Chapter 14: Deadshot
"Dia sudah gila. Psikopat itu sudah benar-benar gila!" Heng mendobrak pintu ruangan tim investigasi khusus dengan satu hantaman siku dan membuat pintu itu bergetar hingga hampir lepas dari engselnya. Ia melemparkan satu bendel berkas tebal yang ia bawa ke atas meja kerjanya, melepaskan lanyard berisi ID card miliknya dan memukul crime board dengan keras.
Freen melangkah di belakangnya dengan ekspresi yang jauh berbeda—wanita itu lebih tenang dan dapat menguasai diri lebih baik dari Heng. Ia masuk dengan santai dan tak lupa ia menutup pintu di belakangnya tanpa menghasilkan suara apapun. Mengambil posisi di depan meja kerja Heng, ia meraih satu bendel berkas tersebut dan membawanya ke meja kerjanya untuk dibongkar dan dirapikan.
Mind—sebagai tamu terhormat yang mendapat tiket emas untuk masuk ke dalam ruangan tim investigasi khusus tentu tidak menyangka bahwa sambutan yang ia dapatkan setelah mengemudi menembus kemacetan kota Bangkok adalah teriakan dan gebrakan dari seorang pria muda yang sedang frustasi serta bantingan tumpukan kertas yang langsung dihadapkan di depannya.
Heng sendiri hampir tidak pernah berteriak seperti itu sebelumnya—kecuali ketika ia meneriaki tersangka yang mencoba kabur darinya—sehingga apapun yang membuat pria itu berteriak seperti orang sinting pastilah bukan sesuatu yang baik. Meletakkan kertas-kertas berisi laporan autopsi dan mem-pause rekaman kamera CCTV yang sedang ia analisis, Noey bangkit berdiri dan berjalan dengan langkah pelan mendekati Freen.
Freen melirik ke samping selama beberapa detik karena mendengar suara langkah sepatu yang mendekat ke arahnya. Jadi untuk menghargai orang tersebut, Freen pun mengangkat wajahnya dan memasang senyum tipis. "Perlu bantuanku, Noey?" ia bertanya. Satu jarinya ia selipkan pada halaman berkas untuk menghindari kehilangan jejak dari apa yang terakhir ia baca.
Memandang sekilas pada Heng yang berdiri dengan kaku di depan crime board sembari ditemani oleh Irin—nampaknya mereka berdua tengah berdiskusi. Sesekali Irin mengetuk-ngetuk papan dengan ujung jarinya sementara Heng masih terus berkacak pinggang—Noey berbisik tepat di dekat telinga Freen. "Kenapa team lead kita sampai seperti itu? Aku khawatir dia akan menjadi gila seperti Becky."
"Jika aku mendengar kau menyebut Rebecca gila untuk satu kali lagi, akan kupastikan gigi-gigimu yang jelek itu rontok," Freen menyeringai lebar dan senyuman yang membuat Noey tidak nyaman itu masih ada di sana ketika Freen kembali menunduk untuk membaca dokumen yang membuat Heng kesetanan barusan.
Noey menghembuskan napas, sedikit kesal karena ucapan Freen yang seakan menantangnya untuk berkelahi. Well, ia tidak masalah. Toh, dirinya juga cukup ahli dalam bela diri. Tapi jika dilihat lagi, Freen sepertinya bukan orang yang bisa tumbang hanya dengan lima kali pukulan di kepala. Wanita itu tampak lebih kuat dari yang ia lihat dan Noey akhirnya memutuskan untuk tetap diam untuk menghindari adanya luka memar di sekujur tubuhnya—atau lebih parah lagi, ia bisa datang ke kantor dengan tulang lengan serta jari yang patah.
"Baiklah, maafkan aku. Aih, sejak kapan kau begitu protektif padanya, huh? Kalian baru saja saling kenal selama kurang lebih satu bulan." Noey akhirnya menjawab, kendati sepersekian detik kemudian ia menyumpahi dirinya sendiri dan ingin menampar mulutnya. Ah, sial. Seharusnya aku tidak membawa nama Becky lebih lanjut di depannya. Mati aku.
Freen diam sesaat dan memandang Noey dengan satu alis terangkat, seolah menanyakan apa-kepentinganmu-mempertanyakan-hal-semacam-itu-padaku?
Wanita yang lebih tinggi kemudian menghela napas dan memutuskan untuk mengabaikan ucapan Noey barusan. Ia mengambil salah satu lembaran kertas dari bendel berkas yang ia bawa, kemudian menyerahkannya pada Noey. "Becca kembali mendapatkan teror dari si pembunuh setelah ia pindah dari rumahnya untuk sementara. Kali ini, si pembunuh meninggalkan potongan tangan di atas mobilnya dan saat diidentifikasi... kami mendapatkan DNA baru." jelasnya.
