Bab 8.1 Pengkhianat
Ketika masih kecil, Austin dan William sangat sulit bertemu sang ibu. Pertemuan secara langsung hanya terjadi dua kali dalam sebulan. Makanya terkadang mereka menyelinap dan mengintip dari pagar istana ratu.
Austin masih berusia tujuh tahun saat pertama kali bertemu Freya. Karena selama ini hanya mengenal saudara laki-laki, mengenal Freya membuatnya tidak tahu harus berekspresi seperti apa, tapi yang pasti, Austin suka saat gadis kecil itu memegang tangannya dan tersenyum.
Freya berbeda dengan William yang selalu kaku meskipun saat itu masih berusia 13 tahun. Adik kecilnya jauh lebih ceria dan manis. Namun, terlepas dari perbedaan sifat itu, kebersamaan mereka selalu menjadi saat yang Austin nantikan setiap bulannya. Akan tetapi, semakin bertambahnya usia, ia mulai merasakan sebuah kecemburuan.
Kerinduan pada sosok ibu membuatnya lebih sering diam-diam ke istana ratu—mengintip dari balik pagar, melihat Freya yang selalu berada di samping sang ibu.
Bukankah itu tidak adil?
Kenapa hanya Freya yang boleh bersama ibu, kenapa mereka tidak boleh? Padahal berasal dari rahim yang sama. Sebagai anak kecil yang masih mengedepankan ego, Austin cemburu. Ia benci pada Freya yang mendapatkan semua perhatian itu.
"Semua salah raja," gumam William saat mereka sedang duduk di balik pagar, melihat sang ibu dari kejauhan. "Jika aku jadi raja selanjutnya, akan kuhancurkan pagar tinggi ini, lalu kita bisa bebas bertemu Ibu."
"Sungguh?" Austin berbinar penuh semangat.
"Tentu saja. Maka dari itu, kau harus membantuku!"
"Aku pasti membantumu, Kak."
Namun, ketika Freya ternyata terpilih sebagai sang pewaris, kebencian Austin semakin bertambah. Tidak hanya memonopoli ibu, sekarang adiknya itu juga memonopoli ayahanda, beserta seluruh negeri.
Bukankah itu tidak adil?
Gadis kecil itu mulai berkeliaran di dekatnya, tapi Austin malah semakin benci. Baginya Freya telah menghancurkan mimpinya dan William. Bukan hanya itu, tidak lama kemudian sang ibu dikatakan sebagai pengkhianat yang mempelajari sihir iblis. Tentu William dan Austin tidak percaya, tapi raja? Tanpa pertimbangan apa pun, ia yang takut takhtanya digulingkan, langsung menghukum mati ratunya sendiri.
Bukankah semua menjadi semakin jauh dari apa yang selalu diharapkannya?
****
Arion menunggu Freya dengan gelisah, khawatir Austin akan mengatakan hal buruk lagi pada gadis itu. Ia mondar-mandir dan sesekali mengintip keluar untuk melihat apakah Freya sudah kembali, dan ketika gadis itu datang, ia langsung menyambut dengan pertanyaan penuh kekhawatiran.
"Austin memberikan ini padaku," kata Freya seraya menyerahkan sebuah perkamen pada Grey. "Menurutmu itu asli atau tidak?"
Grey membacanya dan mengerutkan dahi. "Dia berhasil menemukannya?"
"Itu asli?" Freya balik bertanya.
"Ini ... tulisan ayahku. Kenapa dia malah memberikannya padamu?" tanya Grey. Freya hanya mengedikkan bahu.
"Bisa saja ini jebakan. Dia ingin membuatmu dianggap menghalangi raja untuk mendapatkan ramuan itu," tuduh Arlan.
"Atau ini lebih 'musuh dari musuhmu adalah kawanmu' mengingat kalau Austin tidak menyukai raja!" seru Freya.
"Aku tidak yakin kalau dia bisa berpikiran seperti itu, sementara masih ada William yang lebih dekat dengannya." Arlan bersikeras, melontarkan pikiran buruknya.
