Chapter 18: Confession of Love

Hampir 20 jam berlalu sejak panggilan teleponnya dimatikan secara sepihak tanpa keterangan apapun, dan jalur komunikasi yang terputus di antara mereka membuat Becca sangat khawatir. Rasanya percuma ia berdiam diri di rumah orang tuanya dan menunggu panggilan dari Freen sehingga akhirnya ia memutuskan untuk menggunakan mobilnya untuk menuju apartemen Freen.

Meski ia memiliki kenangan buruk dengan penemuan potongan tubuh manusia yang sengaja diletakkan di atas kap mobil, itu tidak menjadikannya alasan untuk datang ke apartemen letnan itu dan memeriksa apakah ia sengaja menghindari panggilannya dengan bersembunyi di sana atau memang ia memiliki urusan yang perlu diselesaikan bersama si criminal profiler itu.

Ia memiliki kunci cadangan yang Freen percayakan padanya saat pertama kali Becca menginjakkan kaki di unit tersebut sehingga jangan heran jika ia bisa leluasa masuk-keluar unit seperti unit itu adalah miliknya sendiri. Tapi jangan khawatir, Becca bukanlah orang yang lancang. Ia tidak akan masuk sembarangan ke wilayah pribadi orang lain dan tidak akan mengambil sesuatu yang bukan menjadi miliknya. Ia sendiri sudah memiliki bayangan tentang apa yang akan ia lakukan jika Freen benar-benar tidak ada di apartemennya.

Pertama; ia mungkin akan menunggu di kamarnya sendiri, melakukan apapun yang bisa ia lakukan seperti tidur atau memikirkan sesuatu sambil menikmati pemandangan dari ketinggian balkon. Kedua; menunggu di ruang makan dengan ditemani oleh mi instan dan kopi pahit.

Pada akhirnya, Freen memang sedang tidak ada di rumah. Becca tidak melihat sepatu yang biasa wanita itu pakai ketika bepergian dalam rak sepatu yang ada di dekat pintu depan. Kondisi unit itu pun cukup panas dan semua lampunya dimatikan, jadi jelas tidak ada orang yang masuk ke dalam unit milik Freen selama beberapa waktu. Rupanya Freen tidak berbohong. Ia menghembuskan napas, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Akhirnya ia pun menyalakan semua lampu dan pendingin ruangan karena ia juga sepertinya akan menunggu di dalam sini sampai Freen datang.

Becca pun memutuskan untuk mengecek kamarnya. Tidak ada alasan khusus, hanya ingin memastikan apakah barang-barangnya masih ada di tempatnya atau tidak—sebuah kebiasaan lama. Dan memang benar, semua barang pribadi yang ia tinggalkan masih ada di tempatnya semula. Tidak ada yang berubah. Tempat tidur dan balkon yang tertutup tirai tebal tidak lagi membuatnya tertarik sehingga ia memutuskan untuk keluar menuju ruang makan untuk membuat mi instan dan secangkir kopi panas.

Sembari menunggu water heater mengeluarkan uap panas dan berdenging nyaring sebagai tanda bahwa air yang ada di dalamnya sudah mendidih dan siap dituangkan, Becca menarik kursi meja makan dan duduk dengan nyaman di atasnya. Ponsel sudah ada di tangan dan ia tengah memeriksa semua notifikasi masuk yang sempat membuat ponselnya bergetar-getar tak karuan di mobil hingga ia perlu menjatuhkannya ke dalam jok agar suaranya tidak mengganggu telinganya lagi.

Sebagian besar notifikasi itu berasal dari Irin dan Noey. Mereka berkali-kali menghubunginya dan mengirimkan pesan singkat dengan jumlah yang cukup banyak sampai-sampai ia tidak bisa melihat kutipan pesan tersebut di layar notifikasi. Becca mendengus, sedikit kesal sebenarnya, tapi di sisi lain ia juga penasaran apa yang membuat kedua rekan kerjanya ini sampai perlu menghubunginya seperti debt collector.

Ia membuka salah satu pesan dari Irin dan mengabaikan sisanya, membacanya sekilas dan meletakkan ponselnya di atas meja dengan mata terbelalak. Apa yang baru saja kubaca? Pasti ia salah membaca kalimat yang dikirim oleh Irin, 'kan? Itu sering terjadi karena Becca memiliki kebiasaan untuk membaca secara cepat semua teks yang dikirimkan padanya sehingga kesalahan semacam itu juga sering ia alami. Baiklah, tenang dan baca perlahan. Kini Becca mengambil ponselnya dan mulai membaca pesan dari Irin dengan lebih teliti.

Tapi meskipun ia sudah lebih dari lima kali membaca ulang pesan teks tersebut, isinya juga tetap sama dan tidak berubah. Itu berarti matanya sedang tidak bermain-main dengannya sehingga apapun yang ia baca sekarang adalah fakta yang tidak terbantahkan. Dan itu adalah fakta bahwa komandan dan rekan kerja satu timnya—Saint dan Heng—menghilang tanpa kabar sejak semalam.

Ia sudah biasa mendapatkan kabar mendadak seperti penemuan mayat, orang hilang, laporan perampokan, atau hal lain yang menggambarkan situasi darurat di mana ia perlu bertindak cepat untuk datang ke lokasi dan melalukan tugasnya sebagai polisi. Tapi entah mengapa, kabar yang ia dapatkan sekarang justru membuatnya lemas dan kalut setengah mati. Becca memang sempat menaruh dendam dan benci pada Heng dan Saint setelah apa yang mereka lakukan kemarin. Tapi tetap saja mereka pernah menjadi rekan kerja sehingga kabar itu sempat membuat tubuhnya dingin selama sepersekian detik.

