Chapter 3: Sudden Ourburst
Freen tampak sedang menuliskan sesuatu di atas buku catatan kecilnya ketika Rebecca kembali dari tidur singkatnya di ruang loker—beberapa anggota meninggalkan kasur lipat tipis di sana, jadi ia memakainya untuk tidur. Lagipula, mengetahui ada kamera tersembunyi di rumahnya sendiri membuatnya enggan untuk pulang dan mengekspos dirinya lebih banyak lagi—wanita berambut panjang itu nampak sangat serius, dilihat dari wajahnya yang terlipat dan tampak tidak menghiraukan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Rapat pemaparan akan dimulai sekitar satu jam lagi. Jadi mungkin Freen sedang mencatat beberapa hal penting yang perlu ia sampaikan nanti. Berjalan perlahan seraya menganggukkan kepala pada kolega yang duduk di mejanya masing-masing dan lewat di sampingnya, Rebecca menghentikan langkahnya bukan di tempatnya sendiri melainkan tepat di samping meja Freen.
Letnan itu menyadari kedatangan Rebecca, dari atas ia dapat melihat kepala Freen menengok sedikit ke samping—mungkin melihat sepatu Rebecca—sebelum mendongak ke atas dan memandangnya dengan sorot mata tajamnya. "Selamat datang kembali, sersan. Tidak jadi mati, ya?" Freen berucap, singkat dan padat. Ia tak mengatakan apapun lagi dan kembali menunduk untuk menulis catatan.
Rebecca menggelengkan kepala penuh rasa frustasi. Baru saja ia kembali dari istirahat singkatnya, ia sudah disambut dengan kalimat tidak mengenakkan dari rekan tim barunya ini. Lihat, inilah mengapa ia tidak pernah menyukai anggota baru yang dimasukkan ke dalam timnya. Sebab semua orang yang masuk ke dalam tim, hampir tidak ada yang memiliki otak yang waras—semuanya sinting.
"Bisakah kau sedikit lebih sopan pada kepala timmu?" Rebecca menjawab. Ia mengangkat tangan kanannya dan menempelkannya di permukaan meja, menggunakan meja kerja Freen sebagai tumpuan.
"Asal kau tahu, kau itu juniorku."
Jujur saja, Rebecca bisa gila jika ia terus berdiri di sini dan berbicara dengan manusia setengah setan di depannya ini. Maaf saja, masalahnya sendiri sudah cukup pelik dan ia malah diberi masalah baru dalam bentuk manusia seperti ini—jelas saja Rebecca menjadi semakin muak. Ia menutup matanya sejenak, memalingkan wajah ke arah lain—pada jam dinding—dan mengatur napasnya selama beberapa detik.
Tapi seakan tidak selesai membuat hari Rebecca Armstrong menjadi lebih buruk, kalimat yang diucapkan oleh Freen selanjutnya seakan menyerupai tombak tajam yang menembus dadanya.
"Aku sudah membaca laporan penyelidikan dan laporan hasil otopsi dari dua mayat sebelumnya. Dan untuk mayat ketiga, karena laporan penyelidikan masih belum diberikan oleh petugas lapangan, maka aku baru membaca laporan otopsi. Dan... aku hanya bisa menyimpulkan bahwa cara kerja kalian cukup menarik."
Rebecca menaikkan satu alis. "Apa maksudmu?"
"Kalian baru bergerak ketika sudah ada yang mati. Baiklah, menebak jalan pikir pembunuh gila dan menyelidiki tanpa arah begini memang sulit. Tapi, hey, ayolah, kalian itu polisi berpendidikan."
BRAK
Rebecca sontak berderak maju, menarik kerah kemeja hitam yang dikenakan oleh Freen—memaksa wanita itu berdiri secara paksa seolah-olah ia hendak mengajaknya berduel satu lawan satu dengan tangan kosong. Otot-otot di kedua tangannya berkedut nyeri begitu ia memperkuat cengkeramannya, tapi itu tak sebanding dengan amarah yang menyesakkan dada dan memanaskan pucuk kepala.
Wajah Rebecca seketika berubah merah padam—ia marah, tak lagi bisa menahan emosinya begitu mendengar kalimat Freen yang diucapkan dengan wajah tanpa dosa. Dengan jarak sedekat itu, Rebecca dapat melihat wajah Freen yang datar. Ia tidak menunjukkan raut wajah apapun saat diprovokasi oleh Rebecca. Ia hanya menatap lurus pada kedua iris coklat sersan itu dengan bibir terkatup. Napasnya pun tidak tersengal, ia bernapas seperti biasa seakan tidak sedang terjadi apa-apa.