Noey mengerang sembari mengusap wajahnya dengan agak kasar. Ia sudah benar-benar jengah dan lelah sekarang. Berbulan-bulan berkutat dengan mayat dan pembunuh bayaran yang sangat licin seperti ini berhasil membuat kewarasannya terkikis sedikit demi sedikit. Padahal, melalui bukti dan keterangan saksi yang mereka dapatkan sebelumnya, seharusnya mereka mendapat sesuatu yang cukup untuk meringkus si pelaku. Namun sekarang, ada lagi satu mayat baru yang baru ditemukan setelah potongan tubuhnya diletakkan di mobil Becca demi menerornya.
"Ah... oke," Noey menggumam. Ia menerima kertas yang diberi oleh Freen dan membacanya sekilas. Awalnya ia masih biasa saja karena tidak ada yang membuatnya tertarik. Namun ketika ia sampai pada akhir laporan, tepatnya pada keterangan yang menunjukkan hasil identifikasi secara terperinci, mulutnya langsung menganga.
"See?" wanita yang berpangkat lebih tinggi darinya lantas tersenyum, secara tersirat mengejek Noey karena responnya yang berlebihan. "Kupikir kita bisa menangkap pelakunya lebih cepat jika kita bergerak lebih cepat tanpa beristirahat selama 24/7, dengan catatan setelah berhasil menangkapnya, kita akan mati karena terlalu lelah." gumamnya.
Sersan berambut pendek seperti laki-laki di sampingnya itu lantas mendengus, "Lebih baik mati daripada dihadapkan dengan orang gila seperti ini setiap harinya."
"Hei, jaga bicaramu, bocah," sahut si Letnan. Freen kemudian sepenuhnya meletakkan kertas-kertas laporan tersebut—ia juga sudah tahu apa saja isinya—dan memberikan gestur pada Noey untuk bergabung bersama Heng, Irin, dan Mind. Setelah cukup dekat, Freen langsung memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celana seraya menatap tajam ke arah Heng.
Pria itu masih tampak frustasi, sama seperti sebelumnya. Sepertinya isi laporan tadi masih mempengaruhinya. Penemuan sidik jarinya pada mobil yang digunakan oleh si pelaku seakan membuatnya merasa terpojok dan tersudutkan. Ia menerka-nerka, sudah berapa banyak orang yang tahu? Sudah berapa banyak orang yang membacanya? Dan juga, siapa orang yang memiliki dokumen asli dari laporan forensik yang sudah dia hapus dari kantor Nam?
"Ini tidak akan menjadi besar jika kau segera menyerahkan diri dengan tangan terbuka, Asavarid." Freen memulai. "Kau harus ikut dengan kami untuk diperiksa, sersan."
"Argh!" tiba-tiba, Heng berteriak. Lagi-lagi, ia memukul crime board lebih keras dan membuat beberapa lembar foto yang tertempel jatuh berserak di lantai. Tanpa mau repot-repot untuk menunduk dan memunguti foto dan catatan yang jatuh tadi, Heng melangkah maju dan mengacungkan jari telunjuk di depan mata Freen. "Kau! Kau pasti menjebakku, brengsek. Kata siapa aku ke kantor Nam untuk menghapus dokumen itu? Aku ke sana hanya untuk memeriksa dan mengambil barang bukti yang tersisa!"
"Menghapus dokumen?" Freen terperangah. Agak terkejut karena Heng tiba-tiba mengangkat topik tentang dokumen yang sempat terhapus. Padahal Freen masih belum membicarakan hal itu. "Kau baru saja melihat dokumen itu dalam bentuk hard copy beberapa menit yang lalu. Kenapa sekarang kau berbicara tentang dokumen yang kau hapus?"
Heng terkesiap. Ia terlihat kesulitan menjawab dan itu membuat Freen kembali menekannya lebih jauh, "Kau tertangkap basah, keparat. Untuk apa kau menghapus dokumen itu? Ingin menyembunyikan keterlibatanmu dengan kasus ini? Apa karena itu kau sengaja menjebak Dokter Nam?"
"Freen, kau salah paham! Kalian tidak mengerti. Aku bersumpah bahwa aku tidak pernah menyentuh mobil itu! Kau tahu sendiri aku tidak datang ke lokasi! Apa yang aku lakukan hanya untuk melindungi karirku! Jika aku mendapat masalah karena itu, siapa yang akan mengurus kasus ini? Becky sudah tidak bisa diandalkan lagi!" Heng mendorong tubuh Freen menjauh dengan satu kali hentakan tangan. Namun, Freen tidak tumbang dan masih bisa berdiri dengan kedua kaki tanpa melangkah mundur sedikit pun. "Dan jika kau berbicara tentang Dokter Nam yang sedang dijebak, lihat aku! Aku juga sedang dijebak! Bagaimana mungkin sidik jariku ada di sana sementara waktu itu aku sedang di rumah!"
