Chapter 19: The Devil In Disguise

Sosok gadis kecil dengan iblis yang senantiasa merengkuh tubuhnya sepanjang malam itu telah kembali menunjukkan wujudnya. Tak ada yang berubah dari dirinya, selain iblis keji yang selalu bersamanya kini telah melebur menjadi satu bersamanya dan Mind, bisa melihatnya dengan jelas melalui sepasang iris cokelat yang menusuk jauh ke dalam jiwanya. Ia tahu dirinya telah masuk ke dalam lubang keputusasaan pada detik di mana ia menyerahkan jiwanya pada iblis bertubuh manusia ini. Karena secara tidak langsung, Mind seakan sudah memberikan seluruh jiwanya pada genggaman sang iblis.

Membiarkan jiwanya menari-menari di tangan iblis tersebut bersama dengan jiwa-jiwa tak berdosa lain yang sudah mati adalah keputusan paling buruk yang ia buat dalam hidup. Namun tetap saja, seandainya kala itu ia memiliki pilihan lain, jelas ia tidak akan membiarkan dirinya berada di posisinya sekarang dan memilih untuk pergi sejauh mungkin sebelum semuanya terlambat.

Dan kini, ia sudah tidak bisa melakukan apa-apa selain mengangguk patuh pada setiap perintah yang iblis itu berikan kepadanya.

Seluruh ikatan rantai yang membelenggu lehernya sekarang bermula dari nasibnya yang menurutnya buruk, dan itu terjadi sudah lama sekali—lebih tepatnya ketika Mind masih kecil. Perlu diketahui, Mind dan Freen sudah saling kenal cukup lama mengingat mereka sempat tinggal di satu panti asuhan yang sama sampai Freen diadopsi oleh sepasang suami-istri baik hati—yang mana Mind tidak tahu ia bisa menganggapnya sebagai sebuah berkah atau tidak karena ia mengira ia tidak akan lagi bertemu dengan iblis kecil itu sepanjang hidupnya.

Tapi sepertinya Tuhan senang sekali bermain-main dengan garis takdir yang ia punya.

Mind mengingat Freen sebagai gadis pendiam yang cantik dan jenius. Ia selalu berhasil menyelesaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa dan itu tak pernah gagal membuatnya takjub. Apa yang Freen lakukan seakan bisa membuatnya terkesima, karena itu selalu membuatnya berpikir—bagaimana bisa anak kecil seperti dirinya memiliki pikiran untuk melakukan semua itu dengan sangat berani. Ide-ide briliannya yang membuat mereka berhasil menyelinap keluar dari panti asuhan untuk berkeliaran di kota tanpa pengawasan orang dewasa juga membuat Mind kecil merasa Freen adalah anak yang luar biasa.

Dahulu, Mind tidak mengerti dan menganggap jika memutilasi kucing hingga menjadi beberapa bagian, memotong kepala burung dan meninggalkannya di depan pintu ruangan ibu kepala panti, hingga membuat jebakan dari silet tajam untuk melukai anak-anak lain adalah hal keren yang hanya bisa dilakukan oleh beberapa orang. Tapi lambat laun, ia sadar bahwa semua tindakan yang wanita itu lakukan semasa ia kecil adalah beberapa indikasi yang menandakan bahwa ia memiliki kelainan psikologis khusus yang hanya diderita oleh sebagian besar orang di dunia yang kini ia kenal sebagai gangguan psikopati.

Semakin lama, Mind muda merasa ada yang aneh dengan Freen sehingga ia mulai menjaga jarak dan mencoba menjauhi anak itu selama beberapa waktu. Tetapi, Freen justru menjadikannya sebagai target dari kenakalannya itu. Penemuan bangkai burung di dalam kamarnya sudah bukan lagi sesuatu yang langka karena hampir tiap hari Mind menemukan makhluk menjijikkan itu sejak ia menjauhi Freen. Ia sudah melaporkan ini pada ibu kepala panti, tapi semuanya berakhir tanpa tindakan lanjutan karena Freen selalu memiliki alibi dan alasan yang sempurna dan itu justru memberikan bumerang pada Mind.

Selama berbulan-bulan, Mind hidup dalam ketakutan dan teror. Ia baru bisa menghirup udara segar ketika Freen akhirnya diadopsi oleh keluarga kaya dan dirinya juga diadopsi beberapa bulan setelahnya.

Mereka bertemu lagi saat menginjak bangku kelas tiga SMA. Saat itu, Mind nyaris tidak bisa melanjutkan sekolahnya hingga ke perguruan tinggi karena orang tuanya sudah tidak mampu membayar biaya pendidikannya. Ditambah lagi ia memiliki dua orang adik yang juga masih bersekolah, sehingga mau tak mau ia harus merelakan kesempatannya untuk kedua adiknya sementara ia harus bekerja demi membantu ekonomi keluarga.

