Bab 18.3 Story of Evil
Grey terpaku di kejauhan. Semua ini tidak sesuai rencana. Bukan hanya Samael yang tidak menduga kalau sumpah Arion sebagai kesatria 'sang pewaris' terikat dengan Kristal Dayna, Grey juga tidak menyadarinya. Seharusnya sumpah itu tidak mengikat.
Sekarang semua telah berakhir. Yang tersisa hanya kekalahan.
Di tengah keputusasaannya, sebuah pentagram muncul di atas abu Arion. Asap ungu pekat menguar dan abu Arion beterbangan, membentuk sosok yang mereka kenali.
Samael menghentikan amukannya. Bibirnya mengulas senyum, lalu tertawa terbahak. Hampir saja ia merasa dipecundangi, tapi nyatanya tidak ada yang bisa menandingi sihirnya-sebab dialah sumber dari segala kekuatan yang berada di luar batas logika itu.
Arion yang harusnya mati, kini kembali hidup. Mata emasnya membuka, melihat langsung pada mata emas serupa yang menatapnya penuh hasrat-keinginan untuk segera melahap jiwa yang semakin menghitam itu.
"Freya?" Kata pertama setelah kebangkitannya terucap dengan sangat menyakitkan. Ia melirik Freya yang tergeletak di tanah-tidak bernyawa.
Arion berlutut untuk meraih sang gadis. Air mata menetes meski wajahnya datar tanpa ekspresi. Dadanya begitu sakit. Segala kenangan berkecamuk dalam otaknya. Tangan yang membelai wajah Freya bergetar hebat.
Begitulah sebuah penyesalan, datang terakhir bagai kutukan. Penyesalan pertama yang ia rasakan, amat menyakitkan hingga bernapas saja membuatnya kesulitan.
Sementara itu Samael menghentikan tawanya ketika William dan beberapa pasukan yang tersisa menyerang bersamaan. "Masih ada tikus yang tersisa rupanya," keluhnya. Ia melesat menghadang. Kali ini William akan mati di tangannya.
Ah, jangan lupakan Destrion, Samael akan kembali ke tempat itu dan membumi-hanguskan semuanya.
Sebentar lagi. Ini akan menjadi hidangan pembuka untuk sesuatu yang nikmat.
Hanya sebentar lagi, jiwa Arion akan benar-benar menghitam.
Sebentar lagi kesenangan ini akan berakhir. "Ah ... ini cukup menyedihkan, tapi aku tidak sabar untuk menikmatinya."
Samael menjilat tangannya yang berlumuran darah. Pesta dari malam pembantaian telah berada di penghujung acara. "Mari kita bereskan sisanya!"
Selagi Samael disibukkan oleh William dan pasukannya, Kristal Dayna yang semula tertanam pada tangan Freya perlahan muncul dan keluar. Kristal itu berpendar lemah, tidak seterang biasanya.
Akan tetapi, ketika Arion meraih dan menggenggamnya, kristal itu bersinar terang. Bukan berwarna biru tetapi putih bersih hingga sangat menyilaukan.
"Arion!" Grey memanggil. Ia mendekat dengan mata memerah. Wajahnya yang putih, telah ternoda debu. Pakaian yang biasanya selalu bersih dan rapi, kini kotor, berbekas darah yang mengering.
Arion memalingkan wajah. Tidak berani menatapnya. Bagaimanapun juga, rasa bersalah karena membunuh Freya terus menggerogotinya.
Untuk kedua kalinya Arion menebas impiannya dengan tangannya sendiri.
Pikirnya Grey akan memukulnya-sesuatu yang ia harapkan saat ini, tapi pemuda berambut putih itu malah memeluknya seraya bergumam dengan nada bergetar. "Syukurlah. Syukurlah kau masih hidup!"
"Aku ... telah membunuh Freya," lirihnya.
Grey melepas pelukannya, menatap intens pada pemuda yang setahun lebih muda darinya itu. "Dengar. Ini permintaan terakhir Freya. Gunakan kristal itu untuk menyegel Lucifer!"
"Permintaan terakhir?" ulang Arion.
"Freya sudah merencanakan semua ini. Hanya kau satu-satunya orang yang dapat mengalahkan iblis itu. Kristal Dayna akan membangkitkan sihir Putri Luna yang ada di dalam tubuhmu."
"Rencana?"
"Kepemilikan Kristal Dayna akan berpindah pada orang yang telah membunuh sang pewaris."
