Chapter 10: Murder-Suicide of The Chankima's Family

Chapter ini mengandung adegan bunuh diri dan pembunuhan, namun tidak bermaksud mendukung ataupun mengglorifikasi kedua hal tersebut dan memiliki porsi penting dalam perkembangan cerita. Apabila pembaca merasa tidak nyaman, maka silakan melewati sequence pertama dari chapter ini yang menceritakan latar belakang keluarga Letnan Sarocha Chankimha. 

Perlu ditegaskan kembali bahwa apa yang ada di dalam buku ini adalah fiksi belaka dan tidak berhubungan dengan orang asli dan peristiwa yang terjadi di dunia nyata.

---

Sejak kecil Freen selalu diajarkan untuk hidup dengan prinsip yang teguh. Ayahnya lah yang memberikan pendidikan dan menanamkan pola pikir semacam itu dan Freen bersumpah akan selalu menancapkan prinsip miliknya sendiri di dalam kepala. Ia berpikir hatinya akan tetap teguh menjaga prinsip tersebut. Tapi ternyata ia salah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, prinsip yang ia genggam kuat-kuat pun goyah.

Itu terjadi ketika ia berusia 10 tahun. Pada sore hari, sang ibunda yang sedang sibuk memasak di dapur memanggilnya dan memintanya untuk membeli beberapa barang di minimarket. Ia diberi sejumlah uang dan selembar catatan, tak lupa ibunya berpesan untuk segera pulang setelah menyelesaikan kegiatan belanjanya itu.

Freen kecil pun segera berangkat dengan perasaan riang dan wajah yang begitu cerah, membayangkan berapa banyak permen cokelat yang bisa ia dapatkan dari uang kembalian. Ia selalu suka berbelanja—baik sendirian atau ditemani orang tuanya. Salah satu alasannya adalah karena ia bisa melihat dunia luar dan berbagai macam kesibukan yang dilakukan oleh orang-orang. Para pekerja dengan pakaian jas atau blazer yang berjalan cepat untuk mengejar angkutan umum, hingga para pelajar yang menenteng buku-buku dan berjalan beriringan bersama teman-temannya.

Ketika ia tiba di rumah, bukan sebuah senyuman hangat yang biasanya selalu diberikan oleh kedua orang tuanya tiap kali ia tiba di rumah. Bukan pula tepukan lembut yang selalu ayahnya berikan di pucuk kepala setiap kali Freen berhasil melakukan apa yang diminta dengan sempurna. Yang ia lihat hanyalah pemandangan mengerikan dari darah yang menggenang dari ruang tamu hingga dapur dan kaki yang berayun-ayun di ambang pintu.

Dan ia berteriak, keras. Sangat keras. Membuat tetangga-tetangga di sekitar rumahnya berdatangan untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di kediamannya. Sebagian orang refleks berteriak ketakutan begitu melihat apa yang ada di dalam rumah, sebagian lainnya segera menghubungi polisi dan mengamankan Freen karena waktu itu ia masih histeris karena shock.

Hasil penyelidikan polisi menyatakan bahwa itu adalah kasus bunuh diri yang sudah direncanakan sebelumnya. Ayahnya membunuh ibunya terlebih dahulu dengan menggunakan pisau dapur sebelum ia menggantung dirinya sendiri di ruang tamu. Sepertinya rencana ayahnya tidak berjalan mulus karena ibunya sempat melawan—dapat dilihat dari banyaknya darah yang berceceran di dalam rumah—meski akhirnya ayahnya tetap bisa membunuh ibunya di dapur dengan menusuknya secara brutal.

Mungkin, peristiwa itulah yang membuat sesuatu dalam dirinya berubah. Sejak kedua orang tuanya meninggal dengan cara yang sangat tragis, Freen harus dipindahkan ke pusat rehabilitasi untuk menangani trauma pasca insiden yang mungkin akan menghantuinya selama beberapa tahun. Ia juga akan tinggal di panti asuhan mengingat kedua orang tuanya tidak memiliki keluarga lain yang bisa dijadikan sebagai wali.

Freen masih ingat betul. Kenakalan macam apa yang sudah ia lakukan selama ia tinggal di panti asuhan dan menjalani rehabilitasi. Meski secara pribadi ia merasa bahwa dirinya tidak pernah melakukan apa yang disebut sebagai kenakalan itu—ibu penjaga panti lah yang memberikan pemahaman bahwa yang ia lakukan patut dikategorikan sebagai sebuah kenakalan dan oleh karena itu Freen harus menginteropeksi dirinya sendiri serta menerima sejumlah hukuman.

Lagipula apakah mendorong seorang anak laki-laki yang melempar kepalanya dengan batu kerikil ke tengah jalan hingga hampir terlindas oleh rentetan roda besar dari truk tronton itu termasuk ke dalam kenakalan? Freen hanya melakukan apa yang disebut sebagai pembalasan—payback, revenge, bahasa kerennya. Dan lagi, apakah menarik dan mengiris kepala kucing milik penjaga panti yang menjatuhkan barang-barangnya hingga hancur berserak itu termasuk dalam kenakalan?

Ayahnya selalu berkata bahwa setiap perbuatan selalu memiliki konsekuensi, tidak peduli itu perbuatan baik ataupun perbuatan yang buruk. Hal itu juga berlaku untuk mereka—perundung yang melempar batu padanya pantas mendapatkan balasan serupa. Freen, yang waktu itu tidak memiliki kekuatan untuk membalas hanya ingin anak itu merasakan hal yang sama, yaitu rasa sakit. Roda-roda besar dari truk itu pasti bisa memberikan rasa sakit lebih dari yang ia inginkan sehingga Freen menunggu waktu yang tepat untuk menjebak anak itu dan mendorongnya ke tengah jalan.