Ketika nama Becca keluar dari mulut Heng, Freen yang semula mencoba menahan emosinya langsung meledak detik itu juga. Ia mengepalkan tangan, kemudian memukul dan mendorong dada Heng ke belakang. "Hei, jika kau mengatakan sesuatu yang buruk tentang Becca lagi. Aku akan—" ditariknya kemeja Heng dan berniat menggunakan dahinya untuk menghantam hidung pria itu.
DRRRT DRRRT DRRRT
Getaran ponsel yang ia letakkan di atas meja membuat Freen melepaskan cengkeramannya. Heng beruntung dan berutang budi pada siapapun yang menghubungi Freen saat itu, karena jika tidak, mereka mungkin akan terlibat perkelahian sengit yang berdarah-darah.
Saint? Si Chankimha itu menaikkan satu alis. Untuk apa ia menghubungiku?
"Halo, Saint. Apa ada sesuatu?"
"Sepertinya begitu. Dengar, Letnan. Aku menelpon untuk memberikan kabar bahwa seluruh anggota tim kalian dipanggil oleh Dewan Kode Etik untuk diperiksa. Seng baru saja memberikan pengakuan bahwa orang yang memerintahkannya untuk melakukan percobaan pada Becky adalah seorang polisi di kantor regional Bangkok. Ini penting, jika kalian tidak datang... aku takut tim investigasi khusus akan dibubarkan paksa."
Freen menghembuskan napas kasar. Tanpa ia sadari genggamannya pada ponsel semakin mengerat. Ia tidak menurunkan ponsel dari telinganya meskipun panggilan telepon telah diputus secara sepihak oleh Saint ketika ia berpaling dan menghadap wajah rekan satu timnya dan berkata, "Saint memanggil kita semua ke ruang pemeriksaan. Jika kita menolak datang, tim investigasi khusus akan dibubarkan dan kasus ini akan dialihkan ke tim lain."
Sempat terjadi keheningan ketika Freen menyelesaikan kalimatnya dengan begitu dingin. Meskipun mereka sudah mulai terbiasa dengan tabiatnya yang agak menyeramkan seperti itu, kali ini ucapannya berhasil membuat perasaan mereka kalut setengah mati. Ruang pemeriksaan mungkin bisa disamaratakan dengan ruang sidang, dengan pejabat tinggi kantor wilayah sebagai hakim dan personel polisi yang diperiksa sebagai terdakwa.
Siapapun yang masuk ke dalam sana untuk diperiksa bisa jadi telah melanggar kode etik kepolisian, mencederai integritas, atau bahkan melakukan pelanggaran berat yang berpotensi merusak nama baik kepolisian. Dengan dipanggilnya seluruh anggota tim investigasi khusus, itu berarti mereka telah melakukan salah satu dari ketiganya (atau mungkin semuanya, siapa yang tahu?)
Maka, dengan wajah masam dan memerah karena marah sekaligus gelisah, keempat orang personel tersebut segera melangkah keluar ruangan tim investigasi dengan cepat. Sebelum pergi, Freen menitipkan barang-barang yang ada di dalam ruangan pada Mind sekaligus menyampaikan pesan bahwa tidak ada siapapun yang boleh masuk ke dalam kecuali anggota tim. Mind mengangguk paham dan membiarkan temannya itu pergi menyusul rekan-rekan kerjanya yang lain.
Rupanya, dilakukan pemeriksaan ulang pada Seng—personel yang ditahan karena telah melakukan percobaan pembunuhan pada Becca—tanpa sepengetahuan anggota tim investigasi. Melalui pemeriksaan tersebut, terkuaklah fakta bahwa seseorang yang memerintahkannya untuk menyerah Becca adalah rekan sesama polisi yang sama-sama mengurus kasus pembunuhan. Ketika ditanyai lebih dalam lagi, Seng hanya bisa memberikan informasi sebatas; si pelaku pembunuhan kemungkinan berasal dari dalam institusi kepolisian.
Langkah pertama yang dilakukan oleh mereka adalah memeriksa setiap anggota tim investigasi—Becca dikeluarkan dari daftar karena ia dinilai tidak dalam kondisi yang psikologis yang baik sehingga ia tidak dicurigai. Saint beserta beberapa inspektur polisi yang pangkatnya lebih tinggi dan lebih berpengalaman di bidangnya sudah menunggu setiap anggota tim dalam ruangan tertutup. Mereka akan dipanggil satu demi satu untuk dimintai keterangan serinci mungkin untuk menentukan apakah mereka berpotensi menjadi tersangka atau bebas dari kecurigaan.
Irin adalah orang pertama yang dipanggil masuk ke dalam ruangan. Tidak ada yang bisa dicurigai darinya karena ia menjawab semua pertanyaan dengan baik dan mampu memberikan alibi yang masuk akal. Selama berada di tim, tugasnya kebanyakan berkutat dengan pemeriksaan lapangan dan pendokumentasian tempat kejadian perkara. Jarang sekali ia turun tangan langsung atas hal-hal yang berhubungan dengan laporan investigasi serta pengamanan barang bukti.
