Bab 9.2 Awal dan Akhir

Beberapa hari berlalu, tapi ketegangan di Ibu Kota Eidin belum luput sepenuhnya. Prajurit memperketat penjagaan dan sihir pembatas yang melindungi ibu kota belum dinon-aktifkan. Utusan dari empat bangsawan besar Destrion masih berada di sana, waspada untuk penyerangan kedua.

Freya telah membaik berkat pengobatan Grey dan tabib istana, serta Kristal Dayna yang membantu menyerap sihir gelap dari racun yang menggerogotinya. Hanya saja, hatinya belum sembuh dari perasaan kecewa dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.

Udara semakin dingin, memberi ancang-ancang untuk mempersiapkan musim dingin yang tak lama akan datang. Sesekali hujan turun, membantu memadamkan negeri yang sempat terbakar. Seperti hari ini, gerimis itu datang lagi.

Ketukan terdengar dari luar kamar, Freya berbalik, meninggalkan jendela. Wajahnya yang tadi menyirat kekhawatiran langsung berubah seolah semua baik-baik saja. Seulas senyum menyambut kedatangan seorang pria berambut cokelat gelap—Adam. Dua pengikutnya berhenti di depan pintu dan menunggu di luar.

"Terima kasih telah mengizinkan saya bertemu, Tuan Putri." Adam sedikit membungkuk. "Saya sudah mendengar semuanya dan turut berduka cita atas kematian Pangeran Austin."

Freya mengangguk, mempersilakannya duduk. "Maaf jika kau harus mengalami kesulitan untuk masuk."

"Tidak masalah, itu sudah sewajarnya mengingat apa yang telah terjadi."

Kedatangan sang pemimpin Artikius dicegat oleh William di gerbang utama. Pangeran pertama Destrion itu tidak pernah mengizinkan orang luar menemui Freya sejak penyerangan usai. Untung saja Arlan mengetahui dan mengabari Freya, sehingga gadis itu dapat segera membantu memberi izin. Ada sesuatu yang ingin ditanyakannya.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku?"

"Tentang Arion. Pasti dia bertindak seperti itu atas pengaruh Lucifer," papar Adam. "Saya akan membantu mencarinya agar kita dapat segera memperbaharui segelnya."

Alih-alih menanggapi, Freya balik bertanya, "Apa benar jika penyegelan dilakukan, Arion akan mati?"

"Hanya kemungkinan terburuk."

"Kenapa kau tidak mengatakan hal ini sejak awal?" Freya meninggikan nasa suaranya. Arlan dan Grey telah menceritakan semuanya dan ketakutan akan Arion yang salah paham menjadi salah satu hal buruk yang menyita pikirannya. "Kau mau membuatku membunuhnya?"

"Ini demi kebaikan kita semua. Memang takdirnya sebagai reinkarnasi Putri Luna—pembawa segel Lucifer. Jika dia tidak bisa mempertahankan sihir putih sebagai sihir dominan, maka kita harus menghentikannya!" Adam menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. "Jika Lucifer bebas dan mengambil alih tubuhnya, tidak akan ada lagi yang bisa menenangkan iblis yang penuh dendam itu."

"Tapi Arion tidak sedang dikendalikan. Dia melakukan semua itu karena ingin melindungiku!" tegasnya.

"Meski harus dengan cara yang salah? Ingatlah Putri, ini juga merupakan tanggung jawab Anda sebagai 'sang pewaris', menghentikan ancaman Lucifer."

"Maaf, saya harus beristirahat," ujar Freya kemudian. Dari nada yang terkesan dibuat-buat memperjelas niatnya mengusir sang Artikius.

Pria berambut cokelat gelap itu berdeham dan ikut berdiri. "Maaf telah mengganggu istirahat Anda. Saya undur diri."

Freya terhenyak setelah pintu kembali menutup, meninggalkannya sendirian di ruangan itu. Banyak kekhawatiran yang berkecamuk di dalam pikirannya. Ia tahu jika apa yang dikatakan Adam adalah benar, tapi juga ingin menaruh harapan pada Arion.

Pintu kembali terbuka, Arlan masuk dan mendekat. Memandang gadis yang tengah duduk terpejam. "Kau sakit lagi?" Tangannya terulur menyentuh kening Freya dengan lembut. "Tidurlah di ranjang, kau harus banyak beristirahat!"