Ketika ia hampir menyerah dan mengubur mimpinya dalam-dalam untuk bekerja di lingkungan investigasi kriminal yang sudah ia dambakan sejak kecil, Freen Sarocha tiba-tiba muncul dalam hidupnya. Ia datang ketika petang tiba, saat Mind sedang bersiap untuk mengakhiri shiftnya di minimarket. Hampir saja ia tidak mengenali wanita itu ketika ia memanggil namanya. Tapi Mind ingat, waktu itu Freen datang dengan menggunakan seragam sekolah swasta elit yang ada di kota itu, dengan namanya terbordir rapi pada bagian dada kiri rompi biru gelapnya.

Freen Sarocha.

Sejak saat itu, pertemuan mereka menjadi semakin intens dan Mind menyadari bahwa gadis aneh yang pernah ia kenal kini berubah menjadi remaja normal yang cantik dan berkarisma. Ia tidak lagi menemukan sisi psikopat Freen yang pernah ia lihat dulu. Malahan kini, Freen berubah menjadi sangat baik dan mampu berkomunikasi secara normal dengan semua orang. Gadis pendiam yang aneh itu telah berubah menjadi gadis ekstrovert yang dicintai oleh banyak orang.

Mulai dari sana, hubungan mereka menjadi semakin dekat karena Freen selalu ada untuknya sebagai satu-satunya orang yang mendengarkan semua keluh kesahnya. Hingga pada satu titik, Mind menjadi cukup dekat dengan keluarga angkat Freen sampai-sampai mereka berniat untuk membantu membiayai seluruh biaya pendidikannya di perguruan tinggi. Awalnya, Mind menolak semua itu karena ia tidak ingin merepotkan keluarga Freen. Tapi mereka terus memaksa dan meminta Mind menganggap itu sebagai ucapan terima kasih karena telah menjadi teman baik Freen sejak ia masih ada di panti asuhan.

Terima kasih pada orang tua angkat Freen, Mind berhasil menyelesaikan pendidikannya hingga ia meraih gelar master di bidang psikologi. Tak hanya itu, mereka juga membiayai segala bentuk sertifikasi dan seluruh lisensi yang diperlukan bagi Mind demi menunjang karirnya untuk menjadi criminal profiler. Sementara Freen, berhasil lulus dari akademi polisi dan langsung ditugaskan di Kantor Regional Chiang Mai. Secara garis besar, keluarga Freen—dan Freen sendiri—berperan besar dalam hidupnya sehingga ia merasa perlu untuk membalas budi kepada mereka.

Bentuk balas budi itu ia tunjukkan dengan tetap menemani Freen untuk pindah ke Bangkok setelah kasus pembunuhan terhadap pelaku penyanderaan dan warga sipil yang sudah ia lakukan selesai diurus. Meskipun itu berarti ia juga harus memindahkan wilayah kerjanya dari Chiang Mai ke Bangkok dan memulai semuanya dari awal lagi, tetapi demi membalas budi pada Freen dan keluarganya, ia rela melakukan semuanya.

Bentuk balas budi itu ia tunjukkan pula dengan tetap menutup rapat mata dan mulutnya ketika Freen membawanya ke ruangan khusus yang ada di unit apartemen pribadinya untuk menunjukkan semua koleksi yang ia dapatkan selama beberapa tahun ke belakang. Itu adalah foto-foto acak dari seorang laki-laki, sebuah foto anggota keluarga lengkap, dan foto seorang wanita bule dengan seragam dinas polisi lengkap—pada setiap foto, terdapat sebuah tulisan ARMSTRONG yang ditulis dengan menggunakan spidol merah.

Tak hanya itu, Mind kembali dibuat terkejut dengan pengakuan Freen yang ia lakukan dengan wajah tak bersalah dan mengatakan bahwa insiden penembakan itu tak hanya sengaja ia lakukan agar ia bisa mendapatkan surat pemindahan tugas lebih cepat, tetapi juga ia lakukan untuk kesenangannya sendiri.

Semuanya Freen lakukan demi membuatnya dekat dengan putri bungsu dari Alexander William Armstrong—mantan rekan kerja ayah kandung Freen sekaligus provokator serta pengkhianat yang membuat keluarganya hancur ketika ia kecil. Kala itu, Mind tidak bisa berkutik lagi ketika sosok mengerikan yang pernah ia lihat ketika ia kecil kembali muncul di depannya dan mengatakan bahwa ia harus mematuhi dan mengikuti semua yang ia perintahkan padanya.