Yah, meskipun anak yang dimaksud itu masih hidup hingga sekarang. Terakhir yang ia ingat, ia hanya mengalami kelumpuhan mulai dari leher hingga kakinya.

Sedangkan si kucing? Hmmm, hewan itu membuat barang-barang miliknya jatuh dan berserakan di lantai. Penjaga panti tidak menyukai hal itu—dan sebenarnya dirinya juga—sehingga tentu saja Freen mendapat satu atau dua kali celotehan panjang karena kecerobohan yang tidak ia lakukan. Jadi demi membalaskan dendamnya itu, Freen keluar dari kamarnya di malam hari untuk menyeret si kucing ke halaman belakang panti.

Ia melakukan semuanya di sana dengan menggunakan sebuah gunting hingga akhirnya ia menggali tanah di bawah pohon dan mengubur kucing itu di sana tanpa kepala. Alih-alih meletakkan kepala kucing bersama tubuhnya di dalam tanah, Freen memilih meninggalkan kepala kucing berlumuran darah itu di depan pintu panti. Lihat? Semuanya mendapatkan sesuatu yang pantas. Tidakkah itu adil?

Apabila ditanya apakah Freen menyesali, merasa takut, kasihan, atau semacamnya? Freen akan dengan mantap menjawab tidak. Ia hanya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan dengan tekad yang bulat. Jadi untuk apa merasa takut dan menyesal?

Ia tidak tahu mengapa, tapi mungkin karena kepribadiannya itulah kebanyakan orang di panti jadi takut kepadanya. Padahal ia hidup selayaknya anak-anak pada umumnya. Ia juga anak yang ceria, ramah, dan juga sangat pandai—ia bisa mengerjakan persoalan matematika yang jauh lebih sulit daripada teman-teman seusianya. Ia juga memiliki ingatan dan daya pikir yang sangat baik. Bisa dibilang Freen Sarocha adalah anak yang jenius—meski kepribadiannya yang sedikit mengerikan itu menutupi kejeniusannya.

Freen menghabiskan beberapa bulannya dalam kesendirian hingga akhirnya ada pasangan suami istri yang datang untuk mengadopsinya saat ia berusia 12 tahun. Selain mendapatkan keluarga baru, di usia yang menginjak remaja inilah Freen mendapatkan surat wasiat yang ditulis oleh sang ayah sebelum insiden mengenaskan itu terjadi. Perusahaan yang waktu itu dimiliki oleh ayahnya mendadak bangkrut karena kesalahan salah satu pegawai, ditambah lagi investor terbesar—sekaligus sahabat ayahnya—yang seharusnya mampu menyelamatkan perusahaan itu justru menarik suntikan dana dan memutuskan kerja sama secara sepihak.

Itu membuat perusahaan ayahnya terjebak dalam hutang yang sangat besar. Belum lagi aksi demo yang dilakukan oleh para karyawan, hingga surat-surat bank yang datang tanpa henti di kantor ayahnya. Pantas saja ia tidak mendapatkan warisan apapun sebab semua aset yang dimiliki oleh ayahnya disita habis oleh bank setelah ia meninggal—bahkan rumahnya sendiri. Ia jadi tahu siapa orang yang datang dengan berteriak-teriak seperti orang gila di hari pemakaman ayah dan ibunya, rentenir atau penagih utang, tentu saja. Freen membaca isi surat itu dengan perasaan marah, dan sangat kecewa.

Ia membawa kedua perasaan menyedihkan itu seumur hidupnya. Dan sejak ia membaca surat wasiat yang sang ayah tinggalkan untuknya, semuanya berubah. Surat itu menjadi titik balik kehidupannya, yang pada akhirnya mengubah kepribadiannya. Ia hidup sebagai seorang remaja yang tidak memiliki emosi apapun selain dendam besar pada siapapun yang menyebabkan kedua orang tuanya tewas dengan tragis.

Selama ia hidup, Freen selalu berusaha mencari kambing hitam. Atau mungkin, seseorang yang paling bertanggung jawab atas kematian orang tuanya. Sebagian besar waktunya ia gunakan untuk memilah-milah dokumen tua dan catatan-catatan peninggalan sang ayah. Dengan harapan semua barang peninggalan itu akan membawanya pada satu atau dua nama.

Bisa dibilang hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat setelah ia diadopsi oleh keluarga barunya. Ayah angkatnya adalah seorang pejabat tinggi di kepolisian dengan pangkat Mayor Jenderal sedangkan ibu angkatnya adalah seorang hakim di pengadilan tinggi. Jika dilihat kembali, sangat cocok dipadankan dengan dirinya yang cantik dan berotak encer sejak lahir, bukan? Omong-omong, keluarga barunya ini memang sangat baik, kelewat baik malah. Mereka selalu mendukung apa yang dilakukan oleh Freen, menyediakan fasilitas yang menunjang kegiatan akademik dan non-akademiknya, hingga memberikan barang-barang mahal yang tidak dimiliki oleh remaja seusianya kala itu.

Mungkin semua privilige itulah yang membuatnya terlena. Dibuai dengan kekayaan dan juga jabatan seakan melengkapi hati dan perasaannya yang sudah lama rusak. Dan kita semua tahu orang dengan hati yang rusak, apabila diberikan sesuatu seperti kekayaan dan kekuasaan, kemungkinan besar akan menyalahgunakan apa yang ia miliki demi kesenangannya sendiri.