"Aku harus apa?" gumam Freya, matanya masih terpejam, berat untuk dibuka. "Semua itu benar. Arion bisa saja terbunuh ketika aku memperbaiki segel Lucifer."

Arlan mundur, duduk di depan Freya dengan kedua tangan terlipat di dada. "Kau tidak perlu mengambil keputusan cepat. Aku tidak suka mengatakan ini, tapi percayalah dia masih waras untuk tidak menyerahkan diri pada iblis itu!"

Freya membuka mata, menatap lurus pada Arlan. "Kita harus mencari kesempatan untuk mengunjunginya!"

"Tidak dalam waktu dekat. Kita tidak bisa membuka portal ke Hutan Sethna. Lagi pula di luar sana berbahaya."

****

"PENYERANGAN!" teriak para penjaga.

Hanya dalam beberapa detik, semua menjadi sibuk. Para penjaga dan prajurit ahli sihir segera berkumpul di lapangan istana. Matahari baru saja terbenam dan mereka memanfaatkan malam untuk memulai peperangan. Memang sesuatu yang tidak diherankan dari mereka yang menghalalkan segala cara untuk mendapat kekuatan.

Grey dan Arlan mengikuti Freya menuju ruang pertemuan. Semua sudah berkumpul. Charles menghampiri dan mencium punggung tangan sang putri mahkota, lalu berkata dengan senyuman manis yang membuat Arlan ingin muntah mendengarnya "Jangan khawatir Putri Freya, aku pasti melindungimu!"

"Apa yang telah terjadi?" tanya Freya.

"Mereka kembali menyerang dan saat ini sedang mencoba menembus sihir pembatas dari segala penjuru!" jawab Charles. "Ranfel sudah pergi untuk memeriksa lebih dulu."

Jelas tidak ada yang dapat membuat Freya tenang. Ibu Kota Eidin telah dikepung. Hanya menunggu waktu hingga pembatas hancur dan mereka menyerang bersamaan. Raja Ferdinad memasuki ruangan dan berdiri di undakan—bagian depan. Ia mengangkat tangan ke depan dan suasana menjadi hening.

Rapat dadakan dimulai, pasukan telah dikirim ke setiap perbatasan untuk berjaga dan memantau pembatas sihir, sementara pasukan utama akan dibagi menjadi dua. Satu kelompok dipimpin oleh William untuk melindungi istana dan yang lainnya melindungi warga desa, dipimpin oleh August.

Semua mengangguk mengerti dan bergegas menuju pos masing-masing. Begitu pula Charles yang telah siap ke medan perang. Ia mendekati Freya, berpamitan sambil sekali lagi mencium punggung tangannya.

"Kuharap 'mereka' merontokkan gigi-giginya!" rutuk Arlan.

Setelah semua pergi, raja memanggil Freya untuk mendekat. Ia memberikan sebuah busur dan anak panah padanya. "Itu adalah senjata sihir terbaik buatan Grandwill, gunakanlah!"

"Terima kasih, Yang Mulia."

"Kalian berdua, tetap di sisi Freya dan pastikan dia berada di tempat yang aman!"

"Baik, Yang mulia." Grey dan Arlan menjawab serentak.

****

Ledakan demi ledakan terdengar dari kejauhan. Asap dan cahaya menyilaukan dari pembatas sihir yang tengah dibobol oleh 'para pendosa' terlihat seperti kembang api di kejauhan. Udara malam yang semakin dingin, ditambah langit yang dipenuhi awan hitam membuat suasana semakin mencekam.

Freya berdiri di depan balkon—bagian istana utama. Arlan dan Grey telah bersiap di sampingnya untuk menahan serangan yang bisa datang kapan saja. Dentuman terdengar bersambut kobaran api di arah Barat menjadi lonceng pembuka perang malam itu. Pembatas sihir tertembus. Satu bolongan kecil menyebar dan merontokkan sihir yang lain hingga Eidin resmi menjadi medan perang.