Tanpa sengaja ia menendang kursi yang ia duduki ke belakang dan membuat suara yang cukup keras untuk melompat ke arah counter dan mematikan water heater sebelum berbalik 180 derajat, menyambar jaketnya di gantungan pakaian dan berjalan mendekati pintu. Ia merasa ikut bertanggung jawab dan ingin secepat-cepatnya tiba di kantor untuk menanyakan tentang hilangnya Saint dan Heng pada rekan kerja lainnya. Barangkali hilangnya mereka berkaitan dengan kasus pembunuhan berantai yang ia alami sehingga mungkin ia akan mendapat informasi baru termasuk umpan yang bisa membawanya pada si pembunuh.

Akan tetapi, bukanlah lorong kosong yang tampak di depan matanya ketika ia membuka pintu. Melainkan sosok wanita tinggi dengan balutan mantel hitam dan turtleneck berwarna senada yang berdiri di sana, menghalangi jalannya keluar tanpa ada keinginan untuk berpindah sedikit saja. Sontak, pertemuan yang mendadak ini membuat kedua wanita itu memekik kaget dan hampir saling memukul. Wanita bermantel hitam khawatir tentang kehadiran perampok yang masuk ke apartemennya, sedangkan Becca terkejut setengah mati karena pakaian wanita itu yang nyaris menyerupai malaikat maut tanpa parang.

Wanita bermantel itulah yang pertama kali sadar bahwa orang yang berada di dalam unit apartemennya rupanya bukan perampok sehingga ia segera menarik tangannya dan meluruskannya ke depan untuk memberi jarak agar pukulan Becca tidak mengenai wajahnya. "Hei, hei, hei, ini aku!" ucapnya dengan terbata-bata. Tas besar yang ia jinjing di bahunya sampai melorot jatuh hingga ke lengan, tapi dengan sigap ia membenarkan posisinya. "Becca? Apa yang kau lakukan di apartemenku? Bagaimana—"

"Freen?" si bungsu Armstrong itu terkesiap. Tidak mengira bahwa wanita berpakaian bak model majalah musim dingin di depannya ini ternyata adalah wanita yang sudah ia tunggu selama satu hari penuh. "Brengsek! Kau ke mana saja? Aku menunggumu satu hari penuh, dasar gila!"

Freen menghembuskan napas. Siapa sangka setelah melakukan perjalanan yang menghabiskan waktu satu jam tadi ia justru akan diberi sambutan ringan berupa bentakan dan tamparan yang nyaris menghapus make-up tipisnya? Wanita berambut panjang itu akhirnya melangkah masuk, tak ingin membuat keributan di koridor apartemen karena itu hanya akan menarik perhatian tetangga dan membuat namanya menjadi buruk karena dianggap sebagai wanita yang kasar terhadap pasangannya.

Barulah setelah menutup dan mengunci pintu, Freen melepaskan sepatunya dan menjawab, "Aku pergi bersama Mind. Bukankah aku sudah memberitahumu?" diletakkannya sepatu itu di dalam rak dan ia pun mengayunkan tungkainya menuju ruang makan. Tas besar yang tersampir di bahunya ia letakkan di atas meja makan. Ia juga melepaskan mantel dan menggantungnya pada gantungan baju yang ada di kamarnya.

Suara langkah kaki terdengar keras di belakangnya, ia sudah tahu siapa. "Setidaknya, jangan matikan ponselmu. Aku jadi kesulitan menghubungimu!" lagi-lagi Becca berbicara dengan bersungut-sungut. Melihat wanita berambut pendek itu menumpahkan amarahnya hanya karena ia tidak bisa menghubunginya, Freen hanya bisa terkekeh geli. Merasa ditertawakan, Becca menyahut sengit, "Apa yang kau lihat? Ingin aku menusuk kedua matamu dengan sumpit, ya?"

Lihat, si galak Rebecca Patricia Armstrong kembali lagi, Freen mengacak rambutnya secara asal dan memilih untuk mengeluarkan semua benda yang ada di dalam tasnya. Becca berjalan mendekat, kini berdiri di seberang meja dan masih menatapnya dengan tatapan seram. "Maafkan aku, oke? Aku sengaja mematikan ponsel karena tidak ingin ada yang mengganggu."

Becca mendesis kesal, "Mengganggumu dari apa? Dari pekerjaan? Apa kau tidak tahu jika Saint dan Heng hilang sejak semalam? Oh, tentu saja kau tidak tahu. Kau mematikan ponselmu."

"Uh-uh, aku tidak ingin ada yang menggangguku karena Mind dan aku sedang sibuk memasak untuk orang yang spesial," Freen hanya mengangguk-angguk santai dan mengeluarkan beberapa kotak tupperware dari dalam tas dan meletakkannya dengan rapi di atas meja makan. Sepertinya ia masih belum mengerti ucapan Becca barusan. Hingga akhirnya, tangannya tiba-tiba berhenti bergerak dan itu tandanya ia sudah mengerti dengan situasi yang terjadi. "Apa kau bilang? Saint dan Heng hilang?" ia bertanya.

"Kau—"

"Mereka pantas mendapatkannya. Untuk apa repot-repot merasa khawatir," sahut Freen.

"Astaga, kau memang benar. Mereka pantas mendapatkannya setelah apa yang mereka lakukan padaku dan aku mengerti benar dengan hal itu. Tapi, bukankah kita tetap harus memeriksa apakah hilangnya mereka berkaitan dengan kasus pembunuhan berantai yang kita tangani ini?" Becca menjawab lagi. Kini ia tidak habis pikir dengan isi pikiran Freen—biasanya wanita itu selalu menggebu-gebu jika dihadapkan dengan kasus. Tapi kali ini ia jadi terlalu santai, bahkan cenderung menyepelekan.