Beberapa orang personel yang turut berada di dalam ruangan tampaknya berusaha untuk memisahkan Rebecca dari Freen. Mereka berhasil, memang, tapi detik selanjutnya Rebecca kembali menyergap Freen lebih keras dari sebelumnya. Wanita yang lebih tinggi itu sampai hampir terjatuh ke belakang, tapi beruntung ia masih bisa menjaga keseimbangannya dan membiarkan Rebecca mencengkeram lehernya.
"Aku tidak peduli dengan pangkatmu, Sarocha. Jika kau masih tidak bisa menjaga ucapanmu, aku tidak akan ragu untuk memberimu pelajaran tentang bagaimana cara menjaga sikap di lingkungan kerja."
Mendengar ancaman Rebecca, Freen justru tersenyum tipis. "Siapa yang melukaimu, Sersan Armstrong?"
"Tidak," Rebecca menggeram. Ia menarik wajah Freen mendekat dan berbisik, "sebaliknya, siapa yang melukaimu, Letnan Sarocha?"
"Aku?" Freen mulai mengangkat tangannya. Ia menyentuh pergelangan tangan Rebecca, kemudian naik hingga menyentuh jari-jari Rebecca yang masih melingkar di lehernya. Ia diam di sana sejenak, lalu tiba-tiba, ia menekan pergelangan tangan Rebecca hingga membuatnya tersentak. "Tidak ada. Tidak ada yang melukaiku."
Dengan tindakan kecil yang dilakukan oleh Freen, situasi yang semula tegang berubah menjadi semakin memanas. Wanita tinggi dengan rambut panjang itu sepertinya mulai terpancing amarahnya. Ditandai dengan cengkeraman tangannya pada pergelangan tangan Rebecca yang membuat sersan mud aitu meringis menahan sakit—namun tetap menatap nyalang pada Freen.
Seandainya Heng tidak datang saat itu juga, mungkin Rebecca dan Freen akan saling memukuli satu sama lain di tempat itu tanpa ada orang lain yang berani memisahkan mereka. Semuanya tahu Sersan Kepala Rebecca sedang berada di kondisi yang tidak baik selama beberapa bulan terakhir sehingga orang yang membuatnya semarah ini sama dengan menjemput ajalnya sendiri.
"Hei, hei, hei! Apa yang kalian lakukan di sana!"
Heng dan Seng yang baru saja kembali dari minimarket untuk membeli beberapa kopi kaleng dan roti, segera melesak masuk ke dalam ruangan dan mengamankan kedua atasan dan bawahan yang sedang dalam posisi yang tidak mengenakkan. Beruntung, Rebecca dan Freen tidak lagi memberontak dan mau dipisahkan satu sama lain.
Laki-laki tinggi itu menyeret Rebecca kembali ke kursinya, mengambil lirikan kecil pada Freen yang tengah merapikan kemeja dan rambutnya yang berantakan, Heng berbisik pada Rebecca, "Apa yang kau lakukan pada Letnan Chankimha? Hell, tidak ada yang berani mengganggunya di Chiang Mai dan di sini kau malah ingin berkelahi dengannya."
"Diam kau, Heng. Kau tidak tahu jika Letnan brengsek itu sudah menghina kita semua. Menyebut kita sebagai polisi yang tidak berpendidikan dan karena kita lah serangkaian pembunuhan itu terjadi. Dia berkata seakan kita tidak melakukan apapun selama beberapa bulan terakhir!" Rebecca menyingkirkan tangan Heng yang memegangi kedua bahunya dengan satu dorongan keras, berhasil membuat laki-laki itu mendengus dan memilih untuk mengambil satu langkah mundur.
Di depannya, Freen kembali ke tempat duduknya. Wanita itu menyambar jaket berwarna army miliknya yang ia letakkan pada sandaran kursi, sebuah flash drive dan buku catatan kecil yang sejak tadi ia pakai. Wajahnya tak setegang tadi, bahkan lebih tenang dari sebelumnya. Bahkan Seng sempat terkesan tentang seberapa cepat letnan itu mengontrol emosi dan raut wajahnya.
"Tidak perlu marah, sersan. Karena aku hanya menumpahkan fakta di depan matamu. Kau perlu memperbaiki performa timmu sebelum hal buruk yang sama sekali tidak kau inginkan terjadi."
