Bab 6.2 Berita Duka dari Akkadia
"Tuan Putri, apa yang telah terjadi, bagaimana yang lain?" Lucya yang baru saja terbangun, bersusah payah bangkit dan menatap harap pada Freya. Namun, gadis itu hanya dapat menggeleng dengan wajah sendu.
"Maaf ... aku tidak bisa menepati janji."
"Apa yang telah terjadi?"
"Semua orang menjadi Troll dan menghancurkan desa. Aku tidak bisa melakukan apa-apa, maafkan aku."
"S-semuanya?"
Freya menunduk, alisnya tertekuk. Lucya yang seolah paham, ikut terduduk, air matanya mengalir, dan bibirnya bergetar menahan isak. "L-lalu, bagaimana dengan anak-anak itu?"
"Mereka berlima selamat." Freya duduk di samping Lucya dan mengusap lembut punggungnya. "Setelah ini, kau tahu akan ke mana?"
Gadis itu menggeleng, masih dengan raut sendu. "Saya sudah tidak punya siapa-siapa, Tuan Putri."
"Jika kau mau, tinggallah di sini." tawarnya.
"Tidak mungkin saya bisa tinggal di sini, Putri. Saya tidak pantas." Lucya menggeleng.
"Kenapa tidak? Kau bisa menjadi salah satu pelayanku. Akan kurekomendasikan pada pengurus istana. Tenang saja."
"Tapi—"
"Aku tidak mungkin membiarkanmu hidup sendirian di luar sana," tutur Freya prihatin. "Lagipula, kau berjasa sebab telah membantu kami memasuki desa dan menyelamatkan anak-anak. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih sekaligus permintaan maafku!"
Lucya tersenyum haru dan menggeleng cepat. "Tidak, tidak ada yang perlu dimaafkan. Anda tidak salah. Saya tahu, semua memang akan berakhir seperti ini."
"Sekarang kau harus istirahat dan memulihkan tenaga!" Freya berdiri. "Aku akan pergi untuk beberapa waktu, sesuatu yang buruk terjadi di Akkadia dan sepertinya ini juga berkaitan dengan orang yang memanipulasi desamu."
"Berhati-hatilah, Tuan Putri. Dan juga terima kasih untuk semuanya." Lucya mengusap air mata yang tidak mau berhenti mengalir.
Freya tersenyum dan beranjak pergi, tetapi matanya menangkap sebuah percikan energi gelap dari tubuh Lucya. Hanya sekilas tapi ia yakin tidak salah lihat. Namun, ia tidak terlalu ambil pusing, mungkin itu efek yang tertinggal akibat Lucya tinggal lama di tempat yang diselubungi oleh sihir gelap. Biasanya energi yang seperti itu akan kembali pulih.
****
Pagi sekali ketika matahari baru mengintip, mereka yang akan menyusul ke Akkadia telah berkumpul di depan gerbang utama. Begitu pun Freya dan ketiga kesatrianya—terutama Grey yang bisa dipastikan tidak tidur semalaman. Ekspresinya tegang, tangannya dingin dan berkeringat. Beberapa kali Freya menggenggam tangannya untuk menguatkan, tapi tidak cukup ampuh menenangkan kegelisahannya.
"Freya, kau tetap di sini!" seru William. "Di sana berbahaya. Kemungkinan pelakunya adalah 'para pendosa', kau incaran mereka."
"Mana mungkin aku diam saja di sini sementara keluarga Grey tidak jelas keadaannya sekarang," bantah sang gadis. Tangannya menggenggam erat ujung gaun di dalam jubah hijau lumutnya yang tebal. "Aku ikut ke Akkadia."
"Jangan seperti anak-anak dan menurutlah!"
"Kak!" Freya menggeleng pelan, ia tidak mungkin membiarkan Grey pergi sendiri dalam keadaan seperti ini. "Kumohon,Grey adalah kesatriaku. Sahabatku."
William hanya diam dan memalingkan wajah, mengalihkan perhatiannya pada Grey yang sudah tidak sabaran. "Kalian berdua ikut bersamanya, Freya tetap di sini!" putusnya dan berbalik pergi.
"Kak!" Freya segera mengejar dan menghadangnya dari depan. "Kumohon, aku harus pergi. Setidaknya ada banyak prajurit yang akan mengawal, di sana juga ada Dolhaf."
"Kenapa kau suka sekali membantahku?" sinis William, menatap tajam.
Freya menunduk, tidak berani menatap langsung lawan bicaranya terlalu lama. "Lagipula raja sudah mengizinkan."
"Tentu dia mengizinkan. Kau pikir dia—" William menghentikan ucapannya dan menghela napas disertai raut jengkel. Ia maju dan mendorong Freya dengan bahunya untuk melanjutkan perjalanan. "Jika situasi tidak memungkinkan, segera kembali ke sini. Mengerti?"