Mulai saat itu, Mind Sawaros Nekkham, seorang criminal profiler, secara resmi terlibat dalam tindak kejahatan berat yang nantinya akan menggemparkan Bangkok selama beberapa bulan ke depan. Freen telah merencanakan semuanya dengan matang, dan ia hanya tinggal menunggu perintah darinya. Perintah pertama dari Freen datang ketika wanita itu masih belum resmi bertugas di Bangkok dan masih bolak-balik Bangkok—Chiang Mai untuk mengurus dokumen penting yang berkaitan dengan izin pemindahan tugas dan kelengkapan dokumen untuk menyewa beberapa unit apartemen yang nanti akan ia pakai.

Dari yang Freen jelaskan padanya, tugasnya cukup mudah. Mind hanya perlu berkeliling atau menggunakan channel yang ia miliki selaku criminal profiler untuk mencari nama-nama panggilan dari wanita muda yang membentuk nama ARMSTRONG. Tapi ternyata tidak hanya itu. Kenyataannya, ia masih dipaksa untuk melihat langsung bagaimana Freen menggoda, menculik, dan menyiksa semua korbannya sampai akhirnya mereka dibunuh secara sadis—dan semuanya ia lakukan dengan membiarkan kedua mata si korban terbuka lebar dan mulut ditutup dengan lakban.

Mind tidak bisa melupakan semua pemandangan mengerikan itu. Tangisan dan rintihan yang memohon pertolongan padanya, sentuhan-sentuhan putus asa dari mereka yang menunggu ajal, tatapan penuh teror dari para wanita itu ketika Freen bersiap untuk mengiris leher mereka dengan golok, darah kental yang bersemburan keluar seperti mata air, hingga bau amis darah yang tak pernah hilang dari indra penciumannya selama berbulan-bulan.

Akan tetapi, pemandangan yang paling mengerikan sekaligus menjijikkan yang pernah ia lihat adalah saat ia mengetahui bahwa Freen juga seorang kanibal. Mind pertama kali mengetahui fakta itu ketika Freen membunuh korban keduanya di Bangkok—seorang wanita yang mewakili huruf R—wanita itu memotong salah satu bagian kecil dari tangannya dan memasukkannya ke dalam mulut untuk ditelan mentah-mentah. Mind juga pernah dipaksa untuk menelan daging manusia sepertinya, tapi ia menolak. Untungnya, saat itu ia sedang beruntung karena Freen tidak tersinggung dan langsung melakukan hal lain.

Selama ini, Mind hanya diam ketika melihat Freen melakukan semua hal keji dan menjijikkan itu di depan matanya. Ia juga berusaha keras untuk menahan diri ketika ia melihat Freen memainkan peran sebagai seorang polisi baik yang sudah mengakui kesalahannya di masa lalu dan berniat untuk menebusnya dengan melakukan pekerjaan sebagai polisi untuk menangkap pembunuh berantai—kenyataannya, Mind ingin muntah karenanya.

Setelah berbulan-bulan membiarkan dirinya di dalam kolam dosa yang dipenuhi oleh darah busuk yang meresap masuk hingga ke pori-pori kulitnya, Mind merasa bahwa ia sudah mulai jengah dan frustasi setengah mati. Ia sadar, ada sesuatu yang salah dengan moralnya sebagai manusia normal dan ia sadar bahwa di titik ini, ia seharusnya melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya.

Sebab saat ini, Freen sudah sampai di bagian akhir dari rencana yang sudah ia susun selama bertahun-tahun dan Mind tahu betul bahwa dengan ini, kecil kemungkinan bagi mereka untuk keluar dalam keadaan hidup. Karena di rencananya, Freen berniat untuk memblokir akses keluar dari gedung terbengkalai tempat mereka bertiga berada sekarang dan membakar gedung itu hingga rata dengan tanah setelah ia selesai bermain-main dengan si bungsu Armstrong.

Menghembuskan napas yang entah sudah sejak kapan ia tahan, Mind berjalan menjauh dari jendela dan memutuskan untuk tidak lagi memandang ke luar. Angin malam yang dingin membuat bulu kuduknya meremang. Apa yang ada di dalam sini sudah cukup membuatnya ketakutan jadi ia tidak ingin menambah rasa takutnya dengan sesuatu yang mungkin akan ia lihat di luar sana.

Setelah cukup dekat dengan Freen, ia berkata, "Freen, aku merasa polisi sudah mencium keberadaan kita dan akan segera datang." Mind mengusap bagian belakang lehernya yang tak gatal. Ia hanya melakukannya untuk mengusir perasaan tak nyaman dari wanita berambut panjang di depannya dan ruangan berbau apak yang mereka tempati sekarang.