"Aku tidak pernah mendengar tentang itu."
"Penguasa Aydril yang memberitahukannya. Semua tentang Kristal itu."
"Jadi maksudmu ...."
"Freya sengaja membiarkanmu membunuhnya. Agar kau memiliki kristal ini!" Grey menunduk. Jelas ada kepedihan di hatinya.
Tidak jauh berbeda, Arion tertunduk. Matanya bergetar, menandakan betapa besarnya rasa takut yang tengah melanda. Ketakutan terhadap dirinya sendiri.
"Apa kau pikir iblis itu akan puas dan kembali ke neraka dengan sendirinya? Dia adalah sumber dari semua sihir yang ada di bumi."
"Aku tahu," jawab Arion pelan. Tentu ia yang paling tahu bagaimana Samael. Iblis itu menyukai hiburan. Ketika pertunjukan berakhir maka permainan baru akan dimulai. Itu artinya, tidak akan pernah ada kehidupan damai seperti yang Freya harapkan.
Arion terpaku, sensasi dingin menyergapnya. "Kenapa ... harus aku?"
"Karena hanya kau yang bisa!"
Arion menoleh. Rautnya tegang dengan keringat dingin yang membasahi kening. "Tapi aku adalah pembawa petaka."
"Kau bukan 'pembawa petaka'. Kau adalah reinkarnasi malaikat yang pernah mengalahkan Lucifer. Kekuatan itu ada dalam dirimu. Maka hentikan iblis itu dan akhiri semuanya, Arion!" tegas Arlan.
"Tapi aku sudah membuat perjanjian dengan iblis itu. Setelah semua ini, dia akan memakan jiwaku."
Grey menarik kerah jubah Arion, memaksanya menatap mata kelabu miliknya. Ini pertama kalinya Arion melihat Grey semarah itu. "Pada akhirnya Freya tetap menitipkan semua impian dan tujuannya padamu. Maka kau harus hidup dan melanjutkan sumpahmu untuk melindungi dunia yang ia sukai ini!"
"Aku ...."
"Jangan mati seenaknya dan menyisakan kehancuran di belakangmu!" Grey mengambil Freya dari rengkuhan Arion dan menggendongnya.
Arion menggenggam Kristal Dayna di tangannya dan pandangannya mengikuti Grey yang kian menjauh-membawa tubuh Freya yang sudah tidak bernyawa.
****
Sekarang, tidak ada lagi yang tersisa. Semuanya telah ia hancurkan, bahkan hatinya sendiri. Ia menoleh pada Samael yang sedang sibuk menghadapi William. Sesuai dugaannya, sulung Grenzill itu adalah yang terbaik. Ia bahkan bertahan begitu lama menghadapi sang iblis.
Samael yang menyadari kalau Arion menatapnya sedari tadi, langsung mengulas senyuman. Ia mengabaikan William dan mendekati Arion. "Kau ingin menyelesaikan semuanya?"
"Maksudmu?"
"Dia. Kau bisa membalaskan dendammu padanya!" Samael mengerdik ke arah William yang berdiri di kejauhan dengan napas tersengal-ia tidak sekuat itu hingga akan baik-baik saja saat menghadapi Lucifer.
Arion mengangguk, pedang yang terbuat dari sihir murni kembali muncul dari tangannya. Ia berlari sangat cepat bahkan menggunakan sihir untuk berteleportasi. Maju menyerang William.
Raja baru Destrion itu berusaha menghindar tetapi kalah cepat. Pedang Arion yang terbentuk dari energi sihir gelap yang memadat itu berkilat tajam menuju dadanya. Sebelum berhasil membuat tameng sihir, William lebih dulu dijatuhkan ke tanah dan dalam sekejap Arion telah berdiri di atasnya seraya menusukkan pedang ke arahnya.
Akan tetapi, tidak ada rasa sakit yang William rasakan. Matanya melirik ke samping. Rupanya pedang Arion menancap tepat di samping telinga dan menggoresnya hingga berdarah.
"Kita impas!" Arion berdiri, mencabut pedangnya.
"Impas?" William terkekeh seraya terlentang menatap langit malam yang begitu indah. Berbanding terbalik dengan keadaan di bawahnya. Hidungnya mengeluarkan darah, menjadi pertanda bahwa sudah mencapai batas. Energi sihirnya telah terkuras, menyisakan tubuh yang mulai sekarat.
