Bab 18.2 Story of Evil
Kembali ke Restel artinya menyerahkan diri pada musuh. Tentu Arion sudah tahu kalau ia menjadi buronan Anglo-Saxon setelah kebohongannya terungkap. Akan tetapi, siapa sangka kalau kota itu sedang dilanda kekacauan lain. Sama halnya dengan Destrion yang kini dikuasai oleh dua kubu yang saling menjatuhkan.
Terjadi pemberontakan di Restel.
Raja James sedang terdesak, mengisolasi diri di dalam istana. Sebagian bangsawan berbalik melawannya karena merasa pihak lain jauh lebih menguntungkan, sementara sebagian lagi bertahan untuk melindunginya.
"Yang Mulia, kami menemukan Arion dan Samael. Mereka sudah di ibu kota." Seorang pengawal memberi laporan.
"Besar juga nyalinya. Tangkap dia!"
"Maaf, Yang Mulia," penasihat istana menginterupsi. Lelaki 52 tahun itu berdiri, melanjutkan ucapannya setelah mendapat izin dari sang raja. "Mengingat situasi kita saat ini, saya pikir tetap bekerja sama dengan Arion adalah pilihan yang menguntungkan. Sejauh ini mereka juga memburu penyihir. Kita bisa memanfaatkannya untuk menghadapi Tuan Darmus dan penyihir yang akan menyerang Restel."
Ya, akan sangat menguntungkan jika memihak Arion, tapi kesempatan itu sudah tidak ada. Sebab ketika utusan Raja James mendatangi Arion untuk mendiskusikan semua itu, sang pemuda hanya diam dengan tatapan dingin. Seolah orang-orang di hadapannya sama sekali tidak berharga untuk sekadar dilihat apalagi didengarkan.
Sikap abai Arion membuat dua orang utusan kerajaan itu tidak punya pilihan lain, mereka harus memaksanya untuk menghadap raja. Meskipun pada akhirnya, hanya menjadi daftar kesekian dari nyawa yang berhasil direnggut oleh Arion.
Langkahnya begitu pelan melewati desakan dan kerumunan di depan istana. Beberapa kali terdorong tapi tidak membuatnya urung membelah lautan manusia itu. Hingga akhirnya ia berdiri di tengah kerumunan dan membakar orang-orang yang berada di dekatnya dengan sihir.
Hanya sebentar, lautan manusia itu membuat jarak, menyisakan Arion yang berdiri mematung bersama empat orang laki-laki yang menggeliat kepanasan di sekitarnya.
"PENYIHIR!" jeritan terdengar.
"DIA PENYIHIR!" jeritan lain menimpali hingga kepanikan tercipta.
"Tuan Darmus. Panggil Tuan Darmus! Beliau pasti akan melindungi kita dari penyihir itu."
Kerumunan disibak dengan kasar. Empat orang penyihir berjubah hitam datang bersama Darmus yang tersenyum pongah. Sebentar lagi masa kejayaannya akan datang. Itulah pikirnya, meski pada akhirnya empat orang penyihir itu tidak dapat menyentuh Arion dan ... jeritan keputusasaan kembali mengalun bersamaan dengan penyerbuan pasukan Ardious dan Ranfel yang tiba di waktu yang tepat.
Pesta yang sesungguhnya baru dimulai.
****
Suasana hati Arion begitu buruk. Ia menengadah dan menatap rembulan yang begitu penuh dan terang. Malam itu akan menjadi akhir dari segalanya. Kemuakkan pada dunia yang telah membusuk akan memandunya untuk menjadi kunci dari segala akhir.
Baru saja melangkahkan kaki menuju keramaian, Arion dihadang oleh Raja James dan pasukannya. Mereka menginginkan kekuatan Arion. Perang kali ini tidak akan pernah mereka menangkan tanpa sihir terkuat yang tengah pemuda itu genggam di tangannya. Jika tidak dapat membuat Arion berpihak, maka dia harus dibunuh sebelum semuanya terlambat.
Bahkan non-penyihir sekali pun paham siapa yang akan menjadi kunci dalam perperangan kali ini.
"Bukankah kalian membenci penyihir, lalu mengapa berlutut meminta bantuanku yang seorang penyihir?" tanya Arion-retoris. Ia melangkah pergi, mengabaikan orang-orang itu. Pun tidak berminat untuk membunuh mereka.