"A-aku mengerti!" Freya bernapas lega dan bergegas kembali pada rombongan dan memulai perjalanan mereka, memacu kuda melewati desa dengan kecepatan penuh, meninggalkan Ibu Kota Destrion, Eidin. Dalam waktu singkat, melewati daerah yang kiri-kanannya hutan dan terus maju menuju Timur Laut—Akkadia.
Di luar prediksi, mereka sampai setengah jam lebih cepat. Pemandangan desa yang dikeliling pepohonan berwarna oranye keemasan terlihat begitu indah, tetapi gerbang perbatasan setinggi 2 meter yang biasanya berdiri kokoh kini telah hancur dan terdapat bekas ledakan.
Grey memacu kuda lebih cepat. Penutup kepalanya terlepas diterpa angin, membuat rambut putih lurus-panjang yang terikat jadi berkibar dan bersinar diterpa matahari. Semakin ia mendekat, keadaan desa yang porak-poranda semakin jelas. Keindahan yang terlihat dari kejauhan seakan terbantahkan kala asap hitam dari tengah desa membumbung di langit cerah siang itu.
"Grey!" panggil Freya, memintanya untuk lebih tenang.
Akan tetapi pemuda bermata abu-abu itu sudah tidak memiliki kesabaran. Berkali-kali ia berdoa, 'Bertahanlah, ibu!' dan mengepal tali kudanya lebih erat saat memasuki desa lebih dalam. Sepanjang jalan diisi pemandangan yang membuat hatinya semakin kalut; mayat bergelimpangan, orang-orang menangis meratapi keluarganya yang menjadi korban atau rumahnya yang telah hancur. Akan tetapi, tujuan utamanya saat ini adalah kediaman Grandwill.
Dolhaf dan beberapa prajurit menyambut kedatangan mereka. Tidak jauh berbeda dari pemandangan di desa, kastel kediaman Grandwill jauh dari kata baik-baik saja. Ada bagian yang terbakar dan roboh. Pelayan yang selamat ikut menyambut dengan isak tangis saat Grey turun dari kuda dan langsung masuk ke dalam.
"Di mana ibu?" tanyanya. Ketiga pelayan yang mengikuti di belakang langsung menangis, membuat tubuh Grey terasa dingin dan membeku. Hal yang paling ia takutkan terjadi. Langkahnya mulai berat menaiki anak tangga mewah berlapis karpet abu-abu, menuju kamar sang ibu. Ia bahkan meneguk ludah berkali-kali.
"Nyonya ...," lagi, pelayan itu menangis, tidak sanggup melanjutkan perkataannya.
Grey tahu apa yang ingin mereka katakan. Ia tahu apa yang telah terjadi, tapi tetap saja kenapa malah berakhir seperti ini? Padahal ia telah membaca banyak buku dan mempelajari berbagai macam mantra pengobatan untuk menyembuhkan sang ibu. Sekarang semua terasa sia-sia.
Setetes air mata jatuh kala melihat wanita berambut putih-bersih yang sama dengannya telah terbujur kaku di atas ranjang yang kelambunya telah rusak. Perabotan di sekitar juga berantakan, bahkan ada bercak darah di lantai. Namun, tujuannya hanya satu, mendekat dan berlutut di samping ranjang—menenggelamkan wajahnya pada tangan kaku sang ibu. Tubuhnya bergetar, menangis dalam diam.
****
"Maafkan saya, Tuan Putri. Ketika kami sampai, semuanya sudah ...." Dolhaf menunduk. "Mereka benar-benar berniat memulai perperangan dengan mengincar Grandwill."
Dari yang selama ini Freya tahu, Akkadia adalah desa paling damai dan tenang, semua berkat keluarga Grandwill. Mereka adalah bangsawan yang baik dan tidak pernah mendapat rumor buruk. Semua keturunannya adalah penyihir yang lebih mendalami ilmu pengobatan ketimbang mempelajari sihir kutukan dan semacamnya.
Status saat ini, Kepala Keluarga, Alvendev Grandwill diculik oleh 'para pendosa'. Anak kelima, Elliot berhasil selamat walau mengalami luka-luka, sedangkan yang lain meninggal—termasuk Nyonya Grandwill.
Grey bangkit setelah beberapa saat menangis di samping jenazah sang ibu. Freya, Arlan, dan Arion sudah berdiri di belakangnya. Ini pertama kalinya mereka melihat Grey sekalut itu. Wajah tenang dan lembut yang biasa ia tunjukkan, kini berubah kusut dan menyiratkan kelelahan.
"Di mana Elliot?" tanya Grey usai Freya menjelaskan semua keadaan.
"Sedang dirawat di kamarnya."
Grey bergegas menuju lantai bawah, berlari menyusuri koridor yang berantakan—tak ubahnya ruangan lain di tempat itu. Ia berhenti di depan kamar berhias bunga dari perak, khas warna kebanggaan seorang Grandwill. Sebelum tangannya meraih gagang pintu, pintu tersebut lebih dulu terbuka. Seorang tabib keluar dan langsung membungkuk hormat, mempersilakannya masuk.
