Bab 2.2 Negeri Para Penyihir
Malam semakin larut ketika Arion meninggalkan pemukiman. Udara dingin menusuk tubuhnya yang hanya berlapis kemeja tipis dan basah oleh keringat. Kastel yang menjulang tinggi di kejauhan menjadi satu-satunya tujuan yang bisa ia tempuh.
Arion berhenti di bawah menara pengawas yang membatasi Desa Dargav dengan Ibu Kota Eidin. Tubuhnya merosot—bersandar pada dinding batu. Ia menatap langit yang cerah bertabur bintang dan bulan sabit yang tampak indah. Sebuah pemandangan yang seakan menertawakan nasibnya saat ini. Ia memejamkan mata dan mengistirahatkan tubuhnya hingga akhirnya tertidur.
"Hei, bangun!"
Arion mengernyit, mencoba membuka mata. Kepalanya menengadah, mendapati tiga orang laki-laki dewasa sudah berdiri di hadapannya. Satu dari mereka menarik tangan Arion untuk berdiri.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tukas laki-laki yang memiliki bekas luka melintang di pipi kanannya.
Arion diam, tidak takut, hanya saja tak ada tenaga yang tersisa. Keheningan membuat ketiga orang itu menyeret dan memasukkannya ke dalam gerobak yang ditarik oleh dua ekor kuda. Mereka juga mengikat tangan dan menutup kepalanya menggunakan karung.
Arion meronta tapi tenaganya sudah habis, membuatnya hanya dapat pasrah dan menenangkan diri. Kereta kuda mulai berjalan melewati jembatan besar dengan aliran sungai di bawah sana.
Tidak lama sejak kereta kuda berhenti, Arion kembali dibangunkan oleh tarikan kasar seseorang. Bungkus kepalanya dilepas dan tangannya yang terikat, ditarik dengan tali panjang seolah hewan ternak.
"Jadilah anak baik!" ujar pria tinggi di hadapannya seraya menyeringai.
Arion menatap lurus ke depan, melihat sebuah kastel di atas ketinggian yang menjulang begitu megah di kejauhan. Belum selesai terpana, tubuhnya tersentak akibat bertabrakan dengan seorang pria besar tanpa atasan yang sedang memikul karung kecil di bahunya. Pria itu mendecak kesal sebelum berlalu pergi.
Matahari masih sepenggalan naik tapi panasnya sudah menyengat—membuat kerongkongan Arion semakin kering. Beberapa kali ia hampir terhuyung sebab bersenggolan dengan orang yang lewat. Pria yang menariknya di depan sana seolah tidak peduli dan terus berjalan lurus melewati jalanan ramai yang kiri-kanannya terdapat jejeran dagangan beraneka ragam.
Arion mengamati setiap hal yang dilewati, hingga netranya menangkap sebuah pisau besar yang tertancap di atas segumpal daging di atas meja. Ia sengaja berjalan menepi agar dapat mendekati toko daging tersebut, dan ketika pisau sudah di depan mata, ia mengambilnya.
Bersamaan dengan teriakan penjaga toko, Arion berlari menerjang ke depan dan menghunuskannya ke punggung pria yang telah menculiknya, hingga menimbulkan kericuhan. Merasa ada kesempatan, ia segera mencabut pisaunya dan lari sekuat tenaga menerobos kerumunan. Badannya yang kecil dapat menyelinap dengan mudah hingga akhirnya masuk ke dalam gang sempit di sela pemukiman.
Tangannya mengepal, perih pada telapak kaki tidak menghentikan langkah yang tergesa. Keringat bercucuran dan napasnya tersengal, lalu tubuhnya abruk kehabisan tenaga.
Arion menatap ke arah langit di sela atap dari rumah yang tengah mengapit jalan setapak tempatnya terbaring. Ia memukul tanah di samping badannya dengan kuat, menyalurkan segala kemuakkan yang menggerogoti perasaannya.
Kesialan terus saja berdatangan seolah malaikat maut tidak rela melepasnya pergi dari panti asuhan. Apa yang salah dengannya? Apakah ini karma?
Ah, tidak. Yang salah bukan dirinya tapi dunia ini!
****
Tiga bulan telah berlalu, pertengahan musim gugur baru saja terlewati. Arion masih bertahan di Ibu Kota Destrion—Eidin. Hidup seperti kucing liar—memakan apa pun yang bisa dimakan, mencuri apa pun yang dapat diambil. Tidak ada seorang pun yang bisa ia percaya di sana. Perbudakan pada non-penyihir juga terjadi di mana-mana. Andai tidak kabur dari kejadian hari itu, mungkin ia juga akan berakhir menjadi salah satu budak yang diperjual-belikan.