Namun, sikap Arion dianggap sebagai keangkuhan yang mendatangkan lebih banyak musuh. Berpuluh pasukan Raja James menyerangnya menggunakan pedang. Tidak ada tindakan perlawanan dari sang pemuda. Ia malah berhenti dan menengadah, membiarkan punggungnya terbuka lebar untuk menerima tebasan dari kemarahan orang-orang.
Akan tetapi, bukannya terluka Arion malah mendengar jeritan serta percikan darah yang hangat mengenai punggungnya. Sontak ia berbalik dan mendapati Samael yang membunuh mereka semua sebelum berhasil menyentuhnya. Sebelah alis Arion terangkat, iblis itu ... terlihat bersemangat malam ini.
"Kau! Kau iblis!" tuding Raja James dengan tubuh bergetar. Pengawalnya memasang badan untuk melindungi dan membawanya kabur dari tempat itu.
Samael hendak mengejar tetapi Arion melarangnya, "Hentikan. Ada hal yang lebih penting untuk kita urus!"
Arion melewati bangunan yang terbakar dan orang-orang yang berlarian ketika melihatnya berjalan bersama Samael yang menampilkan sosok setengah iblisnya; bertanduk dan menyeringai dengan taring di sela bibirnya.
Seperti pesan Arion, Ardious dan Ranfel benar-benar datang dan mengincar nyawanya.
"Kau tetap di sini. Aku yang akan mengurus mereka!" seru Arion, melangkah maju menuju orang-orang yang bersiap menghujaninya dengan sihir kutukan.
"I-iblis! Pembawa petaka!" kecam segerombolan non-penyihir yang tersudut, tidak jauh dari tempat Arion berdiri.
Mata emasnya menoleh, memandang dingin ke arah mereka. "Aku ... memang pembawa petaka," ucapnya. Tangannya terangkat dan satu sihir kutukan melesat ke sekumpulan orang itu. Kepala mereka meledak secara bersamaan. "Maka matilah bersama petaka yang kudatangkan!"
Selagi ia fokus pada non-penyihir itu, sihir lain menghujaninya. Untung saja, Arion lebih dulu memasang perisai. Tidak ada satu sihir pun yang dapat lolos dan mengenainya.
Kilatan sihir menyambar dari segala arah. Kota yang semula pemukiman yang padat oleh bangunan, kini rata dengan tanah, menampilkan sosok Arion yang menjadi satu-satunya orang yang berdiri di tengah kekacauan.
Pemuda itu mengangkat dan menatap telapak tangan kirinya. Ada pentagram kecil berwarna hitam yang tercetak seperti tato di sana. Sebuah tanda dari ikatan perjanjian yang ia buat dengan Lucifer. "Apakah ini tandanya kalau perjanjian benar-benar akan berakhir hari ini?"
"Ya, pesta akan berakhir malam ini." Samael menjawab. Ia sudah berdiri di belakang Arion dengan sayap hitam-lebar membentang di punggungnya. "Dan tanda itu akan menjadi penghubung kekuatanku denganmu. Kau bisa menggunakannya sepuasmu."
"Menarik." Arion dapat merasakan sensasi panas yang menjalar dari telapak tangannya, perlahan naik ke jantung, membuatnya berdetak dengan lebih cepat. Iris emasnya bersinar, seperti bulan sempurna yang saat ini memancar di langit Restel.
Arion dapat merasakan energi yang begitu berlimpah. Sebuah sihir gelap yang pekat, sihir iblis yang begitu murni. Arion dapat menggunakan sihir tanpa mengucapkan mantra atau konsentrasi penuh. Cukup dengan satu keinginan, maka semuanya akan terwujud. Meski begitu, hanya kehancuran yang akan tercipta, selayaknya sihir iblis yang hanya mendatangkan kemelaratan.
Setiap langkah yang ia buat, meninggalkan bekas hangus pada tanah hingga tandus. Setiap kibasan pada tangannya, memercikkan kutukan yang melelehkan sekitar. Arion ... benar-benar telah menjelma menjadi iblis yang sesungguhnya.
"Akhirnya kami menemukan kalian." Barzanqi dan Granado berdiri menghadang. Di belakangnya juga ada pria bertopeng setengah wajah yang menunduk takut ketika Samael menatapnya.
"Kalian ... ah, benar. Para pengkhianat itu. Jadi, kalian bagian darinya?" tunjuk William pada pria bertopeng.
"Kami percaya, tidak ada yang salah sihir iblis. Tak peduli darimana asalnya, sihir tetaplah sihir," jawab Granado, nadanya terdengar meremehkan.
