Bab 5.2 Desa Tak Bernama
"Lucya! Lucya!" Ketukan tergesa-gesa dari luar membuat mereka terdiam. Lucya berdiri dan mendekati pintu kayu yang tampak akan roboh jika orang di luar sana tidak dihentikan.
"Ada apa?" sahutnyya tanpa berniat membuka pintu.
"Lucya, ibumu," gedoran berhenti dan nada ketakutan terdengar. "Ibumu berubah!"
"Di mana ibu sekarang?"
"Di altar utama, cepatlah!" Suara itu lenyap bersamaan derap langkah yang perlahan menjauh.
"Aku harus pergi. Kalian tunggulah di sini!" Lucya mengenakan jubahnya dan bergegas ke luar dengan wajah pucat.
Freya mengisyaratkan untuk mengikuti Lucya secara diam-diam menuju ke tengah desa. Di sana terdapat sebuah lapangan dengan batu setinggi 1 meter di tengahnya, di sana tercetak ukiran pentagram disertai bercak merah kecokelatan seperti darah yang telah mengering.
Orang-orang berkerumun, menyaksikan seorang wanita yang sedang berlutut di depan batu tersebut. Sebagian tubuhnya telah berubah menjadi besar berwarna cokelat, sama persis dengan monster yang mereka lihat sebelumnya. Lalu, tidak jauh dari sana, Lucya tengah menangis menyaksikan sang ibu perlahan menjadi monster mengerikan, Troll.
"Ini pertama kalinya aku melihat sekumpulan penyihir gelap dalam satu tempat," gumam Freya, matanya melotot, terperangah.
Setelah berubah sepenuhnya menjadi Troll. Wanita itu mengamuk dan melayangkan pukulan ke sembarang arah. Orang-orang yang tadi menonton langsung menjauh. Akan tetapi seseorang maju ke hadapannya dan menggumamkan matra. Troll itu terdiam dan menghentikan amukan, hingga akhirnya pergi; menjauh, lalu menghilang di dalam kabut.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan." Orang itu bersuara dengan nada berat, khas laki-laki dewasa. "Mereka yang berubah adalah pahlawan yang akan menuntun kita menuju kekuatan yang lebih besar. Pengorbanan yang tidak akan sia-sia."
"Aku tidak butuh kekuatan yang kau katakan. Kembalikan ibuku!" bentak Lucya tidak jauh darinya. Gadis itu sudah berdiri, matanya sembab dan wajahnya basah akibat air mata.
"Ucapan itu akan membuat ibumu bersedih. Kau tidak menghargai pengorbanannya."
"KEMBALIKAN IBUKU!" Lucya lari menerjang, tetapi sebuah cahaya berwarna hitam menghantamnya hingga terdorong jatuh jauh ke belakang, terhempas pada dinding kayu salah satu rumah.
"Lucya!" Freya hendak menghampiri, tapi ditahan oleh Arlan. Mereka tidak boleh ketahuan telah menyusup.
"Sekarang, kita lanjutkan ritualnya. Bawa persembahan ke altar!"
Beberapa orang datang membawa anak-anak yang terikat dan menangis. Semuanya berusia kisaran lima hingga tujuh tahun; tiga orang laki-laki dan dua perempuan. Mereka menjerit dan memohon untuk dilepaskan, membuat Freya mengepal erat. Ia ingin menolong tapi Arlan masih setia menahan tangannya.
"Kita tidak mungkin membiarkan mereka menyakiti anak-anak itu!" Freya berbisik-ada nada kemarahan di dalamnya.
"Tapi kita tidak bisa langsung ke sana. Mereka terlalu banyak, itu berbahaya," sergah Grey. "Pancing perhatian mereka, lalu selamatkan Lucya. Jika ada kesempatan, bawa kabur anak-anak itu."
"Aku yang akan memancingnya," tanggap Arlan. Sama halnya dengan Freya, ia juga sedang menahan amarahnya.
"TOLONG!"
"LEPASKAN!"
"SAKIT!"
Anak-anak di depan sana terus menjerit kala mereka dipaksa bersujud di hadapan batu besar berukir pentagram. Satu di antaranya ditarik dan sebuah pisau telah berkilat di depan lehernya, bersiap untuk menebas.
