Naik Dibantu, Turun Dipandu
Naik dibantu turun dipangku, eh maksudnya dipandu.
Suara kembang api terdengar bersahut-sahutan, padahal waktu masih menunjukkan pukul 23.45 dan para pria muda itu sudah berlenggang meninggalkan jagung yang masih di panggang. Hanya menyisakan dua orang pria jangkung dan satu temannya.
Kudengar mereka akan pergi ke atap—atap musola samping rumah saudaraku.
"Bagaimana caranya naik ke atap?" pikirku.
Lalu kudengar mereka naik lewat belakang. Tak pikir panjang, aku bergegas masuk ke rumah bibi, memanggil temanku agar ikut untuk menyaksikan kembang api di malam pergantian tahun. Dia pun segera bergegas mengikutiku, padahal sedang menikmati salad buah yang sebelumnya kuberikan.
"Ayo kak kita naik ke atap musola, liat kembang api," ajakku yang disambut antusias.
"Oh iya ya, ayo."
"Naiknya lewat mana may?"
"Itu lewat sana kak."
"Lewat mana?"
Aku mulai bingung, mereka udah naik ke atap tapi bagaimana caranya? Aku melihat ke sekeliling, mencari cara dan kulihat kursi di depan rumah. Orang-orang di situ pun bilang kalau cowok-cowok itu naik lewat situ dengan cara memanjat, tanpa tangga atau kursi. Lalu aku masih celengak-celinguk memikirkan bagaimana caranya agar bisa naik. Jalan satu-satunya dengan kursi itu.
"Nggak ada tangga,nekad nggak bisa juga manjat, temboknya terlalu tinngi, tapi pake kursi kali ya kak."
"Ih nggak enak ego pinjem sama orang itu kursinya."
"Nggak papa sih w pinjem aja, pengen naik pokoknya.
Aku tidak peduli dengan rasa malu, sungguh egois sekali diriku ini, akan tetapi moment seperti ini jarang terjadi, dan kalianpun tau seorang May itu nekad, begitupun saat itu, jiwa nekadku kembali. Aku dan teman perempuanku bersama-sama mengambil kursi dan mencoba naik, akan tetapi tidak sampai, temboknya masih terlalu tinggi. Entah karena bangunannya atau memang kaku kami para wanita ini yang pendek. Hehe
Pada kenyataannya kami tidak bisa naik ke atap meski dengan bantuan kursi.
Seperti tahun setiap akhir tahun, selalu ada harapan meski di penghujung malam pergantian tahun, satu pria yang belum aku ketahui namanya muncul entah dari mana, yang pasti dia datang membantu. Tangannya terulur, menggenggam tanganku erat, membantuku naik ke atap. Lalu diikuti temanku. Sementara aku sibuk memegangi jagung yang disodorkan oleh lelaki lainnya yang datang.
Dengan jagung di genggamanku, aku sadar bahwa pria ini sebenarnya mau mengambil jagungnya bukan untuk membantuku naik, tapi dia tetap membantuku naik.
Aku menyerahkan jagung-jagungnya kepada mereka. Dan kuabadikan moment pergantian tahun untuk pertama kalinya bersama para pria muda yang rusuh tapi asik. Obrolan mereka, canda tawnya, juga ketulusannya membuatku tak menyesal melakukan hal senekad itu.
Menit-menit telah berlalu, aku memandang langit dengan banyaknya awan menyelimuti, menutupi sang bulan dan bintang. Tapi beruntungnya aku masih bisa melihat beberapa bintang yang tak tertutup awan meski dengan mata telanjang. Remang memang melihat di kala gelapnya malam, apalagi tanpa bantuan kaca mata. Ada sedikit sesal karena lupa memakai kaca mata, aku tidak bisa melihat wajah-wajah pria itu dengan jelas. Dan pastinya semakin remang melihat bintang di gelapnya malam.
Sedetik aku melirik mereka, kembali menengadah merasakan embusan angin yang menyejukan, lama kelamaan terasa dingin menusuk kulitku.
"May dingin, balik yuk."
"Bentar kak." Aku masih ingin merasakan hangatnya suasana seperti itu, dingin tapi terasa hangat. Jarang kualami.
