Bab 2.1 Negeri Para Penyihir

Arion mengernyit ketika matahari dari sela dedaunan menyorot langsung ke mata yang perlahan terbuka. Ia berusaha bangkit dengan tubuh yang terasa remuk, persendian ngilu, dan kepala berdenyut ketika berhasil duduk.

Sebelah tangan meremas kepalanya sendiri sementara tangan yang lain bertumpu pada tanah berumput yang lembab.

"Akhirnya kau sadar juga!"

Tubuhnya menegang—seperti ada bongkahan es yang menjalar dari telapak kaki hingga ke sekujur tubuh. Kepalanya segera menoleh, mata beriris emas terbuka lebar, mendapati pria berambut cokelat gelap tengah berdiri tak jauh dari tempatnya berbaring.

"Siapa?" tanya Arion, curiga.

"Aku Bred. Semalam kau pingsan di tengah hutan."

Arion mengamati sekitar. Mereka masih di hutan tapi pepohonannya tidak serapat yang semalam. Ingatan seketika menyeruak, membuatnya semakin waspada.

Bred yang menyadari ketakutan Arion hanya tertawa dan mendekat, mencoba mencairkan suasana. "Jangan takut, aku bukan orang jahat."

Alis Arion terangkat. Ia berusaha berdiri walau sempoyongan di awal. "Ini di mana?"

"Masih di hutan Sethna," jawab Bred yang memiliki janggut dan kumis tipis. Ia mengambil air minum dan semangkuk sup yang menguarkan aroma lezat, lalu memberikannya pada Arion. "Makanlah, kau pasti lapar!"

Arion melirik makanan yang tampak sangat lezat. Ia menelan ludah, awalnya begitu waswas, tapi perut yang bergemuruh membuatnya harus mengalah dan meraih makanan itu.

Bred tersenyum puas, kembali mengambil jarak. Ia memasukkan barang-barangnya ke dalam kantong kain berwarna hitam dan mengikat seekor rusa kecil yang berhasil didapatkannya tadi pagi.

"Kenapa kau bisa ada di hutan sendirian?" Bred kembali bersuara.

"Tersesat." Arion menjawab dengan nada dan tatapan yang lebih santai dari sebelumnya. Setidaknya dia merasa kalau Bred bukan salah satu dari orang-orang yang hendak membunuhnya semalam.

"Dari mana asalmu? Dargav?"

"Dargav?"

Bred mengalihkan perhatiannya secara keseluruhan pada Arion yang mengerutkan kening. "Kau bukan dari Destrion?"

"Destrion?" ulang Arion, semakin bingung.

"Kau berasal dari mana?"

"Restel."

"Restel? Itu desa non-penyihir, kan?" tanya Bred retoris. "Dan kau bukan Penyihir?"

Arion mengangguk pelan, membenarkan.

"Aneh," celetuk pria itu.

"Maksudmu?"

"Jelas-jelas semalam saat kau pingsan, aku melihat luka di tubuhmu menutup sendiri. Hal biasa yang terjadi pada Penyihir seusiamu."

"Bagaimana bisa?"

"Energi sihir yang belum dapat dikontrol oleh pemiliknya akan bertindak sendiri dengan cara menyembuhkan luka di tubuhmu."

Arion terdiam, tidak merasa kalau selama ini pernah mengalami luka yang sembuh sendiri. Namun, ia teringat kembali pada kejadian ketika mendapat hukuman cambuk. Saat Adele berkata bahwa punggungnya baik-baik saja padahal seharusnya terluka dan berdarah.

Waktu itu ia berpikir mungkin hanya luka kecil yang akan sembuh dengan cepat. Akan tetapi kalau dipikir-pikir, memang sesuatu yang janggal. Lalu, apakah ia benar-benar penyihir?

"Kau sendiri ... adalah penyihir?" tanya Arion.

Bred mengangguk. "Tentu saja. Aku dari Desa Dargav." Ia menatap puas barang-barangnya yang sudah tersusun rapi. "Bagaimana, kau ingin ikut denganku?"

Arion diam sejenak. Ia memang tidak tahu harus ke mana tapi juga tidak mau berurusan dengan penyihir.

"Kau adalah penyihir, tidak seharusnya tinggal di Restel," tambah Bred yang tahu ada keraguan pada wajah Arion.

Arion mengangguk setelah diam beberapa saat. Pria berjanggut tipis itu mendekat, untuk kemudian duduk di sebelahnya. "Siapa namamu?" tanyanya.

"Arion."

"Bagaimana keluargamu, mereka juga tinggal di Restel?"

"Aku tidak punya keluarga."

"Ah, pantas saja. Kalau begitu, kau memang harus mencoba pergi ke Dargav!" Bred mengamatinya beberapa saat, lalu kembali berkata, "hanya perlu melewati jalur ini. Lurus ke arah Utara. Tidak jauh, sore pasti akan sampai di desa."

