Chapter 16: One Step Closer
Sudah sejak lama para pendahulu kita menyadari bahwa ancaman terbesar manusia selain binatang buas yang lapar dan bencana alam adalah manusia itu sendiri—dengan kata lain, manusia lainnya. Memang, manusia memiliki akal dan common sense yang bisa membuat kita mempertimbangkan banyak hal agar tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan moral. Namun, ada kalanya kelebihan yang kita miliki itu tertutup oleh suatu emosi sesaat yang mampu membutakan segala bentuk rasionalitas.
Banyak sekali kasus kekerasan, atau kekerasan yang mengakibatkan matinya orang berawal dari suatu emosi yang kita kenal sebagai amarah. Manusia bisa melakukan tindakan yang tidak ia duga ia bisa melakukannya apabila ia sedang sangat marah. Mungkin kalian bisa melukai diri sendiri, atau bahkan melukai orang lain meskipun sebenarnya kalian sama sekali tidak berniat melakukan hal itu. Sehingga tidak berlebihan jika jenis emosi yang satu ini bisa dikatakan sebagai salah satu musuh manusia.
Oleh karena itu, kalimat dari bahasa latin yang akrab dikenal oleh orang-orang hukum seperti homo homini lupus yang berarti manusia adalah serigala bagi manusia lain adalah kalimat yang cocok untuk menggambarkan situasi yang sedang terjadi saat ini.
Asavarid Pinitkanjanapun—Heng.
Dikenal sebagai personel yang memiliki pembawaan diri yang bagus. Hampir semua orang di setiap departemen mengenalnya sebagai pria tinggi yang ramah karena ia gemar sekali menyapa dan berbicara dengan orang lain di divisi lain kendati masing-masing dari mereka tidak saling kenal sebelumnya. Ia memiliki suatu kelebihan di mana setiap orang yang bertemu dengannya akan merasa cocok dan menganggap Heng sebagai orang yang mungkin bisa dihubungi di kemudian hari untuk diajak makan BBQ atau minum bir bersama.
Singkatnya, Heng adalah sosok pria yang hangat dan mudah akrab dengan banyak orang. Persis sama dengan Becca, dulu.
Namun, identitas Heng yang ada di kepalanya itu luntur seketika saat pria itu masuk ke dalam ruang interogasi dan secara tiba-tiba berlari kencang ke arahnya dan menendang tubuhnya hingga ia terjungkal ke belakang. Heng meraih kerah pakaian Becca, mengangkat tubuhnya dan langsung memukul rahangnya berkali-kali hingga bibirnya robek dan berdarah.
Becca mengeluarkan erangan memilukan ketika Heng mengangkat tubuhnya menggunakan kedua tangannya dan menghantamkannya tepat di dinding di belakangnya. Kepalanya bersentuhan langsung dengan dinding semen tersebut, mengeluarkan bunyi yang sangat keras. Ia dapat merasakan hantaman itu mengguncang seluruh isi kepalanya, membuatnya tidak bisa berpikir atau pun berbicara selain berteriak kesakitan. Bahkan cengkeraman tangannya pada lengan Heng pun terlepas seketika.
Heng menjatuhkan tubuhnya ke lantai dengan satu bantingan. Tubuh Becca terkulai lemas di atas permukaan lantai dingin. Darah mengucur keluar dari bagian belakang kepala, hidung, hingga mulut. Darah di hidungnya berasal dari pukulan mentah yang dilontarkan oleh Heng tepat saat pria itu masuk ke dalam ruangan untuk memulai interogasi, sedangkan darah yang berasal dari mulutnya berasal dari pukulan kedua yang pria itu layangkan ketika Becca membela dirinya saat pertanyaan pertama mulai ditanyakan kepadanya.
Sersan muda itu mencoba menggerakkan kedua lengannya, memaksa dirinya sendiri untuk duduk dan berdiri. Namun, menggerakkan tubuhnya sedikit saja, ngilu dan nyeri yang menusuk langsung membuat Becca kembali menjatuhkan tubuhnya. Mencoba membuka matanya, Becca langsung dihadapkan oleh kaki Heng sesaat sebelum ia menendang perutnya dan kembali membuatnya berteriak kesakitan.
Pria tinggi di depannya tersenyum keji. Senyuman miringnya itu senada dengan tatapannya yang sangat tajam—jelas sekali ia menyimpan angkara dan dendam yang sedemikian besar. Seandainya saja tidak ada petugas-petugas lain yang berdiri di sisi lain kaca buram di sampingnya dan kamera pengawas yang selalu merekam setiap gerak-geriknya, Heng mungkin akan menarik keluar pistol miliknya dan langsung melubangi kepala Becca dengan lima kali tembakan.
Semua kegilaan ini, dan semua penderitaan yang ia alami terjadi hanya karena satu rubah licik. Dan kini rubah itu sudah tergeletak di depannya, menunggu untuk ditembak mati oleh si pembunuh yang menangkapnya. Rasanya ia telah membuang tenaganya untuk mengasihani wanita ini, hanya untuk mengantarkannya pada kenyataan bahwa ia adalah si pembunuh yang selama ini ia cari. Hanya karena orang ini, ia nyaris dijadikan tersangka dan mendapat hukuman disiplin. Hanya karena orang ini juga lah, Seng—sahabatnya ketika masih menjadi kadet—tewas mengenaskan.
Ia tidak percaya bahwa dirinya telah dijadikan boneka oleh psikopat gila itu. Dan karenanya, Heng bersumpah, ia tidak akan pernah memaafkan Becca atas apa yang sudah ia lakukan. Ia akan melakukan apapun demi membuatnya merasakan siksaan yang sama seperti yang ia dan korban-korbannya rasakan. Dan ini, adalah awal dari semuanya.
Heng mengibaskan tangan kanannya. Baru ia sadari bahwa buku-buku jarinya memerah dan terdapat sedikit noda darah menempel di sana. Pria itu menggeram marah dan menarik paksa tubuh Becca, menyeretnya agar ia duduk di kursi. "Hei, mari buat pekerjaan ini menjadi lebih mudah. Aku sudah muak melihat wajahmu, jadi aku ingin kau segera mengakui semua perbuatan yang kau lakukan agar aku bisa segera keluar dan memberikan berkas-berkasmu ke kejaksaan!" Heng berteriak dan memukul permukaan meja dengan kedua tangan terbuka. Meja itu sampai bergeser dari posisinya semula dan barang-barang yang ada di atas meja hampir terlempar jatuh ke lantai.
Becca menghembuskan napas gemetar, kemudian kembali menarik napas guna memenuhi paru-parunya dengan udara. Sedikit meringis kesakitan karena dadanya terasa sakit sekali setiap kali ia menarik napas. Ia mengangkat wajah, sedikit menggelengkan kepala untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi pandangan.
