Chapter 15: Antagonized
Becca membuka pintu mobil dan turun di depan lobi fasilitas. Kali ini tidak datang dengan taksi ataupun Freen, melainkan diantar oleh mobil milik salah seorang petugas polisi berpakaian sipil yang ditugaskan untuk berjaga di lingkungan sekitar kediaman Keluarga Armstrong. Mengapa ia tidak datang bersama Freen dan Pajero Sport kesayangannya hari ini padahal sebelumnya Freen sudah berjanji untuk menjemput dan mengantarnya untuk bertemu dengan Dokter Billy?
Yang sebenarnya terjadi adalah; Freen tidak datang untuk menjemputnya. Semalam Becca menunggu di ruang makan dan menghabiskan dua cangkir kopi hingga larut. Namun, wanita tinggi itu tidak kunjung datang dan tidak bisa dihubungi sama sekali.
Ia tidak khawatir Freen akan membawa kabur atau menjual mobilnya ke pasar gelap, hanya saja sebuah perasaan dingin dan aneh sempat menggelayutinya seperti akar tanaman rambat malam itu. Becca akan mengecap dirinya sebagai pembohong besar apabila ia mengatakan secara terang-terangan bahwa ia tidak mengkhawatirkan keadaan wanita berambut panjang yang baru-baru ini mulai menarik perhatiannya.
Pagi ini pun saat ia bangun dari tidurnya dan turun ke bawah untuk bergabung bersama kedua orang tuanya dan menghabiskan waktu sarapan bersama, Freen tetap tidak meninggalkan pesan apapun untuk menjelaskan alasan mengapa ia tak datang tanpa keterangan. Ayahnya sempat bertanya kepadanya karena itu dan Becca tentu tidak bisa serta merta menjawab tidak tahu karena itu akan membuat image Freen menjadi jelek di hadapan keluarganya. Jadi, ia hanya bisa tersenyum dan menjawab Freen tidak bisa datang karena harus menyelesaikan urusannya di kantor dengan Dokter Nam.
Becca yang sejak semalam menahan diri untuk tidak mengirim pesan lagi pun terpaksa harus melunturkan dinding sumpah yang ia buat sendiri. Pagi itu, ia kembali mengirim pesan sebanyak lima kali yang isinya menanyakan keadaan Freen dan memintanya untuk menghubunginya jika semua urusannya sudah selesai.
Benar, saat ini ia sangat khawatir dengan wanita itu—jangan bertanya mengapa karena ia sendiri juga tidak tahu apa alasannya. Namun kemungkinan Freen menjadi salah satu korban pembunuhan adalah salah satu alasan paling besar untuk membuatnya gelisah. Wanita itu memberinya tempat untuk bersembunyi dari si pembunuh dan semalam psikopat tidak waras itu berhasil menemukan mereka.
Bagaimana jika sebenarnya Freen sudah selesai dengan urusannya sejak semalam tetapi sesuatu terjadi kepadanya saat perjalanan pulang? Tidak, tidak mungkin. Becca menghembuskan napas, berusaha menghempaskan pikiran buruk yang sempat menguasai pikirannya. Aku harus mengingatkan diriku sendiri bahwa Freen adalah mantan kapten sehingga ia memiliki beberapa kualifikasi khusus yang tidak aku miliki jadi... tidak ada alasan bagiku untuk mengkhawatirkannya. Ia berbicara pada dirinya sendiri seraya berjalan mendekati meja resepsionis untuk memastikan jadwal temu dengan Dokter Billy. Tapi... bagaimana jika sesuatu memang benar terjadi padanya? Apa ia akan menemuiku lagi dengan wajah tergores atau rahang penuh lebam? Ah, itu jelas lebih baik daripada mendengar kabar bahwa ia mati terbunuh atau semacamnya.
"Hi, jadi... aku memiliki janji temu dengan Dokter Billy hari ini. Apakah kau bisa membantuku untuk mengeceknya?" Becca bertanya pada seorang perawat yang sedang sibuk mengetikkan sesuatu di depan komputer. Perawat itu mendongak dan menatap Becca begitu wanita berambut pendek itu mulai berbicara padanya.
"Baik. Bisa beritahu namamu agar aku bisa mengeceknya di database?"
"Rebecca Patricia Armstrong."
"Rebecca Patricia..." si perawat itu menggumam sejenak dan mulai menyibukkan diri dengan komputer selama beberapa detik sementara Becca menunggu dengan sabar di meja resepsionis dengan tangan kiri terlipat di atas permukaannya. Tak perlu waktu lama, si perawat pun selesai dan berucap, "Nona Armstrong, kau memang memiliki jadwal temu dengan Dokter Billy hari ini. Jadi kau bisa langsung menunggu di depan ruangannya dan tunggu namamu dipanggil oleh asistennya."
Becca mengangguk dan tersenyum, "Baiklah, terima kasih."
Si perawat balas mengangguk padanya dan ia kembali duduk ke tempatnya untuk melanjutkan tugas administrasi yang menjadi pekerjaan utamanya selaku orang yang bekerja di front office. Dan itu adalah tanda bagi Becca untuk segera pergi dari sana dan menyusuri koridor untuk menuju ruangan Dokter Billy dengan wajah sedikit lebih muram dari sebelumnya.
Sebab di sinilah neraka miliknya sendiri akan dikuak. Tentang apa yang telah terjadi padanya, apa yang membuatnya gila, apa yang membuatnya melihat dan berhalusinasi tentang apapun yang seharusnya tidak pernah ada. Becca tidak pernah bersiap, tapi apapun yang akan ia ketahui nanti, ia harus menerimanya tanpa perasaan yang berat. Lagipula, memiliki gangguan semacam ini tidak akan membuatnya berbeda dengan individu lain. Mungkin, hanya akan mengganggu sebagian kecil kehidupannya dan itu tentu tidak akan menjadi masalah karena ia bisa beradaptasi dan mengikuti sesi terapi.
Namun, bagaimana dengan pekerjaannya? Bagaimana dengan kasus pembunuhan yang akan ia tangani? Bagaimana jika karena ini ia mendapat suspend letter yang mengharuskannya untuk tetap tinggal sembari menunggu pemindahan tugas ke tempat yang tidak ia inginkan? Jika ia berakhir seperti itu, maka ia tidak akan pernah memaafkan siapapun yang membuat keadaannya menjadi seperti ini.
