Bab 8.3 Pengkhianat
"Apa kau sudah gila?" Austin memegangi perutnya yang baru saja dihantam oleh Arion. "Kau memang kesatria Freya, tapi bukan berarti kau bebas melakukan apa pun sesukamu!"
Para pengawal berdatangan mengelilingi, mencari celah untuk menyerang. Ruangan besar bernuansa merah hati itu sudah berantakan. Beberapa menit lalu Arion datang dan memaksa masuk, lalu menyerang Austin. Tidak ada perdebatan, Arion langsung menyerang tanpa mengatakan apa pun.
"Apa kau lupa kedudukanmu?" kecam Austin.
"Akan kulenyapkan siapa saja yang berani melukainya." Arion mendorong jatuh tiga orang pengawal yang menahan kedua tangan dan tubuhnya. Ia memojokkan Austin, belati kecil sudah tergenggam erat, mata emas menggelap—penuh amarah.
"Kau akan dihukum mati atas semua ini!" Sekali lagi, Austin menggertaknya.
"Begitu?" Belati itu hendak menancap di perut sang pangeran tapi terhenti. Arion teringat janjinya pada Freya.
Akan tetapi, ketika ia ingat bagaimana keadaan Freya saat ini, amarahnya kembali memuncak. Gadis itu terus-menerus memuntahkan darah hitam dan mengerang kesakitan. Grey bilang, dia keracunan dan sekarang sedang diobati. Meski begitu, keadaannya sangat memprihatinkan.
Ramuan hitam yang Arion dapatkan dari Lucya juga telah dipastikan sebagai racun. Gadis itu dibuat meminumnya sedikit demi sedikit setiap hari, dan semua adalah ulah Austin. Inilah kenapa sejak awal Arion tidak menyukainya. Dia berbahaya, dia adalah ancaman. Sama halnya dengan William.
"Orang sepertimu harus enyah dari jalan sang ratu!" sinis Arion seraya menancapkan belati ke perut Austin dan menekannya kuat tanpa ragu.
Sementara itu pengawal di belakang sana masih gencar melempar mantra kutukan ke arahnya walau terhalangi oleh perisai sihir yang Arion pasang di punggungnya.
"Kau-" Austin mendorongnya sekuat tenaga dan membuat barier sihir untuk menghalangi Arion. Tangannya berusaha menekan luka di perut dengan tangan bergetar. "Sial!"
Berbondong-bondong prajurit mendatangi kediaman pangeran kedua dan menyerang Arion tapi tidak ada yang bisa mendekat. Bahkan dengan mudah Arion menembus barier Austin dan kali ini menikam dadanya dengan kuat.
"ARION!" Suara Arlan menggelegar. Ia menyibak kerumunan.
Arion menoleh dan tersenyum. "Aku sudah melenyapkan orang yang telah meracuni Freya. Kau tidak perlu khawatir."
"BODOH!" Portal sihir kecil muncul di samping Arlan, tangannya meraih ke dalam portal, mengeluarkan pedang, dan mengayunkan punggung pedangnya untuk menghantam perut Arion hingga pemuda itu terdorong.
Perisai sihir yang semula melindunginya, langsung hancur. Bukan karena serangan Arlan, tapi Arion yang sengaja membatalkan mantra pelindung itu.
"Kau tahu apa yang sudah kau lakukan?" sinis Arlan. Ia mendekat bersama prajurit yang langsung melumpuhkan Arion—menahan kedua tangan dan menjatuhkannya ke lantai.
"Kau selalu saja kasar." Keluh Arion. "Padahal aku sudah berlaku baik selama ini."
"Kau!" Arlan berlutut dan menarik rambut Arion agar mendongak menatapnya. "Sudah kuduga kau memang pasti akan membuat masalah."
Arion tersenyum mengejek—lebih seperti menyeringai. "Aku hanya memberi pelajaran pada orang yang mencelakai Freya."
Arlan berdiri ketika tabib istana datang dan memeriksa keadaan Austin. Ketika semua perhatian tertuju pada sang pangeran, ia mengisyaratkan pada pengawal yang menahan Arion untuk melepaskan pemuda itu.
Kerah jubah Arion ditarik paksa untuk meninggalkan kediaman pangeran kedua. Mereka bergegas kembali tanpa mengatakan apa pun di sepanjang perjalanan. Arlan mendorong kasar Arion ke hadapan Freya yang saat ini sedang tertidur di ranjangnya dengan wajah pucat.