Pandangan Becca kemudian jatuh pada beberapa kotak tupperware yang Freen letakkan di atas meja. Ia tidak bisa melihat isinya karena warnanya yang gelap, tapi kalau boleh jujur, ia sangat ingin tahu apa yang wanita itu bawa. Memasak? Yang benar saja. Di saat seperti ini?

"Aku tahu itu. Tapi kupikir kau datang ke tempatku dan menemuiku untuk membicarakan sesuatu?" ucapan Freen membuat Becca tersadar akan tujuannya datang ke mari dan menunggu wanita ini datang selama berjam-jam. Ia ingin berbicara sekarang juga, menanyakan semua pertanyaan yang perlu dijawab di dalam kepalanya. Hanya saja, ia memiliki skala prioritas yang perlu ditata ulang.

Omong-omong, jika berbicara tentang skala prioritas... Saint dan Heng sudah jatuh ke urutan yang paling bawah sejak beberapa hari yang lalu jadi seharusnya ia tak perlu merasa panik dan memiliki tanggung jawab besar atas hilangnya mereka berdua. Lagipula, personel polisi kantor regional Bangkok bukan hanya dirinya dan Freen. Jadi biarkan saja anggota lain yang lebih kompeten mengurus mereka berdua untuk sekarang.

Dengan pertanyaan tadi, Freen memenangkan argumen singkat mereka dan Becca menghembuskan napas sebagai tanda bahwa ia juga sepakat apa yang dikatakan Freen. Daripada mengurusi dua orang hilang yang sudah mereka benci, lebih baik mereka tetap di sini selama beberapa waktu dan meluruskan semua tanda tanya yang terjadi setelah insiden di kantor polisi kemarin.

"Kau bisa duduk. Aku akan menyiapkan makan malam," ucap Freen. Wanita itu menggunakan dagu untuk menunjuk kursi kosong yang dapat ditempati Becca sementara dirinya membawa beberapa kotak tupperware ke counter dan membuka semua tutupnya. Ia menata isinya pada satu wadah dan memasukkannya ke dalam microwave. "ini hanya perlu dipanaskan, jadi tidak akan menghabiskan waktu lama. Kau tahu, ini sangat spesial karena aku memasaknya sendiri dengan racikan khusus yang sudah aku pakai selama beberapa bulan terakhir. Tidak ada bisa memasaknya seperti aku." Ia menerangkan dengan sangat antusias pada Becca sembari menunggu microwave memanaskan makanan yang ia masak.

Becca bangkit berdiri dan mengambil dua buah piring bersih. Ia meletakkan kedua piring itu di dekat Freen. "Jadi karena ini kau menghilang selama satu hari?" sahutnya.

"Iya. Kau baru saja keluar dari sel tahanan dan aku ingin menyiapkan kejutan." Wanita berambut panjang itu tersenyum tipis. "Aku tahu kita akan banyak mengobrol jadi kita bisa melakukannya sambil menikmati makan malam sederhana."

Oh, Becca tidak berpikir Freen akan melakukan hal semacam itu untuknya. Itu... terlalu romantis dan ia kira Freen sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia memiliki sisi semacam itu dalam dirinya.

Suara dentingan microwave menjadi tanda bahwa masakan yang sudah mereka tunggu sudah siap disajikan. Freen mengambil sarung tangan khusus untuk mengeluarkan tatakan stainless steel yang ia gunakan untuk meletakkan dua potong daging di dalam microwave. Becca menawarkan bantuan padanya, tetapi wanita itu menolak dan memohon pada Becca untuk duduk saja karena secara teknis, ia adalah tamu di sini. Jadi Freen merasa ia harus melayani tamunya dengan baik.

Becca tidak bisa melawan lagi dan ia akhirnya mematuhi Freen seperti anak kecil yang diperintah oleh ibunya. Ia pun kembali ke tempat duduknya dan memperhatikan Freen yang sedang sibuk dengan senyuman tipis. Bagaimana rasanya jika setiap pagi aku melihatnya memasak makan malam?

Freen meletakkan kedua piring yang kini diisi oleh sajian daging dengan saus yang baunya menggugah selera itu di atas meja—satu untuk Becca dan satunya untuk dirinya sendiri. Ia juga mengisi dua gelas dengan air mineral dan meletakkan satu di depan Becca. Wanita berambut pendek itu membisikkan ucapan terima kasih dan Freen membalasnya dengan senyuman manis yang memabukkan.

Mereka duduk berhadap-hadapan dan Freen menjadi orang yang pertama yang mengiris daging panggang itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Sepertinya ia sangat menikmati masakannya sendiri.

"Kau bisa memulai," ucap Freen.

"Nattanan Chamroon," Becca memulai dengan hati-hati. Ia sengaja belum menyentuh makanannya dan hanya menggenggam erat pisau dan garpu di tangannya. Di depannya, Freen yang semula sedang mengiris daging tiba-tiba menghentikan kegiatannya dan langsung menatapnya begitu nama itu disebutkan. Memang benar Freen memiliki hubungan yang cukup spesial dengan nama itu. Terbukti dari perhatiannya yang cepat teralihkan saat Becca menyebutkan nama itu keras-keras. Akhirnya, karena tidak ingin menghabiskan waktu dan salah langkah lagi, Becca melanjutkan dengan hati-hati, "Nattanan Chamroon. Siapa dia?"

Freen jatuh terdiam selama beberapa detik dengan mata terpejam. Ia lalu membuka matanya lagi dan kembali melanjutkan memotong daging dengan pisau dan menusuknya menggunakan garpu sebelum memasukkan potongan lembut itu ke dalam mulut. "Dia ayah kandungku. Tapi kami sudah tidak bersama lagi karena ia mati gantung diri setelah membunuh ibuku."