Freen berucap dengan suara dingin. Tanpa menunggu jawaban Rebecca, ia menunjuk Seng dan tiga orang anggota lain untuk ikut bersamanya ke ruang rapat. Meninggalkan Rebecca yang menggigit bibirnya sendiri dan mengepalkan kedua tangan di bawah meja.
Hal tidak kuinginkan yang akan terjadi? Napas Rebecca mendadak tercekat di tenggorokan. Otaknya membayangkan berbagai macam scenario mengerikan yang selama ini ia bayangkan di dalam pikirannya sendiri. Berandai-andai jika semua yang ada di pikirannya akan benar-benar terjadi dan ia tidak memiliki kekuatan untuk mencegahnya. Darah, darah. Ada banyak darah. Potongan jari, serpihan otak, tubuh yang dimutilasi. Tidak, tidak, tidak, tidak, jangan, aku tidak mau—
Keringat dingin menetes turun dari dahinya. Heng tampaknya mendengar hembusan napas Rebecca yang mencicit seperti anak tikus yang terinjak hingga laki-laki itu segera berbalik dan berjongkok di sampingnya dengan raut wajah khawatir. "Nong? Nong! Hei, kau kenapa? Wajahmu benar-benar pucat!" ia menepuk bahu Rebecca, tapi wanita itu tidak memberikan respon apapun selain tangannya yang kini bergerak untuk mencengkeram kepalanya sendiri.
Ia dapat mendengar Heng memanggil-manggil namanya sekaligus meminta bantuan pada anggota lain untuk mengambil air atau apapun—namun suara itu semakin lama menjadi semakin jauh seiring kesadarannya yang semakin meninggalkan tubuhnya.
Sial. Rebecca mengutuk dirinya sendiri di tengah-tengah hembusan napasnya yang semakin memburu namun ia merasa bahwa pasokan oksigen yang mengisi paru-parunya menjadi semakin menipis dan membuat pandangannya perlahan-lahan dipenuhi oleh ribuan titik hitam. Sial. Aku—
BRUK
Rebecca jatuh tergeletak di lantai, tak sadarkan diri.
Freen keluar dari ruang loker setelah benar-benar memastikan ia sedang memakai seragam dinasnya dengan benar. Seragam coklat tua itu selalu terasa longgar di tubuhnya, tapi ia tak peduli selama ia masih memakainya sesuai dengan aturan. Itu lebih baik daripada seragam yang ketat yang bisa menampilkan lekukan tubuhnya—itu sangat mengganggu, ia tidak suka itu.
Begitu ia keluar, rupanya Seng sudah menunggunya di koridor. Laki-laki itu menenteng map berisi berkas laporan. "Letnan," ucapnya ketika melihat Freen sedang berjalan ke arahnya. Mereka berdua kini berjalan bersama menuju ruang rapat—tidak sepenuhnya bersama, karena Freen berada dua meter di depan Seng. "Aku baru saja diberitahu jika Sersan Rebecca jatuh tak sadarkan diri di kantor, beberapa menit setelah kau keluar dari sana." Seng melanjutkan, ucapannya dilontarkan dengan nada lebih rendah.
Freen menghentikan langkahnya sejenak, menatap Seng dengan sorot mata dingin yang tidak bersahabat. "Kau ingin mengatakan jika aku yang membuatnya menjadi seperti itu?"
"Tidak, maksudku," kepanikan jelas tergambar di wajah laki-laki itu ketika Freen mendadak berhenti dan memandangnya seakan-akan ia adalah makhluk yang pantas untuk diberantas. Seng memutuskan untuk menjaga ekspresinya dan menjawab cepat, "Becky sudah mengalami tekanan sejak menangani kasus ini. Jadi aku berharap kau tidak menekannya secara berlebihan."
"Jika kita berbicara mengenai seberapa tertekan seseorang ketika dihadapkan dengan pekerjaan yang berhubungan dengan orang mati seperti kita, tentu semua orang juga merasakan hal yang sama. Itu tergantung seberapa kuat orang tersebut membiarkan hal-hal negatif mempengaruhinya," Freen kembali menghadap ke depan dan lanjut berjalan menyusuri koridor. Ruang rapat berada di lantai 6 dan mereka masih berada di lantai 3 sehingga mereka harus menggunakan lift terlebih dahulu. Ia menekan tombol untuk memanggil lift, sembari menunggu, Freen melanjutkan kata-katanya yang sempat tertunda. "Sersan Rebecca, meskipun memiliki track record yang baik dalam menyelesaikan kasus, masih tidak memiliki kemampuan untuk membatasi dirinya sendiri sehingga mentalnya rawan sekali terguncang seperti itu."
