Chapter 12: That Makes Two Of Us
"Apa yang—argh—apa yang kau pikirkan? Bukankah aku sudah memberitahumu untuk tidak bertindak gegabah? Lihat dirimu sendiri! Apa yang mereka lakukan pada lehermu? Kau beruntung senjata tajam yang mereka pakai tidak sampai memotong batang tenggorokanmu!"
Suara keras yang memekakkan telinga itu masih tidak berhenti meskipun dokter sudah meninggalkannya dengan belasan jahitan dari operasi kecil yang dilakukan untuk menutup pendarahan dari luka sayatan di lehernya. Freen berjalan mondar-mandir di depannya, tampak jelas raut kekhawatiran tergampar pada wajahnya yang rupawan. Wanita itu terlihat gelisah dan marah di waktu yang bersamaan.
Ia sempat diminta oleh perawat yang berjaga di unit gawat darurat untuk tetap tenang dan menurunkan suaranya sejak Becca dibawa masuk untuk pertama kali. Tapi sampai operasi kecil itu berakhir Freen masih saja tidak bisa menutup mulut dan malah menjadi semakin berisik. Jujur saja, rasanya Becca ingin melempar kepala Freen dengan sepatu kets yang ia pakai. Tapi di sisi lain ia juga tidak mau seniornya itu justru memerintahkannya untuk melakukan dua ratus push-up.
"Kenapa kau begitu berlebihan? Aku baik-baik saja, sudahlah." Menghembuskan napas karena jengah dengan keributan kecil yang dibuat oleh wanita bermarga Chankimha itu, Becca akhirnya mencoba berbicara untuk membuatnya sedikit lebih waras.
Mendengar ucapan Becca, Freen sontak menghentikan langkahnya dan menatap Becca dengan sorot mata tajam seakan ia sedang bersiap untuk menerkam wanita itu seperti seekor binatang buas. Ia berjalan mendekat, dan meletakkan tangan kiri di atas bed sebagai tumpuan agar ia dapat mendekatkan wajahnya pada Becca. "Baik-baik saja katamu? Aku—Aku melihatmu hampir mati di pangkuanku! Kau tidak tahu ya jika jantungku hampir saja lepas saat kau mengeluarkan suara seperti hewan yang disembelih? Kupikir kau tidak akan selamat karena itu, dasar brengsek."
Becca memalingkan wajah dan menghembuskan napas pelan. Responnya yang tampak tidak peduli itu juga membuat Freen kesal—sepertinya—karena wanita berambut panjang itu langsung menjauh beberapa meter dari Becca untuk duduk di kursi dekat dinding dan memilih menatap layar ponsel dengan kedua alis menukik tajam.
Wanita yang lebih muda perlahan meraba bekas jahitan yang sudah dibalut oleh kain perban di lehernya. Permukaan kasar dari lilitan kain itu menyentuh ujung jari, seketika membuat Becca mengulum bibirnya sendiri. Bagaimanapun juga, ia bersyukur serangan itu tidak menyebabkan luka serius. Ia memang sempat kesulitan berbicara begitu serangan terjadi. Tapi Dokter mengatakan itu hanyalah akibat dari shock yang ia rasakan begitu melihat darah yang mengalir keluar dari leher. Otaknya bereaksi berlebihan dan membuat alat geraknya menjadi sulit dikendalikan.
Memang wajar sih jika Freen sampai ketakutan seperti itu. Becca memang tidak begitu ingat bagaimana detailnya karena kesadarannya sedang berada di ambang batas ketika ia menyadari ada darah yang mengalir keluar dari lehernya. Tapi ia bisa mengingat bagaimana wajah tegang Freen ketika ia membantu petugas medis untuk memasukkannya ke dalam mobil ambulans. Wajah wanita itu pucat pasi seperti sedang terkena penyakit serius—dalam kasus ini, mungkin saja ia hampir terserang serangan jantung.
"Fuck," Freen menyumpah. Ia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan-lahan. "Sebenarnya apa yang kau lakukan? Seharusnya kau berada di rumah dan menghubungi keluargamu!"
Si Armstrong muda refleks membawa jari-jarinya ke kepala, mengusak rambut-rambutnya ke belakang dengan gerakan cepat dan agak kasar. Ia berdecih, kemudian menurunkan satu kakinya dari brankar dan berdiri tegak dengan kedua kakinya. Dicengkeramnya lengan atas Freen dan sedikit menarik lengan yang tampak kokoh itu untuk mengikutinya. "Kita tidak bisa bicara di sini. Ayo pergi ke tempat lain—eh, di mana mobilku? Sial, aku meninggalkannya di tempat parkir apotek?"