Sejak tadi Mind hanya menatap keluar jendela dan memandang jauh ke bawah, pada mobil SUV milik Freen yang terparkir rapi tepat di depan gedung. Memang tidak ada satu pun sumber cahaya di tempat itu, apalagi banyaknya pepohonan lebat yang berada di sekitar gedung juga menambah kesan suram di sana. Warna mobil Freen bukan warna yang gelap seperti hitam atau abu-abu, sehingga ia bisa melihat atap mobil itu dari lantai paling atas gedung.

Mereka berada di lantai 13 dari bekas gedung hotel terbengkalai yang berada di pinggiran kota Bangkok. Sehingga dari ketinggian itu, Mind bisa melihat gemerlap pusat kota Bangkok yang sangat jauh. Dengan kegelisahan yang merambat di hati, Mind menahan napasnya seraya melayangkan pandangan ke segala penjuru, takut sewaktu-waktu ada belasan mobil polisi atau pasukan khusus yang mengepung mereka. Meski ia tahu Freen sudah merencanakan semuanya dengan matang sehingga ia yakin polisi tidak akan mengendus jejak mereka selama beberapa waktu.

Atau mungkin... sebenarnya bukan sepenuhnya rencana yang dibuat secara maksimal. Karena penculikan dan pembunuhan yang Freen lakukan kepada Heng dan Saint adalah sesuatu yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Mereka melakukan itu karena keadaan dan situasi yang memaksa. Sebab, Freen pun tidak menyangka bahwa Saint dan Heng nyaris mengintervensi rencana yang telah ia susun terlebih dahulu.

Saint ingin membuat Becca kembali menjadi tahanan polisi, ia juga memiliki potensi untuk membongkar jati diri Freen yang asli lebih cepat, sementara Heng berniat ingin menangkap Freen dan memojokkan wanita itu untuk menyelesaikan urusan yang tak selesai—ya, pria itu masih menyimpan dendam pada Freen dan Becca sehingga ia tidak ingin mengambil risiko dengan membiarkan pria itu hidup berkeliaran di sekitar mereka lebih lama lagi. Ia tidak menduga Saint dan Heng akan melakukan tindakan itu secara bersamaan dan dalam bentuk yang sangat agresif. Ini memaksa Freen untuk mempercepat rencananya dan itu dimulai dengan menculik Saint dan Heng pada malam di mana konferensi pers yang ditayangkan ke seluruh negeri itu dilaksanakan.

Tapi rencana tetaplah rencana, tidak ada orang yang bisa menyusunnya secara sempurna dan memberikan jaminan keberhasilan yang maksimal. Mind akan habis jika ia tertangkap sebelum eksekusi akhir dilakukan, dan jika begitu, sudah dipastikan dirinya akan mendapat hukuman berat dan akan mati membusuk di neraka dunia yang mereka sebut sebagai penjara untuk penjahat kelas kakap.

Namun, berbeda dengan Mind yang tampak pucat dengan gestur gelisah seperti menggigit ujung kukunya berulang kali, Freen tampak jauh lebih tenang dan santai. Wanita itu mengabaikan Mind yang sedang gelisah di dekat jendela tanpa kaca di seberang ruangan, sementara dirinya berdiri di depan meja kayu berdebu dengan berbagai benda tajam dan alat perkakas seperti pisau buah, pisau daging, obeng, mesin bor, pisau silet, palu martil besar, palu paku, dan sebilah golok tajam. Di samping meja, terdapat satu buah genset yang menyala, lima jerigen bensin, dan satu botol cairan asam nitrat.

Karena tidak digubris oleh sang lawan bicara, lagi-lagi Mind berkata lebih keras, "Freen!"

"Ada apa? Kau takut? Huh, kau tahu sendiri mereka itu hanya sekelompok tikus busuk yang mudah terditraksi." sedikit memutar leher untuk memandang Mind dengan sudut mata, Freen akhirnya menjawab. Ia lalu berjalan menjauhi meja dan berdiri di depan Becca yang masih tergeletak tak sadarkan diri dengan kepala ditutupi kain hitam. "Setelah apa yang kita berdua lakukan sampai kita tiba di titik ini? Bagaimana bisa ada membuatmu takut? Aku tidak mengerti."

Kau tidak mengerti karena kau sudah tidak memiliki hati selayaknya manusia normal, Mind berkata pada dirinya sendiri. Wanita itu menghela napas, berusaha mengabaikan tatapan dari kedua mata yang terbuka lebar mengawasinya di depan sana. Ia tahu Freen tidak pernah suka diganggu, dan ucapannya barusan mungkin telah membuat wanita itu sedikit terusik. Tapi persetan dengan rasa takut yang selama ini ia pendam, kali ini ia tidak akan membiarkan Freen mencapai akhir dari bencana.

Ia mungkin bisa menyelesaikan ini sebelum terlambat.