Menghentikan langkah di depan pintu ganda—ruang rapat—Seng menyempatkan diri untuk menjawab, tepat sebelum Freen mendorong pintu di depan mereka terbuka. "Sikapmu itu... tidakkah kau merasa bahwa kau agak keterlaluan?"
Freen melirik ke belakang, kemudian terkekeh pelan. Keterlaluan dia bilang? Ah, rasanya ia seperti sudah mendengar candaan jelek yang dilontarkan oleh peserta murahan dari acara standup comedy. Standar apa yang laki-laki ini gunakan sehingga ia bisa seenaknya sendiri menyimpulkan bahwa tindakan dan ucapannya itu sudah keterlaluan? Jelas-jelas ia sedang memaksakan standarnya di depan wajahnya sekarang.
Apa yang terjadi pada Rebecca sekarang sepenuhnya kesalahannya sendiri. Itu karena ia tidak bisa menjaga dirinya sehingga ia menyemburkan amarahnya pada orang lain hanya karena ia menolak untuk menerima fakta yang Freen berikan kepadanya. Dan Freen sendiri tidak terlalu suka dengan orang-orang semacam itu.
Menghembuskan napas, Freen mengeratkan cengkeramannya pada gagang pintu, Bersiap untuk membukanya. "Itu akan menjadi urusan pribadiku dengan Sersan Armstrong. Untuk selanjutnya, aku ingin kau tidak ikut campur dengan masalah kami berdua. Bisakah kau melakukannya, Sersan Wichai Saefant?" sahutnya. Ia menyempatkan diri untuk menengok ke belakang, menunggu jawaban Seng yang tampak ragu. Tapi karena ancaman terselubung yang ia berikan melalui tatapan mata, pada akhirnya Seng mengangguk pasrah. "Bagus. Sekarang, mari kita lakukan pekerjaan kita." Freen tersenyum sekilas dan langsung mendorong pintu ruang rapat, kemudian masuk ke dalam.
Di dalam sana sudah ada beberapa orang petinggi kepolisian yang diundang untuk memantau perkembangan kasus pembunuhan berantai yang berhasil menarik perhatian public selama beberapa bulan terakhir. Hal itu perlu dilakukan untuk mengawasi kinerja aparat dan memastikan apakah mereka benar-benar menjalankan penyelidikan sesuai dengan tugasnya.
Dua orang petugas yang tadi pergi bersama Freen dan Seng rupanya sudah berada di dalam, sedang mempersiapkan peralatan. Dan dengan hadirnya Freen dan Seng, maka rapat sudah siap dimulai. Tentu saja hal pertama yang mereka lakukan adalah membungkukkan tubuh seraya menyatukan kedua telapak tangan di depan dada—memberi hormat pada semua orang yang hadir dalam ruang rapat.
Saint—kepala divisi mereka juga hadir di sana. Ia tampak sedikit terkejut karena petugas baru lah yang mengambil alih pemaparan hari ini. Nampaknya ia juga tidak tahu jika Sersan Rebecca sedang dibawa ke rumah sakit beberapa menit yang lalu. Freen berjalan ke depan dan berdiri di depan meja dengan laptop di atasnya. Ia menyempatkan diri mengangguk pada Saint untuk menyapanya.
Setelah merapikan kembali seragam yang ia pakai, Freen mengambil mic dan alat kendali jarak jauh untuk menjalankan slide presentasi.
"Empat bulan yang lalu, sebuah benda yang diduga sebagai patung ditemukan oleh warga setempat di dekat reservoir. Ketika disentuh, diketahuilah bahwa patung tersebut sebenarnya adalah tubuh manusia. Tim investigasi khusus dari divisi kejahatan berat telah melakukan penyisiran TKP dan pada waktu itu kami tidak menemukan apapun. TKP adalah daerah yang cukup jauh dari pemukiman warga dan termasuk daerah yang sepi ketika memasuki waktu senja. Minimnya saksi mata membuat penemuan mayat pertama menjadi awal yang rumit bagi kepolisian."
Freen memulai rapat dengan menunjukkan beberapa foto TKP tempat ditemukannya mayat patung pertama. Di slide kedua, menampilkan foto-foto mayat yang diambil dari jarak dekat. Ia dapat menangkap beberapa wajah itu mengernyit begitu melihat kondisi mayat—Freen tidak menyalahkan, karena ia juga mengakui jika semua mayat-mayat itu terdengar aneh sekaligus mengerikan.