"Hentikan!" kecam Arlan. Ia sudah berlari ke tengah kerumunan dan menggumamkan sesuatu. Terjadi ledakan berkekuatan kecil tapi sukses menimbulkan kepanikan.
Freya dan Grey berlari ke arah Lucya. Pemuda androgini itu membopongnya ke tempat yang aman, sementara Freya kembali menggunakan sihirnya untuk menciptakan angin yang berembus kencang ke arah kerumunan, membuat fokus mereka teralihkan.
Arlan yang tidak menyia-nyiakan kesempatan segera berlari ke tempat anak-anak dan membuat sihir pelindung transparan berwarna putih gading yang mengurung mereka agar terhindar dari serangan fisik maupun sihir.
"Siapa kalian?" Seorang lelaki paruh baya berwajah pucat disertai lingkar mata hitam menghadang Freya. Ia melemparkan kutukan, tetapi Arion datang dan menarik Freya untuk menghindar.
Arion membalas kutukannya dengan cepat. Sebuah energi berwarna ungu pekat menyambar ke arah lelaki itu; membuatnya jatuh dan muntah darah. Sementara sebagian lainnya mencoba menembus pertahanan Arlan yang saat itu sedang berusaha membuat portal perpindahan--sebuah sihir rumit yang dapat menguras energinya.
Kutukan demi kutukan menghujani Arion dan Freya, tetapi mereka dapat mengelak gesit, pun satu persatu berhasil ditumbangkan.
"MUNDUR!" teriak Arlan ketika ia berhasil membuat portal sihir berbentuk pintu cahaya berwarna biru muda. Ketika mantra pelindung di sekitar mereka memudar, ia segera membawa anak-anak masuk dan menghilang.
Freya dan Arion berusaha kabur, tetapi sekelompok orang berdatangan dan mengelilingi lapangan tersebut dan mengalihkan perhatian penduduk desa. Salah satu dari mereka membuka tudung jubah dan memperlihatkan sosok yang Freya kenali, Adam. Tidak menunggu waktu lama hingga terjadi pertempuran, saling melempar sihir kutukan.
Freya dan Arion menyelinap pergi ke tempat yang lebih aman. Tujuan mereka sudah tercapai, tidak boleh mengambil risiko lebih dengan terjebak di antara perperangan ketika mereka sendiri tidak tahu mana lawan dan mana kawan.
"Lagi-lagi kalian merusak rencanaku!" Pria yang memimpin ritual bersuara. Ia berdiri menantang, tak gentar pada Adam dan rombongannya.
"Kami tidak akan membiarkan kalian menggunakan sihir terkutuk itu lagi," kecam Adam.
Pria itu tertawa di balik jubahnya. "Tidak ada yang dapat menahan kekuatan dari tuanku. Asal mula segala kekuatan."
"Kami yang akan menahannya. Masa kejayaannya sudah berakhir dan tidak akan pernah bangkit lagi. Itulah sumpah kami."
"Begitu?" Pria itu mengangkat tinggi kedua tangannya. " Kalau begitu, kita mulai saja semuanya. BERIKAN AKU SEDIKIT KEKUATANMU, TUANKU, THE FALLEN ANGEL, LUCIFER!"
Penduduk desa tumbang satu persatu, mereka jatuh berlutut di tanah dan mengerang kesakitan sambil menengadah ke atas. Sebuah energi hitam pekat keluar dari mulut yang menganga berteriak sakit. Lalu seluruh energi itu berkumpul ke tubuh pria tersebut. Ia tersenyum puas.
Angin bertiup kencang, membuat tudung yang menutupi wajahnya terbuka, menampilkan seorang pria berambut hitam klimis serta retakan memerah pada leher hingga pipi, matanya menggelap, dan senyum kepuasan terukir pada bibirnya.
Mereka yang energinya diserap, mulai tumbang dan tidak sadarkan diri. Pria itu berjalan menuju batu yang terdapat pentagram, lalu menyayat tangannya dan memercikkan darahnya pada batu tersebut. "Aku persembahkan jiwaku sebagai ganti kekuatan yang kau berikan. Bantulah aku pengikut setiamu ini!"