Mind melirik Becca sekilas, lalu tanpa mengalihkan pandangan, ia berucap, "Aku ingin bertanya lagi padamu. Apakah membunuh wanita itu dapat memuaskan dendam yang kau rasakan selama ini? Jika kau sudah membunuhnya... lalu apa? Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" ia berjalan pelan mendekati Freen yang masih berdiri di tempatnya. Hanya saja, wanita itu kini sepenuhnya berhadapan dengannya. Jika sudah begini, Mind harus berhati-hati jika ia ingin menyerang duluan.

"Oh, dia?" Freen menunjuk Becca dengan tangan kiri, "Keluarganya adalah orang yang aku cari sejak aku masih remaja, dan dia... adalah harta paling berharga yang dimiliki Keluarga Armstrong. Jika kau bertanya apakah membunuhnya akan membuat dendamku terbalaskan, sebenarnya jawabannya adalah tidak."

Apa?

"Freen... jika kau marah dengan Tuan Armstrong, kenapa kau tidak bunuh dia saja? Kenapa kau harus membunuh banyak orang tidak bersalah dan... menjadi seperti ini?" Mind tampak frustasi, wajahnya mulai berkeringat sekarang. "Aku tidak yakin kau melakukan ini hanya karena dendam dengan Keluarga Armstrong."

"You know me so well." Freen mendengus. Ia mengusak rambutnya ke belakang dan memijat tengkuknya sejenak sebelum akhirnya menjawab seraya melemparkan senyuman yang cukup mengganggu. "Kau memang benar, dendam itu mungkin tidak akan hilang meskipun aku menghabisi semua Keluarga Armstrong. Tapi, aku menyukai ini. Aku suka melihat manusia-manusia itu berlutut di depanku dan memohon agar aku membiarkan mereka hidup. Aku suka bagaimana mereka memandangku dengan tatapan penuh rasa takut itu. Aku merasa seperti Tuhan yang bisa menentukan kapan aku bisa mencabut nyawa mereka dan mereka semua memujaku dengan berlutut di depanku setiap kali aku mengangkat golok dan memberitahu seperti apa mereka akan mati di tanganku."

Tangan Freen melayang di atas benda tajam dan beberapa perkakas yang ada di atas meja, mulai dari ujung ke ujung. Mind memasang posisi waspada, berjaga-jaga jika Freen mengangkat salah satu senjata itu dan langsung menyerang Mind. Tapi untungnya, Freen tidak melakukannya karena wanita itu segera berpindah ke depan pintu yang tertutup dan menjauh dari meja.

Ia berdiri di sana dan menggunakan tubuhnya untuk menghalangi pintu tersebut. "Tapi jangan takut. Aku akan selesai saat tujuanku membunuh semua anggota keluarga Armstrong, dan sampai saat itu tiba, kau akan tetap ada bersamaku."

"Aku tidak percaya, selama ini aku mematuhi semua yang kau perintahkan kepadaku hanya untuk membuatku ikut mati bersamamu?" akhirnya Mind menyentak keras tepat di depan wajah Freen yang kelewat tenang. Sejenak, itu membuatnya takut dan gentar. Tapi ledakan emosi yang ia rasakan berhasil memenangkan rasa takutnya sehingga tanpa ragu ia mendorong tubuh Freen menjauh dan meraih sebuah pisau dari meja. "Ini sungguh tidak masuk akal. Lebih baik aku masuk penjara daripada harus berurusan dengan iblis sepertimu sampai aku mati!"

Freen mengangkat kedua tangannya dan menunjukkan telapak tangannya pada Mind. Ia tertawa, menunjukkan deretan gigi-gigi putih dengan bercak merah gelap yang membuat wanita itu sempat tersentak—Freen mungkin sudah memakan sesuatu lagi beberapa waktu yang lalu.

"Hati-hati dengan pisau itu, Mind. Kau sudah melihat apa yang benda itu lakukan pada tubuh manusia, jadi kau tidak boleh mengacungkannya sembarangan seperti itu. Kau bisa membuatku terbunuh." Di sela-sela tawanya yang memekakkan telinga, letnan polisi yang sudah kesetanan itu tampak tidak takut sedikit pun dengan pisau yang ditodongkan Mind tepat pada bagian kepalanya. "Lagipula, apa sih yang ada dalam kepalamu? Menurutmu aku akan melepaskanmu begitu saja? Ah, Mind. Kau terlalu naif. Mana mungkin aku rela melepaskan peliharaanku ke alam liar begitu saja."

Siapa sangka, keberanian yang sudah ia tumpuk itu mendadak luruh seperti balok es yang dipanaskan. Tangan Mind yang menggenggam pisau pun tidak bisa bergerak lebih jauh dan hanya bisa mengacungkan pisau itu dengan gemetar, sementara Freen tampak puas melihat wanita itu membeku karena rasa takutnya sendiri. Ia sudah tahu ini akan terjadi, dan bagaimanapun juga Mind tidak akan bisa melawannya karena ia sendiri sadar bahwa Freen bukanlah lawan yang pantas untuknya.