"William itu sangat patuh pada raja, mana mungkin Austin menyerahkan catatan itu padanya."
"Frey, kenapa kau jadi sangat membelanya?" Arion merengut. Ia benci Austin sebab suka mengatai Freya dengan perkataan yang buruk.
"Kalian tahu sendiri dia bukan tipe orang yang suka membuat keusilan separah itu. Walau sering bersikap menyebalkan, tapi dia orang yang paling tidak ingin mencolok dan membuat keributan besar."
"Lalu, akan kau apakan catatan ini?" tanya Grey kemudian.
"Kau bisa membuatnya?" Freya mendekat.
"Mungkin," Grey mencoba menimbang, mengingat ada beberapa bahan yang cukup sulit ditemukan. "Kau ingin aku membuatnya?" tanyanya dengan nada heran.
"Tidak. Cukup selidiki semua tentang ramuan itu, sudah sempurna atau belum, juga tentang bayarannya. Sebuah keabadian pasti butuh bayaran yang besar."
"Aku mengerti." Grey melipat kembali perkamen itu dan menyimpannya.
Freya pikir, persoalan ramuan keabadian telah berakhir. Namun, esoknya terdengar kabar kalau raja berhasil mendapatkannya dari William. Tentu hal itu menjadi pertanyaan besar bagi Freya. Bagaimana bisa?
"Kau memberikannya pada William?" tuding Austin. Setelah berita tentang ramuan itu terdengar, ia langsung mengunjungi Freya di kediamannya
"Mana mungkin. Grey masih menyimpan perkamen itu."
Grey memperlihatkannya dan benar saja, itu perkamen yang sama.
"Lalu dari mana dia mendapatkannya?" tanya Austin frustasi. "Mungkinkah ada salinannya?"
Freya menggeleng. "Bahkan kudengar, raja sudah meminta para ahli ramuan untuk membuatnya."
"Dia tidak memeriksa keasliannya?"
"Kurasa tidak. Jika melakukannya, pasti Grey yang akan ditunjuk."
"Kalau ramuan itu asli, maka ucapkan selamat tinggal pada takhtamu!" kecam Austin. "Dia berencana untuk menjadi raja selamanya."
"Tapi aku adalah 'sang pewaris', aku yang akan naik takhta."
"Kau hanya menjadi pewaris. Tapi jika raja masih layak untuk menjabat, kau belum bisa menggantikannya."
"Mana mungkin!"
"Aku tidak tahu mana yang lebih sial, melihatmu menjadi ratu atau membiarkannya terus berkuasa." Austin berlalu begitu saja. Rencananya untuk mencegah raja mendapatkan ramuan itu menjadi gagal. Jika begini jadinya, ia menyesal bersusah payah menjadi sukarelawan untuk ke Akkadia.
****
Arion hendak melewati koridor menuju ruangannya, tetapi berhenti akibat suara sekumpulan penjaga yang tengah menyebut namanya. Sebenarnya ini bukan kali pertama orang-orang istana mengatakan hal buruk tentangnya, hanya saja tidak pernah digubris. Namun, kali ini membuatnya tertarik karena mereka menyebut nama Freya.
"Aku yakin kalau dia penganut sihir iblis. Sihir terkutuk yang lebih parah dari semua sihir."
"Kenapa kau sangat yakin?"
"Kau tak ingat saat dia menyelamatkan Putri Freya dulu? Dia membantai semua penculik itu, seperti perbuatan iblis."
"Memang benar, sih. Tatapan matanya juga mengerikan seperti bukan manusia."
"Tapi dia pemilik mata yang langka, lihat mata emasnya! Nenekku bilang, pemilik mata emas adalah keturunan iblis."
"Putri Freya sangat memercayainya, tidakkah itu aneh?"
"Pangeran Austin pernah bilang kalau Putri Freya merencanakan sesuatu yang buruk, makanya menjadikan iblis sebagai sekutu."
"Mana mungkin!"
"Aku mendengarnya dari pelayannya langsung."
