "Aku akan belikan sesuatu yang lain untukmu seandainya kau tidak ingin makan makanan rumah sakit, tunggu sebentar."

Baru saja Freen akan beranjak dari kursinya dan berjalan keluar untuk membeli sesuatu seperti yang ia ucapkan, Rebecca dapat lebih dulu meraih pergelangan tangannya hingga membuat wanita yang lebih tinggi memandangnya sekilas. "Tidak, tidak perlu," Rebecca berusaha menenangkan, "Aku akan makan roti yang kau beri itu, aku menyukainya."

Rebecca yakin betul jika Freen sempat menyelipkan senyuman di bibirnya sesaat setelah ia selesai berbicara. Namun secepat senyuman itu datang, secepat itu juga lah senyuman itu menghilang. Setelah Rebecca mengatakan bahwa ia akan memakan roti pemberiannya, Freen kembali mendudukkan diri di kursi dan menyerahkan bungkus roti yang sejak tadi ia bawa pada Rebecca agar wanita itu memakan rotinya sendiri. Freen juga mengambil satu botol air mineral dan membuka segel botolnya agar Rebecca tidak perlu susah payah mengeluarkan tenaga untuk membukanya.

Dalam diam Rebecca memakan roti pemberian Freen. Wanita itu pun tidak lagi mengucapkan apapun setelah memberi roti dan membuka botol air mineral untuknya, Freen hanya duduk di sampingnya, sibuk dengan ponselnya sendiri.

Merasa tidak nyaman sekaligus tak enak karena telah mengabaikan Freen, Rebecca mengalah dan mencoba untuk memecahkan kaca transparan yang terbentang di antara mereka. Toh, ia perlu berterima kasih atas kebaikan hati Freen ini. "Terima kasih, Letnan. Kenapa kau ada di sini meskipun malam sudah larut?"

Freen mematikan ponselnya. Ia mendongak, sekaligus memiringkan kepala. Wajah lelahnya terpancar jelas di sana. "Anggap itu sebagai permintaan maaf dariku karena membuatmu menjadi seperti ini. Entah mengapa, sedikit banyak aku merasa bertanggung jawab."

"Huh?"

"Aku menyadari bahwa ucapanku kepadamu benar-benar sudah di luar batas. Aku juga tidak tahu apa saja yang kau alami selama ini dan aku langsung memberikan judgementku padamu, jadi..." sang letnan muda itu menundukkan kepalanya sejenak, "Maafkan aku, Sersan Armstrong."

Rebecca menghentikan kegiatannya dalam mengunyah roti coklat yang ada di mulutnya sementara ia menatap Freen dengan raut wajah terkejut. Apa yang baru saja terjadi pada wanita menyebalkan ini sampai-sampai ia mau meminta maaf secara pribadi setelah memberinya ucapan tajam dan membelikannya makan malam seperti tadi? Sungguh, rekan kerja barunya yang satu ini benar-benar di luar dugaannya. Semua tindakan yang ia lakukan hampir tidak bisa ditebak. Pasalnya, Rebecca mengira Letnan Chankimha akan mengabaikannya tetapi kenyataannya adalah, wanita itu datang sendiri padanya dan merawatnya sekarang.

Kalau boleh jujur, ia tidak peduli dengan ucapan seniornya itu karena ia sudah pernah mendapat yang lebih buruk. Jadi ia sebenarnya juga tidak kesal ataupun marah karenanya. Hanya saja, karena Freen sudah meminta maaf, mau bagaimana lagi? Rebecca hanya menggumam-gumam kecil sembaru menganggukkan kepalanya seperti boneka yang ada di dalam mobil.

"Aku tidak peduli dengan apa yang kau katakan padaku. Hari ini aku tumbang karena aku kelelahan, itu saja. Aku akan beristirahat di sini dan keluar besok pagi." Rebecca menelan rotinya dan meremas bungkus plastic di tangannya. Tak diduga, Freen mengambil bungkus plastic bekas roti itu dari tangannya. "Hei, itu—" ia mencoba mengambil kembali bungkusnya tetapi Freen segera memasukkannya ke dalam kantung plastic besar yang tadi ia bawa.

Freen mengernyit. Nampaknya ia tidak senang dengan ucapan Rebecca barusan. "Tidak, sore hari. Kau baru akan keluar di sore hari. Aku tidak bisa membiarkanmu keluar dengan keadaan seperti ini dan kau sendiri tentu tidak ingin pingsan lagi seperti tadi, bukan?" Rebecca baru saja akan menyahut, tetapi Freen dengan cepat menyelanya sehingga ia hanya bisa menelan kata-katanya sendiri. "Sebenarnya, ada hal lain yang perlu kusampaikan padamu dan itulah alasan mengapa Noey menghubungimu beberapa kali. Ini berhubungan dengan si pembunuh yang menguntitmu dan kasus yang sedang kita tangani. Oh, apakah kau sudah memberinya nama? Menyebutnya sebagai si pembunuh saja rasanya terlalu klasik."

"Kami belum sempat memberinya nama. Kau saja yang beri dia nama," Rebecca mendengus. Daripada nama julukan untuk si pembunuh, ia lebih tertarik dengan pembahasan tentang penguntit.

"Mari panggil dia sebagai monster, lebih singkat dan menjelaskan perbuatan keji yang dia lakukan," wanita lain menjawab. Freen menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, merasakan punggungnya yang pegal akhirnya dapat bersandar sebelum melanjutkan, "dua hari lagi kita akan mendapat personel baru dari departemen keamanan lalu lintas dan departemen cyber-crime. Aku mengajukan permohonan penambahan personel baru pada para pejabat tinggi saat rapat tadi dan mereka menyetujuinya setelah melihat semua foto hasil otopsi. Kau membutuhkan mereka, aku tahu itu."