"Kau tahu 'kan, kalau iblis itu akan memusnahkan semuanya?" ujarnya pelan.
Arion hanya diam, enggan menanggapi. Ia berbalik pergi, kembali ke sisi Samael. Restel telah dilahap api, memberikan aura panas dan mengepulkan asap disertai aroma busuk dari daging yang terpanggang. Pemandangan yang membawa Arion kembali ke masa lalu. Ketika ia membakar habis Panti Asuhan Durchan.
"Akhirnya semua keinginanmu tercapai. Era yang baru telah dimulai!" bisik Samael, tepat di belakangnya. "Sekarang, saatnya kau memberikan bayarannya!"
Tanah tempat mereka berpijak mulai bergetar. Lima meter di belakang, muncul sebuah gerbang dari dalam tanah-Gerbang Neraka. Sebuah pintu dari besi berkarat seperti yang pernah Arion lihat, tapi kali ini jauh lebih tinggi, besar, dan setiap sisinya terdapat api biru membara.
Samael menuntun Arion menuju Gerbang Neraka yang kini sudah terbuka, menampilkan kobaran api yang panasnya terasa meski dalam jarak lebih dari sepuluh meter. Selain itu, jeritan mengerikan dan aroma busuk dari dalam sana membuat siapa pun akan bergidik ngeri.
Setelah semua yang terjadi, neraka memang tempat yang pantas untuknya. Arion paham jika ia tidak pantas untuk tetap hidup. Namun ... ketika selangkah lagi sebelum tercebur masuk ke dalam kobaran api itu, Arion berhenti.
Kristal Dayna yang sedari tadi ia genggam erat mulai bereaksi dan memecah pentagram sihir di tangan Arion. Perjanjiannya dengan Lucifer, hancur dengan sendirinya. Ia berbalik, menatap sekeliling. Semua musnah. Penyihir ataupun bukan, lenyap tak bersisa.
"Jangan mati seenaknya dan menyisakan kehancuran di belakangmu!"
"Apa yang-" Samael yang menyadari perjanjiannya telah dibatalkan sepihak. Ia hendak mencengkeram dan memaksa Arion untuk masuk tetapi pemuda bermata emas itu melempar sihir kutukan terkuat yang bisa ia buat, hingga Samael terdorong masuk ke dalam neraka.
Pintu gerbang itu perlahan menutup tetapi ditahan oleh tangan sang iblis dan memaksanya kembali terbuka.
Arion segera membuat jarak, bersamaan dengan anak panah sihir Grey yang melesat dan menancap pada dada sang iblis. Seringaian lenyap seketika dari wajah Samael. Ia berubah ke wujud aslinya. Tatapannya penuh amarah. Ia mencabut anak panah itu dan lukanya kembali menutup.
Baru saja lukanya sembuh, William telah berdiri dan menghunuskan pedang pada punggungnya. Samael berbalik dan mencengkeram leher William dengan sangat kuat, lalu melemparnya ke pintu neraka yang masih terbuka.
Sementara itu, Arion mencoba menggunakan Kristal Dayna di tangannya untuk menyegel Samael. Ia memang tidak pernah mempelajari teknik penyegelan, tapi entah mengapa kristal itu bereaksi seperti halnya Arion menggunakan sihir biasa. Ia hanya perlu berkonsentrasi dan membayangkan apa yang ia inginkan.
"ARION!" Suara Samael menggelegar. Ia melesat menuju pemuda itu tetapi rantai sihir yang muncul dari dalam tanah, menahan pergerakannya. Semakin memberontak dan melepaskan diri, semakin kuat pula ikatan itu.
Samael terdiam sejenak ketika ia merasakan sihir Putri Luna yang sangat kuat dari rantai itu. Mata emas dengan pupil vertikalnya menatap tajam ke arah Arion yang berjalan perlahan mendekatinya.
"Tidak kusangka kau bisa menggunakan sihir itu!" seru Samael. Kali ini ia terkekeh kecil. "Sudah lama aku tidak merasakan kehadiran ini."
"Samael. Terima kasih untuk semuanya," ucap Arion. Kini ia telah berdiri di hadapan Samael yang benar-benar tidak bisa bergerak.
"Kau melanggar perjanjian!"
"Aku hanya menyempurnakan rencana kita," Arion berdalih. "Dengan begini, dunia akan bersih dari sihir."
"Rupanya kau semenghibur ini!" celetuk Samael.