"Hei, hei, hei! Kau tidak bisa pergi, Sersan!" wanita itu berusaha melepaskan cengkeraman Becca. Ia memang berhasil, tapi tidak terlalu lama karena Becca segera menggunakan tangannya yang lain untuk menggenggam pergelangan tangan Freen dan semakin menarik wanita itu. Tentu saja ia tidak terima—hei, ingat! Tangannya sedang terluka!—sehingga ia terpaksa mencengkeram bahu Becca dan memaksa wanita itu untuk berhadap-hadapan dengannya. "Katakan apa yang kau lakukan di sana, dan aku akan membuat dokter mau membiarkanmu keluar dari rumah sakit malam ini. Katakan padaku, semuanya."
Becca mendengus. Sejak apa yang terjadi baru-baru ini, ia menjadi kehilangan kepercayaan pada siapapun. Ucapan Freen yang berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia bisa mempercayakan semua padanya justru membuat Becca semakin menaruh kecurigaan pada letnan itu. Untuk apa ia memaksa dirinya sendiri untuk meyakinkan Becca padahal seharusnya ia tidak perlu melakukannya.
Siapa dia? Dia hanyalah orang asing yang baru saja datang dalam kehidupannya. Dia juga tidak berhak mendapatkan kepercayaan Becca semudah itu. Lagipula ia juga tidak memiliki apapun yang bisa membuat Becca percaya sepenuhnya padanya meskipun ia dengan mudah menerima tawarannya untuk tinggal bersama dalam satu unit apartemen, itu tidak membuatnya melepas kewaspadaannya—karena bagaimanapun juga, Freen terlihat menyimpan suatu rahasia di balik tatapan matanya.
Sekarang, detik ini juga, entah mengapa sentuhan tangan Freen di kedua bahunya mengirimkan suatu gelombang panas yang mengalir jauh hingga syaraf-syaraf yang ada dalam kepala. Memori mengenai apa yang ia temukan pada laporan otopsi yang sepertinya masih belum diserahkan pada kepolisian serta wajah Freen yang berhadapan dengannya sekarang membuat emosinya terpantik. Memang, ia tidak terlalu menaruh rasa percaya pada letnan menyebalkan ini tapi jauh di dalam hatinya, Becca merasa ia telah dikhianati.
Karena tidak ingin emosinya terpantik di depan banyak orang, Becca menghempaskan sentuhan lembut Freen dari bahunya dan melangkah menjauh dari hadapan wanita itu untuk keluar dari ruang instalasi gawat darurat menuju koridor dalam rumah sakit, dan berhenti di depan pintu merah bertuliskan tangga darurat. Langkah kaki yang bertalu-talu di belakangnya mulai terdengar dan ia tidak perlu menengok ke belakang untuk tahu siapa orang tersebut karena jelas hanya Freen yang mau mengejarnya seperti itu untuk saat ini.
Jika dia tidak bisa dibawa bersamaku, akan kubuat kau datang ke tempatku menuju, pikirnya.
Becca mendorong pintu menuju tangga darurat dengan bahu, menahannya menggunakan tangan kanan agar pintu berat itu tidak tertutup sendiri. Ia masuk ke dalam dan beberapa saat kemudian Freen mendobrak pintu dan turut masuk ke dalam sebelum menutupnya dengan suara gebrakan yang cukup keras. Suara gebrakan pintu itu menggema di dalam tangga darurat karena tempat itu merupakan ruangan tertutup yang tidak terlalu luas.
Wanita berambut panjang lantas memiringkan kepala seraya mengangkat kedua tangan. Ia seperti mengatakan apa-lagi-yang-kau-lakukan pada Becca tanpa menggunakan vokalnya. Sekali lagi, Freen berjalan mendekat dan hendak mencoba menyentuh bahu Becca untuk menenangkannya.
Menggigit bibirnya sendiri, Becca mendorong tubuh Freen menjauh darinya dan berbisik, "Kau yang seharusnya menjelaskan semuanya padaku, Freen."
"Apa?" menaikkan satu alis, Freen membalas, "Kau ingin aku menjelaskan apa? Aku sudah memberitahu perkembangan interogasi Seng dan semua informasi yang kami dapatkan darinya. Mengenai hasil otopsi mayat, kami masih belum mendapatkan laporan dari CIFS karena Dokter Nam ditahan! Oke, kami memang menyita semua barang miliknya termasuk laptop dan ponsel. Seharusnya aku ada di kantor untuk menggeledah isi laptop itu tapi kau lihat? Aku ada di sini karena seseorang hampir memenggal kepalamu!"
