Chapter 1: The Stalker
Waktu yang sudah menunjukkan tengah malam bukan berarti menandakan bahwa lalu lintas pusat kota Bangkok akan berubah menjadi lebih lengang daripada di waktu dan hari biasa. Rasanya sama, dengan mobil atau kendaraan umum yang melaju dengan kecepatan standar dan lampu lalu lintas yang bersinar terang di atas sana. Itu sebabnya Rebecca bisa dengan mudah melewati jalanan tersebut tanpa perlu menyalakan lampu rotator dan sirine.
Mobil SUV miliknya meraung keras tiap kali ia memacu mobilnya lebih cepat, melewati mobil-mobil lain dengan lincah seperti ia sedang berada di arena balap. Ia tak perlu takut dengan surat tilang—ia juga tidak peduli jika ia ditilang sebab ia bisa meminta bantuan temennya yang berada di divisi lalu lintas untuk mengurus pemutihan surat-surat kendaraan miliknya.
Sesekali ia melirik ponselnya yang ia letakkan pada phone holder, memastikan kembali bahwa jalurnya dan lokasi yang dikirimkan oleh rekan kerjanya sudah benar atau tidak. Dan ketika ia memastikan bahwa ia berada di jalan yang tepat, ia kembali menginjak pedal gas lebih dalam.
CentralWorld, salah satu pusat perbelanjaan yang cukup populer di Bangkok. Rebecca pernah sesekali mampir di sana dan singgah untuk membeli beberapa setel pakaian atau menghibur diri dengan berjalan tak tentu arah dan keluar tanpa membeli apa-apa—tak perlu berkomentar, sebab hal semacam itu adalah salah satu coping mechanismnya untuk menghapus kegundahan yang selalu ia rasakan.
Penemuan mayat kali ini berada di sana, Rebecca tidak tahu pasti titik di mana mayat itu ditemukan. Ia meminta rekan kerjanya untuk menghubunginya lagi begitu ia mengabarkan bahwa dirinya sudah tiba di sana. Dari kejauhan, ia sudah dapat melihat gedung-gedung tinggi penuh lampu terang—itu berarti sebentar lagi ia akan tiba.
Memutar roda stir untuk membuat belokan tajam untuk memasuki wilayah lobi pusat perbelanjaan, Rebecca menggunakan tangan kirinya untuk mengambil ponsel dan menghubungi rekan kerja yang tadi sempat menghubunginya.
Atau mungkin tidak.
Sepertinya ia memang tidak perlu melakukannya karena ia sudah bisa melihat kerumunan polisi berseragam dan garis polisi kuning yang melintang di sekitar tempat itu. Beruntung penemuan mayat kali ini terjadi di malam hari karena tidak akan ada kerumunan warga yang mengganggu jalannya evakuasi dan pemeriksaan di lokasi.
Menghentikan mobilnya beberapa meter lebih jauh, Rebecca tidak menghabiskan waktu lebih lama lagi untuk melakukan apapun di dalam mobil melainkan langsung melangkah keluar dan mendekati salah satu polisi berpakaian sipil yang tengah berdiri di dekat sebuah patung berwarna putih pucat.
Beberapa orang petugas polisi menganggukkan kepala tiap kali ia lewat dan Rebacca hanya menjawab dengan kibasan tangan—memberikan jawaban sekaligus isyarat agar mereka kembali mengerjakan tugas mereka. Patung—koreksi, mayat itu masih ada di tempatnya. Pose mayat itu mirip dengan patung Yunani, Vanus Braschi. Perbedaannya, patung yang ada di depan matanya ini terbuat dari tubuh manusia asli.
Wanita itu mengambil senter kecil yang ada di dalam saku jaket, menyorotkan cahaya senternya pada bagian mata hingga kaki mayat tersebut dan memperhatikan setiap inci serta tiap lekuk kulitnya yang putih pucat. Entah cairan kimia macam apa yang membuat kulit manusia sampai sepucat ini—bahkan rasanya mayat pun juga tidak sampai seperti ini rona kulitnya. Rebecca mendengus pelan, berusaha keras menahan mual ketika aroma pengawet mayat yang menusuk hidung.
Ia mendapati ada beberapa bekas sayatan memanjang yang ada di punggung dan dada bagian tengah. Untuk sementara, ia menduga sayatan-sayatan yang sudah dijahit kembali dengan rapi itu digunakan untuk menguras habis darah korban. Seperti biasa si pembunuh berantai ini—polisi masih belum menemukan nama julukan yang cocok untuk si pelaku—selalu menguras darah korban sebelum membuatnya seperti patung begini. Mungkin untuk menghindari bau amis darah yang akan menarik perhatian banyak orang.
