Chapter 17: Break, Break My Mind
Nam sedang berdiri di depan ketiga brankar yang masih terisi oleh tiga mayat yang ia dan Freen temukan di dalam kulkas. Brankar tersebut sebelumnya digunakan untuk mengotopsi jenazah ibu dan saudara Seng yang dibunuh. Meskipun jenazah dua orang itu hanya berada di ruangan ini selama kurang dari 2 jam karena pihak keluarga terus memaksa untuk membatalkan proses otopsi, Nam dan timnya tetap harus mensterilkan brankar tersebut untuk digunakan kembali.
Ia dan beberapa orang anak buahnya bekerja tanpa henti selama satu hari penuh untuk mengidentifikasi setiap potongan tubuh yang dijejalkan ke dalam kantung plastik hitam tersebut. Berkali-kali mereka mendapati kesulitan yang sedikit menghambat proses identifikasi DNA. Kebanyakan karena organ atau bagian tubuh yang dapat dijadikan sampel bilogis sengaja dirusak oleh si pembunuh. Bahkan, semua sidik jari yang ada pada masing-masing mayat sengaja dihilangkan dengan cairan kimia.
Ia sudah melakukan pemeriksaan toksikologi terkhususnya pada bagian telapak tangan masing-masing korban. Dan ia menemukan jejak-jejak cairan kimia yang ada dalam pemutih pakaian di sana. Sidik jari menusia tidak bisa berubah, tapi mereka bisa hilang baik itu disebabkan oleh proses pengobatan yang dilakukan, alergi, atau terpapar bahan-bahan kimia. Tak sering juga ada kasus sidik jari yang hilang karena penggunaan bubuk deterjen. Sehingga itu dapat membuat Nam yakin bahwa si pelaku memang menggunakan cairan pemutih pakaian dalam jumlah banyak untuk merendam bagian tangan mayat.
Ini mengingatkannya pada penemuan mayat pertama dan kedua, saat mayat korban pembunuhan berantai itu masih diberikan sentuhan artistik oleh si pembunuh sebelum ia mengubah caranya mengeksekusi menjadi lebih brutal. Si pembunuh juga menggunakan cairan pemutih untuk merendam tubuh korban hingga membuatnya berubah warna menjadi lebih pucat dari warna kulit aslinya. Sudah lama ia tidak menggunakan metode yang sama untuk korban yang ia bunuh jadi Nam merasa sedikit ngeri ketika si pembunuh menggunakannya lagi untuk ketiga mayat ini.
Karena botol-botol cairan sialan ini juga aku harus mendekam di sel tahanan selama beberapa hari.
Nam mengabsen rambutnya dengan jari-jari tangan kanannya—tenang saja, itu sudah bersih—dan menyugarnya ke belakang untuk menyingkirkan anak rambut yang jatuh menutupi mata. Singkatnya, setelah berhasil mengidentifikasi identitas mayat dengan menggunakan metoden rekayasa DNA selama berjam-jam, anggota timnya berhasil mendapatkan identitas dari ketiga mayat itu dan mulai berbagi tugas untuk menjahit dan menyatukan setiap anggota tubuh yang dimutilasi.
Saking sibuk dan banyaknya pekerjaan yang ada, Nam perlu meminta bantuan pada atasannya untuk memberinya beberapa anggota tambahan dari tim forensik lain. Dengan tiga orang fokus pada pencatatan dan dokumentasi serta sisanya melakukan pembedahan, identifikasi, tracing, pengelompokan anggota tubuh, restorasi, dan penyatuan kembali. Pekerjaan dilakukan 18 jam penuh, tanpa henti, tanpa istirahat. Dan kini, Nam sedang berdiri sembari membawa secangkir kopi yang sudah diisi ulang sebanyak 7x di depan tiga mayat yang tidak utuh.
Mayat pertama, yang berada di brankar paling kiri adalah seorang wanita berambut cokelat. Berdasarkan proses identifikasi, usianya baru menginjak 20 tahun. Mayat itu disatukan kembali tanpa kaki kiri karena memang di dalam kantung plastik ternyata tidak ditemukan kaki kiri miliknya.
Mayat kedua, berada di brankar tengah, adalah seorang wanita berambut pendek sebahu berusia antara 40-50an. Tangan kanannya tidak ditemukan dan ia dijahit kembali tanpa tangan kanan. Salah satu bola matanya hilang, menyisakan satu lubang kosong yang seharusnya diisi oleh bola mata kini digantikan oleh gulungan kapas.
Dan akhirnya, mayat ketiga, berada di brankar paling kanan. Seorang wanita berambut hitam panjang dengan usia 23 tahun. Ia dijahit kembali tanpa kaki kanan, sama seperti korban pertama.
Berdasarkan identifikasi, timnya berhasil mendapatkan informasi bahwa ketiga korban ini rupanya memiliki hubungan darah—mereka adalah satu keluarga dengan seorang ibu dan dua orang anak tanpa ayah. Ketika timnya melakukan crosscheck di pengadilan negeri setempat, mereka menemukan fakta bahwa si ibu sudah bercerai dengan suaminya lima tahun lalu.
Ia sudah mencatat semua fakta yang ada di dalam laporan dan ia tak sabar menunjukkannya pada Freen saat wanita itu datang. Tapi masalahnya, letnan polisi itu tak kunjung tiba meski Nam sudah menunggu selama kurang lebih dua jam. Memang sih, Nam bisa memberikan laporan itu pada Heng. Tapi setelah mengingat kembali apa yang pria itu lakukan pada komputernya, ia jadi merasa bahwa mempercayakan dokumen penting seperti ini padanya adalah pilihan yang kurang tepat.
Nam paham betul bahwa ia harus segera menyerahkan laporan ke kepolisian dan mengembalikan mayat ke pihak keluarga secepat-cepatnya—mengingat Freen memberitahunya bahwa mereka sedang berkejaran dengan waktu karena Saint akan segera mengadakan presscon. Ia jadi kesal mengapa wanita ini tidak memenuhi janjinya dan datang tepat waktu untuk mengambil dokumen.
Freen mendorong pintu dengan ayunan keras dan masuk tanpa permisi. Tanpa menengok, Nam sudah tahu jika orang yang datang adalah si letnan yang sejak tadi ia tunggu kehadirannya. Wanita itu memang selalu seperti itu jika datang—hampir tidak pernah mengucapkan permisi. Kalaupun pernah, jumlahnya pun bisa dihitung jari.
"Hah... terima kasih sudah mau menunggu." Ia terengah, memaksakan senyuman di bibirnya, seketika membuat Nam meremas cangkir kopinya kuat-kuat. "Ada sesuatu yang harus kulakukan di apartemenku sebelum pergi ke mari. Bau mayat. Terlalu mengerikan."