Selain itu, sehubungan dengan teror yang dilakukan pada Becca, mereka tidak menemukan alasan mengapa Irin dapat melakukan hal sekeji itu. Selama bekerja bersama selama kurang lebih tiga tahun, Irin mengaku hanya bertemu dengan keluarga Becca kurang dari lima kali. Hubungan di antara keduanya pun hanya sebatas rekan kerja dan tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan dari wanita ini sehingga ia diberi izin untuk keluar dari ruangan setelah diperiksa selama 15 menit.
Orang kedua yang dipanggil masuk adalah Noey. Sama seperti Irin, hanya saja ia baru mengenal Becca selama satu tahun—dua tahun dari awal karirnya di kepolisian ia habiskan di Divisi Penanganan Narkotika. Wanita itu terlihat panik dan terus menerus meyakinkan bahwa ia tidak terlibat dengan kasus pembunuhan dan juga tidak tahu menahu tentang Seng. Selama bertugas di tim investigasi, ia banyak mengurusi sesuatu yang berkaitan dengan administrasi dan IT seperti memulihkan data-data yang hilang dari memori device, membuka paksa kunci ponsel atau laptop yang di enkripsi, melakukan pelacakan dan mencari lokasi presisi seseorang melalui jaringan ponsel dan lain sebagainya.
Selanjutnya, Heng mendapat kesempatan untuk masuk dan membela dirinya di depan para inspektur. Karena sidik jarinya ditemukan pada mobil yang digunakan si pelaku sebagai tempat membunuh Ring, maka untuk saat ini, semua kecurigaan tertuju ke arahnya. Ia akhirnya juga mengakui bahwa ia datang ke kantor Dokter Forensik Nam untuk yang kedua kali bukan untuk mengambil barang bukti yang tertinggal, melainkan untuk menghapus dokumen laporan identifikasi dari komputer kantor dokter tersebut.
Usut punya usut, mereka bertemu dua hari sebelum Nam ditahan karena kotak penuh botol pemutih pakaian yang ditemukan di kantornya. Kala itu, Heng datang dengan tujuan memeriksa otopsi mayat dan mengonfirmasi laporan identifikasi sidik jari dan DNA dari kamera serta alat penyadap yang ditinggalkan oleh tersangka di rumah Becca. Saat itu lah ia tahu bahwa sidik jarinya ditemukan di TKP padahal ia sama sekali tidak hadir di lokasi saat polisi melakukan olah TKP karena ia sedang berada di rumahnya untuk membereskan masalah keluarganya.
Heng tahu benar posisinya tidak baik dan karirnya bisa hancur jika ada orang lain yang menemukan kenyataan bahwa sidik jarinya ditemukan di tempat yang tidak seharusnya, berbeda dengan Freen yang memang sedang berada di lokasi sehingga masuk akal jika sidik jarinya tertinggal. Jadi tanpa pikir panjang, ia menghapus dokumen itu saat ia memiliki kesempatan. Meskipun usahanya gagal karena rupanya ada orang yang terlebih dahulu memeriksa dokumen tersebut dan menyimpan kopiannya.
Ketika ditanya apakah ia orang yang sengaja meninggalkan kotak berisi botol-botol berdarah tersebut, dengan cepat Heng menggeleng dan mengaku bahwa ia tidak tahu dengan kotak tersebut hingga Freen menemukannya.
Orang terakhir yang masuk ke dalam ruangan adalah Freen. Ia menjawab semua pertanyaan dengan semua yang ia tahu serta tanpa ada yang ditutup-tutupi. Ia juga menjelaskan alasan sidik jarinya ditemukan dalam mobil yang disebabkan karena dirinya yang ceroboh. Ia adalah personel baru, sehingga ia tidak terlalu banyak ditanyai. Jadi jangan heran mengapa Freen bisa keluar setelah lima menit ditahan di dalam ruangan.
Dengan selesainya pemeriksaan keempat orang tersebut, maka semua sudah selesai. Tepat satu jam setelahnya, Saint memberi kabar bahwa Heng mendapat sanksi berupa penurunan pangkat dan berada dalam fase pengawasan karena telah memanipulasi barang bukti penting yang dapat mengganggu jalannya penyelidikan. Apalagi barang bukti tersebut berhubungan dengan kasus penting yang sedang menarik perhatian publik sehingga tindakannya itu adalah sesuatu yang dianggap sebagai usaha menghalang-halangi proses penyelidikan.