'Para pendosa' menyerang bersama Troll yang entah sejak kapan telah dibangkitkan. Hal ini tentu membuat mereka menjadi lebih kuat walau jumlahnya hanya sebagian dari jumlah pasukan istana. Rumah penduduk dibakar dan ledakan terjadi di beberapa titik. Beruntungnya warga sudah lebih dulu di evakuasi ke alun-alun, dilindungi oleh Augus dan pasukannya.

Portal sihir bermunculan di langit. Seperti pintu cahaya yang melayang di langit gelap. Dari sana keluar orang-orang berjubah hitam serta mengenakan topeng yang sama—topeng separuh wajah yang tidak asing bagi Freya. Mereka adalah anggota inti 'para pendosa'—dalang dari semua penyerangan.

"Seperti yang kujanjikan. Aku akan datang lagi ketika tempat ini sudah rata dengan tanah!" Salah satu dari mereka berucap lantang. Tentu saja, dia adalah pria yang beberapa minggu lalu menyerang istana. "Kalian pasti tidak menyangka kalau akan secepat ini."

Serentak mereka berpencar ke penjuru desa. Berdiri di atap-atap rumah, mencoba mengepung istana. Kabut merah muncul, perlahan menyelimuti Eidin. William memerintahkan pasukan sihir pertahanan untuk membuat pembatas agar kabut itu tidak masuk lebih dalam.

"Menjauh dari kabut!" serunya lantang.

Penduduk desa berlarian, beberapa menggunakan sihir pelindung untuk diri masing-masing, tetapi yang terlambat masuk ke pelindung, berakhir tumbang dangan tubuh terbakar dan hangus.

August mengeluarkan senjata kebanggaannya, pedang besar berwarna hitam pekat—simbol kekuatan seorang Bartin. Ia mengayunkan pedang itu sekali dan berhasil menghalau kabut yang semakin tebal. Namun, hanya sebentar. Kabut kembali mengepung.

William maju ke depan, menuruni anak tangga menuju gerbang terluar istana. Ia menggumamkan sesuatu dan mengumpulkan energi sihirnya dalam setiap kata yang terucap, lalu muncullah tornado yang sangat besar.

August yang berdiri di barisan terdepan langsung bersiul takjub melihatnya. Walau ia lebih tua dari William, tapi tidak dipungkiri kalau mantan putra mahkota itu jauh lebih hebat darinya. "Seperti biasa, sihirmu mengerikan!" godanya dengan suara keras di tengah keributan.

Tornado yang diciptakan William berputar, menghalau semua kabut. Beberapa orang bertopeng yang tidak jauh darinya segera mengambil jarak aman. Tanpa memberi jeda, lelaki bermata biru cerah itu membuat portal dan muncul di belakang salah satu dari orang bertopeng.

"Syndetiras!" ucapnya. Orang itu terdorong dan terikat dengan rantai sihir yang erat, lalu jatuh ke tanah.

August dengan cepat menyerang musuh lain yang sempat teralihkan oleh aksi William. Ia menebas dua musuh lagi, menciptakan sayatan besar pada kedua tangan mereka.

"Astraphi!" Lagi, William melontarkan matra lainnya. Petir menggelegar di langit dan menyambar semua orang bertopeng. Seperti tidak ada batas energi, ia kembali membuka portal yang langsung mengarah ke lelaki bertopeng bermata kelabu—pemimpin 'para pendosa'.

Sebuah kutukan dilesatkan tapi gagal mengenai sasaran, sebab serangan lain lebih dulu menghantam dan menjatuhkannya ke tanah. William segera berdiri, kembali bersiap dengan mantra yang lain, sedangkan August berlari menghampiri, memastikan keadaannya.

"Kau tidak apa?"

"Menurutmu?" William meludahkan darah dari mulutnya.

Walau masih bersikap tenang, tapi August tahu kalau pemuda berambut hazelnut itu sudah kelelahan. Napasnya tidak teratur dan sebelah tangannya bergetar. "Memaksakan diri seperti biasa."

William mendengkus, mengabaikan August. Ia kembali menyerang dengan bermacam mantra sihir yang dikuasai—bahkan beberapa merupakan ciptaannya sendiri. Seorang paling jenius di Destrion itu seolah tengah menghadang satu pasukan sendirian tanpa gentar. Seorang putra mahkota yang gagal mendapatkan takhta.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top