Waktu terus berlalu, mendengarkan perbincangan mereka sesekali membuatku tersenyum bahkan tertawa perlahan. Obrolan para pria ternyata seperti itu, pikirku. Aku pun sedikit berbincang prihal pekerjaan dan sedikit mengenang tentang masa lalu, juga rencana masa depan. Setelah cukup puas, aku bangkit dan meminta kepada mereka untuk membantuku turun.
"Gus, bantuin turun ayok, gua ga bisa, ketinggian."
"Ya ilah, tinggal turun, loncat aja."
"Nggak mau ah, takut w, tar kaki gue kenapa-kenapa lagi, nyeker juga ni."
Aku merengek, memperlihatkan kakiku yang tanpa sendal, itu karena pas naik sulit memanjat mendapat pijakan pake sandal, jadi aku lepas pas naik tadi.
"Tuh tadi siapa yang bantuin naik, turunin lagi." Mereka saling menimpali, menyuruh satu sama lain. Namun pada akhirnya Bagus pun bangkit dan berjalan, melihat sekeliling, mencari pijakan mana yang lebih pendek agar aku bisa turun dengan mudah.
"Lewat sini aja ni." Bagus menunjuk ke sisi kiri. Terlihat memang lebih pendek tapi agx curam, aku takut kejengkang dan jatuh.
"Ngeri ih, tinngi itu."
"Engga, ini lebih pendek, turun ke situ, trus ke samping jalan rumah bu Min. Tapi ada bu Min nya sih."
Tiba-tiba, bu Min yang dimaksud pun menengadah, memerogoki kami yang tengah berbincang mencari solusi untuk turun.
"Hey kalian ngapin naik-naik ke atas? Pada turun!"
Bu Min terlihat bangkit dan meraih sapu lidi, aku dan Bagus pun mundur agar tak terlihat olehnya. Kutarik Lidia agar mundur juga dan tidak turun dulu.
"Kak sini, tar dulu jangan turun sekarang."
"Ih, kenapa sih, May." Lidia tanpak bingung.
"Itu ada bu Min, dia agak-agak, kadang suka ngejar-ngejar anak-anak yang nakal dan isengin dia."
"Oh, ih serem, trus macam mana kita turun ini?
"Ya tar dulu, tunggu bu Min pergi."
Setelah cekikikan ketawa sambil mencari cara agar bisa turun, Bagus pun melompat, memegangi kursi yang tadi aku pakai untuk naik. Lalu kupanggil Salah satu pria yang ada di atap.
"Eh sini deh, Fikri apa siapa sih elu namanya, yang tadi bantuin gue, sini."
Fikri pun datang menghampiriku. Dia menggenggam tanganku erat lalu membantuku turun, sementara bagus memegangi kursi di bawah. Akhirnya aku berhasil turun dengan bantuan kursi dan para lelaki ini. Meski sebenarnya inginnya turun dipangku sih seperti di novel-novel atau drama-drama gitu. Tapi pada kenyataannya nggak gitu.
Kursi yang kujadikan pijakan berbunyi karena Bagus memegangnya tida pas dan membuat suara cukup keras. Kami takut terdengar oleh bu Min. Para pria di atas mengawasi dari sisi kiri. Sementara aku dan Bagus yang sudah di bawah bersiap lari untuk bersembunyi pabila bu Min datang.
Temanku Lidia masih di atas, ia hendak turun tapi mereka yang melihat kelakuan kami malah rusuh, membuat kami semakin panik.
"Ayo bu Min sini ni, pada mau turun." Om Jun meledek dengan gelak tawa menyertainya. Begitu pun Bude Sun, Pakde, juga Bu Lee, yang ada di situ menyaksikan tingkah konyol kami.
Aku waspada sambil tertawa melihat Lidia mulai turun, kepegangi ponselnya yang lebih dulu di sodorkan padaku.
Lidia pun berhasil turun, sementara Bagus malah kembali naik ke Atap. Kursi di ambil Bude Sun dikembalikan ke tempat semula. Aku dan Lidia juga pulang kembali ke rumah dengan gelak tawa menertawai kelakuan kami sendiri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top