Nam menghembuskan napas. Ia tidak tahu Freen sedang membicarakan bau badannya sendiri atau tidak. Karena sekarang pun ia yakin, bau mayat masih melekat kuat di jas lab putih yang ia kenakan. Tapi karena ia tidak ingin bertengkar dengan wanita ini dan ingin langsung menyelesaikan urusan mereka, maka Nam menganggap opsi pertama adalah jawaban yang tepat. Saat Freen melintas di dekatnya, Nam dapat mencium aroma lembut dari parfum ZARA yang selalu ia pakai. Berarti memang benar ia kembali ke rumah untuk membersihkan diri dan pergi lagi untuk datang ke CIFS.
"Jika kau haus, masuk saja ke kantorku. Ada lemari es kecil di sana dan aku mengisinya dengan minuman yang mungkin kau suka. Ambil saja," dokter forensik itu menunjuk satu ruangan dengan smoke glass dan pintu yang tertutup. Freen pun segera masuk ke dalam sana, sementara dirinya memilih berjalan mendekati komputer kerjanya dan membuka satu dokumen asli dari laporan otopsi.
Tak perlu waktu lama bagi Freen untuk kembali ke tempat Nam berada. Ia sempat kebingungan mencari keberadaan wanita pendek itu, sehingga ia hanya berdiri diam di depan pintu. Begitu ia mendapati sosok Nam dengan jaket lab putihnya sedang berdiri di duduk di depan komputer, Freen segera berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. Tubuhnya sedikit menunduk, menyamakan tingginya dengan kepala Nam agar ia bisa melihat apa yang ada pada layar komputer lebih jelas.
Memperhatikan pantulan bayangan Freen di layar, Nam sontak bangkit berdiri dari tempatnya dan meminta Freen untuk menggantikannya duduk di depan komputer. Tanpa banyak bicara, Freen mengangguk patuh dan menempati kursi kosong tersebut. Ia meraih mouse dan mulai menggulir ke bawah, pada halaman ketiga dokumen yang langsung menunjukkan identitas dari korban pertama.
"Ketiga korban adalah satu keluarga. Mereka dilaporkan hilang setelah tetangga mereka tidak melihat salah satu dari korban keluar dari rumah selama 2 hari berturut-turut. Polisi datang dan memeriksa, tetapi hanya ada darah berceceran di lantai tanpa ada mayat. Tepat pada hari tetangga itu memberikan laporan, pada malam harinya, mayat mereka ditemukan di rumah Becca." Freen mendengarkan cerita Nam dengan seksama. Ia membagi fokusnya menjadi dua karena ia juga harus membaca keterangan identitas mayat selain mendengar ucapan Nam yang mungkin akan berguna untuknya.
"Seperti yang Mind katakan waktu itu, pelakunya sedang berada di sekitar kita sekarang. Menurutmu, siapa polisi wanita dengan rambut panjang yang tidak berada di kantor 2 hari lalu?" Freen menyipitkan mata, diliriknya wajah samping Nam dan menunggu jawaban dari si dokter forensik itu.
Nam tanpa sadar menyentuh dagunya dengan jari telunjuk. Gerakan itu tanpa ia sadari selalu ia lakukan setiap kali ia sedang memaksa otaknya untuk berpikir. Selain sudah menjadi muscle memory, Nam merasa tiap kali ia melakukan gestur apapun dengan tangannya sembari memikirkan sesuatu, otaknya menjadi lebih encer dan lebih mudah diajak bekerja sama. Berbeda halnya jika ia berdiri atau duduk diam di suatu tempat. Itu hanya akan membuat otaknya buntu.
Sedetik kemudian, sesuatu seperti menghantam isi kepalanya. Dan itu membuatnya refleks menampar punggung Freen cukup keras hingga wanita itu mengaduh dan menatapnya dengan tatapan tajam. "Mana aku tahu, dasar bodoh. Aku bukan polisi!" katanya. "Satu-satunya orang yang tidak datang ke kantormu jelas hanya Becca. Tapi ia tidak memiliki rambut panjang dan sudah jelas pelakunya bukan dia. Polisi wanita berambut panjang yang aku kenal hanya kau dan Irin. Jadi—"
"Oh, jadi begitu? Kau berpikir jika aku pelakunya, eh?" Freen menyergah. Sorot matanya yang tajam kini berubah menjadi penuh pertanyaan—dengan satu alis terangkat naik dan nada bicara yang sengaja ditinggikan di akhir kalimat.
"Bukan begitu maksudku," Nam menghembuskan napas panjang. Kini tangan kirinya mendarat di bahu tegap letnan polisi di sampingnya, sedikit memberikan remasan lembut dan menggoyang-goyangkannya ke depan dan belakang. "ah, sudahlah. Anggap saja aku tidak mengatakan sesuatu." ia melanjutkan kalimatnya dan membuang muka. Freen tentu kebingungan dengan perubahan sikapnya barusan, tapi ya sudahlah, tidak ada manfaat baginya untuk mengejar penjelasan dari wanita itu. Ia pun kembali fokus pada layar komputer sementara Nam berbicara di sampingnya. "Menurutmu kita bisa menangkap pelakunya sebelum countdown itu selesai?"
"Lebih baik dari itu. Aku bahkan merasa ia akan menunjukkan diri tepat sebelum hitung mundurnya berakhir." Ia menjawab dengan suara kecil, hampir menyerupai bisikan. Tetapi karena jarak antara keduanya yang cukup dekat, Nam masih dapat menangkap ucapan Freen barusan.
Ia memiringkan kepala, jelas-jelas agak tidak paham maksud dari ucapan Freen barusan. "Kenapa kau bisa begitu yakin sementara kita saja masih dipermainkan olehnya? Memang benar apa yang dikatakan orang-orang. Kau polisi yang cukup sombong."
"Oh, oke. Aku akan menganggap itu sebagai pujian," Freen terkekeh, menunjukkan gummy smilenya yang manis dan enak dipandang. Ia kemudian melepaskan genggaman dari mouse di atas meja dan mulai duduk santai dengan menyandarkan punggung pada kursi. Dengan kedua lengan menyilang di depan dada, ia menoleh ke samping dan berucap, "Nam, ARMSTRONG adalah kata kuncinya. Sampai saat ini, si pembunuh hanya mengumpulkan empat huruf pertama. Mari kita lihat apakah ketiga orang ini memiliki nama yang tepat untuk mengisi tiga huruf lainnya."
Melalui laporan otopsi dan keterangan tambahan yang diberikan oleh Nam—mengenai ketiga korban yang merupakan satu keluarga—membuat Freen semakin yakin jika si pelaku ini adalah bencana yang sebenar-benarnya ada. Mengetahui fakta bahwa si pembunuh berada di lingkungan yang sama dengannya dan masih bebas berkeliaran sebagai warga biasa membuatnya merinding setengah mati. Semakin dekat si pembunuh pada huruf terakhir, si pembunuh menjadi semakin brutal dan semakin dekat dengannya.