Persepsi semacam itu juga berlaku dengan Freen Sarocha.

Menginjak usia 16 tahun, Freen muda kini lebih pantas disebut sebagai sebilah pisau bermata dua. Dia dikenal sebagai salah satu siswi teladan yang selalu menduduki peringkat satu atau dua dari ratusan murid lain di angkatannya. Ia juga berprestasi di bidang seni lukis dan olahraga—perlu diketahui, berkat kemampuan fisik dan kepiawaiannya memegang bola, Freen ditunjuk menjadi kapten tim basket SMA. Di sisi lain, ia juga dikenal sebagai perundung dari perundung.

Mengerti? Begini, ingat tidak jika Freen pernah menjadi korban perundungan di panti asuhan? Sejak saat itu ia sangat membenci perundung sehingga saat menginjak remaja, ia memanfaatkan apa yang ia miliki untuk memberi pelajaran kecil pada para perundung yang ada di sekolahnya.

Beberapa kali ia menyeret dua atau tiga orang murid yang kedapatan melakukan perundungan di depan matanya—tidak peduli laki-laki ataupun perempuan ke gymnasium, kemudian menghajar mereka dengan tangan kosong atau memukuli mereka dengan tongkat baseball sebelum meninggalkan mereka dengan ancaman menakutkan dan sorot mata tajamnya yang mengerikan. Ancaman itu selalu bekerja, jelas, karena ya... siapa sih yang mau mempertaruhkan nyawa untuk berhadapan langsung dengan Sarocha Chankimha? Hanya orang tolol yang nekat melewati batasan itu.

Ia menggunakan kecerdasan dan pengaruh yang ia miliki untuk memanipulasi pemikiran banyak orang, termasuk mengubah persepsi mereka terhadapnya. Jika ia tahu ada orang yang menganggapnya sebagai berandalan tukang pukul, ia akan langsung menunjukkan sisi lain dari dirinya yang sebaik malaikat di depan banyak orang. Freen memiliki banyak wajah, dan ia bisa memilih wajah mana yang bisa ditunjukkan pada orang lain sesukanya.

Ayahnya sangat menyayanginya—dan Freen ingat betul betapa bahagianya pria itu ketika ia mengatakan bahwa ia akan mengikuti jejak sang ayah menjadi anggota polisi pada acara makan malam keluarga saat ia menginjak kelas 3 SMA. Pun dengan ibunya. Ia mendukung penuh cita-cita Freen dengan sepenuh hati. Bahkan saat mengikuti ujian masuk akademi polisi hingga mengantarkan putrinya itu untuk masuk ke asrama sebelum menjalani pendidikan, ibunya menangis tersedu-sedu seperti ia akan kehilangan sang putri untuk selamanya.

Ia lulus dari akademi dengan nilai yang paling baik dan langsung mendapatkan penempatan di kantor daerah yang nyaman di Chiang Mai. Orang-orang mengenalnya sebagai polisi yang sangat kompeten. Setiap kasus yang diserahkan padanya, hampir selalu diselesaikan dengan baik—meskipun segelintir orang sudah tahu bahwa di balik sosoknya yang karismatik, ramah, dan murah senyum itu, ia adalah pribadi yang sadis dan tidak kenal ampun. Tak terhitung ada berapa banyak pelaku kejahatan yang berakhir babak belur atau terbaring koma di rumah sakit, jika mereka sedang sial.

Namanya sendiri sudah santer di kalangan kelompok kriminal yang berbasis di Chiang Mai, dan kebanyakan dari mereka akan kalang kabut jika mendengar kabar bahwa mereka akan segera diringkus oleh Letnan Dua Sarocha Chankimha.

Masih ingat dengan latar belakang ayah Freen? Hei, kendati ayahnya memiliki jabatan tinggi, ia tetap berjuang demi karirnya dengan kemampuannya sendiri. Yah, meskipun pengaruh ayahnya tanpa ia ketahui juga tetap bermain di belakangnya. Namun, selama berkarir di kepolisian mulai dari ia masih kadet hingga sempat mencicipi pangkat kapten, satu-satunya momen di mana ia membutuhkan kekuasaan sang ayah untuk melindungi karirnya adalah saat ia menembak mati enam orang warga sipil bersama dengan tiga orang pelaku perampokan sekaligus.

Pada waktu itu Tuhan sedang berpihak di sisinya. Dengan pengaruh dan kekuasaan ayahnya dan juga image polisi teladan yang sudah melekat kuat dalam dirinya, Freen mampu menyeret opini dan memutarbalikkan kenyataan hingga insiden itu justru memberinya sebuah keberuntungan. Media massa memberitakan insiden itu sebagai aksi penyelamatan heroik dari seorang polisi yang berusaha menyelamatkan para sandera. Jumlah para korban pun berhasil dimanipulasi sehingga seluruh media hanya menyebutkan tiga orang korban dari jumlah aslinya yang mencapai sembilan orang.

Dalam insiden tersebut, mereka membuat skenario seperti ini; terjadi perampokan bersenjata disertai penyanderaan di salah satu cabang bank milik swasta di Chiang Mai yang dilakukan oleh tiga orang residivis. Beberapa orang polisi dan petugas anti-teror ditugaskan ke lokasi untuk menangani situasi tanpa menjatuhkan korban jiwa. Tapi pada suatu waktu, upaya negoisasi gagal dan ketiga pelaku itu membuat kekacauan dengan menembak secara serampangan ke arah polisi yang masih berusaha bernegoisasi demi menyelamatkan sandera—termasuk Freen. Sialnya, peluru-peluru itu justru mengenai para sandera dan membunuh mereka.