****

Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang menyusuri hutan, Akhirnya Bred dan Arion sampai di depan gerbang Desa Dargav yang berbentuk pintu besar terbuat dari kayu—setinggi 2 meter yang berdiri tanpa dinding di kiri-kanannya.

"Jangan!" tegur Bred ketika Arion hendak melewati samping gerbang. "Kau harus melewati gerbangnya!"

"Kenapa?" Menurut Arion, mau lewat di mana saja akan sama karena memang tidak ada dinding yang membatasi desa tersebut.

"Kau tidak melihatnya? Sekeliling perbatasan, ada segel sihir yang tidak akan pernah bisa ditembus."

Arion kembali mengamati sekitar dan benar saja, ada cahaya samar yang membatasi seperti pagar tidak terlihat. Tanpa mengatakan apa pun lagi, ia mengikuti Bred yang berjalan lebih dulu. Melewati rumah penduduk yang terbuat dari kayu dan tampak sepi.

"Ini perbatasan Kerajaan Destrion. Kastel itu adalah istana sekaligus pusat kota, Ibu Kota Eidin." Bred menunjuk menara tinggi dari sebuah kastel yang tampak dari kejauhan.

"Kerajaan?"

"Tampaknya kau tidak tahu apa-apa tentang penyihir." Bred mengisyaratkan untuk mengikutinya. "Destrion merupakan kerajaan yang menguasai seluruh wilayah sihir."

Arion hanya mengangguk mengerti. Ini pertama kalinya ia melihat dunia lain selain panti asuhan Durchan. "Sekarang kita mau ke mana?"

"Ke tempat temanku." Bred berhenti di depan rumah besar dari kayu—memanjang ke samping—yang tampak terbengkalai. "Aku ada keperluan sebentar, tidak apa, kan?"

Arion mengangguk. Mereka memasuki ruangan bawah tanah yang sudah bobrok dan bisa saja runtuh jika ada yang bersandar pada salah satu sisi dindingnya.

Bred berbicara dengan seseorang berjubah hitam di depan pintu, lalu pintu terbuka danterlihat ruangan luas dan megah—seperti memasuki dimensi lain yang jauh berbeda dengan tampilan luarnya.

Di dalam sana seperti teater mini disertai tempat duduk dari kayu berundak di depan panggung yang tertutupi tirai beludru merah. Ruangan itu masih kosong, sehingga mereka leluasa memasukinya, terus menuju belakang panggung.

"Tunggu di sini!" perintah Bred.

Lagi-lagi Arion hanya mengangguk, patuh.

Bred, lelaki bertubuh kekar dengan jaket panjang penuh lumpur mengering itu menemui seorang pria yang mengenakan jubah hijau lumut. Mereka berbincang pelan dan sesekali melirik Arion yang berdiri di dekat pintu masuk.

"Lalu apa menariknya? Palingan hanya anak yang dibuang oleh orangtuanya." Lelaki berjubah hijau menatap tidak tertarik.

"Perhatikan matanya. Dia memiliki mata emas yang jernih. Kau pikir berapa orang di dunia ini yang punya mata seperti itu?" Bred meyakinkan.

"Yah, kita coba saja dulu." Lelaki berjubah kembali melirik Arion dengan mata kelabunya. "Ini hanya karena kau yang meminta. Jika orang lain, tidak akan semudah ini menaruh dagangan di atas panggungku."

Bred tersenyum puas dan mengisyaratkan pada Arion untuk mendekat. Namun, saat mereka sudah berhadapan, lelaki berjubah hijau mengeluarkan cahaya kuning dari telapak tangan dan menutupkannya ke mata Arion.

Arion hendak protes, tapi tidak bisa menggerakkan tubuh ataupun berbicara. Hal terakhir yang ia dengar dari Bred sebelum kesadarannya menghilang adalah, "Tidak sia-sia aku memungutmu di hutan!"

Sialan!

****

"Selanjutnya kami persembahkan sesuatu yang sangat langka!" Pemandu acara bersorak penuh semangat. "The Golden Eyes!"

Seorang bocah pucat muncul dari balik tirai, berjalan pelan ke tengah panggung. Tatapannya kosong seakan terhipnotis, sementara kedua kaki dan tangannya dirantai.

"Perhatikan mata ini!" Si pemandu mencengkeram dagu Arion, mengangkat wajah yang tertunduk hingga menatap lurus ke depan. Mata beriris emas terlihat sangat jelas, berkilat memantulkan cahaya obor yang mengelilingi ruangan.

Riuh terdengar, semua peserta yang hadir dan duduk di bangku penonton menyeringai di balik jubah. Beberapa di antaranya langsung berdiri, tidak sabar memulai penawaran. Mata emas itu seperti harta karun yang diinginkan semua orang.