Setelah membaca dengan seksama setiap identitas korban, Freen mulai bisa mengingat masing-masing nama mereka di luar kepala. Korban pertama adalah seorang mahasiswi semester awal di Universitas Rajamangala bernama Ratanaporn Chirathivat yang biasa dipanggil sebagai Top. Ia memiliki seorang kakak yang sedang menempuh semester akhir di universitas yang sama bernama Ramphoei Wongsawat, alias Orn. Keduanya adalah anak dari korban ketiga, Neeramphorn Rardchawat atau Round, seorang janda berusia 50 tahun.
Jika huruf pertama dari masing-masing nama panggilan mereka diurutkan sedemikian rupa, kemudian digabungkan dengan susunan huruf yang sudah didapatkan dari korban-korban sebelumnya, maka ia akan mendapatkan satu nama keluarga yang hampir lengkap—ARMSTRO. Dengan begitu, tersisa dua huruf hitung mundur dari si pembunuh akan selesai dan itu artinya nyawa satu orang akan dalam bahaya.
"Kurang dua huruf." Nam mendesis, "Freen, aku hanya bisa membantumu mengidentifikasi mayat seperti ini dan aku tidak bisa membantumu untuk pergi keluar sana dan mengejar si pembunuh, kau tahu itu 'kan?"
"Jangan khawatir, aku tidak mungkin memintamu mengerjakan sesuatu di luar keahlianmu. Begini saja sudah cukup membantu," si Letnan menyahut kalem. "Ini, rekaman kamera CCTV, dan keterangan dari polisi penjaga di rumah Armstrong saja sudah cukup untuk menyelamatkan Becca dari tuduhan. Omong-omong, setelah melihat semua ini aku jadi menaruh kecurigaan pada seseorang."
Nam menegakkan tubuh begitu mendengar kalimat Freen barusan. Itu membuatnya tertarik sekaligus penasaran. "Huh? S—Siapa itu?"
Freen menghembuskan napas dan menarik sudut bibirnya membentuk sebuah kurva senyuman. Ia mengangkat jari telunjuknya, menempelkannya di bibir, dan menjawab pelan, "Itu rahasia. Lagipula aku perlu memastikan dan mengurus beberapa hal terlebih dahulu sebelum menyusun strategi untuk menangkap orang ini. Aku akan memberitahumu jika semuanya sudah siap."
Dokter forensik itu mendengus kesal. Salahnya sendiri memilih bekerja sama dengan polisi sombong yang tidak pernah ia pahami jalan pikirnya. Meski di satu sisi ia harus mengakui bahwa Freen adalah orang yang baik dan cukup peduli dengan orang di sekitarnya—meskipun sikapnya itu seringkali tertutupi dengan caranya berbicara yang menyebalkan.
Dan di sinilah ia, melakukan apa yang ia bisa untuk membantu seseorang yang ia sebut sebagai teman. Meskipun terkadang ia khawatir tentang keselamatannya yang terlalu jauh ikut campur dengan pembunuh berantai ini, Nam tetap yakin bahwa ia memiliki caranya sendiri untuk menyelamatkan diri.
Saat ini, Freen sudah selesai mencetak semua dokumen yang ia butuhkan dan menyalin file aslinya ke dalam flash drive. Ia akan segera kembali ke kantor dan menggunakan semua yang ia miliki untuk membebaskan Becca. Di sini, Nam hanya perlu menunggu informasi darinya, sekaligus berjaga-jaga jika sewaktu-waktu bantuannya kembali diperlukan.
Ia tak ingin lagi terlibat dengan kasus pelik itu dan memutuskan untuk membuat batasnya sendiri—untuk melindungi dirinya sendiri dan juga keluarganya. Sehingga, saat ini ia hanya bisa berucap singkat, "Jaga dirimu, Freen."
Begitu tiba di kantornya, Freen langsung keluar dari mobil dengan membawa satu map yang penuh berisi dokumen asli dari hasil otopsi yang ia dapatkan dari Nam lengkap dengan salinannya. Ia tidak membuat janji temu dengan Saint, tetapi ia sudah tahu di mana pria itu berada dari Noey. Saint sedang ada di ruang pertemuan khusus, tempat di mana presscon akan diadakan dalam waktu kurang dari 2 jam. Dan seharusnya, sebentar lagi Saint akan kembali ke kantornya setelah mengawasi dan memberi arahan pada personel yang sedang melakukan persiapan.
Perkiraannya memang benar terjadi. Ia bertemu dengan Saint di koridor menuju ruangan kerjanya, jadi tanpa menunggu waktu lagi Freen segera berjalan cepat mendekati pria itu dan memanggil namanya ketika jarak di antara keduanya sudah tidak terlalu jauh.
Saint menghentikan langkah, menatap Freen yang tampak tersengal di depannya. "Ke mana saja kau? Presscon akan segera dimulai!" hardiknya. Freen tidak menjawab, tapi pandangannya tertuju pada map yang ia bawa di lengannya. Saint memperhatikannya dalam diam, dan ia langsung memahaminya. "Ke kantorku, sekarang."
Freen mengangguk dan ia membiarkan Saint berjalan mendahuluinya. Ia mengikutinya dari belakang sampai mereka berdua tiba di depan pintu kantor Saint. Begitu masuk, Freen langsung memberikan map itu dengan cara yang agak kasar. Ia memukul dada Saint dengan map tersebut hingga membuat pria itu sedikit terhuyung ke belakang. Untungnya, Saint tidak melakukan apapun dan hanya menerima map tersebut tanpa berbicara.
Ia membawanya ke mejanya. Dengan hati-hati ia mengeluarkan semua dokumen itu dan menatanya di atas meja. Setelah membaca semuanya dengan cepat, Saint menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan cepat. Sepertinya ia telah salah mengambil langkah.
"Kau berani menjamin keaslian dokumen ini?" katanya.
Freen mengangguk. "Aku berani bersumpah atas semua yang aku miliki. Apakah ini cukup untuk membebaskan Sersan Armstrong? Serius, Saint. Dia adalah kunci dari semua ini. Tanpanya, kita tidak akan bisa menangkap psikopat itu!"
"Tapi, presscon akan segera dilaksanakan. Jika Becca dibebaskan sekarang, maka—"
"Saint, biar aku yang berbicara saat presscon nanti. Aku akan memberitahu apa yang seharusnya masyarakat ketahui tentang kasus ini," Freen menyahut cepat. Matanya menyiratkan keseriusan. "aku sudah pernah melakukan kesalahan di masa lalu, dan kau tahu itu. Sekarang, aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama untuk yang kedua kali."