Mereka berkumpul lagi di ruangan khusus milik tim mereka setelah mendapatkan perintah. Begitu membuka pintu, mereka sudah disambut oleh crime board yang dibalik dan menunjukkan sisi lainnya. Kini bagian papan tersebut sudah penuh oleh tulisan-tulisan yang ditorehkan oleh Mind menggunakan spidol yang ia ambil dari meja kerja Freen.
"Maafkan atas kelancanganku, tapi aku membaca semua catatan kalian dan mengaitkannya dengan laporan penyelidikan. Mungkin sedikit membingungkan, tapi aku berhasil menyusun semuanya menjadi seperti ini," ucap Mind. Ia berjalan mendekati Freen dan mengetukkan ujung spidol pada bahunya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kalian di luar sana, tapi kasus ini masih harus terus ditangani."
Freen menatap Heng sekilas, dan pria sontak itu membuang muka dan berjalan melewatinya untuk mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja kerja, kemudian mengambil langkah cepat untuk keluar dari ruangan dengan gebrakan keras di pintu ketika ia menutupnya. Dia benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama. Pantas saja pangkatnya tidak pernah naik, pikirnya.
Sebuah sentuhan lembut mendarat di bahunya. Ketika ia menengok ke samping, Irin sudah berdiri di sampingnya dan menurunkan tangannya. "Abaikan dia. Lihat saja, Heng akan kembali dalam beberapa jam... atau mungkin dua hari."
"Aku tidak peduli dia akan datang atau tetap pergi dari tempat ini, itu tidak ada urusannya denganku." Freen terkekeh, "Sersan sialan itu lebih baik tidak datang dengan wajah yang sama seperti tadi. Karena aku tidak akan berpikir dua kali untuk membuat wajahnya rata dengan aspal..." wanita itu memberikan jeda selama beberapa detik dan begitu menyadari kesunyian yang diakibatkan oleh ucapannya serta tatapan ngeri Noey dan Irin yang tertuju padanya, Freen buru-buru menyela, "Bercanda."
Mind mungkin sudah terbiasa dengan sisi sadistik Freen, tapi mungkin sedikit berbeda dengan Noey dan Irin. Sejak kecil, Freen sudah seperti itu. Dan ia tumbuh dewasa tanpa bersama dengan sisi aneh dari dirinya yang seringkali Mind sebut sebagai psikopat meski Freen sendiri menyangkal keras bahwa ia bukan dan tidak ingin disebut seperti itu. Nanti juga mereka akan terbiasa, pikir Mind dalam hati.
Freen berjalan mendekati papan dan melipat kedua lengannya di depan dada. Kedua matanya memandang lurus pada susunan tulisan yang ada pada papan dengan fokus, sementara pikirannya berusaha keras menyusun semua petunjuk yang ia temukan menjadi satu.
"Setelah mengetahui jika sidik jari Heng tertinggal di TKP dan mobil itu adalah mobil sewaan, aku segera datang ke tempat di mana mobil tersebut disewakan. Aku ingat betul pemilik rental mengatakan jika mobil tersebut disewa selama satu bulan dengan pembayaran tunai, dan orang yang datang untuk menyewa adalah seorang wanita bertopi hitam dengan rambut panjang yang dikuncir kuda," jari telunjuk Freen menyentuh bagian kosong papan dan menyeretnya sepanjang beberapa sentimeter. "saat aku menunjukkan foto yang didapatkan dari rekaman kamera CCTV rumah Becca dan menyebutkan ciri-ciri yang kita dapatkan dari saksi mata, pemilik rental mobil itu membenarkan semuanya."
"Rubah licik. Dia tahu kita akan sulit melacaknya melalui riwayat transaksi karena ia menggunakan uang tunai." Noey menggumam. Sedetik kemudian ia berpaling pada Irin. "Hei, bukankah orang itu juga mengucapkan hal serupa?"
"Kau benar. Orang yang ditangkap oleh Divisi Keamanan Lalu Lintas karena menyerang Becca juga mengatakan hal yang sama. Ia mengaku bertemu langsung dengan orang yang memberinya perintah. Katanya orang tersebut sebenarnya adalah seorang wanita dengan rambut panjang dan memiliki sorot mata tajam," Irin menyahut. Ia berjalan kembali ke meja kerjanya untuk mengambil ponsel guna memutar rekaman interogasi yang ia lakukan beberapa jam yang lalu. Ponsel itu diletakkan di atas meja, suaranya yang cukup keras dibiarkan menggema di dalam ruangan sementara semua orang yang ada di sana mendengarkan dengan seksama. "pengakuannya cocok dengan kesaksian tetangga Becky yang datang waktu itu."
Freen menggumam. "Bagaimana dengan palu yang ditemukan dalam mobil? Apa ada sesuatu yang bisa ditemukan di sana?"
"Sayangnya, tidak ada. Palu itu bahkan tidak digunakan si pelaku untuk memukul kepala korban karena tidak ditemukan adanya cacat di bagian besinya ketika dilakukan pemeriksaan menyeluruh." Irin menjawab.