Adam mengeluarkan panahnya, Ia membidik pria tersebut menggunakan anak panah yang telah dimantrai, diikuti oleh pasukannya yang lain. Namun, ketika anak panah dilancarkan, semuanya sia-sia. Tidak ada yang berhasil menggoresnya.
"Aku dapat merasakannya. Kekuatan tuanku." Pria itu berbalik. Mata kelamnya berkilat mengerikan.
"Buat sihir pembatas. Jangan sampai dia keluar dari tempat ini!" Adam memerintahkan. Pengikutnya mengangguk mengerti dan mengambil posisi di seluruh mata angin. Mereka menggumamkan mantra, sebuah penghalang transparan muncul dan menyelubungi seluruh desa.
****
Beberapa anggota Artikius tumbang dengan mata dan hidung mengeluarkan darah. Mereka terkena kutukan. Kabut di tempat itu berubah menjadi merah, sebuah racun yang membuat siapa pun yang menghirupnya terkena kutukan.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Kita tidak bisa mendekat."
Adam menarik mundur pasukannya dan menjauh. Akan tetapi, pandangannya malah bertemu tatapan Freya, gadis itu berdiri tidak jauh dari tempatnya saat ini. Ia segera mendekat. "Putri Freya, apa yang Anda-" ucapannya terhenti saat fokusnya tertuju pada Arion yang berada di samping Freya. "Dia ...."
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Freya balik bertanya.
"Saya sungguh beruntung dapat bertemu Anda di sini." Adam kembali menatap pria yang tengah memamerkan sihir hitamnya di depan sana. "Dia adalah pengikut setia Lucifer, kami menyebutnya 'para pendosa.' Mereka selalu mencari cara untuk mendapatkan kekuatan iblis."
"Lucifer?" lirih Arion. Mata emasnya menatap lurus pada pria yang kini hilang kendali.
"Maukah Anda membantu saya?" tanya Adam kemudian.
"Caranya?"
"Kita harus memurnikan energinya. Kristal Dayna pasti bisa melakukannya."
"Tidak Frey!" larang Arion. "Itu berbahaya."
"Aku akan membantumu. Tapi dengan satu syarat!" ucap Freya sembari meyakinkan Arion dengan tatapannya.
"Apa syaratnya?"
Freya mendekati Adam dan sedikit berjinjit, mencoba berbisik ke telinga lelaki yang jauh lebih tinggi darinya itu. "Jika kami berhasil mengalahkannya, kau tidak boleh menyentuh Arion sedikit pun!"
Lelaki itu mengerutkan dahi--tentu syarat yang Freya minta adalah hal yang berat untuk ia kabulkan. Arion itu seperti bom waktu yang menunggu untuk meledak. Jika menyetujuinya, sama saja dengan lepas dari mulut buaya, masuk ke kandang singa.
"Tapi-"
Freya kembali membuat jarak dan memberi tatapan mengintimidasi. "Jika kau tidak mau, aku tidak akan membantumu. Kristal Dayna tidak akan pernah memihak kalian."
Jeritan orang-orang mendesak Adam. Ia menghela napas sejenak, lalu mengangguk setuju. Freya tersenyum puas. Sebagai seorang calon ratu, ia sudah diajari untuk membuat segala hal menjadi sesuatu yang dapat menguntungkan pihaknya.
"Mereka para Artikius yang kau maksud itu, kan? Syarat apa yang kau minta?" tanya Arion, berbisik ketika Freya kembali ke sisinya. Akan tetapi gadis itu hanya tersenyum, enggan menjawab. Arion meraih tangannya dan menggenggamnya. Sorot mata emas itu menyiratkan kekhawatiran. "Kita tidak harus terlibat dengan semua ini. Bagaimana kalau kau terluka?"
"Tenang saja, jika situasi semakin tidak menguntungkan, kita kabur dari sini." Freya meyakinkan, tapi Arion tahu semua itu hanya alasan. Lima tahun cukup baginya untuk mengenal sifat Freya yang terbilang heroik dan ambisius--ia tidak akan mundur sebelum menang.
Beberapa anggota Artikius yang masih bisa bertarung ikut berkumpul. Adam menjelaskan situasinya dengan singkat dan Freya mengangguk mengerti. Ia memang tidak pernah menggunakan kekuatan Kristal Dayna sebelumnya, pun tidak ada yang dapat mengajari cara menggunakannya. Namun, sepertinya Adam dapat membantunya memahami kristal tersebut.