Becca nyaris tersedak ludahnya sendiri begitu mendengarnya langsung dari mulut Freen. Ia refleks berdeham, berusaha untuk tidak membuat terlalu banyak respon agar pembicaraan bisa berjalan lancar tanpa hambatan. Ia mengangkat wajah, mendapati wajah Freen terlihat tenang ketika ia mulai berbicara tentang masa lalunya. Tak sedikitpun gurat kesedihan dan duka yang terpancar di wajahnya—sepertinya ia sudah menyiapkan diri untuk momen seperti ini dan mungkin... ia hanya sudah mengikhlaskan.

Sebelum bertanya lagi, Becca mengiris potongan besar dari daging panggang dengan saus yang disajikan padanya. Saat potongan daging itu menyentuh lidahnya, ia refleks menggumam. Rasanya enak, mungkin sedikit aneh karena tekstur daging yang dirasa berbeda dari daging sapi biasanya. Tapi tetap saja, masakan ini patut diberikan lima jempol sekaligus.

"Kau yakin ingin berbicara tentang aku?" Freen bertanya lebih dulu. Baru ia sadari bahwa daging di piring Freen sudah nyaris habis dan hanya tersisa satu suapan saja. "Sebenarnya aku malu menceritakannya dan... ini akan menjadi cerita yang sedikit menyedihkan. Apa tidak apa-apa?"

"Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu." Becca mengangguk mantap.

Freen tertawa kecil, mengapresiasi kesungguhan Becca. "Ayahku bunuh diri karena perusahaannya bangkrut. Melalui catatan yang ia simpan di brankas pribadinya, aku tahu jika kebangkrutan itu terjadi karena perusahaannya dicurangi oleh teman dekatnya sendiri. Dulu kami sangat kaya, perusahaan kami berhasil menguasai pasar selama bertahun-tahun. Mungkin karena rekan kerja ayah yang ingin menghancurkan karir yang ia rintis selama ia hidup dan ingin merebut semua harta yang kami miliki, ia melakukan berbagai manipulasi hingga menyebabkan banyak investor tidak lagi menaruh kepercayaan pada perusahaan kami."

Freen memberikan jeda bagi dirinya sendiri untuk membasahi tenggorokannya yang kering dengan air mineral. Barulah setelah dirasa tenggorokannya tak lagi gatal, ia melanjutkan ceritanya, "Chankimha Enterprise adalah perusahaan besar yang membawahi banyak perusahaan lain di bawahnya. Aku tidak tahu bagaimana cara kerjanya, tapi jika digambarkan dengan bagan, perusahaan ayah ini lebih menyerupai parent company. Orang yang mengkhianati ayah merupakan direktur di anak perusahaan Chankimha Enterprise. Dia memprovokasi direktur anak perusahaan lainnya dengan memfitnah ayah bahwa ia melakukan korupsi besar-besaran dan berniat melakukan pemotongan dana dalam jumlah besar. Karena itulah mereka beramai-ramai menghancurkan perusahaan ayah hingga ia terjebak hutang besar."

Wanita itu memasukkan potongan daging terakhir ke dalam mulutnya, mengunyahnya sebentar kemudian menelannya. Ia kembali mengambil gelas yang isinya masih tersisa setengah dan langsung menghabiskannya dalam satu tegukan. "Omong-omong provokator itu masih hidup sampai sekarang. Perusahaan miliknya yang semula hanya sebatas anak perusahaan dari Chankimha Enterprise kini berkembang pesat menjadi perusahaan multinasional terbesar di negara ini. Sungguh ironis."

"Sejak kematian ayah dan ibu, aku dibesarkan di panti asuhan. Kehidupanku yang berubah drastis berlangsung sulit dan tidak mudah, tapi aku tidak akan menceritakan bagian itu karena akan sangat panjang. Singkatnya, aku diadopsi oleh sepasang suami istri saat beberapa tahun setelah aku tinggal di panti. Mereka masih menjadi orang tua angkatku hingga sekarang. Ayahku adalah perwira tinggi kepolisian dan ibuku adalah salah satu hakim di mahkamah agung. Karena mereka lah aku bisa berada di sini sekarang dan tidak berakhir mati bunuh diri seperti ayah." Freen menghembuskan napas. Ia mengetuk-ngetuk gelasnya di atas meja. "Karena mereka juga lah aku mendapat kesempatan untuk membalaskan kematian ayah pada orang yang membuat hidup kami menderita."

"Freen... aku... maafkan aku," Becca menurunkan pandangannya. Ia merasa bersalah pada Freen karena telah membuat wanita itu mengingat kembali semua luka lama yang seharusnya tidak perlu lagi diingat kembali. Satu tangannya terulur, kemudian mengenggam tangan Freen yang masih memegang gelas—berusaha membuatnya merasa lebih baik. "apakah kau berhasil membalaskan dendam ayahmu?"

Si letnan itu menggeleng kecil. "Untuk sekarang, belum." jawabnya.

"Aku pernah menemukan sebuah foto di kantor ayahku. Di foto itu, ayahku dan Tuan Tharn tampak sangat dekat. Bahkan di belakang foto terdapat tulisan nama ayahmu dan tanda tangannya. Apakah kau tidak tahu jika ayah kita pernah berteman baik sebelumnya?" Becca bertanya lagi, memutuskan untuk tidak lagi mengorek masa lalu Freen.

Sayangnya, wanita itu tampak terdiam dengan ucapan Freen—lebih tepatnya bingung. Jelas sekali Freen tidak mengerti jawaban macam apa yang perlu ia berikan, karena... ia sendiri bahkan tidak tahu apa yang Becca maksud. Teman ayahnya? Mana mungkin dia tahu! Ayahnya sudah mati.