"Phi... sial. Berapa kali aku harus mengatakan padamu, bukan aku pembunuhnya," Becca tersedak oleh darahnya sendiri. Sejenak, ia ingin muntah karena amisnya darah yang masuk dalam kerongkongan. Tapi ia segera menelan paksa semuanya dan menarik napas panjang. "Tidak mungkin aku berkeliaran di rumahku sendiri dengan memakai wig dan meletakkan semua alat penyadap itu. Saksi kita, manajer tempat Song bekerja juga mengatakan jika orang terakhir yang ada bersamanya adalah wanita berambut panjang. Aku datang sendiri ke sana dan bertemu langsung dengan si manajer. Tetapi ia tidak mencurigaiku sama sekali sebagai pembunuh karena memang bukan aku pelakunya!"
"Kau ini sudah gila atau bagaimana?" Heng sontak tertawa meremehkan begitu mendengar pembelaan Becca. Ia mengusap wajahnya, membuat noda darah yang ada pada buku-buku jarinya menempel pada pipi dan jembatan hidungnya. Ia menyandarkan tubuh pada kursi, menjauhkan diri dari meja dan menyambar, "Bagaimana kau bisa menjelaskan mayat-mayat yang ada dalam kulkasmu, kartu identitas yang ada di tempat Seng mati, dan juga palu berdarah yang kau simpan di kotak perkakasmu?"
"Aku tidak tahu bagaimana semua itu bisa ada di dalam rumahku. Selama ini aku singgah di apartemen Freen dan tidak pernah kembali ke rumahku sendiri. tanyakan saja padanya. Dia adalah orang yang selalu bersamaku selama ini." Becca menahan napas, matanya memandang Heng dengan tatapan penuh harap. Tapi karena ia tidak menemukan perubahan apapun dari wajah pria itu, Becca berakhir menghembuskan napas kasar. Ia lantas mendongakkan kepala dan menunjukkan bekas jahitan di lehernya. "Apakah aku cukup bodoh untuk membuat orang lain memenggal leherku begitu saja?"
"Memang psikopat sinting. Kau pikir kali ini aku bisa terperdaya olehmu?" sahut Heng.
"Heng!"
Teriakan Becca memicu keheningan mencekam di antara keduanya. Ruang interogasi seluas 7 x 7 meter dengan penerangan temaram itu berubah menjadi sebuah penjara pengap yang mengirimkan aura mengerikan. Dengan seluruh bagian tubuh berdenyut-denyut nyeri, Becca memaksa dirinya sendiri untuk memikirkan kalimat macam apa yang tidak akan memberatkan dirinya sendiri dan mampu melepaskan dirinya segala bentuk tuduhan yang ditujukan padanya.
Penangkapan mendadak beberapa waktu lalu mengubahnya dari petugas teladan menjadi musuh masyarakat dalam waktu singkat. Ia bisa membayangkan apa yang terjadi seandainya ia gagal membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah di sini—mungkin ia akan berdiri di depan kantor polisi dengan kedua tangan diborgol, dikelilingi oleh petugas polisi yang melindunginya dari serbuan wartawan dari puluhan stasiun TV yang berlomba-lomba mendapatkan potret bagus dari wajahnya untuk dipamerkan di siaran nasional dan portal berita.
Itu adalah sesuatu yang paling tidak ia inginkan dalam hidup. Selain merusak namanya sendiri, itu juga akan berakibat buruk pada nama besar keluarga Armstrong yang sudah memiliki posisi baik pada khalayak industri. Oh, betapa Becca berharap berita penangkapannya ini tidak sampai ke orang tuanya. Ia tidak ingin membuat mereka kecewa hanya karena sesuatu yang tidak ia lakukan. Semua ini sudah berada di luar batas wajar. Ia tidak menduga si pembunuh akan melangkahi batas dan bertindak sampai sejauh ini.
Heng berteriak, "Oh, kau akan tamat, Sersan. Kau akan benar-benar tamat!" dia bangkit berdiri dari tempatnya duduk dan berjalan mengitari meja untuk menarik kerah pakaian Becca. "Sudah kubilang berhenti bicara omong kosong!"
"Aku tidak—!"
Tepat sebelum pukulan Heng mendarat ke wajah Becca untuk yang kesekian kali, pintu menuju ruang interogasi terbuka dan seorang petugas berpakaian sipil masuk ke dalam dengan terburu-buru. Melihat itu, Heng segera menekan bahu Becca dan memaksa wanita itu untuk duduk diam di tempatnya.
"Letnan Chankimha akan datang ke tempat kejidian perkara untuk melakukan pemeriksaan ulang. Kau diminta untuk menunda interogasi sampai ia datang langsung ke sini." Kata petugas itu.
Mendengar itu, Heng hanya bisa menggeram marah. "Lagi-lagi Letnan itu menghalangi pekerjaanku," desisnya. Ia lalu meminta petugas tadi keluar dari ruangan dan memandang Becca dengan tatapan sinis, "Kau akan ditahan sampai kami mendapatkan semua bukti yang kami butuhkan. Selama itu, jangan harap kau mendapat perlakuan yang bagus dari kami."
Freen mengangkat police tape kuning yang melintang di tengah-tengah gerbang masuk rumah Becca, ia perlu menundukkan tubuhnya agar bisa masuk dan meninggalkan keramaian warga yang berkerumun di depan gerbang seperti lalat yang mengerubungi sampah. Informasi menyebar dengan cepat, lebih cepat dari yang ia duga. Usaha polisi untuk datang ke tempat kejadian perkara dengan sunyi agar tidak membuat keributan yang tidak diinginkan pun gagal.
Beruntung, Freen bisa membaca situasi sehingga ia segera menghubungi kantor pusat dan meminta bantuan personel tambahan untuk mengamankan situasi sehingga orang-orang tersebut tidak bisa masuk dan merusak barang bukti. Sebelumnya, ia sama sekali tidak bisa masuk ke dalam karena jika ia masuk begitu saja, orang-orang pasti akan merangsek masuk dengan membawa ponsel mereka untuk merekam. Karena sekarang sudah ada belasan polisi yang berjaga di luar, maka Freen bisa meninggalkan tempatnya dan masuk ke dalam untuk melakukan pemeriksaan.
Tim forensik telah berada di tempat kejadian perkara sejak semalam. Sudah bisa ditebak, tim forensik milik siapa yang ditugaskan untuk terjun langsung di sini—benar, Looknam Orntara. Setelah ia dibebaskan dari status tahanan karena terbukti bahwa sebenarnya ia adalah orang luar yang dijebak dan hampir dijadikan kambing hitam—sekaligus menjadi bukti bahwa si pembunuh adalah rubah licik yang berbahaya—Nam kembali dipercaya untuk memimpin satu tim forensik yang akan bekerja sama dengan tim investigasi khusus.
Freen adalah orang yang dengan giat membantunya selama ia berada di sel tahanan. Ia memberi banyak informasi tentang penyelidikan dan berhasil membuktikan bahwa sebenarnya Nam tidak bersalah. Itu membuatnya merasa bahwa ia perlu membalas budi atas kebaikannya itu dan Nam merasa bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk itu.