Becca memandang Freen dengan tatapan menelisik. Ia berusaha keras mencari adanya kebohongan yang berusaha disembunyikan dari balik sepasang iris cokelat muda itu. Namun ia tidak menemukan apapun selain kekhawatiran nyata. Bohong, Becca berusaha meyakinkan dirinya agar tidak masuk ke dalam jebakan apapun yang mungkin disiapkan oleh wanita tinggi di depannya ini. Orang ini berbohong. Dia berbohong. Dia pasti berbohong.
Ia terkekeh. Mengeluarkan suara tawa yang terdengar meremehkan. Dan memang tujuannya seperti itu. Ia marah, kecewa, sekaligus kesal karena merasa terkhianati. Masih dengan senyuman miring yang dibuat dengan mata terbuka lebar, si sersan lantas mengeluarkan sebuah flash drive dan mengacungkannya tepat di depan mata Freen.
"Aku ingin kau menjelaskan apa yang ada di dalam sini, Letnan." Becca mengetukkan jari pada flash drive di tangannya, kemudian menyimpan benda kecil itu dalam genggaman tangan. "Asal kau tahu, apa yang ada di dalam sini dapat merusak karirmu dalam beberapa hari." sambungnya lagi.
Ucapan wanita itu lebih terdengar sebagai ancaman ketimbang pertanyaan yang menuntut, Freen dapat membacanya dari bagaimana raut wajah Becca dan alunan nada yang ada dalam setiap kata yang ia ucapkan. Tanpa sadar, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuh sebagai respon dari amarah yang sejak tadi ia tekan kuat-kuat—emosi tersebut perlahan-lahan mulai mengambil jalannya sendiri untuk menelusup keluar dari benteng yang ia bangun sendiri guna membuang ego yang akan membuatnya merugi.
Namun, Freen mengenali dirinya sendiri. Ia bukanlah orang sembarangan yang bisa diancam dengan mudah oleh cecunguk kecil berpangkat rendah di depannya ini. Sayangnya, ia sudah berjanji untuk tidak melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan di Chiang Mai—dan janjinya itu harus ditepati dengan baik, bukan? Lagipula ia perlu menjalin hubungan baik dengan wanita ini. Jadi melengserkannya dari kepolisian jelas bukan sesuatu yang bijak untuk dilakukan.
Apabila Becca ingin mengancamnya dengan flash drive itu, maka biarlah. Sebab apa yang ia tahu jauh lebih banyak darinya.
Jadi wanita itu hanya bisa tersenyum tipis dan memamerkan muka kalem seakan ia tidak merasakan emosi apapun ketika Becca dengan tidak tahu malu menantangnya. "Rebecca," Freen menjilat bibir, sejenak membasahi bibirnya yang kering sebelum melanjutkan silabel dengan tak kalah serius, "aku sudah tahu apa yang kau simpan di sana. Oleh sebab itu, aku tidak bertanya apa yang kau lakukan sebelum seseorang menyerangmu di dekat penyeberangan jalan beberapa jam yang lalu."
Senyuman Becca perlahan luntur dari wajahnya, dan Freen hanya menatap lurus pada separang iris cokelat mudanya yang menggelap. Ia sempat merasa bersalah selama sepersekon detik sebab ia juga akan berbohong jika mengatakan senyuman Becca tidak membuatnya tertarik. Tapi semuanya sudah terjadi. Dan salahkan saja mulutnya yang tidak pernah bisa mengerem setiap perkataan yang keluar, bukan dirinya.
Terbata-bata, Becca menyentuh pundak Freen dan mencengkeram pakaiannya. "Bagaimana—sudah kuduga kau memata-mataiku. Kau pengkhianat, kau pasti bagian dari mereka! Kenapa kau melibatkan aku dan keluargaku di sini, keparat!"
"Bukan begitu!" frustasi, Freen akhirnya menyentak dan membuat Becca terhenyak ke belakang. Ia pasti tidak menduga Freen akan berteriak padanya dan Freen pun sebenarnya juga tidak berniat meneriakinya. "Dengar, ingatkah kau saat Seng menyerangmu? Saat kita memeriksa mayat berkepala hancur, dan juga saat aku menemukan bahwa Dokter Nam masuk dalam jajaran tersangka?"