"Aku memang pernah bertemu teman-teman ayah ketika pertemuan antar perusahaan. Tapi itu saat aku masih sangat kecil. Jadi aku tidak ingat sama sekali," akhirnya Freen menjawab dengan agak ragu. Ternyata memang benar Freen dan aku pernah bertemu sesekali, Becca berbicara dalam hati. "tapi jika ayahmu memiliki foto itu, berarti kemungkinan besar mereka pernah menjadi kolega sebelumnya." Freen melanjutkan. "tapi aku masih tidak tahu mengapa menjadi putri dari Nattanan Chamroon adalah sebuah dosa besar sampai-sampai Tuan Armstrong menamparku di kantor."

"Aku minta maaf atas perbuatan ayahku. Itu pasti menyakiti perasaanmu," Becca mengeratkan genggamannya pada tangan Freen, mengusap-usap lembut punggung tangan wanita itu dengan ibu jari. "ia hanya terlalu overprotektif karena... kau tahu mengapa."

Si Chankimha itu mengangguk paham. "Tidak perlu meminta maaf. Aku bisa memahaminya. Hanya... lain kali jangan memukulku di depan umum begitu."

Becca tersenyum kikuk. "Aku akan berbicara dengannya, jangan khawatir."

Semua jawaban atas pertanyaan di dalam kepalanya kini sudah memiliki jawabannya masing-masing dan Becca merasa bahwa sesi QnA kali ini sudah cukup. Selain karena tidak ingin membuat Freen mengungkit masa lalu, ia juga ingin berdiri untuk mengambil air dingin dari kulkas. Tadi ia tidak sengaja mengunyah cabai dan air mineral sama sekali tidak membantu. Becca bukan penggemar makanan pedas—tidak, ia sangat membencinya. Jadi jelas saja ia tidak akan tahan dengan sedikit saja sensasi pedas di lidahnya sekarang.

Ia bangkit berdiri dan berjalan untuk membuka kulkas. Sayup-sayup ia mendengar suara kursi yang bergesekan dengan lantai keramik, disusul oleh suara langkah kaki dan hawa manusia yang semakin mendekatinya. Tiba-tiba ia merasakan bulu kuduknya meremang. Ia paling tidak suka terjebak dalam kondisi seperti ini, rasanya seperti sedang dibuntuti oleh seseorang yang berpotensi melukainya.

Ketakutannya mulai mengerubungi kesadarannya seperti semut. Ia tahu orang di belakangnya adalah Freen, seharusnya ia tidak perlu takut, bukan? Tapi sekeras mungkin ia memaksa dirinya untuk memberanikan diri, semakin besar rasa takut itu tumbuh. Tangannya yang memegang botol pun sampai bergetar, bahkan ketika ia mendekatkan ujung botol pada mulutnya, getaran itu sampai membuat sedikit airnya tumpah dan membasahi sweater yang ia kenakan.

"Freen, jangan lakukan itu." Becca menggigit bibirnya dan menutup kulkas dengan perlahan. Ia memutar tubuh untuk mengecek apakah Freen memang benar sedang ada di dekatnya atau ia hanya sedang berhalusinasi. Tapi, baru saja setengah jalan, tiba-tiba ia merasakan ada orang lain yang mendorong tubuhnya hingga punggungnya berhimpitan counter dapur.

Freen. Itu benar-benar Freen.

Entah apa yang wanita itu pikirkan dan rencanakan sekarang, karena ia masih tetap diam dan menjebak Becca dengan kedua lengannya dan tubuhnya yang lebih tinggi darinya. Ia tidak bisa bergerak dan hanya bisa mencengkeram kedua lengan Freen, tapi cengkeraman itu sepertinya tidak berarti apa-apa bagi si letnan. "Apa yang kau lakukan?" Becca berbisik dan Freen tidak menjawab. Ia hanya menatap dalam pada kedua iris cokelat milik Becca, dan itu membuat kedua lututnya lemas.

Becca tahu ia sedang dalam posisi yang tidak menguntungkan ketika Freen mulai mendekatkan wajahnya. Ia tentu saja tidak bisa melakukan apapun selain terus mengumpat dalam hati karena tempo detak jantungnya yang menjadi semakin cepat dari waktu ke waktu.

Semakin dekat, Becca dapat merasakan hembusan napas hangat Freen menerpa wajahnya. Jarak wajah mereka semakin lama semakin terkikis dan ia tidak mengerti—kenapa ia mulai memejamkan matanya dan sedikit memiringkan kepala, mengantisipasi apa yang akan segera Freen lakukan padanya. Apa yang tengah merasukinya sekarang? Rasanya ia tidak lagi seperti Rebecca Armstrong yang biasanya setiap kali Freen berada dekat dengannya. Seharusnya di saat seperti ini, Becca harus menarik wajahnya dan mengambil jarak dengan wanita di depannya.

Tapi ia bahkan tidak bergerak dan justru mulai menggunakan tangan kirinya untuk mencengkeram lengan Freen—entah apa tujuannya, tubuhnya bergerak sendiri tanpa perintah. Dan akhirnya, sepersekon detik kemudian itu terjadi, mengirimkan jutaan volt listrik di setiap pembuluh darahnya dan membuatnya refleks mengeratkan cengkeramannya pada lengan Freen.

Freen menciumnya.

Becca mengeluarkan suara pelan ketika bibir lembut itu mulai menyentuh bibirnya sendiri. Tubuhnya sontak merinding dan jantungnya mulai bergerak liar di dalam sangkarnya. Ia tidak bisa mendeskripsikan rasanya, sebab sentuhan bibir Freen terasa samar dan menunjukkan keraguan untuk bergerak lebih jauh dari itu. Namun Becca bisa merasakan kehangatannya—dan, sial, ia menginginkan lebih dari ini.