Hidupnya baik-baik saja sebelum teror psikopat gila itu terjadi kepadanya, sehingga sudah jelas ia juga menjadi pemicu perubahan besar yang terjadi terhadap kondisi psikologisnya. Seandainya hal itu terjadi, maka ia tidak memiliki hal lain untuk dipertahankan lagi—termasuk harga dirinya masa depannya—karena ia akan benar-benar membiarkan dirinya menjadi gila dan memburu si pembunuh itu agar ia bisa menghabisinya dengan kedua tangannya sendiri.
"Oke, baik. Tarik napas... hembuskan." Becca berbicara pada dirinya sendiri dengan volume kecil—nyaris seperti bisikan samar yang hanya dapat ia dengar sendiri. Ia menjadi terlalu gelisah sampai-sampai ia kembali membiarkan pikiran buruk menguasainya lagi.
Jadi untuk mendistraksi perhatiannya, Becca memutuskan untuk mengecek pesan yang tadi ia kirimkan pada Freen. Pikirnya, wanita itu sudah menjawab pesannya dan Becca berharap dengan jawaban itu mungkin suasana hatinya bisa berubah menjadi lebih baik. Namun nyatanya, ia tidak bisa menemukan nama Letnan Chankimha di jajaran notifikasi. Harapannya seketika pupus dan digantikan oleh gelenyar kekhawatiran nyata yang membuat kedua alisnya berkerut dalam.
Ia tidak ingin banyak berasumsi tentang Freen—kendati segala kemungkinan yang barangkali terjadi tanpa sepengetahuannya membuat jantungnya berdegup kelewat kencang hingga membuatnya nyaris muntah—dan hanya berharap wanita itu segera menjawab pesannya. Segala bentuk perlindungan serta perhatian yang Freen berikan selama ini, tanpa ia sadari membuat Becca merasa kehadiran wanita itu menjadi salah satu unsur penting dalam kehidupannya.
Lihat saja, satu hari tanpa kabar dari Freen sudah berhasil membuat Becca khawatir dan mulai berpikiran yang tidak-tidak.
Ia tentu tidak ingin pikirannya menjadi semakin kacau. Jadi ia memutuskan untuk mengatur napas guna menenangkan diri agar ia tidak mengalami halusinasi aneh seperti yang pernah ia lihat sebelumnya. Ia tidak ingin terlihat gila di tempat yang penuh orang seperti ini dan berakhir di dalam salah satu ruangan dengan tangan dan kaki terikat.
Beberapa menit berlalu. Seorang asisten keluar dari ruangan Billy dan memanggil namanya. Segera, Becca memasukkan ponselnya dan bangkit berdiri untuk masuk ke dalam dan mengikuti asisten tersebut.
Billy langsung menyapanya begitu Becca masuk dan berjalan ke arahnya untuk duduk di kursi yang berada di seberang meja. Ia sempat menatap Becca dengan pandangan bingung sebelum sorot mata itu menghilang dan digantikan oleh tatapan ramah seperti yang pernah ia tunjukkan. "Oh, itu kau! Tepat sekali, ada yang ingin kusampaikan padamu," ucapnya. Pria itu menghilang di balik meja untuk membungkuk dan membuka lagi, mengeluarkan sebuah foto yang terbungkus plastik dan meletakkannya di depan Becca. "Dari Saint."
"Apakah ini berkaitan dengan pekerjaanku di kepolisian Bangkok atau—" ucapan Becca berhenti di tengah jalan saat pandangannya jatuh pada foto yang diberikan padanya. Ia memandang Billy dengan satu alis terangkat, mempertanyakan mengapa Billy mendapatkan akses dari foto terlarang seperti ini.
Bagaimana tidak, foto yang pria berkacamata itu berikan padanya adalah foto yang sepertinya didapat dari petugas polisi yang melakukan olah TKP. Karena dalam dua lembar foto itu, ditunjukkan keadaan rekan satu timnya—Wichai Saefant yang tewas dalam keadaan yang mengenaskan. Foto itu diambil dengan jarak yang tidak terlalu dekat, memang, tetapi Becca sudah bisa melihat sebarapa kacau kondisi mayat dengan darah merah yang bercipratan ke segala tempat.
Melalui tanda itu saja, Becca sudah tahu bahwa si pembunuh kali ini adalah pembunuh yang sama dengan pembunuh yang menguntit dan meninggalkan potongan tangan di kap mobilnya serta menghabisi banyak orang selama beberapa bulan ke belakang hanya untuk membentuk nama ARMSTRONG.
Foto kedua dan ketiga bukan merupakan foto mayat. Melainkan foto yang menunjukkan sesuatu—atau jejak yang sengaja ditinggalkan oleh si pelaku. Hanya saja, kali ini bukan sebuah surat atau foto polaroid yang diambil secara diam-diam seperti yang biasa si pembunuh itu tinggalkan untuknya. Ia mendapatkan sebuah foto, foto formal miliknya sendiri ketika ia sedang memakai seragam dinas abu-abu gelap.
Foto itu ditancapkan dengan pisau kecil di tubuh Seng sehingga darah merah tampak merembes dan membasahi permukaan kertasnya. Lagi-lagi, sebuah ancaman.
"Aku tidak tahu apa alasannya memintaku untuk memberikan ini padamu. Katanya, itu permintaan langsung dari si pembunuh karena Saint mengaku ia mendapatkan panggilan telepon di tengah malam. Aku tidak mengerti detailnya tapi katanya panggilan itu berasal dari nomor telepon milik salah satu korban yang sudah lama mati," Billy memijat jembatna hidungnya dengan ibu jari dan jari telunjuk. Tampak bulir keringat yang mengalir turun dari dahi, dan ia segera mengusapnya dengan punggung tangan. Jelas, ia juga tampak gelisah. "Sepertinya Saint sendiri juga mulai gentar dengan psikopat yang satu ini."
"Jadi?" Becca membalas, berusaha keras menyembunyikan kedua tangannya yang bergetar hebat di bawah meja. "Kenapa ia memberikan foto ini padaku padahal aku masih belum mendapatkan izin dinas?"
"Anggap saja foto ini sebagai panggilan dinas darinya. Ia tidak ingin menghubungimu secara langsung karena khawatir ponselmu disadap lagi oleh si pembunuh." Billy tersenyum tipis. Namun, senyumannya itu seketika menghilang saat ia melanjutkan dengan nada rendah. "Masalahnya adalah; aku memiliki kabar buruk yang harus kau perhatikan dan kali ini, ini menyangkut kondisimu."
