Bab 6.3 Berita Duka dari Akkadia

Grey kecil adalah anak yang kesepian. Meskipun memiliki tiga orang kakak, tidak ada satu pun dari mereka yang mau menemaninya. Sang kakak pertama sibuk dengan segala hal untuk mempersiapkan diri menjadi penerus kepala keluarga, sementara kedua kakak perempuannya tidak suka bermain bersamanya. Apalagi usia mereka memang terpaut cukup jauh.

Satu-satunya orang yang menemani hanya sang ibu, Almora Grandwill. Wanita cantik yang sangat lembut juga berbakat. Ketika berusia delapan tahun, Grey dikirim ke kerajaan untuk menjadi calon kesatria 'sang pewaris', seorang gadis yang setahun lebih muda darinya.

Pertama kali bertemu Freya, Grey merasa kalau mereka mirip. Sama-sama kesepian. Tatapan gadis itu tidak ubahnya dengan tatapannya, kosong. Grey yang tidak tahu harus mengatakan apa di pertemuan pertama mereka, hanya bisa tersenyum, tapi siapa sangka kalau senyuman itu adalah segalanya bagi Freya.

Sejak saat itu, Freya sangat menempel padanya. Sebab menurutnya Grey adalah orang pertama di istana yang mau tersenyum tulus padanya. Sementara yang lain, lebih sering memberi senyum palsu, bahkan memasang raut benci ketika berhadapan dengannya.

Sebagai sesama orang yang kesepian, mereka menjadi saling melengkapi, sehingga hanya dalam sebulan, Freya menjadi sangat terbuka pada Grey. Lalu, Arlan datang dengan sikap menyebalkan yang membuat masa kecil mereka lebih berwarna, dan entah sejak kapan, mereka menjadi saling memiliki dan rasa kesepian itu perlahan lenyap.

Ketika ia berusia 12 tahun, berita duka itu datang. Almora Grandwill harus membuat keputusan besar untuk menyelamatkan suaminya. Ia menggunakan sihir terlarang untuk menyembuhkan kutukan mematikan, membuatnya menyerap kutukan ke dalam tubuhnya dan harus menderita akibat sakit yang berkepanjangan.

Sejak saat itu, Grey lebih sering membenamkan diri ke dalam buku untuk mencari cara menyembuhkan sang ibu. Kemudian, tidak lama setelah ia kembali dari kunjungannya ke Akkadia, Freya memperkenalkan teman baru, Arion.

Sebelum Freya membawa mereka bertemu Arion, gadis itu sudah memberitahukan semua niat dan rencananya untuk menjadikan Arion sebagai bagian dari mereka. Awalnya Grey khawatir dan enggan untuk setuju, tetapi setelah bertemu langsung, menurutnya semua telah ditakdirkan. Mereka seperti sekumpulan anak kesepian yang dipertemukan untuk saling memiliki.

****

Dua hari telah berlalu sejak mereka datang ke Akkadia. Grey membantu penduduk desa untuk kembali bangkit dan memperbaiki kerusakan. Tempat yang semula damai dan indah dengan pemandangan hijau dari tanah yang subur berubah mencekam hanya dalam satu malam. Meskipun kenangannya di desa itu tidak banyak, tapi Grey tidak rela jika negeri yang dicintai sang ibu lenyap begitu saja.

Selain membangun kembali Akkadia, Grey juga harus memikirkan tentang penerus Grandwill selanjutnya. Seharusnya, dia yang akan menjadi kepala keluarga mengganti sang ayah, tetapi sebagai salah seorang kesatria 'sang pewaris', dia tidak bisa menerimanya, sebab itu artinya harus meninggalkan Freya dan tinggal di Akkadia.

"Tapi tidak mungkin posisi itu diberikan pada Elliot, dia masih kecil untuk mengemban tanggung jawab itu. Apalagi di situasi kacau seperti ini," papar Freya.

Saat itu mereka sedang duduk di depan taman mawar putih milik Almora Grandwill. Sebuah taman yang menjadi peninggalan sang ibu. Grey menatap Elliot yang sedang menanam kembali beberapa bunga yang rusak akibat penyerangan ditemani dua orang pelayan wanita.

"Ini memang keputusan yang kejam. Aku akan membuatnya menjadi kesepian dan harus mengemban tugas yang berat. Elliot pasti akan membenciku setelah semua ini," ucap Grey.

"Tempat ini sudah tidak punya harapan, kau juga tidak menyukai mereka. Kalau begitu tinggalkan saja!" usul Arion.

