Bab 3.3 Putri Mahkota
"Freya!" teriak Arlan dari balik jeruji. Ia tidak dapat melihat jelas apa yang terjadi di sana, sebab beberapa orang menghalangi pandangannya. "Freya?" panggilnya sekali lagi.
Freya kembali menjerit ketika pisau yang menancap di tangannya dicabut kasar. Ia meringkuk, tubuhnya bergetar disertai isak yang tak terbendung.
"Sepertinya tidak ada di tangan yang ini, bagaimana kalau satunya lagi?"
Freya menggeleng cepat. "Ti-tidak."
"Kalau tidak mau, sebaiknya kau yang menyerahkannya sendiri padaku."
Tentu saja Freya tidak akan menyerahkan kristal itu. Meskipun mau, ia juga tidak tahu cara mengeluarkannya. "A-aku tidak tahu. Aku tidak tahu kristal apa yang kalian inginkan."
"Tak apa, kita masih punya banyak waktu. Kau bisa mengingat-ingat lagi hingga pertemuan selanjutnya."
Freya kembali diikat dan dilempar ke dalam penjara. Arion dan Grey bersusah payah menghampiri, sementara Arlan masih tidak sadarkan diri—tersandar di dinding.
"Tanganmu," kata Grey lirih, ia mendekat. Freya hanya diam, menunduk. Tubuhnya bergetar dan wajahnya memucat. "Tenanglah semuanya, pertolongan akan datang secepatnya!" Grey mencoba menenangkan meskipun keringat dingin berbulir di kening dan pelipisnya.
"Ada pisau kecil di kantong celanaku, bisa kau ambilkan?" Arion bersuara.
Grey bersusah payah mendekat; mereka berdiri bersampingan, tangan Grey yang terikat berusaha merogoh kantong Arion dan benar saja, ada pisau di sana. Ia coba melepaskan ikatannya dan berhasil.
Setelah terlepas, Grey mencoba menutup luka Freya tapi sihirnya tidak berfungsi. Ruangan itu telah terpasang mantra pengekang, sebuah sihir yang tidak sembarang orang bisa melakukannya. Sementara itu Arlan akhirnya sadar dan mengerang sakit pada perut saat hendak berdiri.
"Freya." Ia mendekat dan memeluk gadis yang masih duduk terdiam, wajahnya pucat pasi.
"Kita bukan tandingan mereka." Freya berucap dengan suara bergetar.
"Tenang saja!" Grey bersuara. "Sebelum masuk ke dalam portal, aku meninggalkan liontinku. orang istana pasti bisa menemukan keberadaan kita menggunakan liontin itu."
"Freya, maaf aku masih sangat lemah," Arlan menunduk marah—marah pada dirinya yang tidak bisa melakukan apa pun.
****
Beberapa jam kemudian mereka bertiga terbangun akibat jeritan Freya. Orang yang menculik mereka datang lagi dan menyeret gadis itu keluar. Arlan dan Grey mencoba menahan, tapi sebuah mantra mengenai mereka sekaligus hingga terdorong menghantam dinding batu.
"Apakah sekarang kau sudah ingat di mana kristal itu?"
Freya menggeleng, berurai air mata. "Aku tidak tahu. Lepaskan aku!"
"Kalau begitu, di bagian mana lagi kita harus mencarinya?" Pria itu menarik tangan Freya yang terluka. "Atau aku harus membuat lubang yang lebih besar?"
"Tidak! Tidak! Lepaskan aku!" Freya semakin pucat, matanya yang berair terbelalak, kepalanya menggeleng cepat. "Jangan!"
"Tidak ada seorang pun yang akan menolongmu, Tuan Putri. Bahkan kesatria kecilmu itu tidak berguna."
Grey dan Arlan menggeram, giginya bergemerutuk. Mereka sadar pada kemampuan sendiri. Meskipun baru saja resmi menjadi kesatria 'sang pewaris' bukan berarti mampu mengalahkan orang itu. Masih ada banyak hal yang harus dipelajari, dan kenyataan kalau lawan mereka saat ini bukanlah penyihir sembarangan menambah kekalutan.
Pria itu merobek kain bagian bahu kanan Freya dan menodongkan pisau kecilnya. "Mari kita lihat di bagian ini!"
"AAAAAAAAGGGH!" Freya menjerit saat pisau itu menusuk bahunya, sangat dalam. "SAKIT! SAKIIIT!"
Arion menegang dari balik jeruji. Ia dapat melihat jelas apa yang terjadi pada Freya. Gadis itu meronta kesakitan akibat bahu yang berdarah dan terluka. Tidak hanya itu, lelaki yang menusuknya juga memutar pisau yang masih menancap hingga merobek paksa dagingnya. Menciptakan jeritan panjang lainnya.
Di depan sana Freya menggunakan sihirnya untuk melepaskan diri, tetapi dengan mudah ditangkis, dan satu tusukan lagi menembus bahu kirinya.