Saint memejamkan matanya sejenak. Hingga akhirnya memilih untuk mengikuti permintaan Freen. Bukti yang ada di depannya adalah bukti yang tidak bisa dibantah dengan cara apapun—dengan ini, Becca tidak bisa dibawa sebagai tersangka dan harus dibebaskan saat itu juga. Jadi ia berjalan mendekati mejanya dan mengangkat pesawat telepon untuk menghubungi petugas yang berjaga di sel tahanan.
Di belakangnya, Freen tidak bisa menahan diri untuk tersenyum lebar. Entah mengapa beban di dadanya serasa menghilang dan ia bisa bernapas sedikit lebih lega. Ia berhasil menyelesaikan salah satu misinya—terima kasih pada Nam yang juga membantunya—sehingga ia bisa melanjutkan penyelidikan kasus ini dengan lebih optimal. Sebentar lagi, Becca akan keluar dari sel tahanan dan mereka bisa bekerja sama dengan semua bukti baru yang telah ia dapatkan.
Sedikit lagi, sedikit lagi semuanya akan selesai.
Saint menutup telepon dan menghadap Freen sekali lagi. Ia berkata, "Kau bisa menjemput Becky di selnya. Ia mencarimu."
"Aku akan segera ke sana."
Dengan itu, Freen segera keluar dari kantor Saint dan berjalan cepat menuju bangunan khusus di kantor polisi regional Bangkok yang menjadi tempat di mana semua sel tahanan berada. Bangunan itu terpisah dari bangunan utama, berada di bagian belakang kantor dan disambungkan dengan koridor panjang yang memiliki lampu temaram.
Melalui kantor Saint dan bangunan tersebut, membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Tapi karena terlalu bersemangat, waktu terasa bergulir lebih cepat dan kini ia sudah tiba di area sel tahanan.
"Freen!"
Becca memanggil namanya dan langsung berlari ke arahnya. Freen hampir saja tersentak dan jatuh karena wanita berambut pendek itu tiba-tiba menabrak tubuhnya dan menyelimutinya dengan pelukan yang sangat erat seolah-olah mereka telah terpisah selama beberapa tahun dan kembali dipertemukan oleh takdir.
Butuh waktu bagi Freen untuk mencerna apa yang terjadi. Tapi pada akhirnya, ia tersenyum dan membalas pelukan Becca, merasakan hembusan napas hangat wanita itu di ceruk lehernya. Shit, ia merindukan semua sentuhan ini dan ia ingin merasakannya lebih lama lagi. Sayangnya, Becca melepas pelukannya terlebih dahulu dan itu sempat membuat bibir Freen mengerucut lucu, seperti anak kecil.
Sersan muda itu sebenarnya mengerti jika Freen masih tidak ingin berpisah darinya. Tapi saat ini, mereka sedang berada di tempat yang tidak seharusnya sehingga ia merasa perlu memberi jarak agar tetap profesional.
"Aku sudah tahu kau akan kembali dan membebaskanku. Kuasumsikan kau mendapatkan semua yang kau butuhkan untuk kasus itu?" kata Becca. "Bagaimana dengan... presscon? Mereka tidak akan membawaku keluar dengan pakaian tahanan, kan?"
Freen tersenyum, manis sekali. "Jangan khawatir, itu tidak akan terjadi karena kau sudah bebas sekarang. Aku akan menangani presscon itu atas permintaan Saint jadi tidak ada yang perlu kau pikirkan lagi," ia menghembuskan napas pelan. Mengangkat satu tangannya untuk menggaet lengan Becca dan membawanya pergi dari area tersebut, "atau mungkin tidak. Kau boleh merasa lega sekarang, tapi kasus ini masih belum selesai. Tersisa beberapa langkah lagi, mungkin."
"Kau sudah tahu?"
"Uhm. Ya, dan tidak. Tapi aku sudah menandai orang ini dan aku tahu, lusa dia akan beraksi lagi."
Becca terkekeh, "Sepertinya kau mendapatkan banyak informasi baru."
Freen baru melepaskan genggamannya dari lengan Becca ketika mereka telah mencapai gedung utama karena ia sedang tidak ingin menarik perhatian. Ia tahu betul Becca termasuk wanita idaman bagi personel-personel yang tidak memiliki pasangan di sini, jadi ia tidak ingin membuat masalah dengan itu. Well, meskipun tanpa ia sadari Freen juga menjadi salah satunya.
"Aku membawa mobilmu," Freen merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci mobil. Ia memberikan kunci itu pada Becca. "setelah ini aku akan bergabung dengan tim untuk presscon. Kau bisa ke mobilmu untuk mengambil pakaian ganti yang sudah aku siapkan sebelumnya, jika kau memang memerlukannya. Aku juga menyimpan sabun cuci muka di dashboard. Kau boleh memakainya."
"Kau membutuhkan bantuan dengan persiapan presscon?" Becca bertanya. Ia masih tidak ingin berpisah dari Freen.
"Tidak. Aku tidak ingin mengganggumu," Freen menjawab pelan, "berada di tempat itu pasti sudah menguras energimu. Aku ingin kau beristirahat."
"Baiklah. Tapi kita akan bertemu lagi di kantor, 'kan?"
Freen menghembuskan napas. Wanita ini, benar-benar. "Tentu saja. Kita selalu bertemu di mana-mana. Kau tidak perlu—"
PLAK
Sebuah tamparan keras mendarat tanpa ampun di sisi wajah Freen. Cukup keras hingga membuat kepala wanita itu oleng ke samping dan membuat telinganya berdengung keras selama beberapa saat. Sepersekon setelah tamparan itu mendarat di pipinya, sensasi panas yang menyakitkan membuatnya refleks menyentuh dan melindungi wajahnya dengan tangannya.
Ketika dengungan di telinganya berangsur-angsur menghilang, ia dapat mendengar suara teriakan dari rekan-rekan kerjanya yang meminta siapapun orang yang telah menamparnya untuk berhenti dan diamankan. Tampak tiga orang polisi laki-laki datang untuk membawa pergi orang tersebut, tapi ia tampaknya memberikan perlawanan yang cukup sampai-sampai ketiga polisi itu kewalahan.
Wajahnya pun terangkat. Ia ingin melihat siapa orang yang berani menamparnya di kantor polisi dan membuat keributan seperti ini. Kedua tangannya mengepal, bersiap untuk memukul siapapun yang sudah menginjak-injak harga dirinya barusan. Namun sentuhan Becca pada bahunya yang seolah memintanya untuk tetap diam dan tidak bergerak membuat Freen menghentikan langkah dan memandangnya dengan tatapan tidak mengerti. Becca sendiri tampak membeku di tempatnya, bibirnya terbuka sedikit mengisyaratkan bahwa ia memiliki banyak sekali kata-kata yang hendak diucapkan.
