Bab 9.3 Awal dan Akhir
"Hei, anak muda. Apa kau tidak punya inisiatif untuk membantuku selama menumpang di rumah ini?" sindir Atashius seraya memotong seekor ayam untuk makan malam.
Arion meliriknya dengan tatapan datar, seolah tidak terpancing pada sindiran itu. "Kalau kau butuh bantuan, katakan dengan jelas!"
Atashius mendengkus. "Sepertinya kau sangat dimanja oleh Freya." Ia melemparkan sebuah kapak ke hadapan Arion--memang tidak bermaksud melukai, tetapi hampir saja kapak itu menancap pada kaki kanan Arion. "Potong kayu-kayu itu!"
Tanpa banyak bicara, Arion melakukannya. Memotong satu persatu kayu yang tertumpuk di belakang rumah. Matahari baru saja terbenam dan entah mengapa hari itu perasaannya tidak enak.
"Bagaimana dengan Argantha, kau sudah terbiasa di sini?" tanya Atashius.
"Tidak buruk. Tapi sekarang aku mengerti mengapa kau dikucilkan. Tanpa melihatmu menggunakan sihir, mereka sudah curiga kalau kau memang penyihir," papar Arion. "Aku sering mendengar hal buruk tentangmu di desa."
Geraman gusar terdengar dari belakangnya. "Sekarang kau sudah bisa mengkritikku, huh!"
"Aku hanya menjawab apa yang kau tanyakan."
"Sekarang aku juga menyadari sesuatu." Atashius mendekat, ayam yang telah ia cabuti bulunya tergenggam di tangan. "Kau pasti diusir dari istana karena tidak punya sopan santun."
Arion hanya diam. Enggan menjawab apalagi membela diri. Sementara Atashius masih mengomel sepanjang jalan hingga masuk ke dalam rumah.
Usai makan malam, suara gemuruh terdengar dari arah hutan. Mereka keluar untuk memastikan apa yang terjadi. Terlihat dari jarak yang sangat jauh petir menyambar dari langit. Seperti akan ada badai besar yang melanda sebagian wilayah. Situasi yang berbeda dengan Argantha, begitu cerah bahkan bulan bersinar sempurna, menjadi penerang alami.
"Destrion," gumam Atashius. "Itu dari arah Destrion."
"Freya!" ucap Arion lirih. Tanpa mengatakan apa pun, ia berlari memasuki hutan. Ia harus kembali ke wilayah para penyihir, Destrion. Ada sesuatu yang terjadi di sana dan firasatnya semakin buruk.
Atashius mengejar dan menahannya. Di dalam surat yang diberikan Freya, gadis itu memintanya untuk mencegah Arion kembali ke Destrion sebelum ia sendiri yang menjemputnya. Akan tetapi, lihat sekarang! Pemuda beriris emas itu mengindahkan larangannya.
****
William dan August berhenti menyerang. Kali ini mereka berhadapan dengan si pemilik mata kelabu--pemimpin 'para pendosa' yang begitu sulit dilukai.
"Aku benar-benar tidak ada waktu untuk meladeni kalian. Sebaiknya segera serahkan 'sang pewaris' atau aku sendiri yang menyeretnya keluar dari istana!"
"Dalam mimpimu!" desis William, kembali menyerang tapi pria itu menghilang--masuk ke dalam portal.
Banyak rumah hancur dan terbakar. Tidak sedikit pula nyawa melayang dalam waktu yang singkat. 'Para pendosa' benar-benar serius ingin menghancurkan kerajaan. Namun, tetap saja mereka kalah jumlah, rupanya bantuan Troll tidak memberikan pengaruh terlalu besar. Kekurangan pasukan tetap menjadi perbandingan yang timpang.
Ketika dirasa tidak ada lagi yang berusaha menerobos istana, William dan August dapat sedikit bernapas lega. Beberapa prajurit melaporkan situasi di tempat lain dan para Troll berhasil ditumbangkan bahkan di antaranya ada yang telah kehabisan energi dan kembali menjadi batu.
Tentu kemenangan sudah terlihat, walau peperangan belum berakhir. Namun, keributan dari dalam istana menarik perhatian William. Ia bergegas naik menuju gerbang utama. Matanya terbeliak melihat ada lubang menganga pada sihir pembatas dan satu penyihir yang bertugas membuat sihir pelindung telah tumbang. Mengakibatkan pembatas melemah.