"Ia membawa palu yang dipakai untuk membunuh korban dan meninggalkan palu lain dengan bentuk dan ukuran yang sama persis di dalam mobil untuk mengelabui kita, lagi. Pantas saja palu itu ditenggelamkan dalam darah. Ia ingin kita berlama-lama memeriksa palu itu sementara ia berkeliaran di luar sana dengan potongan tubuh manusia." Letnan muda itu berusaha menyimpulkan. Ia melangkah mundur, memberi jarak antara dirinya dengan papan tersebut. Ia merasa akan muntah jika harus menatapnya 5 menit lebih lama. "Aku merasa sangat janggal. Kenapa semua peristiwa ini terjadi secara beruntut. Maksudnya, mengapa tiap kali kita maju satu langkah untuk mendapatkan sesuatu yang baru, selalu ada hal lain yang menghambat kita mendapatkannya. Dokter Nam dijebak, Rebecca dibekukan dari jabatannya untuk sementara dengan alasan kejiwaan, sampai kita semua mendapat panggilan oleh Dewan Kode Etik."
"Seperti yang diucapkan Seng. Psikopat itu berasal dari kalangan polisi. Ia sudah terbiasa berpikir taktis dan menyusun rencana dengan rapi seperti ini. Mulai sekarang, kita harus berhati-hati," kali ini Mind turut bergabung dalam konversasi. Tatapannya berubah serius. "aku sudah mempelajari pola yang ia buat sejauh ini. Dan aku bisa menarik kesimpulan bahwa ia sebenarnya hanya menarget satu orang saja. Kalian semua tahu siapa. Dengan kata lain, orang-orang yang ia bunuh sekarang hanya sebagai sarana hitung mundur."
"Irin, bisakah kau datang ke rental mobil waktu itu? Tanyakan pada mereka dengan kartu tanda pengenal atau barang apapun yang digunakan oleh psikopat itu sebagai jaminan menyewa mobil. Serahkan saja urusan Dokter Nam dan potongan busuk yang aku dan Becca temukan denganku." Freen memalingkan wajah ke arah Irin. Wanita yang ia sebut namanya itu langsung mengangguk tanpa menanyakan apapun dan pergi keluar ruangan dengan membawa kunci mobil dan jaketnya.
Bodohnya, Irin meninggalkan handy talky miliknya di atas meja sehingga Noey perlu menyusulnya keluar. Sekarang, hanya ada Mind dan Freen di dalam ruangan. Masing-masing dari mereka tampak sibuk bergelut dengan catatan dan asumsi. Selama beberapa menit, ruangan dengan suhu 20 derajat itu dipenuhi keheningan. Tidak ada dari mereka yang berbicara. Hanya suara dengung pendingin ruangan dan detik jam yang menjadi satu-satunya sumber suara.
Hingga akhirnya suara ketukan sepatu terdengar dan membuat Freen nyaris menjatuhkan kertas yang ia baca.
"Ada kemungkinan si pelaku sedang berdiri di antara kita sekarang." Mind meletakkan spidol yang sejak tadi ia genggam di atas meja Freen sebelum melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih kecil, "Atau ia sedang berada di suatu tempat dan mengawasi kita dari jauh seperti pion-pion catur."
Mendengar itu, Freen lantas mengerutkan dahi. Ia menjawab, "Mengapa begitu yakin?"
"Entahlah. Matamu yang memberitahuku."
Freen tertawa miris. "Katakan, apa menurutmu aku sudah menjadi orang baik?"
Suara derit pintu besi dari ruang tahanan khusus yang ia tempati membuatnya refleks membuka mata dan menatap langsung ke celah pintu yang gelap. Cahaya bulan yang masuk melalui celah ventilasi membuatnya dapat melihat siapa orang yang masuk ke dalam untuk menemuinya. Itu membuat jantungnya berdegup kencang sebab setiap orang yang masuk hampir selalu datang bukan untuk mengeluarkannya, melainkan memukulinya atau menyeretnya masuk ke dalam ruang interogasi hanya untuk disiksa.
Demi Tuhan, itu membuatnya sangat trauma. Selama menunggu pemeriksaan terhadapnya selesai, ia dipaksa untuk tinggal di ruangan sempit yang terpisah dengan ruang tahanan lain. Lebih tepatnya, ia berada di ruang isolasi. Sebagai seorang polisi, tentu menjadi tahanan dan ditempatkan di ruang isolasi seperti ini adalah sebuah penghinaan terhadap harga diri.
Tapi apa yang bisa ia lakukan? Semua ini memang buah dari perbuatannya yang sangat bodoh. Seandainya saja... seandainya ia membuat otaknya bekerja dan berpikir secara rasional sebelum menerima tawaran dari psikopat sinting itu... mungkin ia tidak akan berakhir seperti ini. Jika saja ia tidak tergiur dengan mendapatkan uang secara instan demi membiayai pengobatan ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit karena kanker, dirinya mungkin tidak akan terjebak di sini dengan segala tuduhan serta ancaman pidana yang ditujukan kepadanya.