Sahabatnya sendiri, Rebecca Armstrong, telah berada di posisi yang sama dengannya beberapa waktu lalu. Nam percaya Becca bukanlah orang yang tega melakukan semua hal keji itu. Lagipula, untuk apa ia membunuh orang dengan mengatasnamakan nama keluarganya sendiri? Sersan itu tentu tidak sebodoh itu.
Pihak kepolisian menuntut pemeriksaan dilakukan secara cepat dan tanggap, sedikit berbeda dari biasanya. Nam menduga ini terjadi karena yang menjadi tersangka adalah salah satu dari anggota kepolisian sehingga mereka perlu sesuatu yang bisa dijadikan bukti kuat. Hal ini pastinya berpotensi merusak nama baik kepolisian Thailand dan mereka tidak ingin mengambil risiko semacam itu sehingga mereka memutuskan melakukan segalanya dengan cepat agar bisa dilakukan pemecatan secara tidak hormat terlebih dahulu sebelum proses hukum selanjutnya dilaksanakan.
Nam sepertinya sudah menunggunya sejak tadi. Wanita itu memandang Freen dengan tatapan sulit ketika wanita itu masuk dan menutup pintu di belakangnya. Tanpa menghabiskan waktu, Freen segera mendekat dan berhenti di sampingnya untuk bertanya, "Di mana mayat itu? Kita sudah mengecek tempat ini beberapa minggu yang lalu, kenapa tiba-tiba ada mayat yang muncul di sini?"
Menurunkan masker yang menutupi hampir setengah wajah, Nam mengayunkan tangannya dan menunjuk ke arah kulkas besar yang berada di dekat kitchen set. Tidak perlu sebuah kalimat tambahan bagi Freen untuk memahami gestur tersebut sehingga ia buru-buru berjalan mendekati kulkas dan beradu pandang dengan beberapa orang petugas forensik.
"Letnan Chankimha, kami masih belum memindahkan mayat dari kulkas karena kami mendengar kabar bahwa kau akan datang untuk menginvestigasi langsung." Salah seorang dari mereka berucap begitu Freen berdiri di depan kulkas hitam besar yang mencurigakan itu.
"Terima kasih atas kerja sama kalian," Freen menjawab singkat. Pandangannya menyapu seluruh bagian kulkas, mulai dari atas hingga ke bawah. Napasnya tersentak begitu menyadari ada bekas darah kering di bagian bawah. Sepertinya darah itu berasal dari dalam kulkas dan menetes keluar dari celah pintunya. "Seharusnya tidak apa-apa jika kalian mengeluarkan apapun yang ada di dalam sini." gumamnya, dan petugas tadi hanya bisa mengangguk dan menundukkan kepala.
Freen menarik napas dan menahannya. Kemudian, dengan satu ayunan yang dilakukan dengan perlahan, ia membuka pintu kulkas lebar-lebar dan menahan pintunya dengan kursi. Suhu dingin menyebar keluar, beriringan dengan aroma amis darah yang menusuk hidung. Pikirnya, bau busuk itu berasal dari daging sapi yang disimpan terlalu lama. Tapi ternyata bau mengerikan itu bersumber dari kantung plastik hitam yang dijejalkan hingga memenuhi isi kulkas.
Permukaan plastik hitam itu terlihat menempel pada sesuatu yang ada di dalamnya. Tak sedikit juga sesuatu seperti cairan lengket berwarna gelap tampak tumpah keluar dari lubang-lubang kecil dan bagian atas kantung plastik, dan mengalir turun hingga ke bagian bawah kulkas dan akhirnya menetes keluar. Letnan muda itu cukup peka dan pandai untuk memahami bahwa isi dari kantung plastik dan cairan lengket itu bukanlah daging dari hewan yang bisa dimakan.
Semakin lama, bau yang dikeluarkan menjadi semakin parah. Bahkan bau itu sekarang sudah berada di luar batas toleransinya—Freen benar-benar ingin muntah. Tapi tentu ia tidak bisa langsung menumpahkan isi perutnya saat itu juga karena ia memiliki prestise yang perlu dijaga sehingga mau tak mau dan suka tak suka, ia harus menelan semuanya kembali ke dalam perut.
Jika dideskripsikan, Freen dapat menyimpulkan bahwa bau dari isi semua kantung plastik di depannya ini hampir menyerupai darah dan daging busuk yang hampir habis dimakan belatung.
Untuk sementara, bibirnya terkatup rapat. Ia kehabisan kata-kata dan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Meskipun otaknya meneriakinya, memintanya untuk segera mundur dan menyuruh petugas forensik untuk mengeluarkan semua kantung plastik itu, organ geraknya tetap menolak dan memilih untuk diam.
Satu di pikirannya; manusia macam apa yang memutilasi tiga orang dan menjejalkan potongan-potongan tubuh mereka ke dalam kulkas. Becca tidak mungkin melakukan hal semacam ini, meskipun ia berada di bawah kendali obat-obatan atau narkotika. Meskipun mereka tidak mengenal begitu dalam, Freen tetap berani bersumpah bahwa Becca bukanlah sosok di balik potongan-potongan tubuh ini.
Sentuhan tangan di bahu menjadi satu-satunya alasan baginya untuk kembali ke dunia nyata. Saat ia menengok ke samping, Nam sudah berdiri dan mulai bertindak lebih dulu darinya untuk mengeluarkan semua kantung plastik dan menatanya di atas terpal yang dibentangkan di ruang tengah. Sebetulnya Freen memiliki hak untuk melarangnya karena ia juga masih belum memberikan perintah. Tapi karena ia sedang bekerja bersama teman Becca—dan itu berarti Nam adalah temannya juga—maka ia membiarkannya.
Totalnya ada 10 kantung plastik hitam. Freen mengambil lampu senter kecil dari dalam kotak perkakas milik Nam dan menyalakannya. Bersama wanita itu, ia berjongkok di samping kantung plastik pertama dan membukanya. Ketika kantung plastik terbuka, sorot cahaya lampu langsung menyinari wajah manusia dan berhasil membuat Freen dan Nam kompak berteriak keras hingga nyaris terjungkal ke belakang. Kantung plastik tersebut berisi kepala manusia utuh dengan satu bola mata hilang dan potongan tangan hingga bagian lengan atas.
"Astaga, Demi Tuhan. Kita ini sedang melihat apa, sih?" Nam berjalan menjauh dari Freen seraya menggerutu. Wanita itu duduk di kursi ruang makan dan mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha menghapus bayangan potongan kepala barusan dari memori otaknya.
Meskipun Freen juga sama ngerinya dengan Nam, wanita itu masih memiliki kontrol diri yang lebih baik. Well, terima kasih pada semua pengalaman-pengalamannya di masa lalu yang terlalu kelam untuk dikulik kembali. Ia jadi cukup terbiasa melihat mayat dalam kondisi apapun meskipun indera penciumannya mengatakan sebaliknya.