Freen adalah orang pertama yang mengakhiri ciuman mereka. Wanita itu sedikit menjauhkan wajahnya dari wajah Becca, namun masih cukup dekat sampai mereka bisa merasakan hembusan panas dari napas masing-masing dan mendengar desahan pelan yang mereka keluarkan setiap kali mereka menghembuskan napas. Pupil mata Freen terlihat lebih lebar dari biasanya dan Becca terasa ditarik masuk ke dalam gelapnya dunia, ia dibuat tak berdaya dan Demi Tuhan, Becca menyukainya.

Wanita berambut pendek itu mungkin tidak terlalu berpengalaman dalam hal-hal semacam ini. Tapi ia cukup pandai untuk memahami bahwa Freen ingin melakukannya lagi dari cara sepasang iris gelap itu menatap langsung pada miliknya, bagaimana Freen menjilat bibir bawahnya dan membiarkannya sedikit terbuka, dan bagaimana kedua mata itu sesekali menatap ke bawah seakan-akan ia sedang meminta izin untuk melumatnya dan menjadikannya bibir itu sebagai miliknya seorang.

Tapi tampaknya cukup sabar dan menghargai setiap detik waktu yang terlewat. Ia berpikir, mereka memiliki banyak waktu di dunia jadi untuk apa terburu-buru?

Becca menarik napas cepat dan tanpa sadar ia menahan napasnya di dalam ketika tangan kiri Freen bergerak pelan dari lengannya, naik ke bahu kanan, melewati lehernya yang terekspos, kemudian berhenti di rahangnya. Wanita itu menahan wajah Becca agar ia tidak bisa menatap ke arah lain. Ia ingin Becca memandangnya, hanya ke dirinya saja. Sentuhan Freen pada leher dan rahangnya tentu saja terasa seperti siksaan neraka bagi Becca—rasanya panas, sangat panas. Itu membuat Becca bertanya-tanya, apa yang harus ia lakukan agar panas itu bisa hilang dari kulitnya? Membiarkan Freen menyentuhnya atau bagaimana?

"Sebenarnya apa yang kita lakukan?" Freen berbisik di depannya. Suaranya jadi terdengar seksi ketika ia berbicara dengan sedikit serak dan nada yang lebih dalam dari biasanya. Sepertinya itu membuat Becca semakin menggila karena Freen bisa melihatnya susah payah menelan saliva.

"Aku... tidak tahu," Becca menjawab pelan. "teman seharusnya tidak berciuman."

Freen menggumam atas jawaban Becca. Ia terkekeh kecil seraya mengusap pipi wanita itu dengan ibu jari. Semula ia hanya menyentuh pipinya saja, tapi semakin lama sentuhan itu menjadi semakin dekat dengan bibirnya bahkan kini ia berhenti tepat di sudut bibir Becca. "Seharusnya begitu. Tapi... apa kau menyukainya?"

Becca tidak memberikan jawaban secara vokal. Ia hanya menatap dalam pada kedua mata Freen dan sedikit mengangkat dagu. Freen memahami gestur itu dan ia hanya bisa tersenyum miring karena Becca tampak begitu lucu ketika ia memohon untuk meminta sesuatu. Tak berpikir dua kali, Freen segera menurutinya dengan patuh. Dikecupnya bibir merah muda itu dengan lembut dan melumatnya. Becca mendesah pelan atas perubahan gerakan yang dilakukan oleh wanita di depannya ini, mau tak mau ia pun harus mengikuti.

Sementara bibir mereka saling berpagut satu sama lain, tangan Becca yang semula hanya diam di sisi tubuhnya kini mulai turut ambil bagian dalam permainan panas tersebut. Ia menautkan jari-jarinya di belakang leher Freen dan menarik wanita itu semakin dekat dengannya, menghapus jarak di antara mereka dan membuat tubuh bagian depan mereka saling bersentuhan.

Becca melepaskan pagutan bibirnya dengan tersengal untuk mengambil napas. Ia dapat merasakan bibirnya basah karena bertukar saliva, dan ia tidak keberatan dengan itu. Wanita itu memang menikmati apa yang mereka lakukan—semua ciuman dan sentuhan intim yang dilakukan atas keinginan masing-masing—tetapi ketika mereka tidak lagi berciuman dan mulai memandang wajah masing-masing, sesuatu terasa menghantam otaknya seperti hujan batu.

Apakah mereka boleh melakukan ini? Apakah Freen juga merasakan hal yang sama dengannya? Dua pertanyaan itu terus berputar di dalam kepalanya dan itu membuat Becca memejamkan mata dengan frustasi. Baru beberapa hari ke belakang Becca sadar bahwa sebenarnya ia telah menaruh rasa pada letnan ini dan rasanya... itu sedikit tidak masuk akal. Mengingat bagaimana awal pertemuan mereka yang meninggalkan kesan buruk, masa lalu Freen yang gelap, dan sikapnya yang terkadang sulit ditebak—Becca tidak menyangka bahwa ia bisa jatuh hati pada orang seperti ini.

Tapi semakin dekat hubungan mereka, Becca semakin membuka matanya sehingga ia bisa melihat bahwa apa yang dilakukan Freen kepadanya adalah alasan mengapa ia bisa jatuh cinta. Letnan itu selalu berusaha untuk melindunginya dari bahaya, setiap kali mereka menghadapi masalah, Freen selalu memulai pembicaraan di antara keduanya dan bekerja sama untuk mengambil satu jalan keluar yang paling menguntungkan. Semua perhatian dan kasih sayang yang wanita itu berikan membuatnya lemah, dan tanpa sadar... Becca membiarkan semua itu mengonsumsinya hidup-hidup.

Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Dan Freen juga termasuk salah satunya. Kendati ia pernah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, dilihat dari tindakannya serta keinginannya yang kuat untuk berubah menjadi manusia yang lebih baik membuat Becca merasa pantas untuk memberi wanita itu kesempatan untuk memulai hidupnya lagi—dan kali ini, Becca akan meminta agar dirinya bisa bersama wanita itu saat ia berkembang menjadi manusia yang lebih baik.

"Freen," sekarang atau tidak sama sekali. "aku... mungkin ini terdengar aneh dan terlalu cepat bagimu. Aku juga tidak terlalu pandai merangkai kalimat yang baik untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikiranku. Tapi kuharap kau mau mengerti dan memikirkan ucapanku dengan baik," Freen menatapnya dengan lembut dan mengangguk pelan. Ibu jarinya menyentuh dan mengusap sisa saliva dari bibir Becca. "Freen, aku... aku mencintaimu."

Becca langsung memandang ke arah lain—ke mana saja, asalkan bukan pada Freen karena ia tidak ingin melihat bagaimana ekspresi wanita itu ketika ia mendengar bahwa ia menaruh hati padanya. Wajahnya pun memanas, dan sensasi itu menjalar dengan tidak sopan ke pipi hingga telinga. Ia tahu sekarang wajah dan telinganya sedang memerah, tapi ingin mengumpat karena ia tak bisa melakukan apapun untuk menyembunyikannya.

Wanita di depannya masih termangu. Sepertinya ia tidak menduga bahwa Becca akan mengatakan itu di depan wajahnya. Jelas sekali Freen tampak kebingungan harus menjawab apa, jadi Becca memberinya waktu untuk mengatur pikirannya dengan tidak berbicara apapun selain menyentuh dan memainkan jari-jari lentik wanita itu.

"Aku tidak menyangka kau akan mengatakan itu terlebih dahulu," Freen akhirnya menjawab. Ia merapikan anak rambut Becca yang turun dan menutupi wajahnya. "kupikir kau tidak tertarik dengan hubungan semacam ini. Tapi... aku senang kau akhirnya mengatakannya." Becca baru saja membuka mulut, hendak memberikan sahutan lagi. Tetapi ia berakhir tidak mengatakan apapun karena Freen tiba-tiba memeluknya dengan erat. "Aku juga mencintaimu, Rebecca."

Jawaban Freen membuat hatinya terasa hangat, sekaligus lega. Ia telah mengutarakan perasaannya dan telah mendapat balasan—itu adalah berkah paling indah yang pernah ia dapatkan. Setidaknya, di antara semua bencana yang sedang ia alami sekarang, Freen dan ungkapan cintanya itu bisa menjadi penguat bagi dirinya. Becca menenggelamkan dirinya dalam pelukan Freen. Ia tidak ingin melepaskannya, bahkan ia tidak keberatan berada dalam pelukannya sampai fajar menyingsing nanti.

Asalkan bersama dengan Freen, ia akan baik-baik saja. Karena sekarang, Freen adalah kekuatannya. Dan ia yakin akan hal itu.

"Aku mencintaimu," bisik Freen. Dan sebagai jawaban, Becca mengeratkan kedua lengannya di tubuh wanita itu. Ia bisa merasakan tangan Freen terlepas dari tubuhnya selama sepersekian detik sebelum ia kembali merasakan sentuhan tersebut. Entah apa yang ia lakukan, mungkin membenahi rambutnya atau mengibaskan serangga? Tapi ia tidak peduli. Yang lebih penting, Freen masih ada untuk menghabiskan malam bersamanya.

Ia mungkin berpikir bahwa sesuatu yang baik akhirnya datang kepadanya setelah banyaknya peristiwa buruk yang ia alami. Hal itu telah membuatnya menjatuhkan kewaspadaannya akan keadaan di sekelilingnya hingga akhirnya ia tidak bisa memprediksi apa yang terjadi selanjutnya mungkin akan menjadi titik balik dari kehidupannya.

"Freen—!"

Becca tersentak—sesuatu yang tajam tiba-tiba menusuk tepat pada lehernya. Rasanya panas, perih, ngilu, semua rasa sakit yang digabungkan menjadi satu. Ia tidak tahu apa itu, tapi tepat beberapa detik setelahnya ia merasakan tubuhnya menjadi sangat, sangat dingin dan akhirnya... tidak bisa digerakkan. Bahkan persendiannya terasa seperti membeku dan sangat sakit ketika ia memaksa untuk bergerak.

Apa yang terjadi? Apa yang dia lakukan padaku? Becca berusaha membuka mulut. Tapi naas, suaranya pun menolak untuk keluar sehingga ia hanya bisa mengeluarkan suara-suara serak tanpa arti yang tidak bisa dipahami oleh manusia. Freen. Jangan katakan jika kau— oh, Becca tidak ingin menyimpulkan, Becca tidak ingin melihat. Freen masih memeluknya dengan erat dan tidak bergerak.

"Tenang, babe," setelah berdiam diri beberapa saat, Freen akhirnya berbicara. Dan tepat saat itu, ia menarik benda tajam yang rupanya adalah jarum suntik yang sengaja ia tancapkan pada leher Becca. Perlahan, Freen melepaskan pelukannya dan membuat tubuh Becca langsung lemas di atas kursi. "Sekarang, semuanya sudah aman. Terima kasih sudah percaya padaku selama ini, Rebecca Patricia Armstrong. It's me, your monster."

Mata Becca melebar, dipenuhi oleh teror dan rasa takut. Ternyata orang yang selama ini ada di dekatnya adalah pembunuh berantai psikopat dan stalker yang sudah menghancurkan hidupnya selama ini. Selama beberapa saat Becca tidak bisa memikirkan apapun selain tentang Freen. Mengapa ia bisa menjadi seperti ini? Mengapa ia bisa dengan licik menyembunyikan jati dirinya yang lain? Dan mengapa ia berani memainkan kondisi psikologis dan perasaannya hanya untuk melakukan serangkaian pembunuhan sadis?