"Aku terkejut orang sepertimu melakukan tugasmu dengan baik. Tapi sayang sekali, kau tidak bisa menjaga mulutmu seperti yang telah kau janjikan padaku. Sepertinya kau sudah lupa dengan siapa kau bekerja sama."
Seng berdecih, "Kau berjanji akan melepaskanku setelah menyerang Becky. Kau yang tidak melaksanakan perjanjian kita, brengsek!"
"Kau salah paham. Aku memang akan melepaskanmu, tapi dengan syarat kau tetap menjaga semua ucapanmu," si pembunuh menjawab ringan. "tapi mengapa kau justru mengatakan sesuatu yang tak perlu seperti itu?"
Sebuah foto polaroid ia jatuhkan tepat di depan Seng. Setiap kali foto polaroid itu muncul, pasti akan ada hal buruk di baliknya—Seng tahu benar akan hal itu sehingga ia segera meraih foto terkutuk itu dan mengangkatnya ke atas agar sinar bulan dapat meneranginya. Matanya segera memanas, dan detik itu juga pria itu langsung terhentak ke belakang bersamaan dengan lembaran foto polaroid yang ia lempar ke depan.
Ia tidak menyangka bahwa hal semacam ini akan terjadi pada keluarganya. Ia masih tidak percaya bahwa tubuh yang termutilasi menjadi beberapa bagian seperti yang muncul pada foto tersebut benar-benar ibu dan ayahnya sendiri. Pikirnya ia terlalu lelah, terlalu gila sampai-sampai ia menganggap pemilik potongan kepala itu adalah salah satu anggota keluarganya.
Tapi ketika ia melirik foto tersebut dengan napas tersengal, barulah ia sadar bahwa ia sedang tidak berhalusinasi. Potongan-potongan tubuh itu benar-benar milik kedua orang tuanya—mereka dipotong sedemikian rupa hingga menyerupai boneka manekin berwarna merah darah yang sedang dibongkar.
"Aku membunuh mereka dan menyimpannya di suatu tempat hingga membusuk. Kemarin aku mengambil tangannya dan meletakkannya di atas mobil milik Rebecca Armstrong. Kau harus tahu bagaimana responnya saat ia menemukannya; ia sangat ketakutan seperti anak kecil." Si pembunuh kemudian tertawa pelan sembari mengeluarkan sepiucuk pistol dari balik ikatan sabuknya. Ia menunjukkan pistol tersebut pada Seng, kemudian mengintip isi pelurunya. "Ini pistol milikmu. Kau tentu tahu untuk apa aku mengambilnya dari tempat penyimpanan barang bukti. Sayang sekali, kupikir kita bisa bekerja sama lebih lama lagi tapi... sepertinya aku perlu memutus semua koneksi yang kita miliki, detik ini juga."
Seng menggeram. Ia merangsek maju, hendak menghajar orang di depannya habis-habisan. Tapi sayang, kaitan borgol besi pada kedua pergelangan tangannya menahan sebagian besar pergerakannya. Pria itu akhirnya membenturkan kepalanya pada dinding di belakangnya, ia menangis, tetapi juga mengerang penuh emosi. "Gila... kau gila! Sialan, seharusnya aku tidak pernah percaya padamu. Seharusnya aku yang membunuhmu di saat aku memiliki kesempatan! Argh!"
"Seharusnya begitu. Tapi itu bukan perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seekor anjing yang patuh sepertimu," si pembunuh itu menjawab, "asal kau tahu, setelah kau berjanji untuk bekerja sama denganku dan membuat pelanggaran atas janji yang kita buat, satu-satunya yang bisa melepaskanmu dariku adalah dengan menyerahkan nyawamu padaku. Sekarang, jadilah anjing yang baik dan tundukkan kepalamu untukku."
"Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali!" teriaknya. Suara gemerincing borgol besi terdengar memekakkan telinga karena Seng berusaha keras merusak dan melepaskannya dengan memukulkannya kuat-kuat ke dinding. Itu hampir tidak mengubah apapun selain tangannya yang mulai membengkak dan berdarah. "Kali ini aku akan membunuhmu. Aku akan benar-benar membunuhmu. Dasar keparat licik, kau akan benar-benar mati di tanganku!"
Mendengar suara keputusasaan dari pria tak berdaya di depannya ini, si pembunuh itu sontak tertawa lepas seolah-olah ia sedang menonton acara komedi dengan komedian yang paling baik dalam melontarkan candaan jeleknya. Di sini, Seng adalah komedian terbodoh yang pernah ia temui. Omong kosongnya itu benar-benar membuatnya geli. Membunuhnya? Itu adalah ucapan paling tidak masuk akal yang pernah ia dengar dari seseorang.