Agaknya wanita berambut pendek itu sedang terkejut setengah mati sampai-sampai ia hanya bisa menatap lurus ke arah lain tanpa melakukan apapun. Freen pun mengikuti arah pandangnya, menemukan seseorang yang ia kenal sedang berusaha diamankan oleh beberapa orang polisi.
Itu adalah Tuan Armstrong—Ayah Becca. Dan ia adalah orang yang menampar wajahnya hingga membuatnya telinganya pengang.
Becca melepaskan cengkeramannya dari bahu Freen. Wanita itu berjalan cepat ke arah Tuan Armstrong. Dengan agak kasar ia menyingkirkan orang-orang yang menghalanginya agar dirinya dapat berhadap-hadapan dengan sang Ayah. "Dad, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menampar, Freen? Dia orang yang membantuku keluar dari sel tahanan dan mengumpulkan bukti untuk melepaskanku dari tuduhan!"
Wajah Tuan Armstrong merah padam karena marah. Jarak mereka cukup dekat sehingga Becca bisa mendengar suara deru napas ayahnya yang terengah-engah. Tatapan dari sepasang iris biru pria itu masih tidak lepas dari Freen. Dengan kedua tangan mengepal kuat dan emosi yang meledak-ledak, ia bisa saja langsung berlari untuk menyergap Freen jika putrinya tidak berdiri di depannya dan menghalangi langkahnya.
Becca melirik ke belakang tubuh sang Ayah. Irin dan Mind ada di sana, berdiri tidak jauh dari keramaian dan memilih untuk menyisihkan diri dari konflik panas yang sedang terjadi. Keadaan mereka berdua tak berbeda jauh dengan ayahnya—mereka datang dengan keadaan terengah seperti telah melakukan lari marathon. Becca ingat Freen mengatakan tentang pemeriksaan yang dilakukan pada para polisi yang berjaga di sekitar rumahnya. Dengan apa yang ia lihat sekarang, ia bisa menyimpulkan bahwa Irin lah orang yang melakukan tugas tersebut dan ia mengajak Mind selaku criminal profiler yang bekerja sama dengan tim investigasi.
Nampaknya sudah terjadi sesuatu yang saat pemeriksaan tersebut sehingga ayahnya sampai datang ke kantor polisi dengan amarah luar biasa seperti ini. Seumur hidup, Becca tidak pernah melihat ayahnya sampai semarah ini—dan kali ini, untuk pertama kalinya Becca melihatnya.
Tuan Armstrong, menyentuh lengan Becca dan menarik wanita itu agar ia bisa berdiri di sampingnya. Tapi Becca menolak mentah-mentah, bahkan ia menghempaskan tangan ayahnya dari lengannya. Ia meminta jawaban atas apa yang ayahnya lakukan kepada Freen, tapi ia tak kunjung memberinya jawaban dan justru berusaha menyingkirkannya agar ia bisa melakukan apapun yang ingin ia lakukan pada wanita berambut panjang yang sedang berdiri diam di belakangnya.
"Aku sudah bilang padamu untuk menjaga jarak darinya, Rebecca." Tuan Armstrong berucap. Suaranya dalam dan menggelegar. Memberikan dominasi yang kuat bagi Becca dan semua orang yang ada di sana. Adalah sesuatu yang tidak umum bagi seorang anggota keluarga untuk memerintahkan sesuatu pada anaknya yang sudah dewasa. Sehingga pertanyaan meraka hanya satu, kenapa? Apa yang salah?
Becca mendengus. Ia tidak mempedulikan ayahnya dan terus memaksa pria tinggi itu untuk mundur dan menjauh dari Freen. Tenaganya tidak terlalu kuat, tapi ia berusaha keras memaksa ayahnya untuk pergi sampai ia tersengal. "Kau terus saja mengatakan hal itu sementara di sini, Freen lah yang berusaha keras membantu dan melindungiku selama si pembunuh itu menerorku. Dan apa yang kau lakukan? Kau justru menyakitinya meskipun ia tidak melakukan hal yang berbahaya!" ia berteriak sengit.
"Dia adalah Sarocha Chankimha, putri tunggal Nattanan Chamroon. Mantan direktur utama Chankimha Enterprise yang mati bunuh diri 20 tahun yang lalu," sahut Tuan Armstrong. Di seberang mereka, Freen tersentak. Sebenarnya, tak hanya dirinya yang terkejut dengan ucapan pria itu karena Mind juga sama terkejutnya dengannya. Pasalnya, tidak ada orang yang tahu tentang masa lalu Freen selain Mind.
Mungkin Freen berhasil menyembunyikan identitasnya dari semua orang serta menghapus rumor-rumor yang berkeliaran di udara dengan kuasa yang ia miliki, itu karena ia melawan orang yang tidak tahu akan kebenaran yang ada sehingga mudah baginya untuk membawa pemahaman mereka akan suatu hal ke arah lain. Ia tidak pernah menduga bahwa ia akan berhadapan dengan seseorang yang tahu seluk beluk keluarganya, bahkan dirinya. Meski ia sudah berusaha keras untuk mengubur masa lalunya dalam-dalam. Hanya karena pria di depannya, semua usahanya untuk menghapus masa lalunya menjadi sia-sia.
Polisi-polisi muda yang ada di sini dan membantu mengamankan Tuan Armstrong mungkin tidak mengenal siapa itu Nattanan Chamroon. Tapi beberapa polisi senior tentu familiar dengan nama tersebut sebab kasus pembunuhan dan bunuh diri yang dilakukan ayahnya sempat menggemparkan Thailand selama beberapa minggu pada masanya. Itu terjadi karena Nattanan Chamroon, atau lebih dikenal dengan Tuan Tharn adalah pemilik Cameroon Holdings yang membawahi banyak perusahaan lain yang juga sama besarnya—salah satunya adalah Armstrong Group, perusahaan milik Tuan Armstrong.
Becky terkesiap. Ia menengok ke belakang, pada Freen yang berdiri diam dengan tatapan sendu tertuju pada Ayahnya. Ia lalu kembali menengok ke depan, pada sang ayah yang tampaknya mulai bisa mengontrol emosinya karena ia tahu bahwa mungkin dirinya telah mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya di tempat seperti ini.
Tapi persetan. Ia adalah seorang Ayah yang telah bersumpah akan melindungi keluarganya sampai akhir hayat. Dan ia akan melakukan apapun agar tidak ada siapapun yang membuat hidup putrinya hancur.