"Menggunakan mata ini, kalian dapat menyempurnakan banyak ramuan kuno. Pastikan untuk tidak melewatkannya, karena dia hanya ada satu!"

Arion dapat mendengar semua yang terjadi dalam ruangan itu. Ia berusaha berontak, tapi tubuhnya tidak dapat digerakkan. Ia merasa seperti berada dalam kotak kaca. Semakin lama terjebak, pikirannya semakin kacau. Entah mengapa, orang-orang di panti asuhan tiba-tiba menghampiri dengan tatapan murka. Padahal seharusnya mereka sudah mati!

"Ini Karma!" tuding mereka serentak.

"Apa salahku?" tanya Arion.

"Kau pembunuh!"

"Aku bukan pembunuh!" tukasnya.

" Jika kami mati, kau juga harus mati!"

"Aku tidak mau mati."

"Bagaimana rasanya menunggu kematian?"

"AKU TIDAK MAU MATI!" Arion berteriak seraya menutup telinga, berharap suara-suara itu berhenti mengganggu. Namun, semakin Arion menolak, makin ia tersiksa atas tudingan yang memekakkan. "Aku tidak mau mati!"

"Kau adalah malapetaka!"

"TIDAK!"

"Kau bahkan tidak bisa menyelamatkan Adele. Satu-satunya orang yang sangat menyayangimu."

"Tidak. Aku akan menemukan Adele."

"Dia sudah mati. Kau tahu itu. Sebaiknya sekarang kau juga ikut mati!"

"Tidak!" Arion mulai menangis, "aku tidak boleh mati!" Ia menggeleng dan meringkuk dalam tangis. "Aku sudah berjanji!"

Suasana di ruang pelelangan makin memanas kala Arion membuka mata lebih lebar, menampilkan manik emas jernih yang memukau semua orang. Keringat bergulir di kening dan pelipis, napasnya tersengal, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Arion masih seperti tubuh tanpa raga.

"Seratus keping emas." Lelaki tua di sudut ruangan mengangkat tangan.

"Seratus lima puluh keping emas!" sahut suara lain.

"Dua ratus keping emas."

"Tiga ratus."

Harga terus naik, tidak ada yang mau mengalah. Arion menatap kosong. Kupingnya semakin pengang oleh suara lain dari pikirannya. Tangannya perlahan mengepal, asap ungu pekat mulai keluar dari sela jemari.

Pupil dari netra emas yang tengah jadi rebutan perlahan berkedut, membuat garis vertikal. Detik kemudian, panggung tempat ia duduk langsung retak, asap keunguan dari tangannya melingkupi seluruh tubuh.

Orang-orang yang semula sibuk memasang harga fantastis dan tidak mau mengalah, seketika terdiam. Seluruh mata tertuju pada Arion yang terduduk di tengah ruangan, ledakan kecil terjadi di sekeliling tubuh bocah itu.

Rantai di kaki dan tangan Arion secara ajaib berkarat, lalu hancur menjadi serpihan. Ia berdiri, menatap kosong. Para petugas berjubah hitam bergegas mendekat, hendak menariknya, tapi mereka seperti terbakar, meleleh hingga ke tulang.

Pemandangan itu membuat orang-orang di bangku penonton panik. Mereka berlarian ke pintu keluar tetapi asap ungu yang menguar dari tubuh Arion, menyapu penjuru ruangan. Semua yang terkena asap itu membusuk lalu lebur, meleleh dan hangus. Hanya dalam waktu beberapa detik, semua yang ada lenyap begitu saja.

Tidak ada siapa pun yang dapat menahan serangan membabi buta Arion. Suara angkuh, penuh ambisi yang semula memenuhi ruangan kini lenyap dan hening.

Arion terbatuk, lalu memuntahkan darah hitam. Pupilnya kembali normal, asap dari tubuhnya perlahan memudar. Ia mengerjap beberapa kali, tidak tahu apa yang telah terjadi. Langkah terseok melewati cairan hitam sisa lelehan orang-orang yang menjijikkan.

Tubuhnya bersandar pada dinding di belakang kursi penonton, lalu menatap seluruh ruangan yang penuh mayat tak berbentuk, bergelimpangan.

Masih dengan tangan yang bertopang pada dinding, ia melangkah ke luar. Akan tetapi terhenti ketika kakinya menyandung sebuah kepala hingga menggelinding, memperlihatkan wajah Bred yang sebagiannya tersisa tengkorak.

Sudut bibir Arion terangkat meski tipis. Ada kepuasan pada tatapannya. Kakinya terangkat, menendang kepala Bred sekuat tenaga hingga tubuhnya sendiri hampir oleng dan terjatuh. "Sialan!" rutuknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top