"Tolong periksa semua kamera CCTV yang ada di sekitar sini. Periksa juga kamera jalanan hingga radius 6km dari sini. Jikalau ada orang mencurigakan yang menurunkan benda besar berpenutup." ucapnya pada dua orang petugas polisi yang ada di dekatnya. Dua orang polisi itu segera mengangguk dan mulai bergerak untuk memeriksa kamera CCTV dan meminta salinan berkas videonya.
Rebecca kemudian berjalan ke depan dari posisinya yang semula membelakangi mayat. Senternya kini menyorot bagian wajah.
Helaan napas berat terdengar begitu ia selesai menelisik bagian yang nampak dari mayat tersebut, dan dengan demikian ia mematikan lampu senternya menatap kosong pada mayat tersebut. Membayangkan bagaimana saat-saat terakhir korban yang mengerikan—perasaan macam apa yang ada di hatinya ketika ia tahu bahwa hidupnya akan berakhir di tangan pembunuh berantai beberapa saat kemudian.
Di tengah lamunannya, ia berhasil dikejutkan oleh tiupan keras di belakang leher. Buru-buru ia menengok dan mendapati Nam—kepala tim forensik yang biasanya selalu diterjunkan bersamaan dengan timnya—memasang senyuman tipisnya yang menyebalkan. Hampir saja Rebecca memukul perut wanita itu dengan siku jika ia tidak menengok terlebih dahulu.
"Permisi, inspektur. Memamerkan mayat manusia di depan umum adalah hal yang tidak patut untuk dilakukan. Jadi biarkan aku membereskan ini terlebih dahulu agar kau bisa memeriksanya lebih baik nanti." Nam berucap. Tanpa menunggu jawaban, wanita itu segera mengenakan sarung tangan karet dan berjalan melewati Rebecca disusul lima orang timnya.
Pertama-tama, ia mengambil beberapa tempat dan mulai memotret bagian-bagian tubuh mayat. Menandai keberadaan luka lebam, sayatan pisau dan bekas jahitan, hingga bekas ikatan tali tipis yang ada pada leher mayat. Setelah selesai mengambil beberapa foto, tim forensik dengan hati-hati untuk menurunkan mayat dan memasukkannya ke dalam kantung jenazah berwarna kuning terang, kemudian meletakkannya di atas pelataran paving dalam keadaan terbuka agar penyidik bisa memeriksa lebih lanjut.
Rebecca—inspektur sekaligus penyidik utama yang datang malam itu pun berjalan mendekati kantung jenazah untuk kemudian berjongkok di sampingnya.
"Hei, Nong. Lihat apa yang terjadi pada matamu. Aku rasa kantung itu bisa menyimpan lebih banyak uang daripada dompetmu." Nam berucap. Wanita itu pun ikut berjongkok di dekat Rebecca. Kedua tangannya yang bersarung tangan karet membuka kantung jenazah lebih lebar. "Sepertinya ada banyak yang bisa diperiksa dari mayat wanita ini. Bukankah kau juga berpikir demikian, Bec? Aku tidak mencium bau formalin dari yang si pembunuh ini pakai seperti biasanya."
"Sepertinya begitu," Rebecca menyahut. "Rekan timku mengatakan jika mereka menemukan surat dan foto polaroid. Apakah kalian menyimpannya?"
Nam mengernyit sejenak, kemudian mengangguk-angguk seakan mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Rebecca. Wanita itu mengangkat satu tangannya, meminta si inspektur untuk menunggu sementara ia berjalan mendekati salah seorang anggota timnya yang sedang membawa sebuah kotak yang terlihat berat. Dari jauh, Rebecca melihat rekan kerja Nam menurunkan kotak itu, membukanya dan mengambil sebuah kantung plastik persegi. Sebuah amplop ada di dalam sana dan Rebecca berasumsi bahwa surat dan foto yang ditujukan padanya tersimpan di dalam sana.
Nam kembali dengan kantung plastic itu beberapa saat kemudian. Ia memberikan kantung tersebut bersamaan dengan sarung tangan karet baru pada Rebecca. Tanpa diperintah, Rebecca segera melepas sarung tangan karet yang ia pakai dan menggantinya dengan yang baru sebelum ia membuka kantung plastik tempat penyimpanan barang bukti dan mengambil amplop yang ada di dalamnya.