"Ini adalah foto-foto otopsi dari mayat pertama. Berhasil identifikasi dengan nama Maniwan Wichasak, usianya sekitar 20 tahun, mahasiswi fakultas hukum di Universitas Chulalangkorn. Ia dilaporkan hilang oleh orang tuanya dan satu bulan setelahnya ia ditemukan telah menjadi mayat. Ia tewas karena lilitan tali di leher. Setelah Wichasak mati, si pelaku membuat sayatan panjang di bagian dada dan punggung korban untuk menguras habis darahnya dan setelah itu tubuhnya direndam dalam larutan formalin. Itulah mengapa mayatnya berwarna pucat seperti ini." Freen menjelaskan. Ia kemudian highlighting salah satu foto, dan itu adalah bagian telapak kaki mayat. "Di sini, kami menemukan sayatan berbentuk huruf A yang sengaja ditinggalkan si pelaku bagi polisi. Tidak ada DNA, tidak ada saksi mata, tidak aja jejak. Sayatan ini adalah satu-satunya petunjuk yang kami miliki waktu itu."
Freen menekan tombol pada alat kendali jarak jauhnya untuk memindahkan ke slide berikutnya. Ada beberapa foto dari mayat yang berwarna putih pucat, dengan bekas lilitan tali di leher. "Mayat kedua ditemukan di gudang tempat penyimpanan kaleng cat di pinggiran kota Bangkok, berhasil diidentifikasi sebagai Ratchanichon Wongsawat. Usia 26 tahun, bekerja sebagai customer service di layanan asuransi. Ia dibunuh dengan cara yang sama dengan Wichasak. Tapi kali ini, ada sayatan kecil di lidahnya. Sebuah sayatan yang membentuk huruf R. Sama seperti sebelumnya, tidak ada saksi mata. Tapi, sayatan itu bukanlah satu-satunya hal yang ditinggalkan oleh si pembunuh."
Beberapa orang mulai memicingkan mata begitu mendengar ucapan Freen. Mengantisipasi apa yang berhasil ditemukan oleh tim investigasi ini. Dan Freen sendiri yakin, mereka semua pasti memiliki asumsi-asumsi yang disembunyikan di dalam pikiran mereka. Dan semua itu terbongkar ketika Freen menampilkan slide berisi foto-foto dari surat-surat kaleng yang ditujukan kepada Sersan Kepala Rebecca Armstrong.
Totalnya ada dua surat; surat pertama hanya berisi alamat lengkap dari kediaman sersan itu dan surat kedua berisi nama-nama anggota keluarga, rekan kerja, dan teman-teman dekatnya. Semuanya ditulis dengan tinta berwarna merah.
Freen menghembuskan napasnya yang tanpa sadar sejak tadi ia tahan karena ia membaca semua isi surat itu. Ia pun berjalan mendekati meja dan berdiri di belakangnya. Mengatur napas sejenak, ia kembali melanjutkan, "Surat-surat ini digunakan si pembunuh untuk meneror Sersan Kepala Armstrong, memberinya ancaman secara pribadi. Tapi surat-surat ini bukan satu-satunya." Slide berganti, kini menunjukkan foto mayat ketiga yang baru-baru ini ditemukan. Ia juga menampilkan dua buah bola mata yang salah satunya terdapat ukiran berbentuk huruf R. "Mayat ketiga, Nom Chavalit, 24 tahun, bekerja sebagai kasir minimarket. Si pembunuh menggunakan cara yang berbeda karena ia benar-benar menyiksa korban dan tidak mencekiknya seperti dua korban sebelumnya. Kedua bola mata Nom dicungkil dan ia dipaksa untuk menelan bola matanya sendiri dan ketika si pelaku menjejalkan kedua bola mata itu ke tenggorokannya, si pembunuh menusuk bagian samping kepalanya dengan pisau dan membunuhnya seketika."
Freen menghentikan ucapannya sejenak, menggeleng-gelengkan kepala melihat kondisi mayat dan bola mata yang terpampang jelas. Ia tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan korban ketika bola matanya dicabut saat ia masih hidup.
Setelah beberapa menit mengatur emosinya, ia pun kembali berbicara. "Kali ini si pembunuh terlihat lebih serius karena ia membunuh dengan lebih sadis dari sebelumnya. Dan kali ini ia meninggalkan huruf M yang diukir di permukaan bola mata korban. Tak hanya itu, ia juga meninggalkan foto-foto polaroid yang diambil dari kediaman Sersan Kepala Armstrong dan itu berarti selama kasus ini berlangsung, ia sedang dikuntit dan diawasi oleh si pembunuh."