Menggenggam erat foto tersebut di tangannya, Becca mengangkat wajah dan memandang Billy dengan sorot mata penat. Tanda yang ditinggalkan oleh si pembunuh sudah membuat semua yang ia rasakan mati sehingga apapun yang terjadi, terjadilah. Becca sudah tidak memiliki respon apapun untuk membalas karena semua pikirannya tertuju pada orang-orang yang mati hanya karena dirinya—keluarganya.
"Beritahu aku semua yang kau miliki agar aku bisa segera kembali ke kantor." Sersan muda itu membalas dengan suara dingin.
Becca sedang tidak ingin bermain-main dan melihat itu, Billy membatalkan niatnya untuk mengulur waktu. Rasanya "Hasil dari semua assessment yang kau isi di pertemuan pertama kita minggu lalu dan juga berdasarkan keterangan-keterangan yang Saint berikan padaku, termasuk kesaksian dari petugas forensik yang hampir kau bunuh waktu itu sudah memberiku cukup keyakinan. Tapi, aku masih ingin bertanya langsung padamu dan aku ingin kau menjawabnya dengan jujur. Apa kau mengerti?"
Becca mengangguk.
"Baiklah," Billy menghembuskan napas perlahan. "Seberapa sering kau mengalami halusinasi?"
"Cukup sering... mungkin? Itu menjadi semakin parah sejak empat hingga lima bulan terakhir. Sementara dua minggu ke belakang halusinasi itu bertambah parah dan aku mendengar suara-suara yang menyuruhku untuk melakukan sesuatu seperti..." Becca terdiam. Ia mengangkat tangan kanannya dan menjulurkan jari telunjuk. Ditempelkannya ujung jari telunjuknya pada lehernya sendiri dan membuat gestur memanjang dari bagian kanan leher hingga kiri. "aku melihat bayangan hitam menyerupai tubuh manusia yang berdiri di sudut ruangan. Sesekali ia berjalan dan berlari dengan kencang ke arahku, menembus tubuhku, dan menghilang begitu saja seperti debu." Ia melanjutkan penjelasannya, kemudian kembali menghentikan ucapannya di tengah jalan. Namun kali ini, Becca tidak memberikan gestur apapun dengan tangan. Ia hanya menatap kosong ke udara kosong tepat di samping jam dinding. "Oh... bayangan itu datang lagi. Dia... dia menempel di dinding dan sekarang bergerak turun ke lantai seperti oli."
Billy sontak berbalik dan ikut melihat ke dinding. Tentu saja ia tidak bisa melihat sosok apapun seperti yang dideskripsikan oleh Becca tapi mendengarnya saja ia sudah bisa membayangkan sesosok makhluk menyerupai manusia yang memiliki tubuh yang lengket seperti cairan oli cukup membuat bulu kuduknya merinding.
Psikiater itu tidak memberikan jawaban apapun pada Becca. Ia hanya memandangnya dengan tatapan serius sementara perhatian Becca masih terfokus pada apapun yang ia lihat di dinding. Itu berlangsung selama kurang lebih 3 menit, dengan tingkat kewaspadaan yang kelewat tinggi pada diri Billy—pria itu khawatir sewaktu-waktu Becca melompati meja dan menyerangnya seperti yang ia lakukan pada petugas forensik kala itu—hingga akhirnya menit demi menit penuh ketegangan itu berhenti saat Becca menengadahkan kepalanya dan mengerang keras.
Ia mengangkat tangan dan menginspeksi setiap sentimeter kulitnya. Entah apa yang ia cari, tapi melihat tidak ada goresan atau apapun di kedua tangannya membuat Becca bisa bernapas lega. Berbeda dengan Becca, Billy nampak lebih tegang dari sebelumnya. Pria itu sampai harus mengatur napasnya diam-diam agar perubahan ekspresi di wajahnya tidak terlihat terlalu nampak.
"Pernahkah kau merasa kesadaranmu menghilang secara tiba-tiba? Entahlah, misalnya tiba-tiba kau tertidur dan bangun di suatu tempat dengan kondisi yang berbeda, dengan ingatan yang samar akan suatu hal?" Billy bertanya lagi.
"Tidak..." jawaban Becca terdengar ragu. Ia tampak gelisah, berusaha mencari-cari sisa-sisa memori yang tidak ia ketahui di dalam kepalanya. Apakah ia pernah merasakan sesuatu seperti yang ditanyakan oleh Billy? Becca juga tidak tahu jawaban atas pertanyaan itu.
"Aku khawatir kau sedang berada di tahap awal skizofrenia. Sebelumnya, aku sempat menduga kau memiliki gangguan kepribadian ganda tapi semua gejala psikosis yang kau derita selama ini lebih condong ke skizofrenia," Billy berusaha menjelaskan dengan perlahan. Memastikan agar Becca dapat benar-benar memahami ucapannya karena baru saja ia melihat Becca seperti kehilangan kontak dengan dunia nyata setelah ia menyebutkan diagnosisnya. Billy sempat ragu untuk melanjutkan, tapi ia sudah masuk terlalu dalam dan jika berhenti di tengah-tengah justru akan menimbulkan kerugian bagi mereka berdua. Maka, dengan berat hati Billy pun melanjutkan, "Sayangnya, itu hanya satu dari beberapa diagnosisnya karena kita masih perlu bertemu selama beberapa kali agar dapat menarik satu kesimpulan mutlak."
"Kepribadian ganda..." Becca menggumam. "Seburuk apa itu?"
Menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan sebelum menjawab, Billy menyandarkan tubuhnya pada kursi. Sorot matanya menggelap, jelas apapun yang akan ia ucapkan setelah ini bukanlah sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata.
"Kau tentu tahu dengan kasus pembunuhan Doberman yang terjadi di Jepang beberapa bulan yang lalu, 'kan?" Billy memulai.
Ah, kasus ini lagi. "Kasus itu sempat menarik perhatianku. Tidak kusangka kau juga mencari tahu tentang kasus mengerikan itu." Becca menjawab. Karena aku merasa kasus pembunuhan Doberman mungkin memiliki kemiripan dengan kasus yang terjadi saat ini.