Tapi, Mind tidak berhenti begitu saja. Ia memutuskan untuk tidak menyerah dalam rasa takut dan langsung mengayunkan pisau itu secara horizontal dari arah kiri ke kanan dengan sangat kuat. Ia sempat memajukan tubuhnya, membuat pisau itu berhasil menggores jembatan hidung Freen dan meninggalkan luka sayatan kecil di sana. Mind menggeram, berusaha mendapatkan keseimbangannya setelah membuat ayunan penuh yang membuat tubuhnya nyaris berputar menyamping. Ketika ia bersiap untuk mengayunkan pisau lagi, Freen tiba-tiba menghentakkan kakinya dan melompat ke samping, kemudian Mind merasakan sesuatu yang sangat keras menghantam sisi kepalanya hingga membuatnya terpental.

DUG

Tubuh Mind mendarat pada permukaan beton yang kasar dan dingin, bahunya mendarat terlebih dahulu dan ia dapat mendengar suara crack yang menyakitkan begitu tulang bahu dan selangkanya menyentuh permukaan keras tersebut. Ia mengerang kesakitan, berusaha untuk bangkit tetapi tubuhnya menolak. Ia hanya bisa berguling, berusaha keras untuk memfokuskan matanya yang sempat menggelap selama beberapa waktu. Melalui pandangannya yang mulai kabur, ia bisa melihat Freen berjalan ke arahnya sembari menyeret palu martil bernoda darah.

Cahaya lampu temaram yang menjadi satu-satunya sumber cahaya di tempat itu membuat Mind dapat melihat percikan-percikan darah yang menempel pada wajah Freen—dan itu sangat menakutkan sampai-sampai Mind refleks berteriak dengan suaranya yang patah-patah.

Melihat ancaman yang datang mendekat, tangan kanan Mind bergerak liar meraba-raba sekitar dengan harapan ia berhasil menemukan pisau yang sempat terjatuh tadi. Tapi bukan pisau yang ia dapatkan, melainkan hantaman palu yang mendarat langsung pada jari-jarinya dan langsung menghancurkan tangannya dalam sekejap. Mind berteriak karena rasa sakit yang terlalu menyiksa. Ia mungkin masih belum bisa melihat dengan jelas karena darah yang masuk ke dalam mata, tapi samar-samar, ia bisa melihat tangan kanannya sudah banjir darah. Bahkan ia bisa melihat sesuatu berwarna putih menyembul keluar dari lelehan darah tersebut.

"Sayang sekali, Mind. Kupikir kau adalah teman baikku." Freen mengangkat palunya setinggi dada. Ia memegangnya dengan kedua tangan dan tidak lagi membiarkan ujung palu itu menempel di permukaan lantai beton. "Tapi memang seharusnya kita tidak bisa menaruh rasa percaya pada sesama manusia, iya 'kan? Kau pun seharusnya begitu." Wanita itu menghembuskan napas, kemudian mulai memasang kuda-kuda dan kembali mengangkat palu besar itu tinggi-tinggi. "Aku ingin membiarkanmu tetap hidup, tapi apa boleh buat. Kau sudah tidak lagi berguna untukku, jadi aku tidak memiliki pilihan lain selain menyingkirkanmu."

Criminal profiler itu meringis tipis, menatap kosong pada langit-langit ruangan yang dipenuhi oleh lumut. Palu martil yang berada jauh di atas kepalanya dan siap menghancurkan otaknya tidak lagi membuatnya takut. Sebentar lagi ia akan segera mati, dan semua beban pikiran yang membuatnya nyaris gila seakan menguap bersama hembusan napasnya. Jika ia mati, maka tidak akan ada lagi sesuatu yang mengganggunya—dan, oh... betapa ia menyukai ide itu.

Jadi Mind meraih kaki Freen, meremasnya dengan kuat meskipun satu tangannya telah hancur dan darah masih mengalir deras dari sisa-sisa tulang serta potongan jarinya yang nyaris putus. "S—Sejak awal kita bukan teman. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai seorang teman. Bagiku, kau hanya iblis yang menjelma dalam tubuh manusia. Pikirmu aku melakukan ini karena aku menganggapmu sebagai teman? Kau salah besar. Di mataku, kau tak lebih hanya sebuah kesalahan, sebuah kutukan, dan bencana yang seharusnya disingkirkan." desisnya. "Aku mengutukmu sampai akhir hayatku, Sarocha Chankimha."