"Dokter Nam, kau sama saja menghina mereka yang sudah mati jika kau terus mengatakan hal semacam itu. Kenapa kau tidak kembali ke sini dan membantuku membuka semua mayat ini? Itu jauh lebih baik." Freen menyahut. Ia kini mulai membuka ikatan kantung plastik kedua dengan lihai dan langsung berpindah ke kantung plastik selanjutnya tanpa mengintip isinya. "Dokter Patologi Forensik macam apa yang tidak tahan melihat mayat. Aku takut kau akan kesulitan menyatukan seluruh bagian mayat ini nantinya."
Dari jauh, wanita bermarga Chankimha itu bisa mendengar helaan napas seseorang disusul oleh ketukan sepatu yang mendekatinya. Nampaknya ucapannya barusan cukup memberikan sulutan api semangat dari dalam diri seseorang.
"Oke. Berhenti bicara agar aku bisa membantumu. Urgh, cara bicaramu cukup tajam juga ya." pemimpin tim forensik itu mendesah pasrah.
Perlu waktu sekitar 30 menit bagi mereka untuk membuka semua kantung plastik hitam berisi potongan tubuh manusia itu dan mendokumentasikannya. Meski ia belum bisa mengonfirmasi, sejauh ini ia merasa bahwa memang benar ada 3 mayat tak utuh yang disembunyikan di rumah Becca karena total ada 3 kepala, 3 tubuh, dan masing-masing 2 pasang tangan dan kaki. Ia tidak mengeceknya dengan menumpahkan semua potongan tubuh itu di atas terpal, melainkan memasukkan tangannya yang dilapisi oleh sarung tangan hitam tebal ke dalam kantung plastik dan mengangkat satu demi satu potongan tubuh yang termutilasi itu tanpa mengeluarkannya.
Setelah melakukan pengecekan seorang diri, Nam yang sedang berdiri di ruang tengah memanggil namanya. Freen mematikan senter dan langsung memenuhi panggilan tersebut. "Kenapa? Kau menemukan sesuatu yang lain?" tanyanya.
Nam menggeleng. "Timku baru saja kembali dari lantai atas dan mereka mengatakan bahwa semuanya sangat bersih. Tidak ada reaksi luminol dan bekas darah di atas sana." Dokter forensik itu kemudian mengambil sebuah kantung plastik transparan berisi palu bergagang kuning yang dilumuri oleh darah kering dan menunjukkannya pada Freen. "Kami menemukan palu ini semalam dan akan segera membawanya ke kantor untuk diperiksa bersama dengan semua mayat itu."
Freen memeriksa palu tersebut tanpa mengeluarkannya dari dalam kantung plastik. Palu ini memang sangat mirip dengan palu yang ditemukan di dalam mobil tempat Song dibunuh, mulai dari ukuran, bentuk ujungnya, hingga warna gagang. Seperti yang ia duga sebelumnya, palunya ditukar dan si pembunuh sengaja meninggalkan palu asli yang ia pakai untuk membunuh di rumah Becca yang sudah lama tak ditinggali untuk menjebaknya seperti yang lain.
Selama ia bertugas menjadi polisi, baru kali ini ia melihat pelaku pembunuhan yang sangat cerdik dan tertata seperti ini. Ia bisa mengetahui banyak hal tentang target utamanya dan menggunakan pengetahuan itu untuk memanfaatkan situasi. Jikalau memang semua ini dilakukan atas dasar dendam, maka pastilah sumber masalahnya cukup besar sampai-sampai si pembunuh berani mempermainkan polisi seperti ini.
Berbicara tentang dendam, Freen tiba-tiba teringat daftar kontak mantan rekan-rekan kerja Tuan Armstrong yang pria itu berikan padanya tempo hari. Daftar itu masih belum ia cek sampai sekarang karena ia merasa itu tidak ada kaitannya. Paling tidak sampai hari di mana Becca ditangkap kemarin. Mungkin aku harus mengecek daftar itu, hanya untuk memastikan. Freen mengembalikan palu yang ia periksa kembali pada Nam. Ia kemudian berjalan mengitari ruangan dan berhenti di depan kulkas. Atau mungkin tidak. Faktanya, tidak ada lagi yang menarik perhatianku dari semua nama yang ada di sana. Toh, aku juga sudah tahu siapa mereka semua.
"CCTV..." sebuah pencerahan tiba-tiba muncul di tengah padatnya jalan pikirnya. Pandangannya berpendar ke sekeliling ruangan dan berhenti pada salah satu sudut langit-langit, tempat sebuah kamera pengawas berada. Lampu merah berkedip-kedip pada device itu sempat membuat Freen ragu apakah benda itu masih menyala atau tidak. "Seharusnya... seharusnya kita bisa mendapatkan sesuatu dari sana." ia berkata pada Nam.
Nam mengangguk paham dan langsung memerintahkan anggota-anggotanya untuk mengecek kamera pengawas. Beberapa menit berlalu dan mereka berhasil kembali ke ruang tengah dan kembali bersama dengan satu flashdrive serta satu unit laptop. Tak disangka, kamera itu masih aktif dan menyimpan semua rekaman selama 2 minggu ke belakang. Sayangnya, sebagian besar dari rekaman itu corrupt dan tidak bisa diputar sama sekali kecuali pada rekaman 4 hari terakhir. Untuk sementara, mereka akan memeriksa rekaman yang tersisa dan akan mengecek sisanya setelah file rekamannya berhasil dipulihkan.
Di antara keempat rekaman yang bisa diputar, hanya satu rekaman yang menarik perhatian mereka. Karena di sana, tampak seorang wanita berpakaian gelap, dengan topi hitam dan masker putih yang masuk ke dalam rumah dengan menggunakan kunci pintu depan. Freen dan Nam merasa itu aneh, sangat aneh. Pasalnya, dari mana orang ini—kemungkinan besar si pembunuh—memiliki kunci pintu rumah Becca?
Jika kunci pintu saja bisa ia dapatkan, bukan masalah besar baginya untuk mencuri ID Card miliknya, Freen menyimpulkan.
Rekaman terus berlanjut. Sosok wanita itu kini terlihat di kamera pengawas yang terletak di ruang tengah—tempat mereka berkumpul sekarang. Ia terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ransel kecil yang ada di punggungnya yang ternyata adalah sebuah palu bergagang kuning yang menjadi senjata pembunuhan. Palu itu diletakkan di dalam laci meja TV dan wanita itu kembali bangkit berdiri dan berjalan keluar.
Wanita itu kembali terlihat melintas di depan kamera pengawas, dan berhenti di depannya saat membawa kantung plastik hitam yang mereka ketahui berisi potongan tubuh manusia. Ia berhenti tepat di depan kamera selama beberapa menit, memandang tajam pada kamera pangawas yang menangkap sosoknya. Kali ini, mereka bisa melihat dengan jelas bahwa wanita itu memiliki rambut panjang, persis seperti wanita yang mereka lihat pada rekaman CCTV beberapa minggu yang lalu. Melalui layar laptop, Freen dapat melihat kedua mata dari si pembunuh menyipit—jelas sekali ia sedang tertawa.