"Kasus ini cukup terkenal karena pelakunya adalah orang yang memiliki dua kepribadian dalam satu tubuh. Jadi, ia memiliki satu kepribadian asli dan kepribadian lain yang menjadi masalah. Kepribadian bermasalah miliknya ini yang melakukan serangkaian pembunuhan dan mengelabui banyak orang, bahkan menurut catatan kepolisian, ia membantu jalannya penyelidikan dengan polisi yang bertugas menyelidiki kasus ini." pria berkacamata itu menjelaskan, "Itu adalah contoh paling buruk dari gangguan DID. Tapi untuk sekarang, kau tidak perlu banyak berpikir tentang itu karena aku ingin kau fokus dengan obat-obatan yang akan kuberikan padamu untuk menangani gangguan skizofrenia yang kau alami sekarang."
Becca merasakan kedua telapak tangannya mulai basah oleh keringat. Ia menggosok-gosokkannya pada kain celananya berkali-kali, namun sensasi basah itu masih terus ada di sana. Pikirannya yang semula kosong dan tidak terisi oleh apapun mendadak dipenuhi oleh pertanyaan dan asumsi liar yang tak seharusnya.
Billy mengatakan jika ia tidak perlu khawatir tentang dirinya mengidap gangguan DID dan hanya fokus pada pengobatan skizofrenia. Namun, bagaimana jika memang benar ada kepribadian lain yang tidak ia ketahui dan kepribadian itu yang justru membuat semua kekacauan? Argh, kepala Becca rasanya seperti akan meledak sekarang. Terlalu banyak yang dijejalkan dalam pikirannya secara tiba-tiba dan membuatnya sesak.
"Armstrong? Kau baik-baik saja?" Becca terkesiap. Angannya runtuh seketika. Di depannya, Billy sudah tidak lagi berkutat dengan tumpukan kertas assessment dan kini ia tampak menuliskan sesuatu di atas sebuah kertas kecil.
Becca menarik napas. Ia mendengus, "I'm fine. Billy, untuk skizofrenia ini... membutuhkan waktu berapa lama untuk pengobatannya? Maksudku, katamu aku masih berada di tahap awal. Jadi seharusnya ini tidak menghabiskan waktu lama, benar?"
"Setiap individu membutuhkan jenis pengobatan yang berbeda, oleh karena itu waktu yang dibutuhkan pun juga berbeda. Aku tidak ingin kau terlalu fokus pada berapa lama waktu yang dibutuhkan karena aku hanya ingin kau fokus dengan pengobatanmu. Itu saja, mudah bukan?" pria di depannya tersenyum penuh arti seraya memanggil asistennya untuk masuk ke dalam ruang konsultasi. Ia memberikan kertas itu padanya dan asistennya segera berbalik keluar dengan membawa kertas tersebut bersamanya.
Sersan muda itu menggeleng lemah. Ia lantas tertawa, sebuah tawa yang cenderung meremehkan sekaligus merendahkan dirinya sendiri. "Aku tidak yakin semuanya akan berjalan semudah itu."
"Aku tahu, Armstrong," Billy mendesah pelan. Ia menyugar rambut hitamnya ke belakang kepala sebelum melanjutkan, "kau hanya harus melakukannya. Atau tidak sama sekali."
"Hei..." sebuah suara bervolume kecil, nyaris menyerupai suara bisikan yang begitu dekat sontak membuat Becca tersentak kaget. Buru-buru ia menghapus air matanya dan mengangkat wajah untuk mencari tahu siapa pemilik suara tersebut. "Kau... kenapa kau menangis?" lagi-lagi ia kembali berbicara. Hanya saja, kali ini pemilik suara itu menurunkan tubuhnya hingga sejajar dengan Becca.
Itu adalah Freen.
Wanita itu berlutut di depannya dengan kedua tangan hangatnya menggenggam tangannya yang lebih dingin karena terpapar suhu ruangan Dokter Billy beberapa saat yang lalu. Dengan posisi mereka sekarang, Becca dapat melihat bahwa Freen tidak datang dengan kondisi yang baik. Memang tidak terlalu nampak, tapi Becca bisa melihat ada beberapa memar di bagian leher, sudut bibir, tangan, rahang, hingga pelipisnya. Jaket yang waktu itu ia kenakan sudah tidak terlihat lagi. Wanita itu kini mengenakan kaus dengan noda gelap di bagian kerah dan bawah, dibalut dengan sweater cokelat di bagian luar.
Freen tampak seperti telah berkelahi dengan gorila dan ia berhasil keluar sebagai pemenangnya karena berhasil mencari celah untuk kabur tanpa perlu mengorbankan salah satu anggota tubuhnya. Oke, perumpamaan yang berlebihan. Tapi memang benar saat ini Freen terlihat sedikit kacau dari biasanya dan Becca tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
"Apa yang terjadi dengan wajahmu? Mereka menyerangmu juga?" Becca mendesis. Kepanikan mulai benjalar di setiap pembuluh darah, membuatnya refleks melepaskan genggaman Freen pada tangannya agar ia bisa memeriksa sendiri memar-memar samar yang ada pada wajah wanita itu. "M—Maaf, maafkan aku, sungguh. Seharusnya ini tidak terjadi padamu juga, Freen. Maaf, ini semua karena aku. Ini semua karena kau membantuku. Maafkan aku, maaf—"
Freen terbelalak. "Apa? Tidak! Armstrong, dengar—"
"Aku... aku tidak bisa melihat orang lain terluka dan mati karena aku. Aku sudah kehilangan banyak hal; kebebasan, kedamaian hidup, kewarasan, semuanya. Nam ditahan karena dijebak oleh si pembunuh dan Seng ditembak mati olehnya. Aku tidak bisa jika selanjutnya aku harus kehilanganmu juga, Freen. Aku—"
"Armstrong!" Freen memanggil namanya lebih keras dan itu berhasil membuat Becca menghentikan racauannya. Kini, dirinya yang berubah gelisah. Apa yang sudah terjadi hingga wanita ini tiba-tiba meracau seperti orang sinting? "Rebecca, aku baik-baik saja. Luka ini ada karena Heng memukuliku semalam. Ia menuduhku menjadikannya kambing hitam dan menjebaknya karena aku tahu dia sudah berusaha menghapus dokumen hasil otopsi korban."
Terengah, Becca menjawab dengan setengah tak percaya, "Heng?"