"Kalau begitu, tatap mataku dan kutuk aku sebanyak yang kau mau. Pastikan kau mengingat wajah ini sampai saat kau mati nanti," Freen menjawab tenang. Ia sama sekali tidak terkejut atau shock dengan ucapan Mind seakan ia sudah menduga semua ini akan terjadi sekarang. Mungkin, itulah mengapa Freen langsung memblokir lift dan tangga darurat untuk memutus akses ke bawah. Sang Letnan kemudian menghembuskan napas, memandang Mind dengan tatapan meremehkan. "Menyedihkan sekali. Bahkan saat kau mati, kau tidak bisa membuatku berhenti. In fact, I'll never stop, sampai aku mati sekalipun."

Tepat setelah Freen menyelesaikan kalimatnya, palu martil yang ia angkat tinggi pun langsung dihujamkan pada kepala Mind. Permukaan besi dari palu besar itu tanpa ampun menghancurkan tengkorak Mind dan langsung memecahkannya seperti ia sedang membelah buah semangka. Suara crack terdengar, disusul dengan cipratan darah bersemburan ke segala arah, serta serpihan tulang tengkorak dan daging yang berceceran. Suara menjijikkan dari sesuatu yang basah yang menempel pada palunya kembali terdengar saat Freen mengangkat palu dan lagi-lagi menghantam kepala Mind yang sudah tidak berbentuk.

Freen melakukannya berulang-ulang tanpa ampun sampai ia tidak bisa lagi melihat bentuk kepala manusia dari Mind. Tulang tengkoraknya dibuat rata dengan lantai beton, bola mata dan otaknya sudah berceceran entah ke mana, dan genangan darah besar hampir menutupi seluruh dari sol sepatunya. Bunyi dentuman keras disertai suara menjijikkan dari daging manusia yang menempel pada palu menjadi satu-satunya sumber suara di sana. Tapi Freen tidak takut akan seseorang yang mungkin mendengar suaranya, sebab ini adalah lantai 13 dari gedung yang sangat jauh dari pusat keramaian manusia.

Wanita itu baru berhenti mengayunkan palu setelah ia tidak lagi melihat wajah Mind di bawah kakinya. Ia mengambil satu langkah lebih dekat dan menginjak genangan darah, sisa-sisa otak dan isi kepala Mind agar ia bisa menyeret tubuh tanpa kepala itu untuk ditinggalkan di sudut ruangan tepat di samping lampu studio yang tersambung dengan genset. Lantai beton tempatnya berpijak kini penuh oleh genangan darah dan jejak-jejak darah. Perlu waktu lama bagi darah sebanyak itu untuk mengering, jadi ia harus berhati-hati agar tidak terpeleset.

Tapi, bukankah akan semakin menarik jika tempatnya berpijak ini menjadi licin? Ia tidak perlu terlalu khawatir akan terpeleset sebab ia memakai sepatu taktis yang didesain untuk medan berlumpur, berbeda dengan Becca yang tidak memakai alas kaki. Ini membuat dada Freen bergemuruh karena adrenalin yang meledak-ledak. Membayangkan bagaimana ia mengalami permainan yang sudah ia tunggu sepanjang hidupnya saja sudah membuatnya bersemangat.

Hanya Freen dan Becca. Hanya mereka berdua, tidak ada orang lain yang mengganggu waktu kebersamaan mereka yang sangat spesial malam ini.

Ia pun berbalik, mengayunkan tungkainya dan membiarkan sepatunya basah oleh genangan darah. Berhenti dengan jarak satu meter di depan Becca, Freen menggelengkan kepala setelah melihat tubuh itu masih tidak bergerak kendati kain hitam yang menutupi wajahnya tampak kembang kempis karena napas Becca yang tak beraturan.

Sepertinya ia hanya berpura-pura pingsan selama ini.

"Becky, aku tahu kau sudah bangun. Maaf dengan semua kekacauan yang terjadi, ini pasti menakutimu. Tapi jangan khawatir, nanti kau juga akan terbiasa melihatnya. Karena yang ini masih belum sebanding dengan apa yang akan kau lihat nanti." Freen menjatuhkan palunya di lantai, membuat percikan darah kecil karena benda berat itu mendarat di atas genangan darah. Ia kemudian berjalan mendekati Becca dan berjongkok di depannya, kedua tangannya bergerak untuk melepaskan kain hitam yang menutupi wajah Becca. Dengan satu gerakan cepat, Freen melepaskan kain tersebut dan ia langsung disambut dengan tatapan ngeri dari wanita berambut pendek itu.

Sejak mereka tiba di tempat ini, Becca memang sudah siuman. Meski dengan pandangan gelap karena kain hitam yang menutupi kepala, ia masih bisa menggunakan telinganya untuk mendengar apa saja yang terjadi selama ia berpura-pura pingsan. Dan semua itu cukup memberinya alasan untuk mencari segala cara agar ia bisa keluar dari tempat itu, atau mungkin mendapatkan kembali ponselnya yang entah sudah hancur atau disembunyikan agar ia bisa menelepon untuk meminta bantuan.