Kebingungan, Becca mengangguk ragu. Ia melepaskan cengkeramannya dari pakaian Freen dan membuat gadis itu menyentuh permukaan kain pakaiannya yang lusuh karena Becca.
"Kau tahu aku ceroboh dan tidak memakai sarung tangan saat memeriksa mobil itu sehingga wajar sidik jariku ditemukan di beberapa bagian mobil. Tetapi, Heng? Pria itu bahkan tidak mendekati mobil sama sekali. Dan kenapa pria itu yang mengambil posisi pimpinan setelah kau dirumahkan padahal ia tidak memiliki kemampuan khusus dalam menangani kasus ini? Rebecca, jika ada orang yang perlu kau waspadai, itu adalah Sersan Asavarid. Bukan aku, atau orang lain."
Becca terdiam, menatapnya kosong dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Ia merasa maklum. Barangkali darah yang terlalu banyak keluar dari luka sayatan di lehernya membuat otaknya menjadi kekurangan pasokan darah sehingga ia mengalami sedikit bug di dalam sana. Itu hanya berlangsung selama beberapa detik—barangkali kurang dari sepuluh karena tiba-tiba Becca langsung memelototinya seperti ia akan melubangi kepala Freen saat itu juga.
Wanita lainnya mendesah. Ia tidak bisa mengatakan semuanya di tempat ini karena ia akan membicarakan sesuatu yang cukup sensitif. Becca sepertinya akan menuntut lebih banyak penjelasan karena pernyataannya barusan sehingga Freen merasa perlu memilih tempat lain yang lebih privasi—unit apartemennya sendiri.
Sekarang lihat, siapa yang mematahkan janjinya sendiri. Semula Freen mengatakan bahwa ia akan membawa Becca keluar dari rumah sakit jika ia mengatakan apa yang ia lakukan di dekat rental mobil, sekarang Freen sendiri yang bersikap jujur—dengan terpaksa, demi Becca—dan mengatakan semuanya.
"Kita akan membicarakan banyak hal, tentang pekerjaanmu dan juga tentangku. Ayo, akan kubawa kau pulang," kini, giliran Freen yang menarik pergelangan tangan Becca dan membawanya pergi dari tangga darurat yang sepi. Setelah mereka keluar melalui pintu merah menuju koridor, Freen baru melepaskan genggamannya dan mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku jaketnya. Ia menggantungkan kunci itu dengan jari telunjuk, memamerkannya pada Becca. "Omong-omong, aku datang ke tempatmu dengan taksi. Dari sana, aku mengikuti ambulans dengan mobil yang kau kendarai. Hell, kau harus memperbaiki suspensi mobilmu. Itu sangat, sangat buruk. Pajero memang mobil yang bagus, tapi tidak lebih bagus dari—argh!"
Tidak terima dengan penghinaan yang ditujukan pada Thunder—pajero sport hitam kesayangannya—Becca tanpa ampun menendang betis Freen dengan keras dari belakang, membuat Freen refleks memekik dan membuat perhatian beberapa orang tertuju ke arahnya.
Brengsek kau, Rebecca Patricia Armstrong.
Freen benar-benar membawanya pulang ke unit apartemennya. Ia menepati janjinya untuk mengeluarkan Becca keluar dari rumah sakit dengan mengurus segala jenis prosedur administrasi dan juga pembayaran—Becca sempat memaksa bahwa biar dirinya saja yang menanggung biaya rumah sakit yang mana tidak dihiraukan sama sekali oleh Freen karena wanita itu dengan santai malah mengeluarkan kartu debit dari dompetnya untuk melakukan pembayaran.
Perjalanan dari rumah sakit ke apartemen Freen pun dihabiskan dengan keheningan yang nyaman. Freen duduk di kursi kemudi, dengan fokusnya tertuju pada jalanan dan mobil-mobil yang ada di depan mobil yang mereka tumpangi. Sementara Becca berusaha keras untuk menjaga lehernya agar tidak tertunduk. Memutar leher saja rasanya sakit sekali. Ia tidak bisa membayangkan rasa sakitnya jika ia tanpa sengaja menundukkan kepalanya hanya karena mengantuk.
Untungnya Freen menyadari ketidaknyamanannya itu sehingga ia mengambilkan bantal leher di kursi bagian belakang untuk Becca. Wanita itu bahkan membantu memasangkannya di lehernya dan memastikan ia tidak menyentuh perban yang menutupi jahitan di leher Becca.