Padahal jika dilakukan olah TKP dan pemeriksaan barang bukti, peluru-peluru yang bersarang pada tubuh para sandera yang menjadi korban itu cocok dengan peluru pistol yang digunakan oleh Freen dan jauh berbeda dengan peluru yang digunakan oleh pelaku. Tentu saja kita semua sudah tahu apa yang terjadi dengan peluru-peluru tersebut, bukan? Tepat sekali. Ditukar dan dimusnahkan.

Saat pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup oleh internal kepolisian pun, Freen dapat menjawab dengan mudah bahwa insiden penembakan itu terjadi karena para pelaku yang berjumlah tiga orang berusaha melawan balik dengan menembaki polisi sehingga Freen pun melakukan usaha perlindungan diri dengan membunuh semua pelaku dengan tembakan di kepala—bagaimana dengan sandera yang turut terbunuh karena tembakannya? Well, salah siapa orang-orang itu berteriak-teriak histeris seperti orang gila? Kalau saja mereka tenang, mungkin mereka tidak akan tertembak.

Ungkapan pembelaan diri yang diajukan oleh Freen pun diterima oleh pihak internal. Sehingga kroni-kroni ayahnya bisa melanjutkan pekerjaan sisa dengan mudah. Sebut saja pembayaran uang tutup mulut pada semua pihak yang menjadi saksi mata—sebenarnya tidak hanya uang tutup mulut saja sebab Freen yakin betul bahwa ayahnya sempat memerintahkan suatu kelompok untuk benar-benar mematikan bukti yang tersisa. Apa yang mereka lakukan, Freen tidak tahu dan juga tidak peduli.

Seharusnya, setelah melakukan pembunuhan spontan itu Freen akan dipecat secara tidak hormat dari kepolisian. Lebih parah lagi, ia mungkin akan diadili di hadapan publik melalui sidang terbuka dengan para juri yang semakin memberatkan hukumannya. Faktanya, ia hanya mendapatkan penurunan pangkat dan dipindahtugaskan ke kota lain—tepatnya, di Bangkok. Sekali lagi, terima kasih pada pengaruh dan kekuasaan ayahnya di lingkungan kepolisian dan politik.

Apakah ia menyesal atas perbuatannya? Apakah ia menyesal setelah melihat banyaknya genangan darah di lantai, asap yang mengepul dari ujung pistol, dan selongsong peluru yang berceceran di bawah kakinya?

Tidak. Ia tidak pernah menyesal atas perbuatannya itu. Untuk apa ia menyesali apa yang sudah terjadi? Toh, nyawa sembilan orang itu juga tidak akan bisa kembali jika ia bersikap melankolis. Apa yang Freen lakukan selalu memiliki alasan, ia juga memiliki alasannya sendiri mengapa ia menembak mati orang-orang itu dengan pistolnya.

Benar, semua yang terjadi... pastilah memiliki alasan di baliknya.

Setelah memberikan keycard cadangan pada Becca dan memberikan sedikit room tour untuknya, Freen segera berpamitan untuk kembali ke kantor. Sebelum berangkat, Becca menawarkan diri untuk memasak dan Freen, yang tidak terbiasa mendapatkan pertanyaan semacam itu tentu saja sempat berdiri diam di ambang pintu dengan wajah kebingungan.

Becca juga merasakan hawa kecanggungan yang aneh itu sebab ia baru saja menyadari bahwa ia seperti sedang berbicara pada istrinya sendiri yang sedang berangkat bekerja—yang mana ia ingin menghantam kepalanya pada dinding setelah menyadarinya. Freen sebagai istrinya kelak? Demi Tuhan, ia akan segera menjatuhkan gugatan cerai dalam waktu paling lama satu bulan jika suatu hari nanti Freen menikah dengannya.

Becca mendesah frustasi karena pemikiran itu. Lagipula coba lihat ekspresi macam apa yang ada di wajah Freen? Ia tampak makin menyebalkan dengan wajah terkejutnya itu. "Itu bukan seperti aku akan memperlakukanmu seperti kekasih, istri, atau semacamnya oke? Aku hanya ingin membalas kebaikanmu," menyerah, memutuskan untuk membuyarkan kecanggungan di antara kedua wanita itu, Becca menarik napas dalam sebelum melanjutkan dengan lebih lembut, "Kau. Mau. Makan. Apa?"

"A—Ah?" Si Chankimha itu sontak terkesiap, sempat kebingungan merangkai kalimat. Meski pada akhirnya ia tetap menjawab, "Terserah kau...? Atau mungkin kita bisa memesan lewat layanan delivery daripada kau harus repot-repot memasak di dapurku."

"Jadi kau mengatakan jika aku ini tukang masak yang buruk?"

"Bukan begitu!" Freen melepaskan cengkeramannya dari gagang pintu. "Kau itu tamu di apartemenku. Jadi—"

Becca menghembuskan napas, berbalik menjauh dari Freen seraya melambaikan tangan padanya, "Baiklah. Aku akan membuat tom yum saja." Ia menjawab sembari membuka kulkas dan mulai mencari apa yang ia butuhkan.