"Oh, Tuanku. Mohon terima saya juga sebagai pengikut Anda!" Pria bertopeng maju ke depan, sujud di hadapan Arion dan Samael.
Samael tertawa terpingkal. Sedangkan Arion mendengkus geli.
"Jika kau bekerja sama dengan kami, semua akan berada di bawah kuasamu." Barzanqi ikut bersuara, masih berharap negosiasi akan berjalan lancar.
"Dalam mimpi kalian." William dan pasukannya datang, menyerang Barzanqi dan Granado.
William menarik napas dalam, menahan amarah yang memuncak saat melihat Barzanqi dan Granado bekerjasama dengan 'para pendosa.' Dari sekian banyak dugaan buruk yang ia pikirkan tentang kedua keluarga pengkhianat itu, malah yang paling buruk lah yang menjadi kenyataan. "Tidak hanya ingin merebut kekuasaan, kalian juga bersekutu dengan para pemuja iblis itu. Tidakkah itu memalukan leluhur?"
"Bocah ingusan sepertimu tidak ada hak mengatakan hal seperti itu. Kau belum tahu apa-apa tentang dunia ini," sinis Barzanqi. Ia menghentakkan kaki kanan ke tanah, lalu terjadi getaran pada pijakan. "Sebaiknya jadilah anak baik dan duduk diam di kamarmu!"
Pijakan William retak, lalu sulur akar keluar dari dalam tanah, berusaha menangkapnya. Akan tetapi William mundur lebih cepat dan mengelak gesit. Charles dan Ramond datang membantu dari belakang, mereka memberi serangan balasan pada Barzanqi.
"Sebaiknya Anda beristirahat lebih dulu, Yang Mulia. Anda sudah menggunakan banyak energi sihir sejak beberapa hari ini. Biar kami yang menghadapi mereka!" pinta Charles Bartin. Pedang besar berwarna perak tergenggam mantap di tangannya.
"Benar, Yang Mulia. Kami juga sudah membawa bala bantuan," tambah Ramond.
"Tidak, kita serang bersama dan jangan beri mereka jeda!" ujar William. Ia menciptakan awan pekat di atas pasukan musuh, lalu mengeluarkan petir yang menyambar mereka dengan brutal.
Ramond dan Charles terperangah, sebuah sihir luar biasa yang pasti menguras banyak energi dapat digunakan Raja Destrion itu dengan mudah. Tersentak karena kilat matra kutukan mengarah pada mereka, Ramond segera membuat perisai, lalu berlalu menerobos pasukan dan menyerang musuh yang berpapasan dengannya.
"Setelah ini berakhir, kita memang harus menghilang dari non-penyihir," gumam William sebelum ikut menjatuhkan musuh yang mencoba melukainya.
Di tengah pertempuran, perhatian William teralihkan pada dua orang anak yang meringkuk ketakutan di salah satu puing rumah, saling berpelukan. Ia mendekat dan memandang mereka sejenak, sebelum membuat portal kecil dan mendorong mereka masuk untuk memindahkannya ke tempat yang lebih aman.
"Belas kasih pada non-penyihir?" Dolhaf datang, mengejutkannya.
"Guru? Ah, tidak."Ia menggeleng, "sayang saja, mereka masih terlalu kecil untuk terlibat dalam perang ini."
Dolhaf hanya diam menatapnya, seolah menyangsikan alasan itu. "Kalau begitu, mari kita akhiri ini agar tidak ada anak kecil lagi yang ikut terjebak!"
William mengangguk dan mengikuti sang guru, kembali ke medan perang. "Kita cari mereka berdua terlebih dahulu!"
"Baik, Yang Mulia!" jawab Dolhaf dan segera teleport menuju tempat Barzanqi.
"Dolhaf, kau masih hidup?" Barzanqi berjengit, membuat jarak.
"Melihat wajahmu yang tidak menua, membuatku sangat iri!" celetuk Dolhaf, terkekeh. Akan tetapi, ia melayangkan satu mantra kutukan bersamaan dengan ucapannya dan mengenai Barzanqi telak.
"Sialan, kau masih saja cepat, Pak Tua!" geram Barzanqi sambil memegangi perutnya yang ususnya terasa dipelintir.
"Aku memang menua, tapi ilmuku tidak memudar."
Barzanqi segera bangkit dan hendak membalas, tapi William menyerang dari arah belakang menggunakan pedang peninggalan Raja Ferdinand dan kembali menjatuhkan pemimpin Ranfel itu.