"Beraninya kau mengatakan hal kejam seperti itu!" Arlan menarik kerah baju Arion dengan kasar. "Apa kau tidak punya simpati sedikit pun?"

"Aku hanya memberi saran yang efisien. Lagipula, yang aku katakan itu benar 'kan, Grey?"

"ARION!" bentak Arlan.

Bukannya marah, Grey malah tertawa. Membuat semua mata tertuju padanya. "Maaf," ucapnya di sela tawa yang masih tersisa. "Kau benar."

"Grey ...," lirih Freya.

"Kalian tentu sudah tahu kalau satu-satunya hal yang aku sukai dari tempat ini hanya Ibu. Selebihnya, tidak ada kenangan yang menyenangkan. Bahkan yang aku yakini, mereka membuangku ke istana karena tidak memerlukanku."

Freya dan Arlan diam. Memang, dulu mereka pernah berpikir begitu, apalagi Arlan, dia juga merasa telah dibuang ke istana oleh keluarganya. Akan tetapi mereka juga paham, Grey bukan orang yang pendendam. Dia memiliki hati lembut dan pemikiran yang dewasa. Mana mungkin dia membuat keputusan sekejam itu, untuk menghapuskan negerinya sendiri.

"Tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak mau semuanya berakhir begitu saja."

"Kalau begitu, kau harus menerima semua konsekuensi atas keegoisanmu kali ini!" timpal Arion.

Grey tersenyum, menatap Elliot yang kini melambai ke arahnya. "Kau benar. Jika dia membenciku, maka itu adalah bayaran atas keegoisanku."

"Sekarang bisa lepaskan aku?" sinis Arion.

Arlan mendengkus gusar, melepaskan cengkeramannya dan berdecak kesal. "Lain kali, cobalah gunakan kalimat yang lebih beradab!"

Sore harinya, bantuan lain datang dari istana, bersama Austin yang menjadi pemimpin. Mereka membawa kabar kalau diduga ada penghianat di Akkadia, sebab mantra pelindung desa tidak mungkin dapat ditembus dengan mudah jika tidak ada yang melemahkan mantranya dari dalam.

"Setelah menyelesaikan semua urusan di sini, raja ingin kalian segera kembali!" ujar Austin. "Tapi sebelum itu, dia juga ingin kalian menemukan resep ramuan keabadian yang Lord Alvendev ciptakan!"

"Bukankah eksperimennya sudah dihentikan?" tanya Grey. Ramuan keabadian adalah malapetaka yang membuat ibunya harus menyerap kutukan mematikan, makanya penelitian dihentikan. Setidaknya itulah yang dikatakan sang ayah.

"Ramuannya sudah hampir selesai. Bahkan kemungkinan besar Akkadia diserang untuk merebut ramuan tersebut."

"Tidak mungkin!"

"Raja menginginkan ramuan itu, makanya Lord Alvendev melanjutkan penelitiannya!" Austin menghentikan pembicaraan secara sepihak. Ia memerintahkan semua prajurit untuk berpencar dan menemukannya.

Terlihat kekecewaan pada wajah Grey. Gara-gara ramuan itu, ibunya harus menderita, hingga berakhir seperti ini, dan yang terparah adalah sang ayah masih berani melanjutkan semua itu meski tahu istrinya sedang berjuang menahan sakit.

Namun, seperti perintah raja, mau tidak mau mereka memulai pencarian ramuan keabadian dengan memeriksa setiap sudut kastel kediaman Grandwill. Tempat itu tidaklah besar, tetapi sangat terawat serta terlihat indah disertai taman bunga dan tumbuhan obat yang berada di sekitarnya. Walau saat ini, banyak bagian yang masih berantakan dan sedang dalam perbaikan.

Meskipun sejak menjadi kesatria 'sang pewaris' ia jarang pulang ke Akkadia, Grey hafal betul seluk-beluk tempat itu, bahkan beberapa ruangan rahasia yang digunakan untuk menyimpan benda sihir dan ramuan obat penemuan Grandwill. Sebab sewaktu kecil, hari-harinya dihabiskan dengan menjelajah kastel seorang diri. Makanya ia yang menjadi penuntun mereka berempat. Sementara Austin bersama rombongannya memeriksa bagian lain.

Pencarian itu membuat Grey kembali mengingat sang ibu. Apalagi ketika mereka memasuki kamar utama sekali lagi dan mungkin untuk terakhir kalinya.