Rebecca mengangguk, sedikit tidak menyangka bahwa permohonan yang diajukan oleh Freen dapat dengan mudah disetujui sementara permohonan yang diajukan olehnya bahkan sudah ditolak sebanyak tiga kali. Mungkin karena pangkat dan reputasinya yang cukup berpengaruh sehingga mereka mau mempertimbangkannya lebih baik, pikirnya. Rupanya kedatangan letnan muda yang menyebalkan ini tidak hanya memberinya pengalaman buruk yang baru, tetapi juga memberinya bantuan.

"Terima kasih. Aku lihat kau melakukan semuanya dengan baik," si Armstrong muda melirik sekilas pada siaran televisi, "Beritahu aku apa saja yang terjadi saat rapat, tolong?"

"Tidak sekarang. Kondisimu masih tidak baik sehingga aku tidak bisa membebani pikiranmu dengan apa yang terjadi selama kau tidak ada di kantor. Tapi akan aku pastikan, setelah kau keluar dari rumah sakit, penyelidikan akan berjalan lebih baik dari sebelumnya."

Mengernyit, Rebecca lekas-lekas menyela, "Tidak, tidak bisa begitu! Aku yang bertanggung jawab atas semuanya, aku harus tahu apa yang sudah terjadi agar—"

"Sial. Hei, dengar, Sersan. Aku mencoba untuk lebih peduli denganmu karena—karena kulihat kau bahkan tidak mempedulikan dirimu sendiri sekarang. Dengan begini, kau memberikan si pembunuh kesempatan untuk menyerang psikismu lebih parah lagi!" Freen menarik napas dalam, semua ketegangan yang mendadak muncul membuat suaranya tanpa sadar meninggi sehingga di kalimat yang akan ia ucapkan selanjutnya, Freen mencoba untuk lebih tenang dan menurunkan nada bicaranya, "Besok, aku ingin kau untuk tidak kembali ke rumahmu sendirian karena kau sedang dalam bahaya sekarang. Posisimu benar-benar buruk di sini, karena monster itu tahu semuanya tentangmu dan ia siap kapan saja datang kepadamu."

Rebecca menghembuskan napas kasar. Ia tak ingin lagi membahas hal ini di saat ia sedang merasa tenang di rumah sakit. Kenapa Freen datang hanya untuk membuatnya tersiksa dengan ingatan buruknya itu? Yang benar saja. Kesal, Rebecca menggeram, "Aku tahu jika aku dalam bahaya sekarang, kau tidak perlu lagi memberitahu itu dua kali padaku, demi Tuhan."

"Ini ancaman nyata, Sersan. Monster itu bisa ada di mana saja, bahkan di rumah sakit ini sekalipun." Rebecca agak terkejut ketika Freen tiba-tiba menyentuh bahu kirinya, membuat sersan muda itu sontak menatap lurus pada sepasang mata coklat milik Freen yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia sedang bercanda. "Ini hanya asumsiku saja, dan aku juga tidak tahu kau sudah melukai hati siapa saja, tapi sepertinya sejak awal monster itu memang ingin mempermainkanmu dan mengincarmu. Ia memilih korbannya berdasarkan nama belakang keluargamu untuk memberimu peringatan, Sersan Armstrong. Mungkin, kita harus mulai mempertimbangkan untuk menyelidiki orang-orang di sekitarmu."

The enemy is near.

Ucapan sosok hitam aneh yang muncul di dalam mimpi buruknya tiba-tiba berdengung di dalam kepalanya. Itu selaras dengan ucapan Freen yang menduga monster yang mereka cari sekarang ada di dekat Rebecca—bisa jadi orang-orang yang pernah ia temui beberapa kali atau orang yang pernah berurusan dengannya.

Memang benar jika selama ini ia sudah diperingatkan akan kematiannya sendiri melalui mimpi dan ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika suatu hari nanti hari kematiannya tiba—ia bisa melihat siapa orang yang membunuhnya dan akan sesakit apa rasanya.

Ia takut, sangat takut. Jika dia mati, apa yang akan terjadi selanjutnya? Siapa orang yang akan melindungi teman-teman dan keluarganya sementara psikopat yang mengerikan itu sedang berkeliaran di luar sana untuk mencari mangsa baru?

Tanpa sadar Rebecca menitikkan air mata. Ia tak tahan dengan semua pikiran jahat yang mempengaruhi isi kepalanya sekarang. Dan ia benci dengan fakta bahwa sekeras apapun ia mencoba untuk mengendalikan pikiran buruk itu, mereka justru semakin mencengkeram dan mencekiknya seperti ikatan tali tambang yang sedang mencekik lehernya.

Melihat kondisi Rebecca, tangan Freen yang semula ragu untuk bergerak pun akhirnya menyentuh lengan si Armstrong muda. Secara tidak langsung memberitahu Rebecca akan presensi Freen di sisinya sehingga ia tidak perlu lagi merasa takut, untuk sekarang.

"Jangan pernah merasa takut, sersan. Kita akan menangkap psikopat itu sebelum ia membunuh lebih banyak orang lagi." Freen mencoba untuk menenangkan Rebecca. Meskipun jauh di dalam, ia mengerti ucapan semacam itu tidak akan menghapus kegusaran dan rasa takut yang tergambar jelas pada wajah sersan muda di depannya ini.

Tapi setidaknya, ia sudah berusaha. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top