"Kau pikir bocah sepertimu bisa melawanku?" Ia mencengkeram rahang Freya dan memaksa gadis itu menatapnya. "Sekarang sudah mengingatnya?"
"Aku tidak ta-hu," jawab Freya dengan bibir bergetar.
"Kalau begitu kita coba cara lain." Lelaki itu berdiri dan mendekati Arion. "Mungkin mereka bisa membuatmu mengingat sesuatu."
"Jangan!" bentak Freya. "Aku tidak tahu kristal apa yang kalian inginkan. Sungguh."
"Keluarkan salah satu dari mereka!" perintah lelaki itu pada anggotanya yang sedari tadi berdiri di sudut ruangan. Arion dicengkeram dan diseret keluar, lalu dilempar ke hadapan pria itu.
"Mari kita lihat, apakah kau berguna atau tidak."
"Jangan!" kecam Freya.
Tangan kurusnya mencekik Arion. Anak lelaki bersurai hitam itu menggapai-gapai, mencoba melepaskan diri. Ia mulai kesulitan bernapas. Jika lebih lama lagi, ia akan mati. Kala kesadarannya perlahan hilang, sayup terdengar teriakan Freya. Namun, semakin lama dadanya semakin terasa sakit.
"Mata ini!" Lelaki itu terkesiap begitu menyadari netra Arion yang terbeliak sebab leher tercekat. Cengkeramannya sedikit melonggar tapi tidak dapat membuat Arion bernapas lega.
"HENTIKAN!" bentak Freya lantang. Ia berusaha berdiri dan melemparkan sihir kutukan dengan sangat cepat ke arah lelaki itu, tapi dapat dihindari. Tubuh Arion dihempas ke lantai ketika ia kembali menghindari serangan Freya.
"Ternyata masih bisa menggunakan sihir dengan kondisi seperti itu?" Decak kagum sekaligus cemoohan terlontar, "sang pewaris memang berbeda."
Sekali lagi Freya melemparkan sihir kutukan tapi masih saja dapat dihindari dengan mudah, bahkan sihir balasan sukses menjatuhkannya. Ia mengerang memegangi perut yang terasa seperti dihantam dari dalam, membuatnya terbatuk dan memuntahkan darah.
Arlan dan Grey berusaha mendobrak jeruji tapi besi-besi itu bergeming saking kokohnya. Mereka terus berusaha menggunakan sihir tapi tidak berguna. Seperti terisolasi hingga hanya bisa menonton kejadian nahas itu tanpa bisa melakukan apa pun.
"Tenanglah, Tuan Putri. Jangan membuatku membunuhmu!"
Arion mencoba mengembalikan kesadarannya. Samar dilihatnya Freya yang tersungkur bersimbah darah. Tangannya mengepal erat. Orang yang mau menerima kehadirannya sedang terluka. Sementara ia tidak bisa melakukan apa pun. Bukankah ini sama saja dengan saat membiarkan Adele pergi?
"Ya, semuanya akan berakhir sama." Sebuah suara menggema dalam pikiran Arion.
"Sekali lagi kau akan kehilangan. Hidupmu juga akan berakhir hari ini!"
Arion menutup kuping seraya memejamkan mata. Kepalanya berdenyut sakit.
"Semua karena kau lemah!"
"Aku harus apa agar bisa kuat?"
"Kau ingin kuat?"
"Aku ingin kuat!"
"Kalau begitu, mengamuklah! Kau memiliki kekuatan itu, kau hanya perlu mengeluarkannya!"
"Freya ...," lirih Arion.
****
"Kau benar-benar menguji kesabaranku." Tangan Freya yang terluka diinjak kuat, menimbulkan pekikan baru.
Dua orang yang sedari tadi hanya menonton dalam diam, kembali menarik Arion untuk masuk ke penjara. Namun, tangan itu terbakar saat menyentuhnya. Tubuh kurus dan pucat Arion mengeluarkan aura ungu pekat, membuat perhatian pria yang tengah menyiksa Freya jadi teralihkan.
"Apa-apaan!" keluhnya. Ia mendekati Arion dan terkesiap ketika melihat dua bawahannya sedang meringkuk di lantai, memegangi tangan yang melepuh.
Arion mengangkat kepala perlahan hingga menengadah, menatap langsung ke mata di balik topeng. Awalnya hanya tatapan kosong, tapi berubah menjadi pandangan tajam disertai senyum menyeringai. Pupil matanya berubah vertikal, layaknya predator.
Arion berdiri. Tangan kanannya terangkat dan energi sihir yang teramat besar menyambar salah satu bawahan pria itu, menyebabkan tubuhnya terbelah menjadi dua.
Arion menghilang dan dalam sekejap sudah berdiri di hadapan orang yang satu lagi. Tangannya menancap—menembus perut lelaki itu. Ia tersenyum puas dan menariknya kasar hingga perut itu robek.