Bahkan saat turun dari mobil dan saat mereka berdua hendak berjalan memasuki lobi, Freen tidak pernah membiarkan Becca membawa tas ransel miliknya. Wanita itu dengan sigap membawakan tas tersebut dan menjinjingnya, membiarkan Becca berjalan dengan normal tanpa membawa apa-apa. Sekali lagi, Becca sempat menolak dan ingin mengambil kembali barangnya. Akan tetapi Freen tetap memaksa sehingga Becca yang tidak ingin berdebat, ia memilih untuk mengalah.
Dan kini mereka berdua sudah duduk dengan tenang di meja makan, posisi mereka berseberangan tanpa ada makanan atau minuman hangat yang tersaji di atas meja. Hanya perasaan sulit, emosi yang tak tertahan, dan kegelisahan luar biasa yang berada di dalam diri mereka. Becca menyandarkan punggung pada kursi, satu tangannya berada di atas meja dan membuat beberapa kali ketukan dengan jari.
"Jadi..." Becca memulai, "Jelaskan dari mana kau tahu semuanya bahkan sebelum aku mengatakannya padamu, dan sebelum dokumen itu dikirim ke tim investigasi."
"Aku tahu tentang laporan otopsi mayat korban keempat karena aku sudah melihatnya sebelum berkas itu diserahkan ke kepolisian. Hari itu aku dan Mind, criminal profiler yang pernah aku sebutkan padamu, datang ke CIFS untuk memeriksa proses post mortem sekaligus menanyakan beberapa hal pada Nam. Pada waktu itu aku juga menemukan kotak berisi banyak sekali botol formalin dengan noda darah yang setelah diidentifikasi, darah tersebut milik korban pertama." Freen menggigit bagian dalam mulutnya sembari berhenti selama sepersekian detik untuk menarik napas serta memikirkan kalimat yang pas untuk mengeluarkan isi kepalanya. Barulah setelah ia siap, ia kembali melanjutkan, "Dia dibawa ke kantor, dan diinterogasi oleh Heng tanpa ada orang lain yang membantunya. Aku tidak ada di dalam, tetapi aku bisa melihat melalui kaca bahwa Nam terlihat sangat marah. Kau tahu mengapa, kotak berisi barang bukti penting semacam itu tidak akan ia biarkan tergeletak begitu saja di meja kantornya."
"Kau ingin mengatakan jika Nam dijebak oleh si pembunuh, sama seperti yang terjadi dengan Seng? Begitu?" Becca menghela napas. Tangannya yang terletak di atas meja kini mengepal. "Omong kosong macam apa ini? Beberapa waktu secara tidak langsung kau juga mengatakan jika Heng turut andil bagian dalam kasus ini karena sidik jari di dalam mobil yang tidak seharusnya ada. Astaga, aku tidak ingin menghabiskan waktuku dengan mendengarkan omong kosongmu!"
Becca mungkin akan berdiri dari kursinya seandainya Freen tidak langsung menyahut, "Pengakuan Seng memang benar. Pria itu mengatakan semuanya setelah ia dihajar habis-habisan oleh beberapa orang polisi. Dia, dan beberapa orang lain memerintahkannya untuk membunuhmu. Jika mereka tidak melakukannya, keluarga mereka yang akan menjadi taruhan," ucapnya. Freen mengangkat satu jarinya, memberikan gestur pada Becca agar wanita itu kembali duduk dan mendengarkan. "Heng, adalah orang yang kita cari sekarang."
"Apa—"
"Pria itu juga lah yang membawa kamera-kamera serta alat penyadap yang kita temukan di rumahmu ke tempat penyimpanan barang bukti setelah diperiksa di CIFS. Ia memang memberikan hasil pemeriksaan dan tidak menemukan apa-apa... tapi, siapa yang tahu?"
Becca jatuh terdiam. Ia mengingat kembali saat di mana ia menyusup masuk ke dalam kantor Nam demi mendapatkan petunjuk. Saat Becca keluar dari sana, ia mendengar suara Heng mendekati kantor Nam. Kalau begitu... mungkin ia datang untuk menghapus namanya dari laporan itu?
"Sungguh, aku tidak tahu kejahatan macam apa yang kau lakukan atau... apa yang keluargamu pernah lakukan hingga ada orang keji yang melakukan semua ini hanya untuk menghabisimu." Freen berujar, gelisah. "Interogasi terhadap Nam juga tidak menghasilkan apapun. Ia masih kukuh dengan ucapannya, menganggap ada orang lain yang menjebaknya. Itu mungkin benar sebab kami tidak menemukan sidik jarinya pada kotak itu. Tapi bukan berarti ia bisa bebas dari daftar tersangka karena ucapannya masih belum bisa dibuktikan."