Mengembalikan kantung plastik pada Nam, Rebecca kini memusatkan atensi pada lembaran kertas dan dua lembar foto polaroid yang ditinggalkan oleh si pembunuh. Nam memiringkan kepalanya begitu melihat Rebecca berjalan mendekati mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri. Nam kemudian berbalik dan memerintahkan anggota timnya untuk menutup kantung mayat dan memasukkannya ke dalam mobil ambulans untuk dibawa ke laboratorium forensik.
Nam masih memiliki urusan dengan Rebecca—teman dekat sekaligus rekan kerja lamanya ini—sehingga ia tidak bisa ikut berangkat lebih dulu bersama timnya. Setelah memberikan perintah dan memastikan timnya sudah selesai dengan pemindahan mayat ke dalam mobil, Nam pun berjalan cepat mendekati Rebecca yang sedang bersandar pada pintu mobil yang tertutup.
Wajah inspektur itu tampak tegang dan itu membuat Nam agak khawatir. Apalagi ketika cukup dekat, ia bisa menemukan tangan Rebecca yang memegang surat itu mulai bergetar.
"Becky?" panggil Nam. Ia menepuk-nepuk bahu Rebecca, berusaha menyadarkan juniornya itu dari guncangan emosi yang sedang menyerangnya. Tapi karena ia tetap tidak bergeming dan seolah-olah pandangannya membeku pada foto polaroid yang ada di tangan, Nam terpaksa mencengkeram kedua bahunya dan memaksa tubuh Rebecca menghadap wajahnya. "Rebecca Armstrong! Jangan melamun begitu, kau membuatku takut!"
Nam melirik pada lembaran foto polaroid yang membuat Rebecca membeku seperti patung. Segera saja ia menyambar foto tersebut dan menatapnya lekat-leka dan betapa terkejutnya ia menemukan apa isi dari foto itu—dan kini, Nam merasa wajar mengapa Rebecca sampai dibuat mati ketika melihatnya.
Dari dua foto, yang paling membekas adalah foto dari Rebecca sendiri. Foto itu diambil ketika ia sedang berada di rumah, memakai celana putih dan kemeja hitam yang digulung hingga siku. Di dalam foto itu, Rebecca tengah berdiri di depan pintu rumahnya seperti sedang membuka kunci pintu. Foto kedua adalah foto Rebecca yang sedang duduk sendirian di dalam ruang kerjanya—di sana ada sebuah meja dengan laptop yang terbuka serta tumpukan buku.
Si pembunuh mengambil fotonya—entah dari mana, bagaimana, dan apa yang ia lakukan sehingga ia bisa menyusup masuk ke kediamannya untuk menyembunyikan sebuah kamera pengintai di dalam rumahnya. Sungguh, mengetahui bahwa selama ini gerak-gerik dan kesehariannya di rumahnya sendiri sedang diperhatikan dan diawasi oleh pelaku pembunuhan berantai adalah fakta mengerikan yang paling tak ingin ia ketahui untuk saat ini.
Isi suratnya pun juga menggambarkan betapa senang si pembunuh mengetahui apa saja kegiatan harian Rebecca, apa saja yang ia lakukan sepulang dari kantor, makanan apa yang biasa ia beli melalui layanan pengiriman makanan, hingga di mana Rebecca biasa menyimpan kunci mobil, ponsel, dan barang-barang lainnya.
Ia benar-benar dikuntit sekarang. Bahkan lebih parah dari sebelumnya. Pun dirinya tak menduga bahwa ia akan diikuti oleh si pembunuh sampai sejauh ini. Apakah ia sengaja menggertakku dan membuatku takut agar aku melepaskan kasus ini? Ia meremas selembar surat tersebut. Membuat sebagian kertas itu lusuh dan nyaris robek. Kalau memang begitu tujuanmu, maka rencanamu itu gagal total. Aku tidak takut. Aku tidak akan pernah takut denganmu.
"Aku baik-baik saja, jangan khawatir," Rebecca mengusak anak rambut yang menutupi dahi, menyugar rambut-rambut kecokelatannya ke belakang dengan raut wajah frustasi yang berusha ia sembunyikan. Bagaimanapun juga, ia harus tetap terlihat professional. Memandang Nam sekilas, ia berucap, "Si pembunuh ini hanya memprovokasi dan berniat membuatku takut saja. Dia tidak akan berani melakukan apapun terhadapku."
"Mungkin tidak denganmu. Tapi bagaimana dengan keluargamu? Teman-temanmu?"
Balasan Nam yang sebenarnya tidak terlalu ofensif sukses membuat Rebecca yang sedang digulung amarah pun tersinggung. Refleks, ia menyahut cepat, "Apa maksudmu dengan kalimat itu? Kau mulai perlu memikirkan kembali apa yang kau ucapkan dengan mulutmu itu."