Ia bergegas masuk bersama beberapa prajurit untuk memastikan dan betapa terkejutnya melihat Arlan dan Grey sedang berhadapan dengan si topeng bermata kelabu. Arlan terus menyerang tanpa henti, mengayunkan pedangnya, mencoba melukai pria itu. Sebagai seorang Bartin, ia tidak ubahnya dengan August--mengandalkan tenaga dan keahlian berpedang.
Satu ayunan dari pedangnya sangatlah kuat, tapi sayangnya tidak pernah berhasil melukai targetnya. Pria itu terlalu licin, keluar masuk portal seperti tikus tanah. Sebuah pertarungan yang sangat ia benci. "Ini menyebalkan!" tukasnya.
Grey mencoba menghambat pergerakan pria itu dengan panah sihirnya, tetapi tetap tidak bisa. Begitu pula Freya ikut membantu. Kristal Dayna muncul dari punggung tangannya dan menyelimuti energi ke busur pemberian raja. Dia memang tidak ahli membidik sasaran tapi juga tidak terlalu buruk. Dengan kepercayaan diri yang cukup besar, satu anak panah sihir dilesatkan.
Pria bertopeng tidak dapat menghindar kala tiga serangan datang bersamaan dari tiga arah berbeda. Apalagi anak panah Freya bukan sekadar untuk melukai tapi memerangkapnya ke dalam sebuah segel pengikat. Portal terbuka, tapi gagal dimasuki sebab William lebih dulu menghadangnya. Ketika hendak menghindar, panah Freya mengenainya. Pria itu berlutut dan tebasan pedang Arlan memotong satu lengannya.
Mata cokelat madu Freya terpejam. Ia terus melapalkan mantra penyegelan. Berusaha menekan energi sihir pria itu. Kristal Dayna berpendar kian terang. Semakin mendekat, ikatan itu juga makin erat. Freya membuka mata dan menaruh tangan ke hadapan pria bertopeng--bersiap untuk menyerap sihir iblis yang ia gunakan. Bukannya takut, pria itu tertawa kencang.
"Akhirnya kau menunjukkan kristal itu padaku."
"Lenyaplah!" seru Freya. Kristal Dayna bersinar semakin terang dan energinya menyerap sihir gelap dari sang pria. Namun, entah apa yang terjadi Freya merasa tangannya mati rasa. Kristal Dayna yang semula berwarna biru cerah kini perlahan menghitam, "A-apa yang terjadi?"
William bergegas menghampiri dan mendorong Freya agar memutus penyerapan sihir itu. Dengan cepat ia memenggal kepala sang pria tapi bukannya mati, dia malah berubah menjadi asap dan menghilang. Suara tawa terdengar, menggelegar, dan memekakkan telinga tanpa terlihat dari mana asalnya.
"Ternyata sang pewaris amatiran memang tidak perlu ditakutkan."
"Keluar kau!" kesal Arlan, tapi tawa dan suara itu menghilang. Semua kembali hening.
Freya melirik kristal di tangannya yang kini tampak keruh. Kristal kecil yang berbentuk oval itu terlihat aneh. Entah apa yang terjadi, tapi ada nyeri yang menjalar ke tangan lalu tubuhnya.
"Aku tidak tahu dari mana kau mempelajari penyegelan itu, tapi kuharap kau tidak asal-asalan menggunakannya," sinis William. "Kalian berdua bawa Freya ke tempat aman. Perperangan belum berakhir!"
"Mau bagaimana lagi, tidak ada yang memberitahuku cara menggunakannya. Entah karena takut aku menguasainya atau tidak rela aku memiliki kristal ini," sindir Freya.
Baik para tetua maupun William, tidak ada yang memberitahunya dengan pasti cara menggunakan kristal itu. Sejauh ini hanya Adam yang memberitahu beberapa hal dasar, itu pun hanya tentang penyegelan energi sihir.
Adam pernah berkata, sejatinya Kristal Dayna bukanlah sekadar simbol pemilik takhta Destrion, tapi jauh lebih kompleks dari itu. Kristal Dayna adalah energi murni yang dapat menekan sihir gelap, sebab merupakan sisa dari campur tangan malaikat dalam menyelamatkan dunia.
Meskipun begitu, bagi Destrion dan seisinya, Kristal Dayna tidak lebih dari mahkota. Pajangan. Benda pusaka yang hanya menghiasi sejarah panjang dunia sihir. Sesuatu yang tidak dapat digunakan tanpa ada 'raja' yang mewarisinya.