Semua orang yang ada di sana menatap layar laptop yang sedang memutar rekaman kamera pengawas dengan tatapan sulit—ada yang kesal, marah, jijik, atau bahkan semua emosi tersebut diaduk menjadi satu. Melihat manusia keji yang berjalan bolak-balik dengan membawa kantung berisi potongan tubuh manusia seakan itu bukanlah apa-apa.
"Orang ini memang sinting," setelah menyelesaikan video terakhir dan menutup laptop, Nam berucap dengan geram, "dia sengaja berdiri di depan kamera seakan-akan menunjukkan bahwa ia ingin kita melihat apa yang ia bawa di dalam semua kantung plastik hitam itu. Dia juga brengsek karena telah membuatku dan beberapa orang lainnya menjadi kambing hitam, dasar keparat gila."
Freen hanya bisa bungkam selama ia melihat video rekaman itu hingga selesai tanpa menunjukkan banyak respon. Ketika Nam menanyakan pendapatnya tentang isi video rekaman itu dan bagaimana itu akan membantu Becca nantinya, ia hanya memberikan respon singkat dan membuat Nam segan untuk bertanya lebih jauh.
Rekaman kamera pengawas itu menjadi satu-satunya bukti tersisa yang bisa dibawa oleh kepolisian dan tim forensik untuk diperiksa lebih lanjut. Mereka membungkus kembali semua kantung hitam berisi potongan tubuh manusia dan memasukkannya ke dalam 3 buah bodybag untuk dimasukkan ke dalam van milik tim forensik. Saat Freen keluar untuk menghubungi rekan kerjanya yang lain, Nam kembali masuk bersama crime scene cleaners karena ia akan memberikan arahan agar mereka dapat bekerja untuk membersihkan tempat kejadian perkara tanpa ada sesuatu yang terlewat.
Polisi-polisi yang berjaga di depan gerbang rumah Becca juga mendapat tambahan personel karena tempat itu perlu dijaga selama kurang lebih satu minggu untuk menghindari ada orang yang tidak berkepentingan masuk dan mengambil sesuatu yang tidak seharusnya.
Setidaknya, mereka sudah mendapatkan satu bukti yang bisa menyangkal tuduhan pada temannya itu. Mereka hanya perlu mencari satu bukti lagi yang berasal dari keluarganya sendiri dan petugas polisi yang berjaga di sekitar kediaman Kelaurga Armstrong.
Namun, melalui video tersebut, Freen sudah berani mengambil satu kesimpulan bahwa jelas, Rebecca Armstrong bukan pelakunya.
Dan itu sudah pasti.
Freen kembali kantor CIFS dan langsung menjadikan kantor sebagai destinasi utamanya. Ia akan melaporkan apa yang ia temui dalam sebuah berita acara, kemudian menyerahkannya pada Saint dan kepala timnya—Heng. Jauh di dalam hatinya, ia berharap apa yang ia temukan berhasil membuat mereka melepaskan Becca dari sel tahanan.
Wanita itu masuk ke dalam ruangannya dengan kaus abu-abu—ia sudah berganti bagian atas pakaiannya karena bau busuk darah dan daging manusia menempel di sana—dan langsung berjalan menuju meja kerja. Melihat kedatangan Freen, Irin yang menjadi satu-satunya anggota yang ada di dalam ruangan dan sedang berdiri di depan crime board segera mendekatinya. Entah apa yang Irin ingin bicarakan dengannya, tapi wanita itu tanpa ragu langsung mengambil jarak yang sangat dekat dengan telinganya.
Yeah, meskipun sedetik kemudian Irin langsung mengambil jarak dan menatap tajam ke arahnya sembari menutup hidung. "Freen, kau ini baru saja memeluk sigung, sampah basah, masuk ke dalam selokan, atau bagaimana? Mungkin ucapanku akan melukai perasaanmu, tapi... baumu mengerikan sekali. Kau bawa parfum, 'kan?"
Sudah kuduga. Freen memandang Irin dengan tatapan malas selama beberapa detik. Ia kemudian mengangkat bahu kanannya mendekati hidung dan mencoba mencium sendiri seburuk apa bau badannya sekarang. Astaga, pantas saja banyak orang yang memandangku seperti melihat hantu.
"Aku baru saja kembali dari rumah Becca dan memeriksa mayat yang ada di sana. Jadi jangan heran jika baunya masih menempel," ia menghela napas panjang. Diambilnya parfum beraroma vanilla dari dalam tasnya dan mulai menyemprotkannya ke seluruh tubuh. "padahal aku sudah mengganti pakaianku. Tapi memang dasar bau mayat busuk tidak akan bisa hilang dalam waktu dekat. Maaf, Irin. Tapi mungkin kau akan hidup bersandingan dengan bau ini selama beberapa jam ke depan."
"Sudahlah, bukan masalah besar juga lagipula," Irin mendengus, "Noey mengatakan padaku bahwa ia dan Heng akan pergi ke CIFS. Ternyata mereka menggantikanmu, ya? Bagaimana kondisi mayat itu?"
Freen mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Ia ingin menunjukkan foto-foto yang ia ambil dari tempat kejadian perkara pada Irin daripada harus menjelaskannya sendiri secara detail pada wanita itu. Hening tercipta ketika ia membiarkan Irin menggunakan ponselnya untuk menggulir foto-foto yang ada dalam galeri ponselnya. Beberapa menit berlalu dan akhirnya Irin mematikan ponsel tersebut dan mengembalikannya pada Freen dengan tatapan sulit.
Sepertinya ia sedang menahan mual dan Freen ingin sekali tertawa ketika melihat penderitaannya.
"Apa Becca benar-benar melakukan ini?" Irin menggumam.
Freen menggeleng cepat, terlihat menyangkal penuh anggapan Irin. Ia lalu menjawab dengan suara tenang, "Tentu saja tidak. Kami sudah mendapatkan bukti bahwa ada orang lain yang meletakkan semua kantung plastik berisi potongan tubuh itu di dalam kulkas miliknya. Dan orang itu adalah wanita berambut panjang yang muncul di rekaman CCTV pertama dan orang yang ditemui Song sebelum dia dibunuh."
"Berarti memang benar Becca juga dijebak?"
"Benar," Freen mengangguk singkat, "sama seperti Heng, Seng, dan juga Nam."
Irin terdiam sejenak. Kemudian ia kembali berbicara, "Kita membutuhkan lebih banyak bukti. Apakah dengan menanyai orang tuanya dan polisi yang berjaga di sekitar kediaman keluarga Armstrong bisa membantu?"