"Oke," Becca menyela, "oke. Kau mengatakan jika sudah tahu apa isi dokumen yang belum diserahkan ke kepolisian itu. Itulah mengapa kau tahu ke mana aku pergi sebelum insiden penyerangan itu terjadi, bukan?"
Freen mengangguk, "Ya. Ya, tentu saja. 7/11? Tempat korban dengan kepala hancur itu bekerja? Aku datang untuk meminta keterangan dari manajer dan ia mengatakan bahwa korban terakhir kali dilihat bersama dengan seorang wanita berambut panjang yang dikuncir kuda, dengan mobil yang juga ditemukan di TKP. Aku berani bertaruh kau juga mendapat keterangan yang sama."
Oh, ternyata wanita yang dimaksud itu Freen.
"Tapi jika korban terakhir dilihat bersama seorang wanita... mengapa Heng menjadi orang yang kita curigai sekarang?" Freen meletakkan kepalan tangannya untuk menutupi hidung. Arah pandangnya berubah ke langit-langit apartemen—wanita itu tampak sedang berpikir keras. "Kemungkinan pertama; Heng adalah dalangnya dan ia tidak ingin mengerjakan pekerjaan kotor. Kedua; Heng adalah kaki tangan dan ia adalah orang yang bisa membawa kita lebih dekat dengan wanita misterius itu."
Becca menghembuskan napas kasar dari mulutnya. Kepalanya seakan dijejali oleh jutaan pertanyaan. Kasus yang semula ia kira akan selesai hanya dalam waktu beberapa minggu, mendadak berubah menjadi kasus panjang yang sangat rumit. Ia tidak pernah menyangka bahwa dirinya, dan apa yang ada dalam keluarganya adalah alasan mengapa serentetan hal gila ini terjadi.
Ia tidak tahu apakah pernyataan Freen adalah kebenaran yang dapat ia percaya. Tapi jika ia berpikir lebih jauh, agaknya semuanya menjadi masuk akal. Dimulai dari kasus yang tidak masuk akal, hingga semua barang bukti yang seakan memberikan tanda bahwa siapapun yang ada di balik semua ini memang menunggu waktu yang tepat untuk merenggut nyawanya.
Semuanya berjalan secara sempurna. Siapapun itu, ia benar-benar melakukan rencananya dengan baik untuk menghancurkan Rebecca secara perlahan-lahan. Si pembunuh bermain-main dengan nyawa manusia di tangannya, menganggap bahwa semua itu tidak ada harganya dan tidak sebanding dengan pembalasan dendam yang ia lakukan.
Tapi, jika orang yang seharusnya ia curigai sekarang adalah Heng... maka, apa motif pria itu melakukan semua hal gila ini?
"Rebecca... polisi itu salah satu orang yang paling tidak bisa dipercaya. Aku tidak tahu dengan Saint karena aku tidak pernah melihat pria itu berurusan langsung dengan kasus yang kita tangani. Berbeda dengan Heng, selama ini aku berada di dekatmu. Aku berusaha membantumu sebisaku meskipun, yah, aku tahu jika aku ini sangat menyebalkan. Tapi aku berusaha membantumu menyelamatkan diri dari apapun yang akan membunuhmu," Freen terengah. Napasnya seakan habis karena ia terus berbicara tanpa memberikan kesempatan bagi wanita lainnya untuk merespon. "Kita berdua bisa menyelesaikan ini, bersama-sama. Ada banyak yang perlu dibereskan dan itu bisa dimulai dengan menyelamatkan Nam dari tuduhan. Dan untuk melakukan itu, aku ingin kau percaya padaku."
"Kau mengatakan jika aku bisa mempercayaimu?" memijat jembatan hidungnya dengan jari, Becca mengangkat wajahnya dan menjatuhkan pandangannya pada Freen yang tengah menatapnya dengan pandangan sulit. "Bagaimana aku akan mempercayaimu jika kau bahkan masih menyembunyikan banyak hal yang tidak aku ketahui tentang ini?"
"Kau tidak percaya padaku karena kau tahu ada yang janggal denganku," Freen bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati lemari es. Wanita tinggi itu mengeluarkan dua kaleng minuman dingin dan meletakkannya di atas meja, satu di dekat Rebecca dan satu lagi ia buka untuk diminum sendiri. "Aku... ingin memberitahumu alasan kenapa aku dipindahkan ke Bangkok. Ini penting sebab karena hal inilah aku berani mengatakan bahwa kau tidak seharusnya percaya dengan polisi. Kau pasti pernah mendengar desas-desus jika aku pernah membunuh, 'kan? Well, itu memang benar."