Becca bahkan sudah tidak bisa memikirkan bagaimana nasibnya setelah ini, apakah ia bisa diselamatkan atau tidak. Karena yang ada di pikirannya sekarang hanya Freen Sarocha Chankimha—si pembunuh berantai yang telah menjadi buronan tingkat satu selama berbulan-bulan.

Sersan muda itu meringis. Ia ingin berteriak dengan sangat keras. Bertanya mengapa Freen melakukan hal sejahat itu padanya. Tapi percuma, ia tidak bisa bersuara bahkan bergerak—tubuhnya benar-benar lumpuh. Hanya bola matanya saja yang masih berfungsi dengan baik. Lalu, bagaimana dengan pikirannya? Benar, Becca merasa itu tidak akan semudah yang ia kira. Sebab di belakang tubuh Freen, perlahan-lahan muncul sesosok bayangan hitam besar menyerupai monster mengerikan dengan gigi-gigi tajam yang siap menerkamnya.

Ia mulai berhalusinasi. Monster hitam itu adalah manifestasi dari monster berbentuk manusia yang sedang berdiri dengan senyuman lebar dan pandangan puas ke arahnya—benar, ia adalah setan, monster, iblis, apapun makhluk terkutuk yang pantas disamakan dengan letnan itu.

"Apakah kau menikmati makan malamnya, princess? Aku harap begitu. Sebab aku menyiapkan menu itu dengan daging paling baik dan memasaknya dengan sangat berhati-hati," Freen melirik ke arah piring kosong di atas meja makan. Di atas piring tersebut memang tidak ada sisa daging lagi dan hanya ada saus merah serta sisa selada hijau yang tidak tersentuh. Ia kembali menatap Becca, memandangnya dengan tatapan penuh arti, "berbeda dengan ayam dan sapi. Percaya atau tidak, daging manusia memiliki serat yang lebih tipis dan perlu sentuhan khusus ketika memasaknya. Jika salah sedikit saja, daging itu akan hancur dan tidak bisa dimakan," Freen menjeda. Ia menikmati perubahan ekspresi pada wajah Becca—wanita itu semakin ketakutan dan Freen sangat menikmatinya, "yang kau makan barusan adalah daging paha. Lebih berlemak. Itulah yang membuatnya lebih gurih dan nikmat. Jadi bagaimana, apa kau menyukainya?"

"Grrrngghhhh!" Becca mencoba berteriak sekeras-kerasnya. Tapi sayang, bukanlah sebuah kalimat yang keluar dari mulutnya, melainkan sebuah geraman acak yang tidak bisa diterjemahkan.

Sekarang ia jadi ingin muntah. Seakan ada bola besi panas yang dimasukkan paksa ke dalam lambungnya, benda itu bergerak liar di dalam sana dan membuat seluruh isi perutnya teraduk-aduk tak karuan dan mulai naik ke kerongkongannya. Tapi seakan ada sesuatu yang menahannya untuk mengeluarkan semua isi perutnya, sesuatu yang tidak ia tahu, seperti menyumbat kerongkongannya dan membuatnya tersedak.

Tak pernah ia berpikir bahwa dalam hidupnya ia akan memakan daging manusia. Selama ini ia hanya melihatnya di film atau serial drama yang menunjukkan orang-orang sinting yang memakan daging manusia seperti mereka sudah terbiasa akan hal itu. Di tayangan tersebut, daging manusia terlihat sangat berbeda dengan daging pada umumnya. Tetapi apa yang disajikan Freen hampir tidak memiliki perbedaan dengan sajian daging yang ada di restoran pada umumnya.

Kini pikirannya sudah mulai kacau. Obat yang membuatnya lumpuh juga mulai merusak kemampuan berpikir dan kemampuannya untuk mengendalikan diri. Sekarang, ia hanya bisa menangis. Hatinya terasa sakit, sangat sakit. Dadanya sesak dan nyeri sekali rasanya. Ia kira Freen adalah orang yang bisa mengobatinya di kala ia terluka dan terpuruk seperti ini. Tapi ternyata wanita itu tak ubahnya seorang monster tanpa hati yang menganggapnya seperti mainan yang bisa dimainkan kapanpun dan seperti apapun yang dia inginkan.

Ia tidak bisa lagi menahan air matanya dan detik itu juga, ia menangis dalam diam. Melihat mangsanya benar-benar berhasil ia hancurkan, Freen tak bisa menahan diri untuk merasa luar biasa senang. Apakah kau merasakannya? Apakah kau merasakan rasa sakitnya dihancurkan hingga tak bersisa? Ia menyentuh dagu Becca dengan jari telunjuk dan mengangkat wajahnya agar mereka bisa berhadap-hadapan. Dengan jarak sedekat ini, Freen bisa melihat aliran air mata yang ada pada wajah sersan tersebut dan raut wajahnya yang menyedihkan. Cantik. Sayang sekali, wajah secantik ini akan segera tidak dikenali lagi.

Suara tawa pelan pun terdengar samar di telinganya. Sepertinya kesadarannya sudah mulai tertutupi dengan halusinasi dan efek obat yang disuntikkan Freen pada tubuhnya. Perlahan, matanya mulai terpejam dan menjadi semakin gelap. Tepat sebelum matanya tertutup rapat, Freen berjalan mendekat dan berjongkok di depannya. Wanita itu mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka nyaris bersentuhan dan berucap bengis, "Tidak perlu terburu-buru. Kita memiliki banyak waktu untuk berbicara, hanya kita tanpa ada orang lain. Aku tahu kau memiliki banyak hal untuk ditanyakan jadi... mari kita selesaikan semuanya sebelum kita berdua mati."








Wow, okay.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top