"Benarkah dia mengatakan itu tentang Putri Freya?" tanya Arion yang muncul dari balik koridor, tatapannya berkilat mengerikan—memantulkan api obor malam itu.
Para pengawal itu terdiam, bulu kuduk meremang. Mereka ketahuan membicarakan putri mahkota—sesuatu yang sangat lancang, dan yang memergokinya adalah lelaki yang tadi mereka sebut sebagai pemilik kekuatan iblis.
"T-tuan Arion. Maafkan kami, kami tidak bermaksud mengatakannya."
"Semua itu hanya rumor yang kami dengar dari orang-orang. Sungguh!"
"Lalu tentang keturunan iblis itu, apakah nenekmu benar-benar mengatakannya?"
Mereka susah payah meneguk ludah—menghilangkan kegugupan, keringat dingin bermunculan. Arion mendekat dan mencengkeram kerah seorang lelaki berambut cepak serta kulit kuning langsat. Tombak di tangannya langsung terlepas. Empat orang lainnya mundur, menjaga jarak.
"Kau tahu, beberapa waktu ini suasana hatiku sedang tidak baik. Hal kecil seperti ini membuatku menjadi sangat kesal hingga ingin meremukkan tulang-tulangmu."
"T-tuan, ampuni saya. Saya tidak bermaksud berkata seperti itu."
"Aku juga tidak bermaksud untuk melampiaskan kekesalanku pada kalian."
"Tuan, kami mohon, ampuni kami!"
Mereka sama-sama memohon maaf, tidak ada yang berani jika berhadapan langsung dengan Arion. Bukan hanya karena dia orang kepercayaan Putri Freya, tapi juga terkenal menakutkan.
Arion mengeratkan cengkeramannya, energi sihir mengaliri tangan dan membuat pengawal itu mengerang kesakitan, merasa tenggorokannya dihujam ratusan jarum. Akan tetapi, cengkeraman itu terlepas.
"Hampir saja," lirih Arion.
Ya, hampir saja Arion melanggar janji untuk tidak membunuh seseorang. Ia mundur selangkah dan berbalik pergi, tapi Freya sudah berdiri di belakangnya bersama Lucya yang tengah mengekori.
"Kenapa ada di sini?" tanya Arion setenang mungkin.
"Apa yang kau lakukan pada mereka?"
"Tidak ada."
Tentu Freya tidak percaya ketika melihat seseorang sedang duduk terbatuk di belakang sana, belum lagi yang lain sudah memucat di sudut dinding.
"Ikut!"
Rupanya Lucya memergokinya dan mengadukannya pada Freya, membuat sang putri menjadi sangat marah. Entah apa yang Lucya adukan, tapi sepertinya Freya menganggap apa yang terjadi adalah sebuah pengkhianatan.
"Aku tidak membunuh mereka," sergah Arion. Ia menutup pintu dan berjalan mendekati gadis itu. Tangannya terulur hendak menyentuh, tapi ditepis kasar.
"Itu karena aku datang tepat waktu."
"Aku tidak akan membunuh mereka," ulang Arion.
"Arion!" bentak Freya. Satu hal yang paling ia benci adalah pengkhianatan dan ingkar janji. "Bukankah kau sudah berjanji padaku!"
"Dan aku menepati janji itu hingga saat ini." Arion masih berusaha menyentuhnya, menggenggam tangan Freya. "Sungguh, aku tidak akan mengingkarinya."
Freya melepas genggaman itu dan memilih duduk—berusaha untuk tenang. Entah mengapa ia merasa sedikit aneh pada dirinya sendiri. Tidak seharusnya ia semarah ini, tapi ada emosi yang meluap di dada dan membuatnya tidak nyaman. "Maaf, aku terlalu berlebihan," ujarnya kemudian.
Arion segera berlutut di hadapannya, dan menggenggam tangan lembut itu. "Tidak, kau pantas marah jika aku salah."
"Arion, jangan pernah mengkhianatiku. Jangan pernah!"