Tangan Becca agak gemetar saat ia mengambil minuman kaleng tersebut. Ia tidak segera meminumnya, melainkan hanya memainkannya di tangan sembari sesekali menempelkan permukaannya yang dingin. "Maaf. Saat itu aku tidak sengaja mendengar pembicaraan salah seorang personel."
"Oh, jangan khawatir. Toh, kau juga akan segera tahu," Freen tertawa. Akan tetapi, tawanya itu perlahan menghilang dan digantikan oleh ekspresi sendu. "Aku menembak mati sembilan orang. Enam di kepala, tiga di kaki dan jantung. Seharusnya tiga orang terakhir masih bisa diselamatkan, tapi aku tetap membunuhnya. Kau bisa memanggilku pembunuh, psikopat, atau semacamnya tapi... aku tidak pernah berniat untuk melakukan itu."
PRAK
Sebuah hantaman keras mendarat di pipi Freen dan membuat wanita itu oleng ke samping. Suara nyaring dari kaleng minuman terdengar mengisi keheningan, diiringi oleh erangan kesakitan dari seorang wanita yang pipinya baru saja dihantam oleh kaleng minuman. Becca menggeram marah. Ia sudah berdiri dari kursinya dan merangsek maju, mencengkeram leher Freen kemudian mendorong wanita itu dengan kuat hingga jatuh dari kursi dan mendarat di lantai.
"Bagaimana bisa kau hidup tanpa beban dan berkeliaran bebas setelah menembak mati sembilan orang, huh?" satu pukulan mentah kembali Becca hantamkan pada wajah Freen, "Kau psikopat! Apa bedanya kau dengan si pembunuh? Oh, atau jangan-jangan kau lah pembunuh yang asli, iya kan?"
Wanita berambut pendek itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia akan menghempaskan Freen ke lantai jika saja Freen tidak menggunakan tangannya untuk mencengkeram kedua tangan Becca dan menahannya. "Aku baru tahu kau bisa berubah menjadi agresif begini, Armstrong," Freen menendang tubuh Becca yang lebih kecil dan ia segera berdiri sembari berpegangan pada meja. Pukulan Becca tadi cukup keras hingga membuat kepalanya seakan berputar. "argh, kau bisa membunuh orang dengan pukulan itu."
"Kau membunuh sembilan orang dalam tugas, dan hukuman yang kau dapatkan hanya penurunan pangkat dan pemindahan tugas—"
"Dengarkan aku dulu!" Freen berteriak. Ia kemudian menggeleng pelan, mendekati Becca dan membantu wanita itu berdiri. "Waktu itu aku dan beberapa orang personel berusaha melepaskan sandera dari perampok bersenjata. Semua usaha damai yang kami tawarkan tidak mereka gubris, malahan... mereka mengancam untuk menembak semua sandera dan membunuh semua polisi yang ada di sana. Kau tahu apa yang aku lakukan selanjutnya untuk menyelamatkan diri."
"Semua itu terjadi begitu saja, Rebecca. Suara tembakan, darah, teriakan manusia, rintihan pesakitan, semuanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena yang aku ingat adalah waktu itu aku langsung dibawa ke kantor untuk diinterogasi. Oke, aku tidak akan menceritakan bagian itu karena sangat panjang. Jadi, mengapa aku bisa ada di depanmu sebagai polisi dan bukan sebagai narapidana? Itu berkat bantuan ayahku yang membereskan semuanya. Ia dan... beberapa orang dari kepolisian menghapus dan memalsukan barang bukti, membuat skenario palsu untuk dipublikasikan di media massa, menutup mulut para saksi mata dan... ya, begitulah. Itulah mengapa, aku berani mengatakan jika institusi tempatmu bekerja ini bisa menjadi sekelompok orang paling munafik," Freen menghela napas panjang, lalu menghembuskannya dengan satu hembusan kasar. "karena aku sudah tahu bagaimana cara busuk semacam itu bekerja."
Tak tahan lagi, Becca berdiri dari kursi dan menjauh dari Freen untuk masuk ke dalam kamar kecil. Suara aliran air terdengar, nampaknya wanita itu sedang berdiri di depan wastafel guna mendinginkan kepalanya dengan membasuhnya dengan air dingin. Ia memang melakukan itu. Karena begitu ia keluar dari kamar kecil, Freen dapat melihat wajah dan sedikit bagian rambutnya basah oleh air.