Freya bukannya malas mempelajari tentang Kristal Dayna, tapi memang tidak ada catatan apa pun perihal penggunaannya. Pada dasarnya, Kristal itu layaknya benda pusaka di kerajaan; tersimpan lama dan tidak tersentuh. Tidak pula ada catatan lengkap dari pewaris terdahulunya. Sebab mereka mati sebelum berhasil menggunakan kristal tersebut. Namun, Freya percaya diri pada kekuatannya saat ini.
****
"Kalian semua akan menjadi persembahan yang sempurna untuk tuanku," ucap pria itu dari kejauhan, lalu tawanya menggelegar.
Freya memejamkan mata. Sementara Arion masih setia mendampinginya, menjaga agar tidak ada yang berani menyentuhnya. Anggota Artikius yang lain berpencar, mencoba menarik perhatian pria itu.
Kristal Dayna perlahan muncul dari punggung tangannya, berpendar dan mengeluarkan energi yang bersinar terang. Ia membuka mata dan mengulurkan tangan ke depan dada. "Syndetiras!" serunya.
Sebuah cahaya menerobos kabut merah yang mulai menipis, menyerang telak pria di depannya hingga terdorong. Sebuah tali muncul dan mengikat erat. Ia menggeram dan menatap tajam ke arah Freya.
"Sekarang!" Adam mengomandoi.
Serangan lain berdatangan menghujani pria tersebut hingga ia jatuh berlutut. Akan tetapi tidak berselang lama ia kembali berdiri, pengikat telah terlepas dan memukul mundur orang-orang dengan sekali lemparan kutukan.
"Empodio!" Arion maju, membuat perisai pelindung. Ia sedikit terdorong saat serangan menghantam telak.
Energi pria itu terlalu besar, mantra yang menggunakan kekuatan Kristal Dayna harusnya lebih kuat, tetapi dapat dipatahkan dengan mudah.
"Tahan dia!" perintah Adam. Ia mengisyaratkan pada Freya untuk memulai ritual penyegelan.
Iris cokelat-madu Freya menutup, berkonsentrasi untuk mengumpulkan energi sihir di dalam tubuhnya. Ia berdiri mematung, tangannya terangkat ke depan dada. Kristal Dayna berpendar semakin terang hingga menyilaukan. Adam juga melakukan hal yang sama, menguarkan energi sihir berwarna putih dari tubuhnya dan bercampur dengan Kristal Dayna. Muncul sebuah simbol segel menyerupai pentagram besar bertuliskan huruf kuno di sekelilingnya
Anak panah melesat ke arah pria itu dan menimbulkan ledakan. Rupanya Grey menyusul di belakang seraya membawa sebuah busur berukiran sayap, khas milik keluarga Grandwill.
"Tidak ada yang bisa menandingiku. Inilah kekuatan sajati." Pria itu kembali melempar kutukan dan kali ini jauh lebih besar.
Arion ragu dapat menahan serangan itu dan benar saja, sihir pelindungnya retak, menghempaskannya ke belakang. Anak panah Grey kembali melesat, mencoba menahan serangan itu tapi terlambat. Ia hendak menghampiri Arion, tapi pemuda bermata emas itu tidak jatuh apalagi terluka; kutukan yang mengenainya seakan terserap ke dalam tubuhnya.
"Jangan pernah menyakiti Freya!" kecam Arion.
Pria itu bergetar. Ia mundur selangkah dan menghentikan serangannya. "T-tuanku?"
"Enyahlah!" Arion membalikkan kutukan yang tadi ia serap dan pria itu terjungkal menghantam tanah dengan sangat keras.
"T-tuanku, kau 'kah itu?" Dia merangkak, berusaha berdiri. "Tuanku, kau sudah kembali?"
"Aku bukan tuanmu."
"Tidak, kau tuanku. Sihir ini, mengenali tuannya."
"Aku tidak mengerti yang kau katakan," tukas Arion, ia mendekat, "dan tidak peduli dengan ucapanmu."