Dolhaf tidak memberi jeda, ia membuat satu tombak yang berasal dari sihir yang memadat, kemudian menyerang dari depan, bersamaan dengan itu, William ikut menghunuskan pedangnya dari arah belakang.
Di lain pihak, Granado bertemu dengan Samael yang sedang berpesta. Semua adalah musuh baginya, pihak ketiga dalam sebuah peperangan antar penyihir. Tanpa rasa takut, pria berwajah tidak simetris itu mendekat dan memohon kekuatan pada Samael, membuat iblis itu kembali terpingkal.
"Kau menginginkan kekuatanku?" tanya Samael retoris, senyumnya terukir lebar.
"Benar, Tuanku. Saya akan menjadi pengikut setia Anda."
"Kalau begitu, ambillah!" Samael mendekat dan menekan kening Granado, menyalurkan energi sihirnya ke dalam tubuh pria itu.
"Ah, saya dapat merasakannya. Ini ... kekuatan ini mengalir deras!" Granado tersenyum semakin lebar, menyamakan seringaian di wajah Samael.
Energi itu terus masuk ke dalam tubuhnya, hingga tidak tertampung dan merusak tubuhnya. Granado tercekat, ia mencoba melepaskan diri tetapi tidak bisa, tubuhnya terasa sangat berat. Lama-kelamaan energi itu semakin memenuhinya dan satu kakinya meledak karena tidak sanggup menahan.
Jeritan panjangnya menyaru dengan jeritan lain di sekitar mereka. Lalu kedua tangannya meledak, dan saat seluruhnya pecah, Samael melepaskannya dan berjalan pergi. "Selamat, kau menjadi pengikut setiaku di neraka kelak."
****
Peperangan kembali tersulut. Arion hanya berdiri diam, tidak tertarik untuk ikut campur.
Mata emas itu tidak lagi melihat manusia di hadapannya sebagai makhluk sempurna ciptaan Tuhan. Baginya mereka hanya monster yang haus akan bangkai yang tengah ia genggam erat di tangannya.
Mereka pikir, jika bangkai itu tidak dapat direbut, maka si pemilik iris terindah di bumi itu haruslah dicabik dan dilempar ke neraka terdalam bersama Lucifer yang tersenyum pongah di sampingnya.
"Hentikan semua ini Arion!" Suara Freya terdengar begitu lantang. Netra emas menoleh untuk melihat sosok yang paling ia rindukan. Getaran kesedihan dari suara itu membuat dadanya begitu nyeri. Baik ia maupun Freya, mereka berdua sudah tahu bagaimana semua ini akan berakhir.
Sebuah pengorbanan yang harus dibayar untuk menyelamatkan dunia yang kian membusuk.
Takdir terasa begitu bengis, membuat mereka harus saling membunuh ketika tujuan sebenarnya adalah titik yang sama. Hanya karena jalan yang dipilih berbeda, salah satu dari mereka harus menumpahkan darah malam ini.
Freya menggenggam busur yang diberikan Grey padanya, melesatkannya menuju Arion meski tidak berhasil mengenai pemuda itu. Satu-satunya yang bisa Freya lakukan saat ini hanyalah membuat Arion marah dan membunuhnya. Dengan begitu, bahkan Lucifer sekali pun tidak akan pernah bisa mengalahkannya.
Tanpa mengatakan apa pun, Arion melangkah menuju Freya. Fokusnya hanya pada sang gadis tanpa peduli banyaknya mantra yang diblokade oleh tameng sihirnya. Dari tangan pucat yang bergelimang darah, muncul sebilah pedang yang berkilat tajam. Dalam kebisuan, ia menghunuskan pedangnya tepat ke arah sang gadis, tetapi seorang lelaki berbadan tegap menghadangnya-Arlan.
"Apa kau lupa pada sumpahmu?" Arlan mengacungkan pedang. Lingkar mata yang menggelap menjadi bukti kekalutan yang melandanya hingga tak bisa beristirahat.
Arlan tak akan pernah membiarkan Arion melukai Freya, apa pun rencana di balik semua itu.
Kali ini, Arion menatap langsung ke manik cokelat sang gadis. Rasanya baru kemarin ia mengagumi pemilik rambut indah itu. Baru kemarin ia memuja surai hazelnut yang melambai indah tertiup angin.
Bibirnya terangkat membuka, "Sumpahku telah mati bersama pengkhianatan kalian."
"Pengkhianatan? Kau tidak bisa berkaca?" sindir Arlan. Genggaman pada pedangnya semakin erat, memperlihatkan tekat yang kuat.