Freen mengangguk. Ia bangkit berdiri dan duduk di samping Becca. "Sesuatu terjadi kemarin. Seng memberikan kesaksian baru bahwa si pembunuh rupanya berasal dari kalangan polisi dan seluruh anggota tim dipanggil untuk diselidiki. Heng ternyata bukan si pembunuh atau kaki tangannya, tetapi ia bersalah dan mendapat hukuman disiplin karena menghapus barang bukti. Kemudian malam harinya, ia menyeretku ke toilet dan menghajarku di sana. Pria itu baru berhenti memukuliku setelah salah seorang petugas melapor dengan wajah pucat dan mengatakan bahwa ia melihat mayat di sel isolasi."
"Seng." Becca menyahut lemah.
"Bagaimana kau tahu?" wanita lainnya lagi-lagi tersentak.
"Dokter Billy adalah teman dekat Saint. Pria itu memintanya untuk memberikan beberapa lembar foto hasil olah TKP padaku dan memintaku untuk menganggap semua foto itu sebagai panggilan dinas." Becca terkekeh, namun kedua matanya tidak menunjukkan adanya keseriusan. Justru, sepasang mata itu terlihat mati tanpa ekspresi.
Panggilan dinas? Kenapa aku tidak tahu apapun tentang itu? Freen mengernyit, sepenuhnya tidak mengerti dengan situasi yang terjadi sekarang. Ia tidak ingat Saint akan langsung campur tangan dengan kasus ini dan memberikan izin bagi Becca untuk datang dan mengambil kembali izin bertugasnya. Mungkin saja, ada yang sudah ia lewatkan. Sebab, semalam ia tidak menghabiskan waktu lama di tempat kejadian perkara karena kepalanya terasa sangat sakit.
Bahkan Noey dan Irin juga tidak memberinya kabar apapun setelah ia keluar dari klinik dengan kantung es yang ia tempelkan pada wajah. Anggap saja memang ada hal yang ia lewatkan, tapi bukankah ini terlalu mencurigakan dan tiba-tiba? Apa yang sebenarnya Saint rencanakan?
Berusaha menghapus dugaan-dugaan di dalam kepala, Freen memutuskan untuk membawa pembicaraan ke arah lain. Perubahan topik ini mungkin akan terlihat sangat mencolok, tapi itu lebih baik daripada membuat Becca berbicara tentang mayat dan menyalahkan dirinya sendiri lagi sementara ia sedang dalam kondisi yang tidak baik.
"Dokter Billy, huh? Apa yang ia katakan padamu di dalam sana? Semuanya baik-baik saja?" ia bertanya dengan lembut sementara kedua tangannya masih diletakkan di atas paha dengan kaku. Sebenarnya ia ingin menyentuh bahu Becca dan mengusapnya, berharap sentuhan kecil semacam itu akan membantu membuatnya tenang. Tapi ia memutuskan untuk tidak melakukannya karena merasa itu adalah sesuatu yang tidak sopan untuk dilakukan.
Ia tidak tahu apa yang Becca rasakan tentangnya, tapi Freen merasa bahwa mereka masih belum terlalu dekat untuk bisa saling memberikan sentuhan fisik semacam itu.
Becca tidak langsung menjawab. Wanita itu tampak gelisah dengan kepala tertunduk dalam. Freen memberikannya waktu untuk menenangkan diri selama beberapa saat hingga akhirnya Becca mengangkat wajahnya dan menjawab, "Billy mengatakan aku sedang mengalami gejala awal skizofrenia dan untuk menghindari gejala yang lebih berat, aku perlu menjalani terapi dan meminum obat-obatan untuk membantu mengurangi halusinasi."
"Ah... begitu, ya?" Freen merespon. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi padanya, tapi ia tidak menduga bahwa ia juga akan merasa sedih begini. "Dengan kondisimu ini, apa kau yakin bisa kembali bertugas? Aku khawatir teror yang kau alami adalah pemicu halusinasi yang kau alami selama ini."
"Aku akan baik-baik saja."
Jawaban singkat itu membuat Freen tidak tahu lagi kalimat apa yang harus ia lontarkan selanjutnya. Ia melirik ke samping, memperhatikan wajah samping Becca dalam diam. Jauh di dalam hatinya, Freen mengakui jika kecantikan wanita di sampingnya ini masih tidak pudar meskipun ia terlihat sangat kelelahan sampai-sampai tidak ada lagi senyuman yang nampak di wajahnya itu.
Ia tahu seperti apa rasanya terjebak dalam keadaan yang sulit, sebuah keadaan di mana rasanya semua pintu keluar yang ada untuknya tertutup dan terkunci rapat tanpa ada siapapun yang bisa membantunya untuk membuka semua jalan keluar itu. Melihat keadaan memuakkan itu terjadi pada orang yang dekat dengannya tentu membuat Freen turut merasakan hal serupa.
Becca telah mengalami hal berat jauh sebelum kedatangannya. Dan kini ia sudah cukup melihat teror macam apa yang ia terima. Semuanya sangat mengerikan sampai wanita itu mengalami guncangan mental hebat yang membuatnya menderita skizofrenia. Ia memang tidak bisa membantu banyak, tapi di kondisi ini, di saat mereka saling membutuhkan satu sama lain, mungkin Freen bisa memberikan sedikit dukungan moral untuknya.
"Kau menganggapku sebagai apa?" tanpa sadar, Freen membiarkan mulutnya melontarkan pertanyaan dan detik itu juga ia menyesalinya. Untuk apa ia menanyakan hal yang tidak penting seperti itu? Sial, malu sekali rasanya. "Jangan terlalu dalam memikirkan pertanyaan itu. Aku tidak pernah berhubungan dengan orang lain sampai seperti ini jadi... aku hanya ingin memastikan agar aku bisa memperlakukanmu seperti yang seharusnya." Ia tertawa kecil, "Dan juga, aku tak mau ada orang lain menganggapku sebagai seseorang yang tidak berperasaan atau orang yang dingin. Karena itu, aku menanyakan hal ini padamu."
Tapi sepertinya bukan hanya Freen yang terkejut dengan pertanyaan yang tak direncanakan barusan karena Becca juga menunjukkan ekspresi serupa. Meski akhirnya ia berucap ringan, "Teman," Becca menjawab tanpa repot-repot menatap Freen. Ia mengusap sisa air mata di wajahnya dengan ibu jari. "untuk sekarang, aku akan menganggapmu sebagai teman."