"Dengar, aku sudah mengatakan yang sejujurnya padamu. Jika itu masih tidak bisa membuatmu percaya denganku maka..." Freen menutup mulutnya sejenak, mengambil waktunya untuk menatap kosong ke arah balkon. "aku tidak tahu lagi apa yang bisa membuatmu percaya denganku." lanjutnya.
Becca berjalan kembali ke meja makan dan duduk di kursi. Ia menjatuhkan tangannya di atas meja dan membuat gebrakan yang cukup keras. "Apa tujuanmu membantuku sampai seperti ini? Kau—pembunuh sepertimu ingin membantu polisi yang sedang menjadi target seorang pembunuh berantai? Kau tidak akan membunuhku begitu kau berhasil menangkap pelakunya. 'kan?"
Freen menghela napas dan menggelengkan kepala, "Kasus ini membuatku tak nyaman. Aku hanya merasa bahwa psikopat itu tidak akan puas hanya dengan membunuh lima atau orang wanita, dan kita tidak bisa membiarkan itu terjadi."
"Bagus! Bagus sekali, Sarocha Chankimha." Becca tertawa miris, "Karena jika sampai itu terjadi, aku akan memastikan bahwa akulah yang akan membunuhmu duluan."
Wanita lainnya mengendikkan kedua bahunya seraya bangkit berdiri dari kursinya. Wanita berambut panjang itu berniat mengakhiri pembicaraan dan pergi ke kamarnya sendiri untuk menghabiskan malam.
Ia tidak berbohong jika pembicaraan yang mereka lakukan telah menguras habis energinya. Jika mereka melanjutkan, Freen tidak akan memiliki stamina yang cukup untuk pergi ke kantor dan berhadapan dengan wajah-wajah itu lagi—bersama dengan catatan-catatan kasus yang sedang menumpuk di meja kantor.
"Rebecca," Freen menghentikan langkahnya. Wanita itu berdiri di depan pintu kamar dengan satu tangan terulur dan siap untuk memutar kenop pintu. Ia memanggil Becca yang masih duduk di kursi ruang makan, masih dengan isi pikiran yang berkecamuk hebat. "Kau tidak akan bisa melakukan semuanya sendirian. Kau membutuhkan aku. Jadi, pikirkan dengan baik." Freen berbalik dan tersenyum hangat, "selamat malam."
Suara pintu ditutup menandakan bahwa Becca benar-benar telah ditinggalkan seorang diri. Ia tidak berniat untuk pergi ke kamarnya dalam beberapa menit ke depan—Becca masih betah duduk di kursi, menatap kosong pada minuman kaleng yang tadi ia gunakan untuk memukul wajah Freen. Benda itu tergeletak di sudut ruangan, dibiarkan begitu saja dan mungkin Becca akan mengambilnya untuk ia minum nanti.
Ucapan Freen telah membuka pikirannya dengan situasi yang terjadi. Melalui itu, perlahan namun pasti, ia bisa menyusun serpihan-serpihan petunjuk yang berceceran dan menggabungkannya menjadi satu selayaknya sebuah puzzle yang rumit. Kini ia sepenuhnya yakin, jika kasus pembunuhan berantai ini terjadi atas dasar dendam pada keluarganya. Becca memang belum tahu mengapa, tapi ia akan segera tahu.
Yang ia lakukan selanjutnya mungkin akan sulit. Tapi ia bisa mulai dengan mencari keterangan dari rental mobil sembari mengikuti sesi terapi bersama Dokter Billy, menerima informasi dari Freen dan menyelidiki kasus secara diam-diam bersamanya untuk menyelamatkan Nam dari tuduhan, membuktikan keterlibatan Heng dengan kasus pembunuhan untuk membongkar siapa wanita misterius itu, dan kembali ke kantor untuk mengambil alih situasi.
Ia mungkin bisa mempercayai Freen. Sebab, untuk apa wanita itu membongkar rahasia semacam itu kepadanya jika ia tidak meminta Becca untuk percaya padanya dengan tulus. Freen menaruh kepercayaannya pada Becca, dan ia berharap Becca akan melakukan hal yang sama sehingga rahasia itulah yang menjadi jaminan.
Kita akan lihat nanti, Freen Sarocha. Apakah kau memang bisa mempertanggungjawabkan ucapanmu atau tidak.
Becca mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Ia mencari sebuah nama di daftar kontak dan mulai menghubungi seseorang. "Dad, ada hal yang perlu kita bicarakan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top