"Lihat, ini kalung kesayangan Mama!" ujar Elliot seraya memperlihatkan liontin berbandul berlian kecil yang berkilauan. Ia mendapatkannya dari dalam laci kecil di sebelah lemari kayu.

Grey mendekat dan mengelus kepala bocah kecil bermata biru muda itu. "Simpanlah kalungnya baik-baik!"

"Untukku?" tanya Elliot, merasa tidak yakin pada keputusan tersebut. "Kenapa?"

"Karena kau yang akan menggantikan Mama untuk menjaganya."

Elliot tersenyum. "Baiklah. Aku akan menjaganya!"

"Dan juga ini!" Grey berlutut untuk menyamakan tingginya dengan sang adik. Ia meletakkan sebuah cincin perak berlambang bunga mawar—lambang keluarga Grandwill.

"Ini cincin Ayah!" gumam Elliot. "Untukku?"

"Ya, cincin itu akan menjadi milikmu!"

Bocah laki-laki berambut putih-ikal itu hanya mengangguk. Tanpa tahu betapa berharganya kedua benda yang sekarang tergenggam erat di tangan mungilnya.

Usai dari kamar utama dan tidak menemukan apa yang dicari, mereka kembali menyusuri kastel, memeriksa setiap ruangan dan lemari, hingga sampai di ruang kerja Alvendev Grandwill. Sebenarnya tempat itu sudah digeledah lebih dulu oleh Austin, tapi Grey tetap memasukinya karena penasaran apa saja yang dilakukan ayahnya di dalam sana.

Selama ini, baik Grey maupun Elliot, tidak pernah melihat ke dalam. Selalu terlarang untuk dimasuki sembarang orang. Makanya, ketika memasuki ruangan besar yang didominasi warna coklat muda itu, mereka sama-sama merasa asing.

Ada banyak jenis tumbuhan kering dan potongan hewan mati tersimpan di dalam botol bening di rak yang tingginya hingga ke langit-langit. Pun berkas-berkas dari perkamen yang berisi coretan telah berceceran di meja dan lantai.

"Tempat inilah yang menyita perhatiannya. Sekarang telah hancur seperti ini," ujar Grey setelah memastikan memang tidak ada catatan atau ramuan yang mereka cari di dalam sana. Akan tetapi, ia berhasil mengantongi banyak sekali ramuan obat yang sepertinya kelak akan sangat berguna.

Freya, menepuk bahunya dan tersenyum jahil. "Ini belum hancur. setidaknya kita dapat banyak harta 'karun', kan."

Ucapan itu sontak membuat mereka tertawa. Setidaknya, sekarang terlihat kalau keikhlasan akhirnya datang dan meringankan segala kesedihan yang beberapa hari ini menyelimuti mereka.

****

Ramuan keabadian yang diinginkan raja tidak ditemukan, padahal mereka telah menghabiskan lima hari di Akkadia untuk mencarinya. Pasrah pada kenyataan dan semakin kuatnya kecurigaan kalau ramuan itu diambil 'para pendosa, mereka memutuskan untuk kembali ke Eidin. Sementara Austin dan rombongannya telah pergi lebih dulu sejak dua hari yang lalu.

Grey menggenggam tangan Elliot yang berdiri di sampingnya, mereka sedang di depan makam sang ibu, mengucapkan salam perpisahan sebelum pergi dari Akkadia. Setelah banyak pertimbangan, Grey memutuskan membawa Elliot ke istana untuk sementara waktu sampai keadaan menjadi lebih stabil.

"Mama, El harus pergi," ucap Elliot dengan nada bergetar. Sesekali ia mengusap matanya yang basah. "El akan menjaga Kakak, Mama tenang saja!"

Grey mengulas senyum. "Kau akan menjagaku?" godanya.

"Iya. El pernah berjanji pada Mama, kalau El akan menjaga Kakak."

"Kenapa?"

"Mama bilang, Kakak akan kesepian dan terpuruk jika Mama sudah tidak ada. Jadi, El harus menggantikannya untuk menemani, Kakak."

Pemuda bermata kelabu itu terdiam dan air matanya kembali menetes. Ia berlutut, lalu memeluk Elliot erat, mencoba menyembunyikan tangisnya. Mereka berdua memang jarang bersama. Sejak Elliot lahir, ia sudah pindah ke istana, jika kembali pun, ia lebih sering menghabiskan waktu bersama sang ibu. Namun, ternyata Elliot menyadari kehadirannya, bahkan mau menjanjikan sesuatu seperti itu.

"Maaf. Maafkan aku. Aku akan sangat merepotkanmu di kemudian hari," lirih Grey.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top