"Terserahlah, pokoknya jangan membuat dapurku terbakar," Freen menyahut lagi. Ia membuka pintu di depannya sembari sesekali melirik ke layar ponsel untuk mengecek apakah taksi online yang ia pesan sudah ada di lobi apartemen atau belum. Jaraknya sudah tidak terlalu jauh, jadi lebih baik baginya untuk segera turun ke lantai bawah dan menunggu. "Armstrong, sepertinya aku akan pulang agak larut. Jadi tolong kunci pintunya dan jangan biarkan siapapun selain orang aku masuk ke dalam, oke?"

Ia dapat mendengar Becca menjawab ya dari dalam. Itu sudah cukup membuat Freen merasa lega karena ia mendengar ucapannya sehingga ia segera menutup pintu, menguncinya, berlari kecil menyusuri lift untuk turun ke lobi apartemen. Beruntung kondisi sedang sepi sehingga ia tidak perlu menunggu lift untuk singgah ke lantai lain dan membuat waktunya terbuang sia-sia.

Dalam waktu kurang dari lima menit, Freen sudah berada di lantai satu. Tanpa menunggu waktu, ia segera berjalan ke arah lobi dan melihat ke luar pintu kaca. Dari kejauhan ia melihat suar lampu mobil yang bergerak mendekati lobi. Plat nomor mobil itu cocok dengan yang tertulis di aplikasi sehingga sudah jelas mobil tersebut adalah taksi online yang ia pesan beberapa waktu yang lalu.

Perjalanan menuju kantor terasa begitu cepat karena Freen sempat tertidur di tengah jalan. Begitu ia bangun, taksi sudah berada di gerbang utama dan sedang diperiksa oleh petugas keamanan. Ia segera mengusap kedua matanya dan menyiapkan sejumlah uang untuk membayar biaya taksi begitu ia turun nanti. Beberapa menit kemudian dan setelah menyelesaikan transaksi, Freen segera beranjak menuju lift—mengabaikan personel-personel lain yang lewat di sekitarnya.

Jujur saja, ketika sedang menunggu lift, ia merasa ada beberapa pasang mata yang menatapnya dari kejauhan. Tapi ia tidak mempedulikan itu dan memutuskan untuk masuk ke dalam begitu pintu lift terbuka.

Begitu tiba di depan ruangan khusus tim investigasi, letnan muda itu segera mendorong pintunya terbuka. Freen langsung menjatuhkan ponselnya di atas meja sebelum turut bergabung dengan Noey, Heng, dan Irin. Heng tampak sedang berdiri di depan papan yang penuh dengan tempelan foto, catatan-catatan kecil yang ditulis dengan pulpen, dan juga garis-garis merah dan hitam yang ditorehkan dengan menggunakan spidol. Crime board itu semakin lama menjadi semakin penuh saja, batin Freen.

Foto-foto yang menempel di sana cukup banyak. Dimulai dari foto Sersan Rebecca Armstrong yang diletakkan di posisi paling atas, kemudian di bawahnya ada foto terduga pelaku pembunuhan—foto yang didapatkan dari footage CCTV—lalu di bawahnya lagi, foto keempat korban termasuk dengan keterangan nama panggilan dan foto-foto saat jenazahnya ditemukan. Di sekitar foto itu tersebar catatan-catatan penyelidikan, meliputi detail-detail yang ditemukan oleh polisi dan petunjuk. Lalu kembali ke atas, foto Sersan Seng Wichai ditempatkan di samping foto Becca, dengan dua tanda panah yang berurutan diarahkan ke foto Becca.

Secara tidak langsung susunan foto tersebut mengatakan bahwa si pembunuh memerintahkan Seng untuk menghabisi Becca.

"Keparat sinting itu tetap bersikeras mengatakan bahwa ia melakukan percobaan pembunuhan atas perintah seseorang yang menghubunginya melalui ponsel sekali pakai. Ia diancam, dan diteror habis-habisan selama dua minggu penuh hingga akhirnya ia setuju dan melakukan rencana pembunuhan sesuai apa yang diperintahkan." Heng menjelaskan ketika Freen berdiri di sampingnya. Ia melirik wajah muram letnan itu dari sudut mata, mengetahui bahwa wanita itu terlihat serius mendengarkan. "Sudah ada empat korban dengan masing-masing nama depan ARMS secara berurutan. Semakin jelas pembunuh yang kita cari ini sengaja mempersembahkan korban-korban ini untuk Becky."

"Aku sudah mencari tahu orang-orang yang sempat bekerja sama dengan Becky selama lima tahun terakhir. Termasuk memeriksa catatan-catatan dari semua kasus yang ia tangani selama ini," Noey menatap kosong pada tumpukan berkas yang menutupi pandangan di depan matanya. Tinggi berkas-berkas itu mungkin mencapai 20cm. "tidak ada orang yang berpotensi menaruh dendam pada Becky. Tidak ada juga orang yang memiliki ciri khas seperti dengan wanita yang muncul di CCTV rumahnya. Sepertinya kita perlu menanyai keluarganya mengenai hal ini."

Freen berdecak dan berjalan kembali ke meja kerjanya. Berdiri di depan dan memutar otaknya di depan crime board benar-benar membuat isi kepalanya seperti diaduk-aduk. Dalam kasus pembunuhan seperti ini, Freen selalu berusaha menempatkan diri di posisi di pembunuh. Jika aku pembunuhnya, kira-kira langkah apa yang akan aku lakukan selanjutnya?

"Benar juga. Bagaimana dengan kediaman Keluarga Armstrong? Apa personel yang ditugaskan di sana mendapatkan sesuatu atau mungkin menemukan orang asing yang berkeliaran di sana?" Freen bertanya lagi. "Di saat seperti ini, mereka lah yang berada dalam posisi yang tidak diuntungkan."