"Tidak akan pernah. Sungguh." Arion mengecup punggung tangan Freya dan memejamkan mata, kepala masih bertumpu pada tangan itu. "Mereka mengatakan hal yang buruk tentangmu. Aku sangat marah dan ingin sekali mengutuknya hingga mati. Tapi aku tidak melakukannya. Aku ingat janjiku padamu."
Freya melembut. Memang benar, ketika ia datang dengan tujuan menghentikan Arion, pemuda itu lebih dulu berhenti dan tidak berbuat yang lebih buruk. "Biarkan saja mereka mengatakan apa pun tentangku. Kau tidak perlu marah untuk itu!"
"Tapi—"
"Mereka mau berkata apa saja, tidak akan berpengaruh padaku."
"Aku ... mengerti."
Tidak lama kemudian, Arlan dan Grey datang. Mereka mendengar beritanya dari Lucya dan bergegas menyusul, tapi tampaknya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saat itu, Arion sudah lebih dari kata jinak.
"Aroma apa ini?" tanya Grey. Ia mencium semerbak bunga bercampur rempah di kamar itu.
"Lucya membuatkanku wewangian." Freya menunjuk dupa buhur—wewangian yang dibakar menggunakan wadah kuningan berbentuk kubah kecil. "Dia bilang, bagus untuk menenangkan pikiran."
Grey mengamati dan menciumnya lebih dekat, ia merasakan sesuatu yang aneh pada aroma dari dupa itu.
"Aromanya aneh!" celetuk Arlan.
"Sungguh? Padahal menurutku ini wangi."
"Memang sedikit aneh," gumam Grey setelah kembali meletakkannya.
****
Hari itu, diadakan pertemuan. Freya ikut serta bersama Arlan dan Grey, sementara Arion hanya dapat menunggu di luar. Meskipun ia dianggap sebagai kesatria, tapi statusnya sebagai mantan budak selalu melekat, membuatnya tak akan pernah bisa setara dengan Arlan dan Grey yang berasal dari keturunan bangsawan.
Sementara menunggu, Arion menghampiri Lucya yang sedang menjemur pakaian bersama beberapa pelayan yang lain. Ia memanggilnya dan disambut malu-malu oleh gadis itu.
"Apa yang kau adukan pada Freya semalam?" tanya Arion saat mereka sudah berdua. Di balik koridor—memisahkan diri dari pelayan yang lain.
"Aku hanya mengatakan kalau kau sedang bertengkar dengan para penjaga."
"Lalu kenapa Freya sampai semarah itu?"
"Aku juga tidak tahu, mungkin dia khawatir kalau kau ... kalau kau akan mengamuk dan membuat masalah."
"Freya tidak pernah seperti ini sebelumnya."
Lucya hanya diam, memasang wajah cemas.
"Jangan pernah mencampuri urusan kami. Mengerti!" ancam Arion, lalu beranjak pergi. Namun, Lucya menahan tangannya dan disambut tatapan tajam dari mata emas Arion.
"Tentang perkataan para penjaga itu, mereka bilang ... kalau kau pengguna sihir iblis," Lucya berkata pelan dan hati-hati. "Apakah itu benar?"
"Menurutmu?"
"Aku ... pernah mendengar Putri Freya membahasnya."
Kali ini Arion mulai tertarik, "Membahas apa?"
"Dia bilang ... kalau kau adalah reinkarnasi Putri Luna yang kini dikuasai sihir Lucifer. Apakah itu benar?"
"Putri Luna? Lucifer?"
"Kau tidak tahu?"
Arion mulai memikirkannya. Freya dan Artikius sempat membahas sesuatu tentang Lucifer dan reinkarnasi Putri Luna, tetapi tidak pernah membahasnya langsung dengannya. Pengikut Lucifer yang pernah ia temui di desa yang ada di hutan juga bersikeras memanggilnya 'tuan', apakah itu artinya ....
Tanpa menjawab apa pun, Arion meninggalkan Lucya—mengabaikan panggilan sang gadis. Ada banyak pertanyaan di kepalanya. Sesuatu yang selama ini tidak pernah ia ambil pusing.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top