Anak panah Grey kembali meluncur, kali ini berhasil mengenai bahu pria itu. Geraman terdengar membahana, bersamaan dengan itu segel yang diciptakan Freya dan Adam akhirnya selesai. Sebuah rantai cahaya keluar dari pentagram yang mereka ciptakan dan menerjang pria itu, lalu melilitnya erat.
"SIALAN!" geramnya. "SIALAN. SIALAN. SIALAN. Kalian mengganggu pertemuanku dengan tuanku."
"Arion, menjauh!" suruh Grey. Mereka mundur ke samping Freya dan Adam yang masih menutup mata seraya menggumamkan mantra.
"Ini baru permulaan. Kami pasti akan kembali membawa kejayaan tuanku ke dunia ini!" teriaknya semakin lantang.
Freya membuka mata dan berjalan mendekati pria itu--yang sudah terikat kuat dan semakin melemah. Ia mengarahkan tangan yang terdapat Kristal Dayna ke dahinya. Semua energi gelap yang ada di tubuh itu terserap ke dalam sang kristal. Pria dengan mata yang memerah itu mengerang kesakitan, mencoba berontak tapi tubuhnya tidak dapat bergerak.
Sebelum energinya terserap habis, kepala pria itu lebih dulu menggelinding jatuh dari lehernya. Ia telah dipenggal oleh seseorang yang berdiri tidak jauh dari mereka. Seorang pria bertopeng yang sangat familier.
Mantra penyegel dilepaskan, suasana menjadi hening dan kabut tipis yang sejak awal menyelimuti perlahan menghilang. Angin berembus kencang dan menerbangkan rambut panjang bergelombang milik Freya ke depan.
"Topeng itu!" gumam Freya.
Arion dan Grey juga menyadarinya, itu adalah topeng yang sama yang digunakan oleh penculik yang menangkap mereka lima tahun yang lalu.
"Itu adalah topeng penanda pengikut setia Lucifer, para pendosa," jelas Adam seraya melemparkan kutukan, tapi terlambat. Orang itu lebih dulu masuk ke dalam portal berwarna hitam dan lenyap.
****
Mereka yang selamat segera menjauh dan berkumpul, tetapi fenomena aneh kembali terjadi. Penduduk desa yang tak sadarkan diri setelah energinya diambil, kini berubah menjadi Troll dan desa itu perlahan menuju kehancuran. Tahu kalau tidak ada harapan lagi untuk mempertahankan tempat itu, mereka bergegas mundur, keluar dari desa.
Arlan bernapas lega saat Freya dan yang lain menyusulnya ke rumah Lucya dengan keadaan baik-baik saja. Lucya masih pingsan, sementara anak-anak yang ia selamatkan sudah mulai tenang, saling meringkuk di sampingnya.
"Putri Freya!" panggil Adam dari luar. Freya menyusulnya.
"Anda yakin dengan semua ini?"
"Tentu saja!" tegas Freya. "Mulai hari ini, kalian tidak boleh menyentuhnya. Aku akan membantu memperbaharui segel Lucifer, tapi tidak ada yang boleh melukainya."
"Anda tahu, bisa saja keputusan ini akan mendatangkan petaka."
Freya hanya tersenyum, tapi matanya menyiratkan keyakinan, bahwa semua akan baik-baik saja.
Adam hanya dapat pasrah. Sebelum berbalik pergi, ia kembali bertanya, "Apa yang membuat Anda sangat tertarik hingga melindunginya seperti ini?"
"Rahasia." Freya tersenyum dan berbalik menyusul teman-temannya.
Adam menatapnya sejenak--mencoba memahami pemikiran gadis itu--walau pada akhirnya ia memilih pergi, mengikuti anggota yang lain untuk meninggalkan desa. Begitu pun rombongan Freya yang menyusul di belakang.
Hanya dalam sekejap, desa di tengah hutan itu hancur oleh Troll yang mengamuk. Setelah semua benar-benar rata dan energi mereka habis, Troll itu berubah menjadi patung batu dan berdiam diri--menanti saat kembali untuk bangkit.
Adam berkata, mereka semua terkena kutukan akibat menggunakan sihir yang tidak mampu ditahan oleh tubuh mereka sendiri. sebuah kutukan yang diakibatkan oleh sihir iblis yang tidak seharusnya digunakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top