"Elliot?" panggil Grey. Ia mendekat dan menggenggam tangan mungil di atas ranjang. Ada bekas luka yang diperban pada lengan itu, belum lagi kepalanya dililit perban yang memerah sebagian karena darah. "Bertahanlah!"
Anak laki-laki berusia delapan tahun berambut putih itu tertidur nyenyak, akibat ramuan yang diberikam tabib agar ia dapat beristirahat.
Grey menggunakan sihir penyembuhannya, mengerahkan energi yang tersisa. Tangan dan kaki yang patah, serta semua bekas goresan di tubuh Elliot sembuh dan menutup, bahkan tanpa bekas sedikit pun. Ia menarik napas, terduduk di samping ranjang. Kepalanya menyandar pada kasur empuk. Matanya terpejam disertai napas yang berembus perlahan.
Freya mendekat untuk menyelimuti dan duduk di sampingnya. "Beristirahatlah, besok akan menjadi hari yang panjang!" ujarnya lembut, tapi tidak ada sahutan. "Ingatlah, kau masih punya kami dan juga Elliot."
****
Acara pemakaman berlangsung esok hari, dan selesai menjelang sore kala langit yang cerah perlahan mendung dan gerimis pun turun. Elliot menggenggam erat tangan Grey disertai isak tangis menyaksikan keluarga mereka terkubur satu-persatu. Kini hanya ada mereka berdua sebagai penerus terakhir Grandwill, harapan terakhir bagi Akkadia yang kini berduka.
Grey tidak lagi menitikkan air mata. Ia hanya berdiri diam dengan raut datar, menatap gundukan tanah pemakaman yang masih baru. Semua prajurit dan pelayan telah kembali ke kastel. Laporan juga sudah dikirim ke kerajaan, sedangkan Grey masih enggan untuk beranjak dari pemakaman yang terletak di dataran tinggi itu.
Freya, Arlan, dan Arion juga masih setia menemaninya. Mereka tidak mengatakan apa pun, sebab sama-sama paham bahwa tidak ada kata yang dapat memulihkan Grey, hanya waktu yang akan menyembuhkannya.
"Kak, sekarang kita bagaimana?" tanya Elliot. Ia sudah berhenti menangis, matanya sembab dan pipinya memerah.
Grey mengeratkan genggaman pada tangan mungil di sampingnya tanpa memalingkan manik kelabu dari nisan ibunya, Almora Grandwill. "Kita akan baik- baik saja!" ucapnya pelan.
Grey menengadah, merasakan terpaan air menghantam wajahnya. Lalu berbalik dan tersenyum pahit ke arah Freya. "Maaf, aku terlihat menyedihkan."
Freya berlari mendekat dan memeluknya. "Kau tidak perlu minta maaf untuk itu!"
****
Malam harinya, Arion berkeliling kastel, beberapa bagian telah dirapikan dan diperbaiki. Ia berhenti di depan deretan lukisan keluarga. Sebuah keluarga yang secara visual sangat menarik untuk dipandang; wajah rupawan dan rambut putih bersih. Tidak aneh jika mereka terkenal dengan sebutan jelmaan Elf.
"Aku tidak dekat dengan mereka." Grey yang sudah berada di belakangnya berucap pelan. Ia menatap lekat pada lukisan di hadapan mereka. "Ayah memang bukan orangtua yang buruk, tapi dia hanya sibuk dengan pekerjaan dan eksperimennya. Begitu pun kakak laki-lakiku."
"Eksperimen?" tanya Arion, sama sekali tidak terkejut akan kehadiran pemuda itu.
"Membuat obat berbagai jenis penyakit dan menemukan benda yang dapat digunakan untuk menyimpan dan mengontrol energi kami saat melakukan sihir penyembuhan."
Arion mengangguk paham.
"Lalu karena kecelakaan dalam eksperimen, ayah terkena kutukan mematikan. Untuk menolongnya, ibu menggunakan sihir terlarang dan membuatnya harus menyerap kutukan ayah ke dalam tubuhnya."
"Kau menyalahkan ayahmu?"
"Tidak. Kupikir tidak. Tapi setiap melihat ibu yang semakin lemah, tanpa sadar aku menyalahkannya."
"Sekarang dia diculik, apa kau mau menyelamatkannya?"
"Entahlah."
Sesaat kemudian, mereka sama-sama terdiam. Ini pertama kalinya Grey menceritakan tentang dirinya pada Arion. Mungkin bisa dikatakan kalau ini juga kali pertama mereka berbincang berdua. Walau bukan obrolan yang enak untuk dibahas bersama secangkir cokelat panas.
"Jika kau ingin balas dendam, aku akan membantumu," ujar Arion.
Grey tersenyum tipis. "Kupikir kau hanya peduli pada Freya."
"Freya juga pasti akan mengatakan hal yang sama," balas Arion dan pergi meninggalkan Grey yang masih betah menatap lukisan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top