"Ada apa ini?" tanya Grey yang panik melihat Arion penuh darah.
Arlan memaksa pemuda bermata emas itu berlutut di samping ranjang. Kericuhan membuat Freya terbangun. Ia melirik ke samping dan berusaha duduk, walau kepalanya masih terasa sakit. Ia sudah tidak muntah tapi tubuhnya masih lemas. Grey bilang, racun di tubuhnya sudah dinetralkan—hanya butuh waktu beberapa hari untuk pemulihan.
"Ada apa ini?" tanyanya lemas.
Arion segera mendekat dan hendak menggenggam tangan Freya, tetapi terhenti saat ia melihat tangannya sudah penuh darah.
"Kau terluka?" tanya Freya, ada kekhawatiran pada nadanya.
"Aku tidak apa, kau sendiri?"
"Berhenti bersikap seolah tidak terjadi apa-apa! Katakan pada Freya apa yang telah kau lakukan!" bentak Arlan.
"Aku ... membunuh orang yang telah meracunimu."
"Siapa?"
"Dia mencoba membunuh Austin," jawab Arlan lebih dulu.
Suasana menjadi hening. Bahkan Freya tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tatapan dari manik cokelat madunya menyiratkan kekecewaan mendalam. Sementara Arion tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.
"Dia yang meracunimu. Aku harus melenyapkannya!" jelas Arion seolah paham keterdiaman Freya menuntut penjelasan.
Akan tetapi, bukan jawaban seperti itu yang diinginkan sang putri. Alih-alih mengerti pada alasan itu, Freya malah semakin kecewa. "Pergi!"
"Pergi?" Arion membeo, tidak mengerti maksud perkataan sang gadis.
"Pergi!" bentak Freya.
"Apa maksudmu, Frey?"
Freya mengangkat wajahnya dan menatap langsung ke iris emas Arion. "Kubilang, pergi dari sini!"
"Kau ... ingin aku pergi?"
"Pergi dan jangan pernah menginjakkan kaki di istana ini!"
"Frey?" lirih Grey.
"Pergi yang jauh. Sejauh mungkin hingga kita tidak akan pernah bertemu lagi!"
"Freya, kenapa kau mengusirku. Aku tidak mungkin pergi dari sisimu." Arion mengiba, mencoba mengulurkan tangan tetapi ditepis kasar.
"Jangan sentuh aku dengan tangan itu!"
"Frey, tenangkan dirimu!" Grey mencoba menenangkan, meremas lembut bahunya.
Gadis itu mencoba berdiri walau terhuyung jika Arlan dan Grey tidak membantunya. Arion juga hendak mendekat, tapi tatapan Freya menghentikannya.
"Kenapa harus Austin?" tanya Freya.
"Karena dia yang mencoba meracunimu."
"Dari mana kau tahu?"
"Lucya yang mengatakannya."
Arlan dan Grey membenarkan jika ramuan hitam di tangan Arion berasal dari Lucya. Gadis yang baru beberapa minggu itu resmi menjadi pelayan Freya, segera dipanggil untuk menghadap.
"Tidak. Saya tidak pernah mengatakan hal itu," jawab Lucya dengan nada bergetar. "S-saya hanya bilang kalau menangkap basah seorang pelayan yang sedang memasukkan ramuan itu ke dalam minuman tuan putri."
"Pelayan? Siapa?" tanya Grey.
Arion tertawa sinis. "Bukankah sudah kubilang, jangan main-main denganku!"
"T-tapi Arion memang pernah bilang kalau dia tidak suka pangeran Austin dekat dengan Anda, Tuan Putri."
"LUCYA!" bentak Arion. "Apa kau sudah gila?"
Freya memejamkan mata, menghirup napas dalam dan menenangkan diri, mencium aroma dupa yang masih mengeluarkan asap sedari tadi. Air matanya perlahan jatuh. "Kenapa ... kau seperti ini, Arion?"
"Frey, aku tidak berbohong."
"Pergilah!" usir Freya. Kali ini tidak dengan nada keras melainkan seperti memohon.
"Frey-"
"Sebentar lagi pasti akan terjadi kekacauan. Aku tidak bisa menolongmu. Maka Pergilah!"
"Freya, kumohon jangan seperti ini!" Arion menggenggam erat tangan snag gadis, lalu menciumnya. "Kau adalah alasan terakhirku untuk hidup. Kau mimpiku yang tersisa. Kumohon, biarkan aku tetap di sisimu!"