"Teman? Wow, aku tidak pernah mendengar secara langsung ada orang yang menganggapku sebagai teman mereka." Si Chankimha itu tersenyum kikuk, agak kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Membawanya pergi dari sini? Ah, iya. Benar, begitu saja. "Katamu kau ingin ke kantor dan bertemu dengan Saint. Aku masih membawa mobilmu jadi... mari kita pergi."
Freen berdiri dari tempat duduknya dan bersiap-siap untuk melangkah pergi, membiarkan Becca mengikutinya di belakang nanti. Namun, baru saja ia berjalan dua langkah menjauh, sebuah tarikan dan cengkeraman di lengannya membuat wanita itu sontak menghentikan langkah dan berbalik menghadap Becca. Ia hendak bertanya, tapi mulutnya tiba-tiba menolak untuk berbicara saat wanita di depannya memeluknya dengan erat.
Ia kehilangan kata-kata, pun dengan otaknya yang mendadak beku dan tidak mengirimkan perintah apapun untuk semua anggota geraknya. Mereka tidak seharusnya melakukan ini, pikirnya. Ia seharusnya tidak membiarkan Becca menyentuhnya seperti ini, batinnya. Namun apa daya, otak dan tubuhnya seakan luruh bersama dengan satu pelukan yang berani itu—dan Freen akhirnya menghapus semua keraguan dalam dirinya bersama dengan kedua lengannya yang kini mulai melingkar di tubuh Becca.
Freen meletakkan dagunya pada bahu Becca. Samar-samar, ia dapat mencium aroma lembut dari parfum yang sersan muda itu semprotkan pada leher dan pakaiannya. Ia mendesah pelan, berbisik dengan lembut di telinganya. "Apa yang kita lakukan sekarang?"
"Entahlah," Becca menjawab singkat. "Bukankah ini hal biasa yang dilakukan seorang teman?"
Wanita berambut panjang itu menggelengkan kepala, "Aku tidak yakin. Orang terakhir yang memelukku seperti itu adalah ibuku sendiri dan itu sekitar... sepuluh atau sebelas tahun yang lalu. Kau, adalah orang pertama yang berani menyentuhku seperti ini." ia menjawab seraya melepaskan pelukannya. Ia menghembuskan napas, kemudian mengusap kepala Becca dengan tangannya. "Katakan, apakah itu membuatmu lebih tenang?"
Becca tidak menjawab. Wanita itu hanya mengendikkan kedua bahunya dan menatap ke arah lain tanpa melakukan apapun. Seakan pikiran mereka saling terkoneksi satu sama lain melalui teknik telepati, Freen bahkan tidak perlu jawaban vokal dari Becca untuk memahami jalan pikirnya. Iya, adalah jawaban dari pertanyaannya barusan dan Freen cukup yakin tentang hal itu.
1001 cara komunikasi wanita yang hanya dipahami oleh sesama wanita. Semacam itulah.
"Baiklah, kalau begitu kau bisa memelukku setiap kali kau merasa tidak nyaman atau kau mulai berhalusinasi akan sesuatu." Freen menjawab. Ia menurunkan tangannya dan memasukkannya ke dalam saku celana untuk mengambil ponsel guna mengecek notifikasi yang masuk. Layar ponselnya buram karena noda darah jadi ia perlu mengusapkan layarnya pada sweater untuk membersihkannya sedikit. "Seharusnya Saint masih ada di kantor. Jika kau ingin bertemu dengannya, sebaiknya kita berangkat sekarang."
Meskipun aku sebenarnya tidak ingin kau pergi ke sana, Rebecca. Entahlah, perasaanku berubah tak nyaman saat tahu Saint memanggilmu ke sana sementara aku tidak mengetahui apa alasannya.
Wanita yang lebih pendek darinya itu mengangguk dan bangkit berdiri. Untuk sesaat Becca tidak bergerak dari posisinya dan justru menyandarkan kepalanya pada dinding fasilitas yang dingin. Freen berada dua langkah di depannya, berbalik dan menunggu wanita itu menyusulnya. Namun pada akhirnya, Becca tak kunjung datang mendekat.
Itu membuat Freen terpaksa harus kembali untuk menggaet pergelangan tangan Becca, mengajaknya untuk mengayunkan tungkainya dan pergi dari tempat itu. Namun lagi-lagi, seolah skizofrenia dan halusinasi gila masih belum cukup mengejutkannya, kalimat Becca selanjutnya mungkin akan membuat tenggorokannya tercekat.
Karena di detik selanjutnya, dengan pandangan lurus tanpa keraguan yang terpancar di dalam sana, Becca berucap dengan sangat jelas. Suaranya yang serak seakan menggema di dalam kepalanya. "Freen, seandainya suatu hari nanti aku berubah menjadi orang lain yang mungkin tidak lagi kau kenal seperti sekarang. Aku ingin kau langsung menembakku seperti kau menembak orang yang kau bunuh waktu itu."
Ia tersentak, benar-benar tidak memahami maksud dari ucapan sang sersan. Freen berdiri di sana, dengan pikiran yang kalut diakibatkan oleh ucapan aneh dari lawan bicaranya barusan, kedua irisnya bergerak liar seperti anak domba yang ketakutan. Sedikit yang Freen tahu, saat ini cukup banyak hal yang mengganggu pikiran Becca. Dan salah satu di antaranya jelas memberikan pengaruh terhadap wanita itu. Sebuah pengaruh yang membuatnya gila.
Freen tidak ada bersamanya saat ia bertemu dengan Saint di ruangannya. Wanita itu hendak kembali ke kantor tim investigasi untuk bertemu dengan Irin dan berjanji untuk menemuinya lagi ketika urusannya sudah selesai. Jadi ia segera beranjak menuju ruangan Saint yang berada satu lantai di atas ruangan tim investigasinya, melewati beberapa orang personel yang ia kenal dan menganggukkan kepala pada mereka sebagai bentuk sopan santun.
Pintu ganda berwarna cokelat tua di depannya ini terasa seperti kotak pandora raksasa. Sebuah tempat yang menyimpan banyak rahasia dan kejutan tidak terduga. Hanya ada dua kemungkinan yang menantinya di dalam sana; hal baik dan hal buruk, dan keduanya memiliki kemungkinan yang sama besarnya.