"Oh, aku baru saja ingin meminta bantuanmu untuk mengurus yang satu itu. Tubuhku sudah sangat lelah dan aku ingin tidur selama 15 menit. Apakah kau tidak masalah dengan itu?" Sang Letnan itu menatap Irin dengan sorot mata lelah seperti anak kucing yang sedang mengantuk. Ia tidak berbohong, tubuhnya sudah lemas sekali dan kedua matanya seperti mengancam akan tertutup kapan saja. Bisa berbahaya jika ia memaksa mengemudi dengan keadaan seperti ini.
"Tentu saja. Aku akan segera pergi ke sana setelah ini," Irin pun beranjak dari tempatnya untuk kembali ke meja kerjanya sendiri. Ia menyambar kunci mobil, handy talky, dan jaket sebelum berjalan mendekati pintu. Sebelum keluar, ia berbalik pada Freen dan berpesan, "istirahatlah. Heng dan Noey mungkin akan datang beberapa jam lagi. Jadi kau bisa menghabiskan waktu itu untuk tidur di lantai atau semacamnya."
"Aku pasti akan melakukan itu."
"Dan... Freen?"
"Ya?"
"Terima kasih sudah berjuang demi Becca. Aku... kau mungkin tidak merasakannya tapi sejak kau dekat dengannya, ia jadi memiliki semangat untuk bertahan. Sebelum ia ditahan, kami sering berkomunikasi via LINE dan satu-satunya yang ia bicarakan adalah tentang kau dan semua yang kau lakukan untuknya."
Kalimat Irin membuat Freen termenung sesaat. Memikirkan bagaimana Becca diam-diam membicarakan sesuatu tentang dirinya bersama temannya sendiri membuatnya merasa... senang. Ia hanya bingung, kenapa wanita itu tidak mengatakan semuanya secara langsung padanya bahwa ia berterima kasih atau semacamnya? Apa dia malu? Tapi mana mungkin orang seperti itu tidak memiliki cukup keberanian untuk berbicara tentang hal sepele ini secara langsung.
Freen menghembuskan napas panjang. Ia menolah sekilas dan melambaikan tangan pada Irin untuk mengantar kepergian wanita itu sebelum mengerjakan tugasnya di luar, "Kita akan menjaganya, Irin. Jangan khawatir."
Irin menyempatkan diri untuk berpamitan sebelum keluar dari ruangan tim investigasi dan meninggalkannya sendirian. Di situ, Freen menunggu dengan tenang tanpa melakukan apapun. Pandangannya tertuju pada daftar kontak yang diberikan oleh Tuan Armstrong tanpa ada keinginan untuk melakukan sesuatu pada semua nomor yang tercantum di kertas tersebut.
Beberapa menit berlalu dan Freen memastikan Irin, atau siapapun sudah tidak ada di luar ruangan timnya. Ia segera membuka laci dan mengambil beberapa lembar print out dan membawanya keluar. Irin memakan kebohongannya dengan mudah. Padahal ia tidak mengantuk sama sekali dan ia juga tidak akan tidur di tempat ini karena tujuannya sekarang adalah menemui Saint di ruang kerjanya.
Ia memiliki urusan pribadi yang berkaitan dengan penangkapan Becca dan dengan apa yang ia miliki sekarang, Freen akan berusaha meyakinkan Saint bahwa semua yang terjadi adalah drama dan rekayasa yang dibuat oleh si pembunuh untuk menghancurkan sersan muda itu. Dengan membawa print out laporan yang dimasukkan ke dalam stofmap kuning, Freen berjalan menyusuri koridor kosong untuk menuju lift.
Beruntung, tidak ada terlau banyak orang yang menggunakan lift siang itu sehingga ia bisa mencapai tujuannya dengan cepat. Saat ia berdiri di depan pintu ruangan Siant, jam tangannya masih menunjukkan bahwa ia masih memiliki waktu. Tapi ia masih memegang prinsip bahwa lebih baik tiba lebih awal daripada terlambat. Jadi tanpa menungg waktu bergulir lebih lama, Freen segera mengetuk pintu sebanyak tiga kali dan masuk ke dalam.
"Selamat siang, Letnan Chankimha. Kau memang orang yang tepat waktu." Saint berdiri dari kursinya untuk memberikan sambutan kecil, lengkap dengan senyuman tipis yang menunjukkan professionalitas dan keramahan—Freen hanya membalas dengan anggukan singkat.
"Bagaimana jika kita langsung ke poin utamanya saja?" Freen menyahut kalem. Tangannya terangkat, menunjukkan stofmap kuning yang menarik perhatian Saint. Ia meletakkan stofmap tersebut di atas meja dan membiarkan Saint membacanya sendiri. "Ini sangat penting Saint. Aku ingin kau mempertimbangkannya."
Saint membaca sekilas catatan singkat yang Freen buat tentang penemuan mayat dan isi kamera CCTV yang ia temukan di rumah Becca. Ia juga mengaitkan sosok wanita berambut panjang yang muncul dalam video dengan keterangan saksi yang sudah mereka dapatkan selama ini. Ia berusaha membuat Saint yakin bahwa Becca sedang dijebak, namun pria itu seperti tidak menyimak catatan Freen dengan serius.
Sang komandan mendengus, ia meletakkan catatan Freen di atas meja dan menyodorkannya dengan menggunakan jari. "Lakukan apa yang kau ingin lakukan, Freen. Sebentar lagi aku akan mengadakan presscon untuk mengumumkan penemuan mayat dan memberikan himbauan baru pada masyarakat."
"Lalu apa?" Freen terus menekan lebih jauh, "Kau akan membiarkan Becca berada di dalam sel tahanan dengan status tersangka tanpa melakukan apapun untuk mengeluarkannya dari sana meskipun ia bukanlah pelaku yang sebenarnya? Kau pasti sudah gila."
"Bukankah akan bagus? Kepolisian sudah terlalu lama menggarap kasus ini tanpa adanya sosok yang bisa dijadikan sebagai pelaku dan dibawa ke depan media massa. Kita hampir kehilangan kepercayaan masyarakat, kau tahu itu bukan? Becca, bisa menjadi orang yang cocok untuk itu," atasannya berucap santai dan tak menghiraukan Freen yang sedang kepayahan menahan diri untuk tidak melemparkan vas kaca pada kepala pria itu. Ia tak tahan, ucapannya benar-benar keterlaluan. "Apalagi keluarga Becca adalah keluarga yang cukup terpandang di kalangan pebisnis. Jika pelakunya berasal dari kalangan seperti itu, mungkin berita ini akan menjadi sesuatu yang bagus untuk digoreng selama beberapa waktu."
Freen meremas jari-jarinya hingga ujung kulitnya memutih karena tekanan yang terlalu besar. Sementara napasnya memburu karena letupan amarah yang meledak-ledak di dalam dada, Freen masih berusaha membuat nada bicaranya tetap normal saat ia menjawab, "Saint. Kau tahu apa? Aku sangat ingin kau pergi ke neraka."