Menyadari ia telah salah memilih kalimat dalam menyampaikan kekhawatirannya, Nam tak ayal mengeluarkan helaan napas kasar. Sejenak ia menengok ke arah lain sebelum kembali memandang Rebecca. "Oke, maaf," ucapnya. "Maafkan aku karena telah salah berbicara. Aku hanya khawatir dengan keselamatanmu dan keselamatan teman-temanmu—juga, kita semua. Kau tahu pembunuh ini, uh, sedikit sinting. Kita tidak bisa memprediksi kapan dan siapa korbannya selanjutnya karena ia tidak memiliki pola apapun."
Rebecca menggigit bagian dalam mulutnya. Memilih tidak lagi menjawab dan hanya mengangguk-angguk malas. Ia mengembalikan lembaran surat dan foto polaroid pada Nam agar ia bisa mencari jejak-jejak DNA atau bahkan sidik jari si pelaku yang tersisa pada kedua barang bukti itu. Nam menerimanya dan kembali memasukkannya ke dalam kantung penyimpanan barang bukti dan menyimpannya ke dalam saku mantel.
Melirik pada belasan orang petugas polisi yang masih berkumpul untuk mengamankan TKP, Rebecca dan Nam berjalan kembali ke tempat kumpulan polisi itu berada. Sepanjang perjalanan, mereka saling berdiam hingga akhirnya mereka berdua berhenti di luar police tape kuning yang membentang di tempat patung mayat itu sebelumnya berada. Nampaknya tempat itu baru akan steril dan tidak lagi ditutupi dengan garis polisi dua hari lagi. Mereka tidak ingin orang asing merusak bukti-bukti yang masih tersisa di TKP.
"Kabarnya akan ada personel tambahan dari Kantor Kepolisian Chiang Mai untuk timmu. Tapi itu hanya rumor, kita tidak tahu personel baru itu akan ditempatkan di divisi apa tapi yang pasti, karena personel baru itu adalah anggota terbaik dari tempat asalnya, kemungkinan besar ia akan ditempatkan di sini untuk membantu menyelesaikan kasus ini."
Rebecca memutar lehernya, memandang Nam dengan sorot mata malas. Personel baru? Terakhir kali Rebecca mendapatkan rekan baru dari luar, terjadi kekacauan dan ia harus menanggung hukuman akibat menghilangkan barang bukti utama dari kasus yang ia tangani sebelumnya. Itu sebabnya ia tidak tampak tertarik ke mana arah pembicaraan Nam yang membahas tentang calon anggota baru tersebut.
Menyadari perubahan raut wajah dari si Armstrong muda, Nam tampak tertawa geli. "Aku tahu kau sangat anti dengan orang baru. Tapi kau harus mempertimbangkan orang ini jika ia benar-benar dimasukkan ke dalam timmu."
"Aku tidak tertarik." Jawab Rebecca, kedua tangannya dimasukkan ke dalam jaket.
Mendengar ucapan Rebecca, Nam lantas tersenyum tipis. Tak ada gunanya memberitahu anak ini tentang siapa personel baru yang akan didatangkan dari Chiang Mai—Becky sudah kepalang jengkel dan kesal karena pengalamannya di masa lalu sehingga ia tak ingin ada hal yang sama terjadi dua kali. Lebih baik baginya untuk tahu sendiri siapa orang yang datang daripada harus berbicara tanpa henti dan membuat mulutnya berbusa, karena juniornya ini tetap tidak akan mau mendengarkan.
Melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, Nam menggumam sejenak ketika tahu jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Menyentuh bahu Rebecca untuk menarik perhatiannya, Nam berucap dengan suara pelan karena mengantuk, "Aku harus ke laboratorium forensik. Ada mayat yang harus dibedah dan diteliti untuk laporan, kau mungkin mau ikut denganku untuk membantumu membuat dugaan-dugaan dan menemukan bukti lain."
"Aku juga tahu kau datang tanpa membawa mobil dan menumpang van kantormu. Katakan saja kau butuh tumpangan," sudut bibir Rebecca tertarik ke atas, membentuk senyuman tipis. "Beri aku waktu tiga puluh menit untuk mengecek tempat kejadian perkara satu kali lagi. Setelah itu kita akan membeli makanan cepat saji dan mampir ke laboratorium forensik."
Nam membalas senyuman itu—sedikit lega karena akhirnya ia bisa melihat senyuman si Armstrong muda setelah hal berat yang mengguncang mentalnya selama ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top