Namun, yang menjadi masalah sekarang adalah dirinya sendiri. Seluruh otot-otot yang ada pada tubuhnya seakan membeku dan sama sekali tidak bisa digerakkan. Pun dengan pita suaranya, ia hanya bisa membiarkan bibirnya terbuka tanpa bersuara karena ia dibuat bisu dengan pemandangan mengerikan yang terbentang di depan mata.

Freen dengan wajah berlumuran darah, palu yang digeletakkan di atas genangan darah, serpihan-serpihan daging dan tulang manusia, serta tubuh tanpa kepala yang ada di dekat lampu... sial, itu sudah cukup membuat Becca ketakutan. Sebuah kilasan memori tiba-tiba terputar di dalam kepalanya. Tentang mimpi buruk dan sosok makhluk hitam yang memenggal kepalanya setiap kali ia muncul dalam mimpinya. Selama ini ia bertanya-tanya, apakah makhluk hitam itu adalah sebuah peringatan yang berasal dari alam bawah sadarnya.

Dan setelah mengingat kembali apa yang ayahnya beritahukan padanya bahwa dirinya dan Freen pernah saling kenal bertahun-tahun yang lalu sebelum insiden bunuh diri dan pembunuhan itu terjadi, Becca jadi merasa yakin bahwa memang sosok yang ada dalam mimpinya itu adalah manifestasi dari alam bawah sadarnya yang tahu bahwa ada ancaman yang datang. Secara kebetulan mimpi buruk dan kemunculan sosok pemenggal kepala itu menjadi semakin intens sejak ia bertemu dengan Freen untuk yang pertama kalinya di kantor polisi Bangkok.

Freen. Freen lah ancaman itu. Sosok pemenggal kepala yang ada dalam mimpinya adalah Freen. Ternyata ia sudah memimpikan wanita itu bahkan sebelum mereka mengenal lebih dekat.

"Freen... kenapa?" Becca berucap di sela hembusan napas. Pandangannya tak pernah bisa lepas dari wajah Freen meskipun jauh di dalam hatinya, ia tidak ingin menaruh pandangan pada wajah menakutkan itu.

"Kenapa?" Freen tersenyum miring. Ia mengusap noda darah yang menempel di wajahnya dengan menggunakan punggung tangan. "Entahlah, aku juga tidak tahu." tangannya kemudian menyentuh sisi wajah Becca dan membuat wanita itu duduk bersandar pada dinding. Darah Mind yang ada di tangan Freen pun turut menodai wajah Becca, membuat wanita itu terbelalak ngeri. Tampaknya Freen sengaja mengusap wajah Becca dengan darah itu untuk mengganggunya—atau mungkin sebagai bukti kepemilikan. Perlahan, Freen berdiri dan ia menginjak pundak kiri Becca dengan kakinya agar ia tidak bisa bergerak banyak. "Bec, bagaimana jika kita mencari tahu bersama-sama?"

Becca mengerang. Sol sepatu Freen yang keras menekan langsung pada tulang bahunya dan itu membuatnya merasakan nyeri luar biasa. "Aku... percaya padamu."

"Memang itu tujuanku," Freen memberikan senyuman manisnya pada Becca. Biasanya saat melihat senyuman itu, Becca merasa hatinya menghangat. Tapi sekarang, ia justru merasa sangat ketakutan. Senyuman itu tak lebih dari senyuman yang berasal dari orang gila yang memiliki obsesi dengan darah dan daging manusia. "Selama ini kau bertemu dan berbicara dengan sisi lain dari diriku. Jadi bisa dibilang ini adalah waktu kita benar-benar bertemu satu sama lain untuk yang pertama kali, tanpa ada yang perlu ditutup-tutupi lagi." Freen melanjutkan. Ia kemudian mengangkat kakinya dari bahu Becca dan berjongkok lagi di depannya. "Rebecca Patricia Armstrong, senang bertemu denganmu lagi. Namaku Sarocha Chankimha, jika begini, apakah kau bisa mengingatku sekarang?"

"...ternyata kau ingat jika kita pernah bertemu bertahun-tahun yang lalu. Apa yang mengubahmu sampai menjadi seperti ini?" Becca bertanya dengan suara pelan.

"Kau," jawab Freen. Tepat setelah itu, raut wajahnya mendadak berubah sendu. "Kau lah orang yang membuatku menjadi seperti ini."















Chapter ini ngga di proofread sebelum diposting. Jadi, please, tolong kasih tau kalo ada typo atau ada paragraf yang ngga nyambung, okay?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top