Kalau boleh jujur, Becca tidak merasa khawatir atau takut dengan apa yang akan Saint bicarakan dengannya. Justru, ia merasa senang karena telah mendapat panggilan tugas. Dengan begitu, ia tidak perlu lagi melakukan investigasi mandiri secara diam-diam yang akan berbahaya apabila usahanya itu diketahui oleh anggota kepolisian aktif. Ia juga akan mendapatkan pistolnya kembali—dan itu adalah salah satu benda yang membuatnya merasa aman karena dengan itu, ia bisa melindungi dirinya sendiri dan tidak bergantung pada Freen.
Maka, dengan keyakinan yang ia miliki, Becca mengetuk pintu tersebut sebanyak tiga kali dan menunggu selama kurang lebih lima detik sebelum membuka pintunya dan masuk ke dalam ruangan.
Saint sudah menunggunya—ia tidak menemukan pria itu duduk di kursi kerjanya karena ia sedang berdiri menghadap keluar jendela. Ia baru berbalik begitu mendengar suara ketukan sepatu milik Becca dan langsung menyambutnya dengan senyuman hangat.
Sesuatu mengetuk kepala Becca begitu ia melihat senyuman Saint. Aneh. Ada sesuatu yang janggal di dalam sana. Jelas sekali senyuman itu terlihat dipaksakan. Tak hanya itu, kedua tangan Saint yang berada di samping tubuhnya pun juga terlihat kaku. Padahal biasanya saat Becca menemuinya, pria itu selalu mendekatinya dan menjabat tangannya—kali ini, ia tidak melakukan semua ramah-tamah itu.
Saint berjalan kembali untuk duduk di kursinya. Ia pun mempersilakan Becca untuk duduk di kursi yang berseberangan dengannya. "Syukurlah kau datang. Kupikir kau akan mangkir begitu Billy memberikan semua foto itu padamu," katanya.
Becca mendesah berat, "Aku turut berduka atas kematian Seng."
Komandannya lantas mengetuk meja menggunakan jari telunjuknya. Ketukan itu awalnya memiliki tempo lambat, semakin lama menjadi semakin cepat hingga akhinya Saint mengangkat tangannya dan menghapus semua ketegangan yang dihasilkan dari ketukan tersebut. "Itu terjadi begitu cepat. Meski begitu, aku bersyukur Seng masih sempat memberikan kesaksian bahwa pelakunya berasal dari anggota kepolisian. Pantas saja ia bisa dengan mudah mempermainkan kita semua." Ia menjawab, "Kami beruntung si pembunuh meninggalkan jejak yang tak terbantahkan semalam jadi aku menyusun rencana untuk memanggilmu tanpa diketahui oleh siapapun."
"Kau sudah menemukan psikopat itu?" suaranya terdengar antusias, kelewat bersemangat. Mendengar bahwa mereka sudah mengantongi identitas si pembunuh membuat Becca dipenuhi emosi yang membara. Sebentar lagi, hanya sebentar lagi dan penderitaannya akan segera berakhir.
"Itu kabar baiknya, Nong. Dan kami akan segera menangkapnya beberapa saat lagi," Saint menghembuskan napas dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Ia menurunkan pandangannya ke wadah alat tulis yang ada di samping laptopnya, dengan suara lirih, ia berbicara, "maaf, aku hanya... tidak menyangka bahwa semua akan segera berakhir. Maksudku, ini bisa diselesaikan dengan cepat. Sungguh, aku sangat berterima kasih padamu."
"Berterima kasih? Aku bahkan baru saja datang dan aku yakin aku tidak melakukan apapun selama aku dirumahkan. Kenapa kau berkata begitu?" mengernyitkan dahi, Becca menyahut cepat. Kini perasaan tidak nyaman benar-benar sudah menguasainya. "Saint, siapa pelakunya? Apakah dia orang yang kukenal?"
Saint tidak menjawab. Ia masih terus menatap kosong pada wadah alat tulis dan tidak memindahkan perhatiannya ke manapun. Ia juga sepertinya mengabaikan pertanyaan Becca sehingga wanita itu perlu mengulang pertanyaannya dengan lebih keras.
"Saint!" teriaknya, "Siapa pelakunya? Apakah itu Irin? Noey? Atau Freen? Kenapa kau tetap diam?"
Akhirnya Saint mengeluarkan suaranya. Kendati keraguan tampak terpancar jelas dari caranya berbicara, tapi paling tidak ia kini tak lagi menatap wadah alat tulis dan mulai memandang lurus pada kedua mata Becca. "Tidak—hanya—aku hanya tidak menyangka," ia memulai, memberikan jeda yang dramatis sebelum melanjutkan dengan pandangan lebih dingin, "Rebecca Patricia Armstrong, kau ditahan atas tuduhan pembunuhan berantai, sabotase dan manipulasi terhadap barang bukti, mengganggu jalannya penyelidikan polisi, dan pembunuhan terhadap personel."
Apa?
Becca berdiri dari kursinya, bersamaan dengan itu pintu ruangan dibuka paksa dan beberapa orang personel berderak masuk dengan menodongkan pistol ke arahnya. Ia dibuat terpojok saat itu juga sehingga ia tidak bisa melawan saat salah seorang dari mereka tiba-tiba bergerak maju untuk menarik kedua tangannya ke belakang dan memborgolnya. Kedua lututnya ditendang hingga ia nyaris jatuh ke lantai. Saat keseimbangannya kacau karena kakinya terasa nyeri, personel tadi mendorongnya keluar dari ruangan Saint dan menyeretnya di sepanjang koridor seperti seorang narapidana.
Kenyataan menyambarnya seperti petir di siang hari. Ini, adalah hal yang tak seharusnya terjadi padanya sehingga Becca menggerakkan tubuhnya dengan liar, berusaha melepaskan cengkeraman petugas polisi yang berdiri di samping kanan dan kirinya. Sayangnya, itu membuat mereka semakin ganas. Tanpa ampun mereka memukul bahu dan tengkuknya hingga pandangannya dipenuhi oleh titik-titik hitam.
Ia nyaris pingsan. Namun, rasa sakit dan amarah memaksanya untuk menjaga serpihan-serpihan kesadaran.