William tidak menanggapi perkataan itu, ia memilih diam dan beranjak pergi. Kembali memantau situasi saat ini, pun mencari tahu keberadaan pemimpin 'para pendosa' yang sekarang menghilang entah ke mana. Bagai serangga yang dapat menyelinap dengan mudah, kali ini ia benar-benar harus waspada.
Granado Ardious--pemimpin wilayah Argous dan pasukannya baru saja kembali dari perbatasan dengan laporan bahwa mereka berhasil menghentingan penyerangan dari arah Timur, sementara Ranfel juga kembali membawa kemenangan.
'Para pendosa' telah kalah. Peperangan berakhir lebih cepat . Sebagian besar dari mereka yang selamat telah ditangkap untuk selanjutnya akan diadili dan dijatuhi hukuman. Akan tetapi William masih belum merasa tenang. Pria bertopeng itu menghilang entah ke mana. Sangsi rasanya jika dia mundur, tapi juga tidak punya petunjuk untuk menemukannya.
Raja duduk di singgasana, di hadapan lima orang bertopeng yang dipastikan sebagai anggota inti 'para pendosa' yang berhasil ditangkap hidup-hidup.
"Kami akan membangkitkan Lucifer!" ucap mereka serentak tanpa ada rasa takut. "Semua yang terjadi adalah salah satu dari syarat ritual."
"Ritual macam apa?" tanya seorang tetua.
"Sabbath."
Raja berdiri dan berjalan mendekat. "Sabbath?"
"Syarat utamanya adalah pertumpahan darah." Mereka terkekeh pelan lalu tertawa keras secara bersamaan, membuat semua yang ada di aula mengernyit jijik. "Lalu Kristal Dayna akan menjadi kunci utama perayaan."
"Bakar mereka hidup-hidup!" Perintah Raja Ferdinand dengan tatapan murka.
****
Ketika matahari terbit esok harinya, peperangan resmi berakhir dengan kemenangan di tangan kerajaan. Namun, tidak ada pesta perayaan. Ibu Kota Destrion berada dalam keadaan yang tidak baik. Hampir sebagiannya porak-poranda. Ada berbagai hal yang harus diperbaiki dan banyak nyawa yang gugur malam itu menjadi alasan lain mengapa kemenangan tidak terasa begitu manis.
"Berikan lagi padaku!" perintah Raja Ferdinand ketika sedang duduk di singgasananya bersama William yang terus mendampingi sejak perang usai. "Harusnya ini dosis terakhir, kan?"
"Benar. Ini terakhir." William menyerahkan botol kecil dengan cairan berwarna merah kepada raja. "Setelah ini, ramuannya akan sempurna."
"Bagus. Dengan begini tidak ada yang perlu kukhawatirkan lagi!" raja tersenyum dan meminum ramuannya dalam sekali teguk. Ramuan keabadian.
Sementara itu Barzanqi Ranfel dan Granado Ardious mengadakan pertemuan secara diam-diam di menara Selatan. Disusul Asgard--kepala keluarga Bartin--beserta dua anaknya Charles dan Ramond. Mereka duduk berhadapan, dalam ruangan tertutup tanpa celah untuk siapa pun mengintip ke dalam.
"Kita lakukan hari ini!" ucap pria paruh baya, berotot padat--Asgard Bartin. Ia terlihat sangat bugar untuk seorang laki-laki berusia 50 tahunan.
"Kau yakin? Kita baru selesai berperang!" sanggah Barzanqi.
"Tentu. Dia sendiri yang mengusulkannya. Ini adalah saat yang tepat."
"Akhirnya!" Granado menyeringai, "saat yang kunantikan sepanjang hidupku."
"Tapi berhati-hatilah. Jangan sampai ada keributan!" Asgard mengingatkan. "Dan lagi, ada satu serangga yang menghilang di tengah perang. Pastikan dia tidak mengacau dan menjilati makan malam kita!"
Semua yang menghadiri pertemuan mengangguk mengerti. Mereka meninggalkan ruangan, berpencar. Sesuatu yang lebih mengerikan telah menanti. Mayat bergelimpangan di sepanjang koridor. Beberapa tetua mati di kamar masing-masing. Dalam keheningan siang itu, darah menggenang di setiap sudut istana.
Pembantaian kedua telah dimulai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top