Bagaimana bisa orang yang sudah menghabisi belasan orang sepertinya bisa dibunuh dengan mudah? Ia sudah pernah melihat sesuatu yang lebih buruk sebelumnya, jadi persetan dengan semua orang yang berusaha mengejar dan membunuhnya—ia pasti akan membunuh mereka terlebih dahulu sebelum ujung jari mereka menyentuh kulitnya barang sedikit saja.
"Lakukan saja," akhirnya ia menjawab, mendekatkan kepalanya hingga jarak mereka hanya beberapa senti saja. Dengan jarak sedekat itu, Seng dapat melihat wajah si pembunuh dengan amat sangat jelas. Kartu tanda anggota kepolisian yang dipakai oleh si pembunuh menggunakan lanyard juga terlihat jelas di depan matanya.
Tanpa pikir panjang, ia menarik lanyard tersebut sekuat mungkin. Seng berniat mencekiknya dengan mengikatkan tali lanyard itu lebih kuat ke lehernya. Dengan satu gerakan cepat, Seng menerjang ke depan dan melewati tubuh si pembunuh. Dengan demikian, ikatan lanyard tersebut berhasil membuat si pembunuh jatuh ke belakang dan membuat lanyard miliknya rusak hingga terlempar ke bagian belakang pintu baja.
Saat Seng berusaha berdiri dan langsung melayangkan pukulan mentah pada si pembunuh. Melihat itu, ia segera berguling ke samping dan membiarkan kepalan tangan Seng menghantam lantai semen dengan sangat keras. Ia mengerang kesakitan, mengucapkan sumpah serapah serta bahasa-bahasa kasar lainnya. Buku-buku jarinya terasa hancur dan retak, membuatnya tidak bisa menggerakkan jari-jari tangan kanannya.
Mengambil kesempatan yang ada, si pembunuh sontak berdiri dan menghempaskan kepala Seng hingga membentur dinding. Tak berhenti di situ, ia juga menginjak leher Seng dan menyeret tubuhnya, memaksa pria itu duduk dengan tubuhnya yang lemas. Suara click terdengar, menjadi tanda bahwa seseorang sudah melepaskan safety pistol dan siap menembakkan pelurunya.
Seng tidak bisa berkutik lagi ketika ia dipaksa untuk menggenggam gagang pistol dan jari telunjuknya dituntun untuk menyentuh pelatuk pistol. Ia sudah dapat menebak apa yang akan terjadi padanya setelah ini, dan dengan kondisi tubuhnya yang sudah lemas setengah mati, ia tidak akan bisa melawan lagi seperti sebelumnya.
"Terima kasih atas kerja samamu selama ini, Wichai Saefant." setelah ia mengucapkan kalimat tersebut, cengkeramannya pada tangan Seng yang ia paksa untuk menggenggam pistol menjadi semakin kuat. Ia lalu mengangkatnya dan memasukkan ujung pistol ke dalam mulut Seng yang hanya bisa menangis, berteriak, dan meronta-ronta.
Seng berusaha mendorong orang di depannya. Bahkan beberapa kali ia mencoba menggunakan kakinya yang terluka untuk menendangnya agar ia dapat memberi jarak yang cukup untuk melawan. "Tidak—Tidak! Jangan! Aku mohon, jangan bunuh aku! Aku akan—urgh!" kalimatnya terpotong ketika ujung pistol semakin dimasukkan ke dalam mulutnya, sementara lehernya dicekik dengan sangat kuat.
Cekikan itu membuatnya tubuhnya lemas dan kesulitan bernapas. Bahkan sebegitu kuatnya hingga membuat pasokan oksigen menuju otaknya berkurang drastis dan membuat pandangannya mulai dipenuhi oleh titik-titik hitam. Cengkeramannya perlahan-lahan terlepas karena tubuhnya yang berangsur-angsur melemah. Seng meraung keras, berusaha mengeluarkan sisa-sisa tenaganya dalam bentuk teriakan.
Namun, sayang, tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari malaikat maut yang sudah datang menjemputnya sekarang. Meskipun ia berteriak sekeras mungkin hingga pita suaranya putus, suara teriakannya itu tetap tidak akan bisa didengar dari luar. Ia menatap lurus pada sosok pembunuh yang tersenyum lebar di depannya. Wajah itu... masih nampak jelas kendati matanya sudah dipenuhi oleh air mata yang tumpah.
Kedua matanya yang tajam, senyuman lebar yang menunjukkan gigi-gigi putih yang membuatnya merinding serta ketakutan setengah mati, serta luka gores yang ada pada wajahnya.
Dan itu adalah hal terakhir yang ia lihat sebelum pistol yang ada di mulutnya ditembakkan dan membuat isi kepalanya berceceran di segala penjuru.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top