"Kenapa... apa maksudmu, Tuan Armstrong? Siapa Nattanan Chamroon? Dari yang aku ingat, nama ayahku tidak seperti itu dan ia masih hidup sampai detik ini." sorot mata Freen berubah menjadi sekeras besi saat ia berbicara. Suaranya pun terdengar lebih dalam, lebih tegas dari biasanya. Dan itu berarti, ia sedang tidak bermain-main dengan kalimatnya. "Maafkan aku, Tuan Armstrong. Bukanya aku tidak sopan atau bagaimana, tapi setelah ini akan ada konferensi pers dan akan ada banyak wartawan dan jurnalis yang datang. Melakukan kekerasan tanpa alasan bisa menjadi makanan empuk bagi mereka. Kita semua tentu tidak ingin ada hal buruk yang terjadi, bukan?"
Melirik pada Becca yang sedang memandangnya dengan sorot mata kebingungan, Tuan Armstrong menghembuskan napas panjang dan menatap bengis pada letnan muda itu. Ada banyak yang putrinya perlu tahu, ada banyak rahasia yang perlu diungkapkan. Hanya, ia tidak bisa memaparkannya sekarang. Terlalu banyak mata, terlalu banyak saksi, di lokasi yang tidak tepat pula. Jika ia salah bicara sedikit saja, maka ia akan benar-benar diringkus karena sudah merusak nama baik orang lain.
Meskipun ia bisa saja menggunakan kekayaannya untuk menyelesaikan jerat hukum yang mungkin mengancam, ia tidak bisa melakukannya tanpa banyak persiapan. Di sini, di depan mata banyak orang, itu hanya akan merusak martabat keluarga Armstrong.
Jadi, Tuan Armstrong memilih untuk menekan ego. Meskipun ia masih ingin menyelesaikan urusannya dengan Freen saat itu juga, tapi mengingat situasi yang masih belum memungkinkan ia memutuskan untuk berbalik pergi dan meninggalkan wanita berambut panjang itu. Ia menyusuri jalannya untuk keluar dari kantor polisi, dengan Becca yang mengekor di belakangnya, berusaha sebisanya untuk mengikuti langkah cepat sang ayah.
Tuan Armstrong berjalan menuju mobilnya yang terparkir rapi di area parkir kantor polisi. Ia menekan tombol pada remote, membuka pintu mobil, dan langsuk masuk untuk duduk di kursi kemudi. Melalui jendela, ia dapat melihat putrinya hendak membuka pintu untuk kursi penumpang dan ia menunggunya.
"Dad," Becca langsung berbicara sebelum ia menarik pintu mobil untuk menutupnya. Ayahnya tidak berniat untuk melajukan mobil. Jadi Becca menganggap bahwa ayahnya sengaja mengajaknya untuk menyelesaikan pembicaraan ini secara pribadi di mobil atas alasan privasi. "Kenapa kau begitu marah dengan Freen? Waktu itu juga demikian, kau memintaku untuk menjauh darinya meskipun dia adalah satu-satunya orang yang peduli denganku, melindungiku, dan rela melakukan segalanya untuk melepaskanku dari tuduhan? Aku tahu dia orang yang menyebalkan, tapi aku percaya dia orang yang baik! Tapi... kau justru melakukan hal semacam itu padanya. Membuatnya malu di depan semua orang. Just... apa yang kau pikirkan!"
Becca terengah-engah. Ketegangan yang ia alami membuatnya berbicara tanpa henti tanpa bernapas, dan itu bukan sesuatu yang baik sebenarnya. Kini ia merasa sesak, ingin menangis tapi tidak bisa. Air matanya sudah kering selama ia dibiarkan meringkuk seperti hewan di sel tahanan. Pikirnya, ia akan menemukan sesuatu yang baik ketika ia keluar dari sel, tapi rupanya tidak. Semuanya justru semakin runyam, semakin memusingkan. Pertama si pembunuh, kemudian ayahnya.
Argh, kepalanya terasa seperti akan meledak sekarang.
Tuan Armstrong membiarkan putrinya menenangkan diri dan memberi waktu yang cukup bagi dirinya sendiri untuk menyusun kembali puzzle-puzzle berdebu yang sudah lama tidak ia sentuh di dalam labirin otaknya. Semuanya terlalu lama dibiarkan begitu saja, tanpa ada rencana untuk meluruskan fakta sehingga kini, di saat semuanya keadaan dan waktu memaksanya untuk memberikan penjelasan, ia menjadi agak kesulitan.
Ada banyak cerita, ada banyak rahasia. Ada yang seluruhnya bisa diceritakan sebagai pengalaman untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, namun ada juga yang seharusnya dibiarkan begitu saja. Terkubur jauh di dalam sana, membiarkan waktu dan masa melakukan tugasnya untuk mengubur semua rahasia. Tapi hari ini lingkaran waktu membawanya pada situasi yang tak lagi sama, sebuah situasi sulit yang memaksanya untuk bergerak dan memberikan sebuah penjelasan—dan ini terasa amat sangat berat.
Pria itu melirik monitor yang ada di dashboard mobil. Sebuah siaran langsung dari presscon yang dimaksud oleh letnan itu sedang ditayangkan. Meskipun ia telah mengecilkan volume suaranya, baik Becca dan ayahnya masih bisa mendengar suara shutter kamera yang bersahut-sahutan. Becca memperhatikan tayangan tersebut selama beberapa saat. Emosinya kembali memuncak ketika ia melihat Saint berdiri di depan media dengan wajah tak berdosa untuk memulai presscon. Emosinya baru bisa memudar ketika Saint turun dan digantikan oleh Freen—tampaknya wanita itu lagi-lagi mendapat tugas untuk menyampaikan semua informasi di depan media.
"Rebecca," Tuan Armstrong memulai. "Kau masih ingat dengan foto yang kau temukan di dalam brankas putih di kantor ayah?"
"Foto...?"
Becca berusaha mengingat. Memori otaknya membawanya pada suatu momen di mana ia sedang bermain-main di ruang kerja ayahnya untuk membaca buku atau bersantai. Ayahnya selalu memberinya izin untuk masuk ke dalam ruang kerja pribadinya di rumah asalkan ia tidak merusak barang-barang penting yang ada di sana. Sehingga Becca merasa bebas untuk melakukan apapun tiap kali ia singgah di kantor ayahnya.
Di dalam ruang kerja sang ayah, terdapat sebuah brankas putih yang tersimpan di sudut ruangan. Diletakkan begitu saja di atas meja kecil, berhimpitan dengan dinding dan mesin pembuat kopi yang telah lama tak digunakan. Brankas itu berdebu pada permukaannya, sepertinya tidak pernah dipindahkan dalam waktu lama. Kala itu, rasa keingintahuan Becca menang. Dibukanya brankas yang ternyata tidak dikunci itu—kunci brankasnya sepertinya rusak, ia ingat bahwa ada karat tebal di bagian dalamnya—dan menemukan beberapa dokumen dan selembar foto tua.