"Dan kita berdua akan masuk ke dalamnya bersama-sama. Jangan pikir aku tidak tahu apa alasan kau dipindahkan ke Bangkok, Letnan Sarocha Chankimha." Saint berbalik menghadap Freen dan menyambar cepat, "Aku hanya ingin membersihkan nama kepolisian regional Bangkok, Freen. Jika kau menjadi aku, kau pasti akan berpikir bahwa ini adalah pilihan tepat."
Sudut bibirnya berkedut saat Saint mengatakan bahwa ia mengetahui rahasianya. Semula, ia ingin membalas poin dari ucapannya itu namun Freen menahan diri untuk tak melakukannya. Percuma juga baginya untuk menyembunyikan kenyataan lebih lama, toh fakta bahwa ia memang pernah membunuh juga akan terbongkar nantinya. Daripada itu, yang lebih membuatnya kesal dan kecewa adalah sikap Siant yang acuh tak acuh dengan nasib anggotanya yang selama ini ia anggap sebagai adik.
Freen memiliki bukti kuat yang bisa menyelamatkan Becca dan Saint seharusnya memberi timnya dukungan untuk menyelesaikan penyelidikan. Tapi yang ia lakukan justru sebaliknya. Pria itu malah berusaha menjadikan Becca tersangka di hadapan publik untuk menunjukkan bahwa kepolisian masih memiliki kapabilitas sempurna untuk menyelesaikan tugasnya sebagai pelayan masyarakat.
Untuk apa hubungan Becca dan Saint terjalin selama ini jika pada akhirnya Saint akan membuangnya begitu saja menjadi kambing hitam hanya untuk menyelamatkan reputasinya? Bagi Freen, itu adalah tindakan paling rendah dari seorang manusia. Pengkhianatan—Freen sangat membenci itu.
Mengambil satu langkah mendekati meja kerja Saint, Freen memiringkan kepalanya dan menatap Saint tanpa berkedip. Dan sorot mata mengerikan itu kembali, lagi. "Jika aku jadi kau, aku akan mencari pilihan lain yang lebih pantas dilakukan daripada ini." finalnya.
"Lakukan apa yang ingin kau lakukan." Saint tersenyum, "Lagipula, kenapa kau sangat ingin menyelamatkan wanita itu? Apakah kau ingin mengambil atau mendapatkan sesuatu darinya?" ia bertanya. Tanpa menunggu jawaban, pria itu kembali mengalihkan perhatiannya pada tumpukan berkas yang ada di atas meja dan tak lagi memandang langsung pada si lawan bicara. Ia lalu menghembuskan napas pelan, melirik Freen sekilas dan menyelesaikan kalimatnya dengan statement final yang membuat kedua tangan Freen mengepal kuat. "Mulutmu mungkin bisa berbohong. Tapi matamu tidak, Freen."
Freen terkekeh. Ia menegakkan tubuhnya dan membawa kedua tangannya kembali ke sisi tubuh tegapnya. Masih tidak melepaskan pandangan mengintimidasi itu, ia menyahut, "Kau memang pintar, Saint. Tapi untuk kali ini, aku merasa kau seharusnya bisa lebih cermat dari itu." Dengan itu, Freen langsung berbalik dan meninggalkan ruangan Saint, membiarkan pria itu kebingungan menginterpretasi kalimatnya.
Saat Freen masuk ke dalam sel tahanan dengan kunci yang ia pinjam dari petugas penjaga, Becca langsung berdiri dan memeluk tubuhnya dengan erat. Ia ingat, tiap kali Becca merasa tidak baik-baik saja, ia akan memeluknya. Jadi Freen segera membalas pelukan itu dan membiarkan Becca menaruh seluruh beban tubuhnya padanya.
"Kupikir kau tidak akan datang..." Becca bergumam dan membuatnya sedikit gemetar karena hembusan napas hangat wanita itu menerpa lehernya.
Menahan napas, Freen membalas, "Tidak apa-apa, aku di sini sekarang."
Ia bisa merasakan kaki Becca tidak bisa menyangga tubuhnya lebih lama. Jadi Freen segera mendudukkannya di atas lantai. "Ini, aku membawa obatmu," Freen berjongkok dan menyodorkan beberapa butir pil serta sebotol air mineral yang sudah dibuka pada Becca.
Becca menatap butiran pil di tangan wanita itu, kemudian pada air mineral yang disodorkan padanya. Ia menjilat bibirnya sendiri dan perih dari luka robek yang ada di sana kembali mendera. Tak bisa dibayangkan seberapa sakit jika air itu menyentuh bibirnya nanti. Akan tetapi, ia juga tak ingin menghabiskan hari dengan tenggorokan kering. Ia bisa mati lebih cepat karena dehidrasi jika begitu.
Jadi dengan tangan lemas, ia berusaha menerima botol air dari Freen namun wanita itu segera menarik botol tersebut dan menggeleng. "Buka mulutmu."
"Untuk apa? Aku bisa melakukannya sendiri, ayolah." Protes Becca.
Namun Freen tetap bersikeras, "Sudah, menurut saja denganku. Sekarang, menengadahlah dan buka mulutmu lebar-lebar."
Becca tak memiliki tenaga lagi untuk berdebat. Jadi ia memilih untuk mengikuti perintah Freen dan dengan hati-hati menengadahkan kepalanya. Bekas jahitan di lehernya masih terasa sakit saat ia menggerakkan lehernya sehingga ia perlu melakukan gerakan itu dengan perlahan.
Freen meletakkan botol air mineral di lantai, kemudian menyangga rahang Becca dengan tangan kanannya untuk menjaga kepala Becca agar tidak bergerak. Ia memasukkan beberapa butir obat ke dalam mulutnya dan memastikan semua butiran obat itu mendarat pada lidahnya. Setelah itu, ia segera mengambil botol air mineral dan menumpahkan isinya ke dalam mulut Becca sampai setengah penuh. Ia melakukannya sekali lagi sampai Becca memberinya tanda untuk berhenti.
Sebelum menutup botol, Freen menyempatkan diri untuk mengusap air yang tumpah di sudut bibir Becca dengan jari—dalam hati, ia berusaha keras memaksa dirinya untuk tidak fokus pada sepasang iris cokelat milik si bungsu Armstrong yang sedang menatap lurus ke arahnya. Ia tidak akan tahan jika harus bertatapan dengannya dengan jarak sedekat ini, paling tidak untuk sekarang.
Freen kembali memberi jarak di antara mereka berdua—tidak terlalu jauh sebab Becca langsung meraih pergelangan tangannya, membuat wanita itu tidak bisa bergerak terlalu jauh. Pasrah, ia akhirnya menghela napas dan membiarkan Becca menggenggam pergelangan tangannya lebih lama.