"Melalui ini, kami dapat menyimpulkan bahwa si pembunuh mengincar wanita muda berusia antara 20 sampai 27 tahun yang tinggal di sekitar wilayah Bangkok. Dan lebih parahnya lagi, si pembunuh berani meneror polisi dan mengancam hingga sejauh ini. Jelas, ini bukan pembunuhan berantai biasa, orang yang kita cari sekarang adalah psikopat gila yang terobsesi atau memiliki dendam pribadi dengan wanita. Oleh sebab itu, dengan hormat, kami meminta pada para pimpinan untuk bersedia memberikan bantuan personel tambahan dari departemen keamanan lalu lintas dan departemen kejahatan siber dan digital untuk membantu proses penyelidikan."
Ucapan terakhir Freen sempat membuat beberapa orang petinggi mengangguk dan mengerti urgensi serta masalah macam apa yang mereka hadapi sekarang. Rapat pertemuan selesai dengan komentar baik dari para petinggi, dan mereka juga mempertimbangkan untuk memberi surat perintah pada dua departemen tersebut untuk mengerahkan personel-personel terbaiknya untuk bergabung dalam tim investigasi yang dipimpin oleh Sersan Kepala Rebecca Armstrong.
"Kau menyampaikan semuanya dengan baik, Letnan. Siapa sangka kau justru diam-diam membantu Becky. Baru-baru ini kami sering mengeluh kekurangan anggota dan ketika ia memberikan surat pengajuan, semuanya selalu ditolak dengan alasan yang tak masuk akal," salah seorang personel mendekatinya. Dari plakat namanya, Freen tahu jika namanya adalah Urassaya Malaiwong—ia akan mengingatnya. "Terima kasih banyak, Freen." Ucapnya lagi, dan Freen menggumam seraya menganggukkan kepala.
Keempat personel polisi itu berjalan meninggalkan ruang rapat setelah para petinggi meninggalkan ruangan. Meski ia sudah menyampaikan pemaparan dengan baik, Freen tetap merasa ada beberapa hal yang mengganjal di hatinya. Ada sesuatu yang tak benar, sesuatu yang tidak seharusnya dan ia masih belum mau menyampaikan hal itu pada rapat tadi karena itu hanya berdasarkan asumsi pribadinya saja.
Itu adalah tentang tiga huruf yang ditemukan pada bagian tubuh mayat yang secara kebetulan mirip dengan tiga huruf pertama nama keluarga Sersan Kepala Armstrong. Si pembunuh memberikan kode jika ia menggunakan sesuatu miliknya dengan mengirimkan surat-surat kaleng dan foto—yang dianggap sebagai ancaman—padahal, kemungkinan si pembunuh memberikan kode bahwa ia membunuh berdasarkan nama belakang sersan muda itu.
Lagipula, jika memang asumsinya benar, maka seharusnya nama-nama dari ketiga korban harus ada unsur huruf ARM secara berurutan tapi karena tidak ada dari nama-nama tersebut yang memiliki huruf pertamanya seperti itu, membuat Freen ragu akan dugaannya sendiri.
Mungkin si pelaku tahu nama panggilan sehari-hari para korban, ia menguntit mereka dengan cara yang sama dengan ia menguntit Sersan Armstrong. Ia tahu semuanya, bahkan kehidupan pribadi sersan itu. Jadi jelas, pembunuhnya tidak terlalu jauh dari tempat ini. Dan jika memang begitu, Sersan Armstrong bisa digunakan sebagai umpan demi menangkap si pembunuh.
"Siapa namamu?" Freen bertanya pada petugas wanita berambut pendek seperti laki-laki yang tadi membantunya mempersiapkan laptop dan file sebelum melakukan pemaparan.
Petugas itu tampak terkejut selama beberapa detik. Mungkin tidak menduga jika Freen akan berbicara padanya karena sejak tadi letnan berambut panjang itu hanya diam dengan dahi berkerut seakan sedang berpikir keras. Jadi, daripada membuatnya marah lagi seperti tadi siang, ia segera menjawab. "Namaku Noey."
"Noey? Oke," Freen menggumam. "Aku ingin kau menghubungi Sersan Armstrong. Katakan padanya, aku ingin berbicara dengannya secara pribadi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top