Irin menggeleng. "Sejauh ini tidak ada laporan yang masuk. Jadi situasinya masih cukup aman." Wanita muda itu lalu berpaling pada Heng seraya berdiri dari tempat duduknya. Ia juga menyambar jaket yang tersampir di kursi. Sepertinya ia akan pergi ke suatu tempat. "Heng, aku akan pergi untuk menggeledah kediaman Seng bersama yang lain sekarang. Ada sesuatu yang janggal di tempat itu dan aku ingin datang lagi untuk mengambil apa yang tertinggal. Apakah aku masih memerlukan surat perintah?"

"Tentu saja, sebentar," Heng beranjak dari depan crime board dan beranjak kembali ke meja kerjanya untuk mengeluarkan sebuah blangko surat tugas dari dalam laci meja. Setelah memberikan beberapa keterangan dan menandatangani surat tersebut, ia menyerahkannya pada Irin. "Noey, kuharap kau tidak pergi ke mana-mana karena aku ingin kau membantuku dengan papan sialan ini di sini."

Noey mengetikkan sesuatu di keyboard laptopnya, "Oke, boss."

Sepeninggal Irin, Freen merasa ia tidak memiliki apapun lagi untuk dikerjakan. Well, sebenarnya ada. Tapi ia merasa kepalanya akan mengalami disfungsi jika ia terus memaksa tinggal di dalam ruangan yang penuh dengan personel yang saling berdebat tentang kasus. Jengah, wanita itu akhirnya mengambil ponselnya dan berjalan keluar. Lagipula ia harus menemuin Mind setelah ini karena ia berniat mengajaknya ke Central Institute Forensic Service.

Setelah mendapat afirmasi dari Heng yang kini menjadi kepala tim investigasi, Freen segera keluar menuju koridor. Ia sudah mengirimkan pesan pada Mind untuk menjemputnya di kantor, wanita itu sendiri juga mengonfirmasi jika ia sedang berada dalam perjalanan dan akan tiba dalam beberapa menit. Masih ada waktu baginya untuk berhenti di depan vending machine dan membeli tiga buah kopi kaleng. Ia merasa akan menghabiskan waktu lama di kantor forensik. Jadi karena ia tidak ingin mengantuk dan kehilangan fokus, Freen memutuskan untuk menenggak habis dua kopi kaleng dan menyimpan sisanya untuk diberikan pada Mind.

Freen menunggu kedatangan criminal profiler sekaligus teman masa kecilnya itu di lobi. Sehingga saat mobil BMW hitam dengan kombinasi plat nomor yang ia kenal mulai masuk ke area kantor, Freen dapat melihatnya dan segera melambaikan tangan. Mobil itu berhenti di depan lobi dan Freen segera masuk agar mobil dapat segera pergi dan tidak diteriaki oleh penjaga keamanan.

"Kupikir kau akan mengajakku bertemu dan berbincang di kantor," Mind berucap. Freen meletakkan kopi kaleng di pangkuannya dan wanita itu menggumamkan ucapan terima kasih sebelum memindahkan minuman kaleng dingin itu ke tempat lain di pintu mobilnya.

Freen menghembuskan napas berat. Ia tampak begitu lelah dan dua kaleng kopi yang ia tenggak sama sekali tidak membantu menghilangkan kantuk. Dengan nada lemas, ia menyahut, "Tidak ada waktu, Mind. Aku akan membawamu untuk melihat tim forensik melakukan prosedur post-mortem agar kau bisa mendapatkan pandangan lebih baik dari mayat yang satu ini. Urgh, melihatnya saja aku tidak bisa. Terlalu mengerikan."

"Oh," Mind mengangguk paham, "Kau mengirim foto mayatnya via LINE saat aku sedang menikmati makan siang. Benar-benar sopan."

"Maafkan aku, oke? Mana aku tahu kau sedang makan waktu itu. Aku ini polisi, bukan cenayang, dukun, atau semacamnya."

Mendengar wanita di sampingnya mulai melayangkan protes dengan bersungut-sungut, Mind tidak bisa menahan diri untuk tergelak kecil. Teman lamanya ini masih belum banyak berubah setelah ia diadopsi oleh keluarga kaya dan mulai berkarir di kepolisian—di matanya, Freen masih seperti bocah tengil yang akan menjawab ucapanmu dengan nada bicara yang sama menyebalkannya dengan ekspresi yang melekat di wajah.

"Mind," setelah beberapa menit berada dalam keheningan, Freen akhirnya angkat bicara. Ia menunduk, pandangannya tertuju pada kedua tangannya yang mengepal erat di atas paha. Wanita itu tampak gugup dan panik di waktu yang bersamaan dan Mind sempat tertegun sejenak. "Aku tidak ingin melakukan hal yang sama dua kali di Bangkok."

Melakukan hal yang sama? Dahi Mind mengerut dalam. Ia terdiam, berusaha mencerna apa yang diucapkan oleh Freen barusan. Detik selanjutnya, realita menghantamnya seperti bongkahan baja yang dijatuhkan di atas kepala—Mind sepenuhnya sadar bahwa Freen merujuk pada insiden berdarah yang melibatkan dirinya. Apa... Tidak mungkin ia melakukan hal semacam itu lagi, bukan?

Namun alih-alih menunjukkan kegelisahan yang sama, Mind mencoba untuk menyembunyikan dan mengendalikan dirinya. Ia berusaha untuk tetap tenang dan menjawab santai, "Apa? Memangnya kau melakukan apa? Jangan bilang kau bermain-main dengan wanita-wanita yang baru kau kenal di diskotik?"