"Pergi! Pergilah yang jauh. Ke mana pun."
"Tidak, Frey ... kumohon."
"William!" Arlan memberi kode saat mendengar derap langkah mendekat.
"PERGI!" Bentak Freya. Arion masih bertahan dan menggeleng. "Ini perintah. Pergi dari sini. Jangan pernah kembali!"
"Tapi-"
"Apakah kau akan terus membantah dan mengecewakanku?"
Grey mendekat; menepuk bahu Arion dan berbisik. "Pergilah sebelum mereka menangkapmu!" Arion hendak membantah tetapi Grey memberikan sebuah bros berlambang phoenix padanya. "Bawa ini, jika situasi sudah aman, kami pasti akan menemuimu!"
"Mereka semakin dekat!" bisik Arlan.
Arion mengangguk pelan. Untuk terakhir kalinya, ia mencium tangan Freya dan berdiri. Arlan sudah membukakan sebuah protal. Walau bukan ke tempat yang jauh, tapi setidaknya dapat membawa Arion keluar dari ibu kota.
Sebelum benar-benar menghilang, Arion kembali menatap Freya yang berpaling darinya. Gadis itu tidak mau menatapnya. Ia menggenggam erat bros yang diberikan Grey, berharap mereka akan kembali bertemu.
Bersamaan dengan kepergian Arion, pintu dibuka paksa, William masuk, tangannya penuh darah. Pengawal yang ikut di belakang mengikuti dan menggeledah ruangan tersebut.
"Mana budak itu?" tanya William.
Freya menggeleng seraya menatap kosong, wajahnya semakin pucat. William mendekat dan menatap penuh selidik. Keningnya mengernyit kala mencium aroma aneh di kamar itu dan matanya tertuju pada dupa yang masih menyala. "Mana budak itu?"
Alih-alih menjawab, Freya malah balik bertanya dengan nada bergetar, "B-bagaimana dengan Austin?"
"Budak yang selama ini kau bela, telah membunuhnya."
Freya terbeliak, tubuhnya semakin gemetar dan tangisnya tidak dapat ditahan. Entah tangis sebab telah mengusir Arion atau tangis karena kematian Austin. Keduanya bercampur dan membuat perasaannya menjadi sangat kacau. Pandangannta mulai kabur dan dadanya sesak, lalu ia tidak sadarkan diri.
"Panggil tabib!" Perintah William kemudian. "Ah, tidak. Bawa dia ke ruang pengobatan!"
Arlan segera menggendong Freya dan membawanya ke ruang pengobatan, sementara Grey dihentikan oleh William. Semua orang disuruh keluar dan kini tinggal mereka berdua di ruangan itu.
"Kenapa dia jadi hilang kendali?" tanya William kemudian.
"Dia menyangka kalau Austin yang telah meracuni Putri Freya."
"Jangan bodoh, mana mungkin Austin melakukannya!" tukasnya. "Kau tahu sendiri bagaimana Austin. Dia tidak mungkin melukai Freya."
"Sepertinya ini kesalahpahaman,"
William mendengkus gusar. "Jika aku menemukannya, pastikan kalian tidak akan melindunginya!"
William melangkah ke arah dupa dan menjatuhkannya hingga isinya berhamburan ke lantai. "Siapa yang memberikan benda ini?" Ia menendang tempat dupa berbentuk kubah kecil itu. "Aromanya merusak penciumanku."
Grey hanya diam, tidak mengatakan apa pun. Rasanya semua menjadi sangat kacau dan tidak terkendali. William meninggalkan ruangan seraya membanting pintu, menutup.
Tidak lama setelah merenung, Grey melihat botol kecil yang tergeletak di lantai bersamaan dengan isi dupa yang berhamburan, menyisakan sedikit asap yang masih menguarkan aroma samar.
Ia meraihnya, mengeluarkan perkamen kecil dari dalam botol dan betapa terkejutnya ketika asap hitam keluar dari botol tersebut lalu lenyap di udara. Sedangkan perkamen di dalamnya bertuliskan sebuah mantra berbahasa kuno. Grey meremas perkamen itu.
"Ternyata dugaanku benar." Ia berdiri dan meraih dupa yang terjatuh. "Dupa ini ... pantas saja Freya berlaku aneh belakangan ini."
"Lucya!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top