"Apa yang kalian lakukan padaku?" ia menggeram marah. Tangannya bergerak lebih liar untuk melepaskan borgol yang membelenggu pergelangan tangan, tapi justru gerakannya itu membuat pergelangan tangannya ngilu setengah mati. Ditatapnya salah seorang petugas yang berdiri di sampingnya, dengan tatapan nyalang, Becca berteriak, "Siapa yang memberimu perintah untuk melakukan ini? Aku Sersan Kepala Rebecca Patricia Armstrong! Kenapa kalian justru menangkapku, dasar polisi bodoh! Lepaskan borgol ini, brengsek!"
Tidak ada satu pun orang yang mendengarnya. Justru, mereka semakin mengelilingi Becca dan menyeretnya di koridor. Bahkan kedua lengannya kini dicengkeram dengan erat oleh dua orang dan membuatnya tidak bisa lagi banyak bergerak sekedar untuk melepaskan diri dan melawan.
Matanya bergerak-gerak mencari seseorang yang ia kenal di antara kerumunan. Hingga akhirnya ia berhasil menemukan Freen berada jauh di belakang, tengah berlari melewati banyaknya orang untuk mendekatinya. "Saint! Apa yang terjadi? Kenapa kau memerintahkan mereka untuk menangkap Rebecca? Kau sudah gila?" Freen menarik tangan Saint, membuat pria itu hampir tersentak ke belakang.
"Freen, berhenti. Biarkan mereka membawa Rebecca."
"Apa yang kau bicarakan? Rebecca bukan pelakunya! Dia punya alibi, tanyakan saja pada orang tuanya! Pada polisi yang ditugaskan untuk menjaga kediaman keluarga Armstrong! Kalian menangkap orang yang salah! Hei, Saint! Kenapa kau lakukan ini pada adikmu sendiri? Kau tidak lihat anak-anak buahmu menyakitinya sampai seperti itu?" Freen menarik pakaian Saint, memohon pada pria itu untuk melepaskan Becca. Suaranya serak, sepertinya ia akan menangis kapan saja melihat juniornya tersiksa di depannya. "Saint... aku mohon..."
Saint mengepalkan tangannya. Wajahnya tampak memerah karena frustasi sekaligus menahan segala bentuk emosi yang dijejalkan secara paksa di dalam dada. Napas pria itu menderu-deru keras, seperti banteng yang sedang marah. Namun, meskipun kedua matanya menyalang lebar, Freen masih bisa melihat air mata yang membendung di sana.
"Freen, kau harus menerimanya," Saint akhirnya berucap. Suaranya terdengar serak dan ia memaksa tenggorokannya yang untuk mengeluarkan suara lebih keras, "Lanyard berisi kartu tanda anggota miliknya ditemukan di sel isolasi, tempat mayat Seng ditemukan. Di belakang lanyard itu, tertulis sebuah alamat dan saat aku mengirimkan petugas untuk mengeceknya, mereka menemukan tiga mayat lain yang dikubur."
"Dia pasti dijebak, Saint. Kau tahu jika si pembunuh bisa dengan mudah menyelinap masuk ke dalam rumahnya untuk menyelundupkan alat penyadap. Bukan tidak mungkin ia mengambil kartu identitas miliknya dan meninggalkannya di TKP, iya 'kan?" Freen menekan lebih jauh.
Sayangnya, Saint menggeleng lemah. "Freen, kami menemukan ponsel milik Song dan palu penuh noda darah di rumahnya. Apakah masih belum cukup alasan untuk menangkapnya?"
Becca sontak menoleh, jantungnya seakan dicabut paksa dari rongga dadanya begitu mendengar ucapan Saint. Wajahnya memucat dan ia seperti akan pingsan, tapi tarikan dari dua orang petugas dan tatapan yang diberikan Freen padanya membuat Becca susah payah menjaga kesadarannya.
Sepasang iris cokelat wanita itu terlihat lebih gelap dari biasanya. Tatapannya dalam, sekaligus menunjukkan bahwa ia tengah menyimpan banyak pertanyaan di dalam kepala. Becca tidak bisa melakukan apapun karena kedua tangannya ditahan oleh borgol, pukulan yang diberikan oleh personel yang menangkapnya juga membuat tubuhnya terasa sakit di sana-sini.
"Freen, itu bukan aku. Aku bersumpah!" pasrahnya. Berharap Freen akan membela dan membantunya seperti yang selalu ia janjikan. Tapi sayang, wanita itu kini tidak melakukan apapun dan hanya berdiri di samping Saint. Pandangannya jatuh ke lantai selama beberapa saat. Jelas sekali, ia juga terkejut dan sedih karena merasa dikhianati. "Aku selalu ada bersamamu, bagaimana mungkin aku melakukan semua pembunuhan itu!"
Di sisi lain, Freen masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia bahkan tidak mendengar teriakan Becca karena ia sedang berusaha menyusun partikel-partikel memori layaknya sebuah puzzle. Jika ingin menarik kesimpulan secara frontal, maka ia akan jatuh pada satu kesimpulan; Rebecca sedang dijebak oleh si pembunuh.
Ia yakin betul Rebecca ada di rumah kedua orang tuanya di malam saat Seng dibunuh. Dan polisi di sekitar rumahnya pasti bisa memberikan kesaksian—entah akan memberatkan atau meringankan dirinya. Itu pun jika memang kepolisian tidak sedang berusaha mencari kambing hitam untuk menjaga citra polisi di mata masyarakat.
Hanya saja, bagaimana ia akan membuktikannya sementara semua bukti yang ada di hadapannya justru memberatkan Rebecca?
Apa ini ada hubungannya dengan ucapan Becca di fasilitas tadi? Freen memandang petugas-petugas polisi yang membawa Becca mulai menjauh dari tempatnya berdiri. Saint sudah tidak ada di sampingnya, jadi ia menduga pria itu ikut bergabung dengan mereka untuk membawa Becca ke ruang interogasi dan meninggalkannya dalam keadaan ling-lung. Kepribadian ganda? Tidak mungkin. Pasti ada yang menjebaknya.
Dengan itu, Freen mengeratkan kepalan tangannya dan beranjak pergi. Sisa darah di celah-celah kukunya terlihat mengganggu, jadi ia ingin membersihkannya sebelum pergi memantau proses interogasi dan kembali bernegoisasi dengan Saint.
Genuinely asking, kalian lebih suka cover yang mana? Yang ini, atau yang kemarin?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top