Bagian belakang dari foto itulah yang menggugah ingatan Becca. Sebab di sana, terdapat sebuah tulisan tangan yang menuliskan sebuah nama.
Nattanan Chamroon.
"Ayah... kau dan Tuan Tharn... apakah kalian teman dekat?" dengan terbata-bata, Becca bertanya pada ayahnya. Entah mengapa, sosok pria di sampingnya mendadak menjadi asing. "Sebenarnya, apa hubungan Tuan Tharn dengan Freen? Kenapa ia mengaku tidak mengenalinya?"
Tuan Armstrong mendengus. Pandangannya tertuju pada Freen di layar monitor. "Dia tidak pernah memberitahumu?" diliriknya Becca melalui sudut mata, ia bisa melihat wanita itu menggelengkan kepala. "Apa saja yang ia beri tahu padamu selama ini?"
Apa saja? Becca membatin pada dirinya sendiri. Dia hanya memberitahu jika ia pernah membunuh orang karena terpaksa keadaan, itu saja. "Freen... ia tidak banyak berbicara tentang dirinya karena kami lebih sering berbicara tentang pekerjaan."
Dahi ayahnya mengerut, "Is that so?" jawabnya. Ia tahu Becca sedang menyembunyikan sesuatu, tetapi ia tidak ingin bertanya lebih jauh. Jika putrinya ingin membicarakannya, maka ia pasti akan memberitahunya. Selalu seperti itu—Becca tidak akan mau membicarakan sesuatu jika itu bukan berasal dari keinginannya sendiri. "Tuan Tharn memang adalah teman ayah, dulu sekali. Saat kau masih kecil, kau pernah bertemu dengannya beberapa kali saat pertemuan antar perusahaan. Kala itu, Tharn juga sering membawa putrinya—Freen ke dalam pertemuan."
Becca terkejut setengah mati mendengar fakta baru dari ayahnya. Mengapa selama ini ia tidak memberitahu hal ini? "Lantas... Freen benar-benar putri Tuan Tharn? Lalu, jika kita memang pernah bertemu, mengapa kami tidak saling kenal dan mengingat satu sama lain?" ia bertanya.
"Itu karena Freen menghilang setelah kematian ayah dan ibunya. Saat itu, ia masih sangat kecil dan tidak ada anggota keluarga yang bisa menjadi wali untuknya. Jadi ia dibawa ke fasilitas rehabilitasi selama beberapa bulan dan kemudian ke panti asuhan. Sejak saat itu, kami tidak lagi mendengar kabar tentangnya selama 20 tahun," Tuan Armstrong menarik napas, "dan kini ia datang dan kalian bertemu. Sebuah kebetulan? Kurasa tidak."
"Tunggu dulu. Fasilitas?"
"Dari yang ayah ingat, Freen memiliki indikasi gangguan psychopathy. Mungkin sekarang ia sudah bisa mengendalikan dirinya sendiri dan hidup dengan lebih baik, tapi... tidak ada yang tahu apa yang ada di dalam kepalanya. Ayah tidak ingin kau menderita karenanya, Rebecca."
Becca termangu. "Aku... tidak mengerti," ucapnya, "Tuan Tharn. Apa yang terjadi dengannya? Mengapa Freen menolak mengakui jika dia adalah ayahnya? Sebenarnya apa yang terjadi di antara ayah dan Tuan Tharn?"
Terdapat jeda yang cukup panjang saat itu. Becca tetap sabar menunggu jawaban ayahnya sementara Tuan Armstrong bergerak untuk mengecilkan suara monitor sepenuhnya. Hingga akhirnya, ia menjawab dengan suara serak, "Kau sudah dengar, Rebecca. Tuan Tharn mati bunuh diri setelah membunuh istrinya, that's it."
"Itu tidak mungkin," Becca tertawa, seakan tidak menganggap serius jawaban yang diberikan ayahnya. "Katamu Tuan Tharn adalah direktur utama dari Chankimha Enterprises. Sudah jelas dia bukan orang biasa dan pasti masalah hutang dan keuangan bukanlah masalah besar baginya sampai ia melakukan bunuh diri."
Tuan Armstrong mendesah pelan. Ia kini tampak frustasi. "Hanya itu yang aku tahu tentangnya, Rebecca."
"Lalu, kenapa kau marah karena Freen adalah putri dari mendiang Tuan Tharn? Aku bisa mengerti kau memintaku untuk menjauh dari Freen karena ia juga memiliki kondisi khusus, sama sepertiku. Tapi menjauhinya hanya karena ia adalah putri dari mendiang kolega ayah? Itu masih tidak terdengar benar di kepalaku," Becca membalas lagi, kali ini lebih sengit dari sebelumnya. "Freen adalah orang yang baik. Dia membantu Nam dan aku agar terbebas dari tuduhan. Ia bekerja keras tanpa henti untuk mengejar si pembunuh meskipun ia terlibat kesalahpahaman dengan Heng sampai-sampai ia menghajarnya hingga terluka. Tapi pada akhirnya, ia tidak berhenti."
"Kenapa kau begitu membelanya, Rebecca? Apa yang wanita itu miliki sampai kau berani berbicara seperti itu?"
"...karena aku menyukainya, Dad." Becca menjawab dengan tegas, tanpa ragu. Ia bisa melihat ayahnya terkejut atas jawabannya, dan pria itu hendak menyergah. Tapi secepat kilat, Becca membuka mulutnya dan melanjutkan ucapannya tanpa membiarkan ayahnya menyela. "Aku tidak tahu apakah perasaan ini benar-benar nyata atau hanya sesuatu yang kurasakan sementara saja. Tapi apapun itu, kuharap ayah mengerti bahwa aku tidak akan berhenti membelanya jika semua tuduhan yang ditujukan kepadanya tidak terbukti. Hanya karena keluarganya hancur dan masa lalunya yang buruk, ayah tidak bisa memandangnya rendah begitu saja."
Setelah semua yang terjadi, putrinya ini masih juga tidak berubah. Rebecca Patricia Armstrong, masih menjadi orang yang keras kepala dan memegang teguh prinsip yang ia percayai. Itu membuat Tuan Armstrong tenggelam dalam perasaan sulit. Di satu sisi ia merasa senang karena putrinya benar-benar sudah bisa mengambil jalannya sendiri sebagai orang dewasa. Di sisi lainnya lagi, ia khawatir jalan yang anak bungsunya ambil justru akan membawanya pada sebuah bencana.
Apa mungkin inilah yang disebut sebagai insting dari seorang polisi?
Mungkin memang begitu. Sama seperti Tuan Armstrong yang memiliki insting pebisnis yang selalu cermat memperhatikan dan mengawasi bursa saham dan saingan bisnis untuk membuat suatu keputusan. Putrinya pasti juga memiliki insting khusus yang hanya dimiliki oleh anggota polisi sepertinya.