Kepalanya menyembul di balik onggokan karung di samping toko sayuran yang sedang ramai. Matanya melirik ke bagian samping, tempat dijajakannya sebuah roti yang baru saja keluar dari panggangan. Perutnya bergemuruh, membuat tekadnya semakin bulat.
Langkahnya perlahan, menyelinap di antara kerumunan, dan tangannya menyambar satu roti sebesar telapak tangan orang dewasa; memasukkannya ke dalam baju, dan bergegas pergi.
"PENCURI!" Teriakan pemilik kedai menggema, pertanda hari sial kembali menghampiri.
Tanpa pikir panjang, Arion berlari, sesekali hampir terjatuh saat menabrak orang yang berlalu-lalang. Sementara pemilik roti terus mengejar dengan sebuah kayu yang siap untuk menghajarnya hingga mati.
"Ke sini!" Sebuah tangan menariknya melewati gang sempit dan terus menuju tempat sepi—tempat pembuangan sampah.
Arion menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan, mencoba menetralkan jantung dan paru-paru yang terpacu akibat berlari. Orang yang menariknya berbalik, memperlihatkan wajah cantik berbingkai rambut ikal berwarna hazelnut yang panjang tergerai.
"Kembalikan rotinya!" perintah gadis itu.
Arion refleks menyembunyikan rotinya ke belakang tubuh. "Ini milikku."
"Kau mencurinya. Itu bukan milikmu."
"Kalau begitu, kenapa kau membantuku kabur?"
"Aku hanya tidak mau kau dipukuli hanya karena sebuah roti."
Arion mendengkus. "Menggelikan."
"Apa yang menggelikan?"
"Jangan berlagak peduli, jika kalian masih memandang rendah non-penyihir!"
Gadis itu terdiam, senyumannya pudar dan berganti wajah sendu. "Tapi aku tidak begitu," ucapnya lirihnya. Kemudian ia menggeleng dan kembali tersenyum. "Kau benci pada keadaan saat ini?"
"Maksudmu?"
"Tentang non-penyihir yang dijadikan budak."
"Tentu saja!" tukas Arion. Ia tidak mengerti apa maksud pembicaraan mereka. Perutnya yang sudah melilit hingga rasanya ingin muntah membuat segala hal menjadi sangat menjengkelkan.
"Aku juga!" Freya mendekat selangkah. "Ikutlah denganku, kita perbaiki semuanya!"
"Apa kau sedang mengejekku?" Arion melempar rotinya pada gadis itu. "Ambil dan jangan menggangguku lagi!" Ia pergi dengan kaki menghentak kasar pada jalanan bertanah.
Freya memanggilnya, tapi diabaikan. Arion sungguh sial; gagal mendapat makanan, lalu diejek oleh penyihir yang tampak tidak jauh lebih tua darinya. Jangan bercanda!
Seakan diikuti, besoknya Arion kembali bertemu gadis itu. Terkadang mereka layaknya bermain petak umpet dan kejar-kejaran. Arion tidak mengerti apa yang diinginkannya. Gadis itu terus muncul dan tersenyum padanya, lalu mengajak bicara dan mengatakan banyak hal aneh, seperti 'Kau adalah penyihir' atau 'jadilah kesatriaku!'
"Hei, tunggu!" Gadis itu mengikuti, lalu menahan tangannya. "Aku Freya, siapa namamu?" Seakan kebal pada aura permusuhan dari Arion, gadis bernama Freya itu malah semakin tertarik.
"Lepas!" Arion menyentak kasar tangannya. "Apa maumu sebenarnya?"
"Aku ingin berteman denganmu."
"Tapi aku tidak mau," bentak Arion. "Jangan pernah mengikutiku lagi!"
Kali ini, Freya hanya berdiri pasrah melihat Arion yang pergi meninggalkannya.
****
Arion meringkuk di tanah, tangannya terangkat melindungi kepala. Hantaman kaki terus menghujani tubuhnya. Salah satu dari mereka merapalkan sebuah mantra dan membuatnya terus mengerang karena merasa seperti terbakar.
"Berani sekali kau mencuri, dasar serangga tidak berguna!"
"Mati saja kau!"
"Hentikan!" Suara seseorang menginterupsi. Kerumunan disibak oleh tiga orang berjubah hitam yang menutupi kepala dan sebagian wajahnya. "Berhenti memukulnya!"
"Anak kecil jangan ikut campur!" Pria berbadan kurus tinggi yang merapalkan mantra akhirnya berhenti sehingga, Arion dapat bernapas lega.