"Mulutmu itu—" jengkel setengah mati, Freen refleks mengangkat tangannya seperti akan menampar wajah Mind meski pada akhirnya ia menarik tangannya dan tidak jadi menampar wajah temannya itu. Bisa gawat jika mereka mengalami kecelakaan tunggal hanya karena saling menampar di dalam mobil. Akhirnya, tanpa melayangkan tangannya di wajah Mind, Freen menjawab singkat, "Aku... tidak ingin melenyapkan lebih banyak orang yang mengetahui rahasiaku, Mind. Lagipula, aku sudah menghapus semua memori mengerikan itu dan memulai semuanya dari awal lagi di sini. Mendengar ada orang yang tahu akan insiden penembakan itu... membuat perutku mual."

"Siapa orang yang kau maksud itu?"

Freen menelan ludah. Lidahnya sempat kelu selama beberapa saat. "Sersan... Rebecca Armstrong."

Mind menghembuskan napas pelan. Insiden penembakan yang Freen maksud itu termasuk dalam rahasia paling gelap yang seharusnya tidak diketahui siapapun, sebuah rahasia yang seharusnya hidup sebagai rumor-rumor yang akan hilang dalam satu atau tiga minggu. Biasanya Freen tidak peduli dengan itu, tapi kali ini ia terlihat gelisah dan ketakutan karena seseorang bernama Rebecca Armstrong itu mengetahui rahasianya.

Jujur saja, itu hal yang baru dan Mind tidak pernah mempersiapkan jawaban sebab ia tidak tahu saat-saat seperti ini akan muncul. "Entahlah, Freen. Mungkin kau perlu membicarakan semuanya dengan wanita bernama Rebecca ini. Lebih baik ia mengetahui segalanya darimu daripada mengetahuinya dari mulut orang lain."

"Kau mengatakannya seolah itu adalah sesuatu yang mudah sekali dilakukan. Aku sedang mencoba menjaga kepercayaannya padaku. Hal semacam ini bisa membuat apa yang sudah kubangun selama ini hancur seketika dalam waktu kurang dari satu detik."

"Tunggu dulu, sejak kapan kau mulai menaruh kepercayaan dengan orang lain?" Mind menyahut cepat. Sementara Freen hanya tersenyum tipis sembari menatap wajah terkejut temannya itu dari kaca rearview.

Mereka berdua tiba di kantor CIFS satu jam kemudian. Setelah merapikan penampilan, mereka segera masuk ke dalam gedung dan menunjukkan tanda pengenal pada petugas yang berjaga di sana. Setelah menyampaikan tujuan kedatangan, petugas itu menawarkan diri untuk mengantarkan Freen dan Mind ke ruangan tempat tim forensik Dokter Nam bekerja yang mana tawaran itu langsung diterima oleh Freen.

Petugas itu mengantar mereka ke lantai 3, tepat di depan pintu ganda bertuliskan ruang otopsi. Pintu itu dibuka dan terdapat ruangan lagi yang dikelilingi oleh kaca transparan yang dilengkapi dengan tirai. Dokter Nam baru saja keluar dengan agak terburu-buru dari ruangan pribadinya yang ada di sebelah ruang otopsi, ia menyambut kedatangan dua orang wanita muda itu.

"Ah, Letnan Chankimha," Nam menyapa. Ia membiarkan kedua orang itu masuk ke dalam dan menutup pintunya lagi. Dokter forensik itu juga mengantarkan mereka masuk ke dalam ruangan kaca untuk melihat mayat yang masih di observasi. "Heng sudah menghubungiku jika kau akan datang. Awalnya aku sedikit terkejut karena biasanya Becky yang datang untuk memantau otopsi. Tapi kemudian ia memberitahuku jika Becky sedang diberi dispensasi."

Freen menggumam dan mengangguk. "Iya. Sersan Armstrong sedang menjalani terapi di fasilitas dan akan kembali dalam bulan depan. Sementara itu, aku yang akan menggantikan pekerjaannya."

Mendengar itu Nam mengangguk. Suara nyaring dari wanita itu kemudian terdengar lagi, "Dan orang di sampingmu? Personel baru Saint lagi?"

"Ah, tidak. Ini Sawaros Nekkham, criminal profiler yang waktu itu kuceritakan padamu. Dan Mind, ini Orntara Poolsak. Dia ahli patologi forensik yang bekerja sama dengan tim investigasi untuk mengotopsi mayat korban pembunuhan berantai."

Begitu Freen selesai memperkenalkan masing-masing dari mereka, Mind dan Nam mengambil waktu beberapa detik untuk saling bersalaman. Mereka berbincang sejenak untuk mencairkan suasana sebelum melompat ke topik utama sekaligus yang menjadi alasan mengapa Mind dan Freen datang ke kantor CIFS.

Nam menyerahkan sebuah lembaran kertas berisi catatan jalannya otopsi yang dijepit pada sebuah papan pada Freen. Mengambil sarung tangan karet baru yang tidak kotor oleh darah dan mengenakannya dengan lihai, Nam berjalan kembali mendekati mayat seraya membawa senter kecil. "Merekonstruksi kepalanya sangat sulit karena tulang tengkoraknya benar-benar hancur. Bola matanya juga hilang satu dan petugas yang turun ke TKP tidak berhasil menemukan bola mata yang hilang itu meskipun sudah mencari selama beberapa jam. Aku curiga si pembunuh membawa bola matanya."