"Kami menemukan rekaman video yang menunjukkan seorang wanita berambut panjang yang menyusup masuk ke dalam rumahmu untuk menyelundupkan kantung plastik hitam berisi potongan mayat. Irin juga pergi untuk mengambil keterangan dari polisi yang berjaga di sekitar kediaman orang tuamu. Kau tidak perlu khawatir lagi karena kami memiliki cukup bukti untuk melepaskanmu dari sini," Freen membasahi bibir bagian bawahnya dengan air liurnya sendiri. Berbicara panjang lebar seperti ini membuat bibirnya kering. "Hitung mundur yang dilakukan oleh si pembunuh akan segera berakhir dan kau semakin berada dalam bahaya jika memilih tinggal di sel tahanan."
Kebingungan, Becca membalas dengan bisikan, "Terima kasih... tapi, apa yang kau maksud dengan itu?"
"Aku ingin membantumu untuk kabur dari sini dan bersembunyi ke tempat yang lebih aman."
Jawaban Freen membuat Becca terkejut setengah mati. Ia akan membuat Becca melakukan tindak kriminal lain yang lebih berisiko dan ia jelas tidak menyukai rencana semacam itu. "Kau ini bicara apa? Itu bukan ide bagus, sialan."
"Saat kau keluar, segera pergi ke mobil BMW putih yang ada di posisi paling ujung. Masuk ke dalamnya, duduk di kursi penumpang, dan pakai topi yang sudah aku sediakan di dalam dasboard." Freen menghembuskan napas, berusaha menyamakan tempo napasnya dengan Becca. Matanya melirik wanita itu dan lorong kosong di depan pintu sel secara bergantian untuk memastikan tidak ada orang yang berjalan mendekati mereka. "Setelah ini, kau harus memukul wajahku dengan keras. Ambil dompetku, dan lari. Aku akan berusaha memberimu cukup waktu untuk kabur."
Becca terbelalak, "Apa-apaan..? Kau benar-benar menyuruhku untuk kabur dari sini? Aku tidak mau. Berhenti berbicara omong kosong!"
"Kau tidak perlu takut dengan apa yang terjadi di luar nanti karena Mind akan membantumu pergi dan membawamu ke tempat yang aman. Dia adalah orang yang akan menjagamu selama aku tidak ada. Jangan khawatir, di sini aku akan berusaha membersihkan namamu."
"Aku tidak mau mengambil risiko besar dari rencanamu ini, Freen. Itu akan merusak hidup kita berdua. Jadi berhenti memaksaku untuk melakukan hal gila seperti itu."
"Tidak, kau sama sekali tidak mengerti keadaannya, ya? Kita kehabisan waktu, jadi pukul aku sekarang," bisik Freen. Ia sengaja menundukkan tubuh agar Becca bisa dengan mudah memukul wajahnya. Ia menunggu, dan menunggu. Tetapi Becca tak kunjung melakukan apa yang ia perintahkan, jadi Freen pun menengok dan memandangnya dengan alis ditekuk tajam. "apa yang kau tunggu? Pukul aku, Rebecca." Freen kembali berbisik.
Becca mendesah. Penolakan tergambar jelas di dalam matanya. Ia tidak ingin melukai Freen meskipun keinginannya untuk kabur dan melepaskan diri dari kantor polisi jauh lebih besar. Kendati Freen berani menjamin keamanannya saat ia melangkah keluar dengan penyamaran yang ia beri, apabila semuanya perlu dilakukan dengan melayangkan satu pukulan untuk melukai Sang Letnan, maka Becca lebih baik terus berada di sel tahanan.
Ia tidak bisa melukai orang lain. Tidak, ia tidak bisa melukai Freen demi keuntungannya sendiri. Wanita itu sudah sangat baik kepadanya dan Becca tidak mau melakukan lebih jauh untuk memanfaatkan kebaikannya begitu saja. Saat ini, Freen menatapnya dengan mata memerah dan basah—ia sedikit berkaca-kaca dan seperti akan menangis.
Tidak... jangan menangis. Dengan penuh keraguan, Becca mangangkat tangannya yang masih terborgol untuk mengusap wajah Freen. Ia menghapus air mata yang keluar dari sudut matanya dengan ibu jari dan membiarkan tangannya menyentuh wajah Sang Letnan. Sentuhan Becca berhasil membuat Freen menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Ia tak lagi berbicara dan memilih untuk mendekatkan wajahnya agar ia bisa merasakan sentuhan Becca lagi.
Freen menarik napas panjang. Tangannya bergerak untuk menggenggam tangan Becca yang berada di wajahnya. Ketika ujung jarinya tanpa sengaja menyentuh permukaan dingin dari borgol besi, Freen tak bisa menahan diri untuk mendesis. "Jika kau tetap di sini, kau akan disiksa oleh polisi sampai kau mau mengaku. Mereka akan melalukan segala cara untuk menjadikanmu sebagai kambing hitam dan aku tidak ingin kau merasakan itu lagi." Ia berucap dengan gemetar ketika melanjutkan, "aku ingin melindungimu, aku tidak ingin kau mati. Karena jika kau mati maka... aku tidak tahu lagi aku harus melakukan apa untuk bertahan di sini. Mungkin—Mungkin aku akan menjadi gila dan—"
"Freen, berhenti," Becca menyela dengan cepat, berhasil membuat Freen menghentikan ucapannya dan menutup mulutnya. "aku percaya kau bisa melakukan semua yang kau rencanakan, kecuali yang satu ini. Ini terlalu berbahaya dan seratus persen bisa menjadi bumerang bagi kita berdua, dan juga Mind, tentu saja. Jika ini terbongkar, bisa membuat reputasimu menjadi semakin buruk mengingat kau juga memiliki catatan kriminal tersembunyi di tempat dinasmu yang lama. Jadi untuk melindungi masing-masing dari kita, kau tidak perlu merencanakan hal segila itu dan kembali pada jalan yang kau pilih sebelumnya. Freen, kau harus tahu bahwa sebetulnya tidak pernah ada jalan paling aman untuk ini."
"Rebecca... maafkan aku. Aku hanya tidak ingin mereka melukaimu, aku tidak ingin ada seseorang yang menyakitimu lagi. Kau tidak mengerti, mereka bisa menjadi orang paling jahat yang pernah kau kenal. Kau... kau seharusnya hanya percaya padaku, kau mengerti? Hanya aku yang bisa melindungimu di saat seperti ini, hanya aku yang bisa membantumu sekarang. Jadi tolong, percayalah padaku."
"Aku tahu, Freen."
"Lalu, apa yang kau ingin aku lakukan untukmu?"
"Lakukan apa saja yang kau bisa lakukan, Freen. Aku percaya padamu."
Kenapa kau begitu baik? Freen berbicara dalam hati tanpa melepaskan pandangannya dari wanita berambut pendek yang tengah menundukkan kepalanya di depan matanya. Ia menandai setiap luka yang ada pada wajah, leher, tangan, hingga kepala. Seharusnya kau tidak bersikap seperti ini pada orang sepertiku. Apa ini karena kau sudah sepenuhnya putus asa?
Kemungkinan Chapter 20 pembunuhnya nampakin diri dan setelahnya kita mungkin bakal fokus ke eksekusinya Becky. Jadi... stay tune!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top