"Begitu?"
"Sekarang, Arion!" teriak Grey dari kejauhan. Ia kembali melesatkan beberapa anak panah yang dilapisi energi sihir. Menerjang dan mengenai Samael.
Arion menggunakan kesempatan itu untuk menyelesaikan penyegelannya. Rantai yang mengikat Samael semakin mengencang dan menyerap energi sihirnya, lalu memerangkap iblis itu ke dalam Kristal Dayna yang ada di tangannya. Cahaya terang menyilaukan keluar dari kristal tersebut dan menarik Samel masuk ke dalamnya.
Sebelum benar-benar tersegel ke dalam kristal, untuk terakhir kalinya mata mereka bertemu. "Jangan harap kau dapat lolos dariku. Kau tidak akan pernah bisa mati jika bukan aku yang membunuhmu! Ingat itu baik-baik!"
Dan Boom!
Terjadi ledakan sihir. Samael menggunakan kekuatan terakhirnya untuk menyebarkan kutukan dan berpencar ke segala alah, lalu lenyap tanpa bekas.
Terkutuk!
Kini, semua menjadi hening. Hanya tersisa Arion yang berdiri seorang diri di tengah kehancuran dan kobaran api. Gerbang Neraka mulai menutup, kembali masuk ke dalam tanah dan menghilang.
"Kuterima kutukanmu, Samael," lirihnya.
****
Hampa.
Arion menatap kosong pada kota yang telah habis digerogoti api membara. Puing-puing yang tersisa mulai berjatuhan, rubuh, rata dengan tanah. Sejauh mata memandang hanya ada kekacauan dan semakin terlihat jelas kala mentari naik. Tubuhnya ambruk ke tanah. Tangan yang semula menggenggam kristal hitam terlepas, menggelinding ke samping. Matanya perlahan menutup, diakhiri setetes air mata.
Langkah kaki terdengar mendekat. Seseorang duduk di sampingnya, tapi kelopak matanya begitu berat untuk dibuka, sekadar melihat siapa gerangan. Rasa hangat dari telapak tangan mengalir ke jantung, memompa darah lebih cepat, lalu tenaga yang tadi lenyap perlahan pulih.
Ketika matanya dapat kembali membuka, kekecewaan menggelayutinya. Kematian benar-benar tidak sudi lagi mendatangi. Apakah ini bentuk kutukan yang harus ia terima?
"Ini belum berakhir, Arion!"
Suara itu mengalihkan perhatiannya. Grey sedang berlutut di sampingnya seraya menggunakan sihir penyembuhan.
Arion berpaling, memandang langit pagi yang harusnya cerah tapi tercemar oleh asap sisa kebakaran. Ia kembali melirik Grey ketika tangannya menggenggam kristal hitam yang tadi sempat terlepas.
"Simpanlah!" ujar Grey. Ia berdiri dan memandang Arion yang masih berbaring di tanah. Rambut putihnya yang panjang terkibar kala angin menerpa.
Mereka sama-sama terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Arion bangkit-duduk. Tangan Grey terulur dan disambutnya untuk penopang saat berusaha berdiri.
"Kristal ini ...."
"Kristal Dayna yang telah menyegel Lucifer secara utuh."
Tangan Arion terangkat untuk melihat kristal itu lebih dekat. Warnanya hitam dengan bercak ungu yang sesekali muncul-berkilat. Sangat indah apalagi ketika cahaya matahari menyorotnya, memberikan satu warna lagi, kuning emas.
"Kupercayakan kristal itu padamu. Jagalah untuk selamanya!"
Bibir Arion membuka, setelah sedari tadi terkatup tak mengatakan apa-apa. Ia berucap pelan, "Apa yang akan kau lakukan setelah ini?"
"Aku harus kembali ke Destrion. Banyak wasiat yang harus kukerjakan," Grey tersenyum tipis ke arah tanah di depannya, seolah ada hal yang lucu di sana.
"Aku akan membantumu."
"Tidak. Kau tidak boleh menginjakkan kaki ke sana. Destrion akan menghilang dari pandanganmu. Untuk itulah semua ini terjadi, bukan?"
Hampa.
Kepergian Grey menjadi kehilangan terakhirnya. Yang tersisa selanjutnya hanya kesunyian. Bersama langkah menuju arah lain yang berlawanan. Tanpa tujuan. Tanpa siapa pun.
Era penyihir ... telah berakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top