Nam menggunakan senter itu untuk menerangi bagian wajah korban yang dipenuhi oleh jahitan. Tim forensik benar-benar bekerja keras untuk mengembalikan bentuk kepala korban menjadi bentuk kepala manusia biasa meskipun tidak sepenuhnya kembali seperti semula. Tapi paling tidak, sisa-sisa tulang dan isi kepalanya tidak berceceran di lantai dan brankar operasi.

Memang ada bola mata yang hilang dan pada bagian kosong yang seharusnya menjadi tempat bola mata berada, terdapat luka goresan yang cukup dalam. Luka yang sama juga ditemukan pada bagian pelipis dan kelopak mata.

Freen berdecak dan berpaling ke arah lain dan mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Sentuhan kasar itu mendarat tepat pada luka cakaran yang ada di wajahnya sehingga ia sempet mendesis menahan perih selama beberapa detik. Melihat kondisi mayat yang tambal sulam seperti itu membuat bulu kuduknya merinding jadi ia memutuskan untuk mendengarkan pembicaraan Nam dari jauh sembari membaca catatan-catatan otopsi dari korban-korban sebelumnya.

"Apa ada bagian tubuh yang hilang dari korban-korban sebelumnya?" Mind akhirnya bertanya.

Nam mengangguk dan berpaling pada Freen. Wanita itu tampak mengerti dan membawakan berkas-berkas laporan otopsi yang sedang ia baca untuk ditunjukkan pada Mind. "Kebanyakan korban kehilangan beberapa jari, lidah, hingga pergelangan tangan. Tapi semuanya ditemukan di dalam tenggorokan korban. Untuk yang satu ini, kami tidak menemukan bola mata di dalam tenggorokan hingga lambungnya."

"Freen sudah memberitahuku jika cara membunuhnya berubah total di korban keempat ini. Secara kebetulan, tim investigasi berhasil mendapatkan satu orang saksi yang benar-benar melihat si pembunuh secara langsung dan ciri-cirinya juga cocok dengan wanita yang muncul dalam rekaman kamera CCTV," Mind menyilangkan kedua lengan di depan dada. Wajahnya tertekuk, tampak berpikir dalam dengan segala asumsi yang ada di dalam kepala. "Hey, kenapa aku merasa bahwa pembunuh yang kita cari sedang berada di sekitar kita? Ia mengubah cara ia menghabisi korbannya dan membuat TKP menjadi lebih berantakan setelah kepolisian menemukan titik terang. Tujuannya jelas untuk membingungkan polisi, dan bukan untuk hal lain. Ia mengetahui semua informasi yang tidak diketahui publik seperti ini jadi jangan salahkan aku jika aku merasa pembunuhnya kemungkinan besar berasal dari kalangan kepolisian atau forensik."

"Kau boleh berasumsi, tapi kita tetap harus mencari bukti." Freen menyahut dari belakang. Wanita itu kembali sibuk dengan apa yang ia lakukan—memeriksa semua yang ada di ruang otopsi, termasuk peralatan-peralatan komputer, mikroskop, alat pengganda DNA, dan lainnya.

Menengok ke belakang, memastikan Dokter Nam sedang sibuk berbicara dengan Mind di depan mayat yang sedang dibedah untuk keperluan otopsi, Freen berjalan mengendap-endap meninggalkan mereka untuk masuk ke dalam ruangan pribadi Dokter Nam yang terpisah dari tempat mereka membedah mayat. Bau formalin yang ia cium sejak mereka masuk ke dalam ruang otopsi pun menjadi semakin kuat ketika Freen berdiri di depan pintu.

Formalin adalah salah satu cairan yang digunakan untuk mengawetkan mayat. Jika demikian, seharusnya bau tersebut berpusat di ruang otopsi dan bukan di ruang pribadi Dokter Nam. Pada umumnya, Dokter Forensik atau orang-orang yang bekerja dengan mayat akan sebisa mungkin menghindari bau-bau semacam itu di tempat selain mereka melakukan pembedahan. Itu dilakukan dengan tujuan menghapus ingatan-ingatan yang tidak diharapkan ketika mereka menyayat dan membedah mayat.

Tapi ini... Dokter Nam justru memiliki bau yang lebih kuat di ruangan pribadinya. Mungkin itu detail kecil yang akan dilewatkan oleh sebagian besar orang, tetapi bagi Freen itu tetaplah sesuatu yang tidak wajar.

Memutar kenop pintu dengan gerakan lembut dan penuh kewaspadaan, Freen menghembuskan napas lega begitu tahu pintu itu tidak terkunci. Dengan antusias ia mendorong pintu dan membukanya sedikit. Ada sebuah kotak kuning yang diletakkan di atas meja. Kotak itu ditutup sedemikian rapat dengan kardus dan plastik yang diikat oleh tali, untuk membukanya mungkin dibutuhkan waktu dan tenaga yang sedikit lebih besar.

Namun, kendati kotak kuning itu ditutup sedemikian rapat, Freen berhasil menemukan celah agar ia dapat mengintip benda apa yang ada di dalam sana. Seperti dugaannya, benda yang ada di dalam kotak itulah yang menjadi sumber bau formalin yang menyesakkan dan memenuhi seluruh ruangan.

Di dalam sana, ada banyak sekali bekas botol formalin yang sudah kosong. Dan Freen bersumpah ia melihat banyak sekali noda-noda berwarna cokelat seperti bekas darah lama yang menempel pada permukaan botol.

Brengsek, apa-apaan ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top