Hangat darah yang baru keluar dari tubuh membuat Arion merasakan kepuasan. Ia mengeluarkan energi sihirnya lagi dan menebas leher orang itu hingga kepalanya jatuh ke lantai dan cipratan cairan merah kental mengenainya.
"Menarik." Lelaki yang sedari tadi memperhatikannya, bertepuk tangan. "Tidak kusangka akan melihat sihir seperti itu dari seorang bocah."
Arion menyeringai. Tanpa mengatakan apa pun dengan cepat menghampiri pria itu dan memukulnya. Akan tetapi dapat dielakkan dan dibalas mantra kutukan yang membuatnya terpukul mundur. Bukannya merasa kesakitan, Arion malah terkekeh dan membalas kutukan tersebut dengan yang lebih kuat dan cepat, membuatnya terpelanting jauh.
"Arion!" panggil Freya bersusah payah, tapi tidak didengar.
Arion kembali mendekati lawannya; menyerang tanpa henti, tapi perisai sihir menghalanginya.
Pra itu terkekeh, berdiri tanpa gentar. "Bagaimana kau bisa mengendalikan sihir seperti itu?"
Arion diam dan terus menghantamkan kutukan demi kutukan untuk menembus perisai yang menghalangi.
Mendengar suara ribut dari dalam ruangan, mengundang anggota yang lain. Kini semuanya mengepung Arion. Mereka menyerangnya hingga ia terlempar ke pojokan di samping Freya.
Seperti tidak merasakan sakit, Arion berdiri dan maju menyerang puluhan orang itu dengan sangat cepat. Satu persatu dari mereka terpotong dan dalam waktu singkat, ruangan dipenuhi tubuh bergelimpangan berwarna merah.
Tidak ada yang dapat mengenai Arion, semua ditangkis dan dihindari dengan sangat mudah. Hingga, hanya tersisa lelaki bertopeng di balik perisai itu. Arion melangkahi mayat-mayat yang tergeletak untuk mendekatinya. Sekali lagi ia mencoba menembus perisai itu tetapi gagal.
"Luar biasa." Pria itu berdecak kagum. "Bagaimana kau bisa memiliki sihir sekuat ini?"
Arion tidak menanggapi, Aroma amis membuat hasratnya bergejolak. Ia ingin lebih. Lelaki di hadapannya itu juga harus terkoyak. Lagi dan lagi dihantamkannya sihir pada perisai dan akhirnya tercipta sebuah retakan. Arion tersenyum puas.
"Sial!" gerutu pria jangkung itu. Ia merapalkan sebuah mantra yang cukup panjang dan lantai bergetar, portal perlahan terbuka di bawah kakinya. "Suatu saat kita akan bertemu lagi," ucapnya sebelum menghilang.
"Arion!" jerit Freya.
Arion berbalik dan portal lain muncul untuk menelan Freya. Secepat mungkin Arion menyelubungi sang gadis menggunakan energinya, menahan tarikan dari dalam portal. Tanpa buang-buang waktu ia berlari mendekat dan melemparkan kutukan ke dalamnya sebelum menutup dan lenyap.
Arion menggeram, berjalan ke tengah tumpukan mayat. Kekesalan menguasainya. Ia belum puas. Kakinya menginjak-injak mayat di bawah sana untuk melampiaskan amarah hingga darah kembali terciprat ke wajahnya. Ia mengusapnya kasar lalu memandangi tangan yang telah berlumuran darah.
Arion terlutut, napasnya tercekat, sudut bibir terangkat menampilkan sebuah seringaian.
Arlan dan Grey segera keluar dari kurungan yang telah hancur akibat pertarungan tadi. Mereka mendekati Freya dan membantunya berdiri.
"Arion?" panggil Freya. Mereka mendekat dengan langkah pelan—ragu-ragu.
Arion mendongak, pupilnya kembali normal, tetapi ia masih menyeringai. "Aku ... berhasil menyelamatkan kalian," ucapnya. "Kali ini aku berhasil."
Freya langsung memeluknya erat, seraya menangis—haru. Arlan dan Grey yang biasanya berlagak seperti kesatria sejati, ikut mengusap air mata. Walau bagaimanapun, mereka masihlah anak-anak berusia 12 tahun.
Baru saja bernapas lega, sebuah portal besar kembali muncul di ambang pintu dan William muncul diikuti puluhan pengawal. Mata birunya menyipit, melihat pemandangan mengerikan di ruangan tersebut. Ia melangkah mendekat, tangan kanannya memegang liontin milik Grey.
"Siapa yang membunuh mereka semua?"
Mereka berempat terdiam, tidak ada satu pun yang membuka mulut perihal Arion yang membunuh semua penculik itu sendirian. Seakan semua tahu, bahwa akan sangat berbahaya jika orang seperti William mengetahui hal itu.
Sebab tidak ada jawaban, William memerintahkan pengawal untuk membantu mereka masuk ke dalam portal. Sementara ia dan beberapa orang lainnya tetap tinggal untuk memeriksa keadaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top