"Kau juga mau kubakar dengan mantraku?" kecam pria itu.
"Hanya bisa menggunakan mantra api saja sudah berlagak!" ejek salah seorang berjubah dengan suara khas perempuan.
"Berani juga kau," pria berbadan besar menghampiri, hendak mencengkeram jubah orang yang mengintrupsi, tapi tangan lain menahannya.
"Singkirkan tanganmu atau kuremukkan tulang-tulangmu!" ancam orang yang menahan seraya meremas kuat pergelangan pria itu hingga menimbulkan pekikan sakit dari mulutnya.
"Ambil ini sebagai ganti rugi!" Sebuah kantong dilempar ke hadapan mereka. "Harusnya itu cukup untuk membayar buah yang diambilnya."
Mereka memeriksa kantong yang terdapat dua puluh keping koin emas. "Siapa kau sebenarnya?"
Salah satu dari tiga orang berjubah itu membuka penutup kepala, menampilkan rambut hazelnut yang membingkai wajah bak porselen. Hanya dari paras itu, mereka langsung tahu siapa dia—Freya, gadis yang beberapa hari ini selalu mengikuti Arion. Lantas mereka semua menunduk—memberi hormat, tidak berani menatap langsung.
"Maafkan kelancangan kami, Tuan Putri!" Orang yang tadi berlagak di depannya langsung berlutut gemetar. "Kami sangat marah sebab bocah itu sering mencuri di sekitar sini."
Arion berusaha mengangkat kepala, mencoba melihat keadaan. Badannya terasa remuk hingga setiap gerakkan membuatnya meringis nyeri. Dilihatnya semua orang sedang membungkuk memberi hormat pada tiga orang berjubah di depan sana.
"Kau tak apa?" tanya Freya seraya mengulurkan tangan. "Ikutlah denganku!"
Tangan lebam dan kotor milik Arion menyambut uluran Freya. Ia berusaha berdiri. Dua orang lainnya ikut mendekat dan membantunya.
"Sekarang semuanya impas. Aku akan membawanya bersamaku. Tidak apa, kan?" tanya Freya walau hanya sekedar berbasa-basi. Semua yang ada di sana, bahkan yang tadi memukuli Arion hanya mengangguk tanpa berani mengangkat wajah.
Arion dibopong ke bagian Barat Hutan Sethna. Di bawah pohon besar yang daunnya telah menguning keseluruhan, bahkan bagian bawahnya dipenuhi daun yang berguguran. Segelas air disodorkan padanya dan ditenggak hingga tandas.
"Siapa kalian sebenarnya?" tanya Arion setelah merasa lebih tenang.
"Kau tidak mengenalinya?" tanya salah satu orang berjubah yang sedari tadi bersama Freya.
Arion menggeleng pelan. "Kami pernah bertemu beberapa kali."
"Dia adalah Freya, putri mahkota Kerajaan Destrion."
"Putri mahkota?"
"Maaf, baru memberitahumu sekarang. Itu karena kau selalu saja menghindar dariku." Freya duduk di sampingnya. "Perkenalkan juga, mereka adalah kesatria sekaligus sahabatku!"
Dua orang yang dimaksud Freya membuka tudung jubah. Menampilkan dua sosok anak laki-laki yang sepantaran dengan Arion.
"Kesatria?" Arion mendelik dengan tatapan mengejek. Tiga bulan hidup di Restel sudah cukup baginya untuk tahu siapa dan bagaimana penampilan seorang kesatria. Semuanya gagah perkasa, bertubuh tinggi dan tentunya bukan anak-anak.
Freya mengangguk, tak terganggu pada raut wajah Arion yang seakan sedang menilai. "Yang berambut putih itu Grey, yang hitam dengan tatapan sangar itu Arlan." Ia lanjut memperkenalkan.
"Aku tidak sangar!" Arlan protes—dan benar saja, tatapannya tajam serta kening mengerut seperti sedang marah.
"Salam kenal." Grey tersenyum, beberapa helai rambut putihnya diterbangkan angin ke belakang, menampakkan wajah putih bersih bagai porselen. "Teman dari Freya adalah temanku juga."
Arion menyambut tangannya walau terasa sangat canggung. Bagaimanapun, ia sudah tidak mau percaya dengan mudah pada orang asing. Apalagi kepada gadis yang mengaku putri mahkota bersama dua kesatria cilik. Mencurigakan.
"Kenapa kau harus mengambil risiko untuk menolongnya, Frey?" Arlan kembali protes.
"Karena aku menyukainya," jawab Freya enteng. Mata Cokelat madunya menatap Arion. "Sekarang katakan, siapa namamu?"
"Arion."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top