Karena ia akan terus memastikan kebenaran dari apa yang ia lihat, dan apa yang ia dengar. Tidak peduli apakah tindakannya itu akan membahayakan nyawanya atau tidak, sebab ia hanya peduli dengan fakta dan bukan ancaman. Itu bukan apa-apa untuknya, karena ia tahu, Rebecca adalah orang yang sangat kuat dan tidak bisa dijatuhkan dengan cara apapun.
Mengenai pembunuh berantai yang mengincar putrinya dan mengatasnamakan nama keluarganya, ia bisa menerka-nerka siapa sosok di baliknya. Tapi, untuk saat ini, ia tidak bisa langsung bergerak dan memilih untuk menunggu waktu yang tepat. Ia memiliki uang dan kekuasaan yang ia dapatkan setelah bertahun-tahun lamanya—baik dengan cara kotor dan bersih. Dengan semua yang ia miliki, menghabisi satu orang pembunuh berantai dan antek-anteknya tentu bukan masalah besar.
Tuan Armstrong menghembuskan napas panjang. Ia merentangkan tangannya, kemudian mengusap lembut pucuk kepala putrinya sembari mengukirkan senyum di bibir. Akhirnya, ayahnya menjawab, "Kau perlu membicarakan banyak hal dengan wanita itu, Rebecca."
Pembicaraan mereka mungkin selesai di sini. Tapi, Tuan Armstrong tidak akan pergi dari sisi putrinya. Seperti yang sudah pernah ia janjikan padanya, sewaktu putri kecilnya itu menyebutnya Daddy untuk yang pertama kalinya.
"Freen."
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa—"
Siapa sangka setelah menyelesaikan presscon, letnan muda itu perlu segera meninggalkan ruangan untuk berlari ke toilet karena mual. Saint memberinya izin, dan meminta seseorang untuk menemaninya. Waktu itu, Freen hampir saja menolak. Tetapi karena Mind-lah orang yang mengajukan diri, maka ia menerima saja dan langsung beranjak keluar ruangan.
Sekarang, sudah sekitar 30 menit mereka berada di toilet. Mind mengunci pintunya agar tidak ada siapapun yang masuk ke dalam selama mereka berdua masih berada di sana. Freen memang tidak lagi merasa mual, tapi ia masih tidak bisa pergi ke mana-mana dan hanya berdiri bertumpu pada wastafel dan terus mencuci tangannya berulang kali karena panas yang entah datang dari mana.
Freen menghembuskan napas. Perasaan aneh bergerak liar di dalam dadanya, dan ia tidak bisa mendeskripsikan apa yang ia rasakan. Rasanya janggal, seperti ia ingin melakukan sesuatu tetapi ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Tapi di sisi lain, otaknya terus memberinya perintah untuk melakukan sesuatu tanpa henti dan itu membuatnya perlahan-lahan kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Di antara kesunyian dan hembusan napas tersengal itu, ia mendengar ponselnya yang ia letakkan di atas wastafel berdering pelan.
Becca menghubunginya.
Dengan tangan gemetar, ia meraih alat elektronik itu dan hanya menatap kosong ke layarnya. Tangannya tidak bergerak dan hanya menggenggam smartphone, membiarkan nada deringnya yang bervolume kecil mengisi keheningan toilet selama beberapa waktu. Mind masih membiarkannya melakukan apa yang ia mau dan tidak memaksa Freen untuk menerima panggilan tersebut. Apa yang terjadi barusan mungkin membuat wanita berambut panjang itu enggan untuk bertemu dengan Becca, jadi ia memutuskan untuk tidak mengintervensi di antara keduanya.
Dengkusan samar terdengar, dan Freen tidak lagi menggunakan tangannya untuk bertumpu pada wastafel. Ia mengetuk layar smartphone, menerima panggilan tersebut dan mendekatkannya di telinga. Ia berdeham, menatap dirinya sendiri pada kaca besar di depannya dan berbicara, "Ada apa, Rebecca?"
Kalau boleh jujur, Mind cukup kagum dengan kemampuan Freen dalam mengendalikan emosinya. Beberapa waktu lalu wanita itu tampak hancur dan menangis dengan tubuh bergetar, tapi sekarang semua itu menghilang dan digantikan oleh senyuman tipis serta suara yang mengalun lembut untuk menyapa si penelepon di ujung sana. Ia tidak tahu apa yang Freen bicarakan dengan sersan tersebut, tapi dilihat dari perubahan ekspresi yang menjadi semakin baik, Mind merasa apa yang dibicarakan adalah sesuatu yang menarik perhatian Freen.
"Mungkin tidak sekarang. Aku... harus menyelesaikan urusanku dengan Mind terlebih dahulu. Bukan berarti aku tidak ingin bertemu denganmu, aku sangat ingin karena ada banyak yang perlu kita bicarakan—kau tahu apa. Tapi ini adalah sesuatu yang penting." Freen mendengus. Ia melirik Mind dari pantulan kaca. Kegelisahan wanita itu dapat ia lihat dari kedua tangannya yang tak henti-hentinya bergerak untuk merapikan pakaian yang ia kenakan. "Aku akan menghubungimu lagi, Rebecca."
Kalimat tersebut adalah kalimat terakhir sekaligus menjadi tanda baginya untuk menyelesaikan panggilan telepon. Freen lah yang memutus panggilan tersebut dan langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, tentu saja setelah mengaktifkan flight mode dan fitur GPS. Ia tidak ingin diganggu dengan panggilan telepon dan notifikasi email yang tidak penting.
"Freen?" Mind memanggil dan membuat perhatian Freen berpaling dari cermin ke arahnya. "Kau yakin ingin melakukan ini? bukankah ini terlalu cepat?"
Freen terkekeh kecil. Ia menyalakan kran air dan membersihkan kedua tangannya. Ia juga menangkup kedua tangannya agar ia dapat mengumpulkan air untuk membersihkan sisa-sisa air mata dari wajahnya. Diambilnya sapu tangan dari dalam saku, dengan hati-hati ia mengusap tiap senti wajahnya dan menghapus tetesan-tetesan air dari sana. Kini, wajahnya sudah menjadi lebih segar dan cerah. Ia tak lagi tampak muram dan suntuk seperti tadi.
"Kau tahu kita tidak bisa melangkah mundur, 'kan? Ayo pergi." ia akhirnya menjawab seraya melangkah mendekati pintu keluar toilet. Mind masih mengekor di belakangnya dengan ragu, tetapi Freen tidak mempedulikan kondisi temannya itu. Selama ia masih memiliki tangan untuk membantunya, maka tidak akan ada masalah berarti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top