"Langkahi mayatku sebelum kau bisa melukai Freya!"
"Tentu," jawab Arion, enteng. Meski begitu, hatinya tetaplah merasa nyeri, terutama ketika tatapan mereka bertemu. Arlan, orang yang selalu bersikap kasar itu adalah satu dari orang yang ia akui keberadaannya. Seseorang yang dapat dianggap sahabat sekaligus keluarga.
"Keluarga, ya ...," lirih Arion. Segala keraguan, ia enyahkan-bersembunyi di balik tatapan tajam penuh amarah. Pedang di tangannya terayun dengan sangat cepat, menyamar bersama kilatan kutukan yang masih menghujaninya.
Arlan yang menghalangi tumbang tanpa sempat membuat perlawanan.
Ini bukan lagi tentang siapa yang kuat atau siapa yang akan bertahan, tapi tentang kesetiaan. Arlan tahu bahwa satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sedari dulu hanyalah mengalah. Ketika saudara-saudaranya lebih disukai, ia hanya perlu berpura tidak peduli. Saat Arion datang dan merebut perhatian cinta pertamanya, Arlan hanya dapat marah pada diri sendiri.
... dan beginilah akhirnya, kala satu-satunya jalan yang tersisa adalah kematian Freya, maka ia akan mati lebih dulu dan menyambut sang gadis di akhirat nanti-memastikan Freya tidak akan sendiri di mana pun berada. Bukankah itu tugas seorang kesatria yang bersumpah melindungi tuan putri?!
Lebih cepat lebih baik. Toh, semua ini hanya tentang waktu.
Freya berteriak, mejatuhkan busurnya untuk membekap mulut yang sekiranya hendak meraung. Fokusnya hanya tertuju pada lelaki bersimbah darah yang terjatuh menghantam tanah. Hendak menghampiri, tapi sepasang kaki yang melangkahi tubuh Arlan menghentikannya.
"Sekarang aku sudah melangkahi mayatmu," ucap Arion. Matanya tidak berani melirik ke bawah. Takut pada penyesalan yang bisa saja menyeruak keluar.
Sekali lagi mereka bertatapan. Lalu ia biarkan sebuah tamparan melewati pertahanan dan bersarang indah pada pipinya hingga memerah dan berdenyut.
"Kau bukan iblis, Arion. Maka sadar dan ingatlah dirimu yang sebenarnya!"
"Orang yang kau kenal sebagai Arion sudah mati!" tukasnya. Ia mengalihkan pandangan ke sekeliling.
"Samael, habisi mereka semua!" perintahnya pada sosok tampan berpakaian serba hitam yang masih setia berdiri di samping singgasana yang tadi ia duduki.
Samael--lelaki berpakaian hitam itu tersenyum mengerikan, menampilkan sepasang taring di deretan giginya. "Sesuai perintahmu."
Satu persatu teriakan saling barsambut. Pemilik iris emas mengangkat tangan kiri ke atas dan cahaya hitam menyambar-nyambar membalut tangannya. Dihempaskannya energi itu kepada orang-orang yang masih berusaha melancarkan sihir rendahan padanya. Sontak mereka semua terbelah menjadi dua, berhamburan bagai kelopak bunga di musim semi.
"HENTIKAN!" Sekali lagi gadis itu membentak, lantang.
"Bunuh dia, Arion!" Samael sudah berdiri di belakang dengan wujud berbeda. Kali ini ada empat sayap hitam besar di punggungnya. "Dia yang terakhir."
Lagi, tangan pucat berlumuran darah itu mengangkat pedang dan mengarahkannya pada Freya yang sedari tadi terus mengusik. Harusnya menikam jantung sang gadis akan menjadi sesuatu yang sangat mudah tapi sekelebatan ingatan mengganggunya.
Gadis itu menutup mata dalam beberapa detik, lalu menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia berjalan mendekati Arion, menerjang ujung pedang yang berkilat, membiarkan tubuhnya ditikam hingga ke jantung.
"Freya." Akhirnya nama itu kembali ia lantunkan. Dengan nada selembut semilir angin sore di kala itu, ketika mereka berempat selalu berkumpul untuk sekadar menikmati secangkir teh dan camilan di taman belakang istana.
"Kita benar-benar malang, Arion," lirih sang gadis dengan senyuman yang mengembang. Tidak selaras dengan mata yang menatap penuh kesedihan. "Dengan begini, kita akan kembali berkumpul berempat. Seperti dulu."
"Berempat seperti dulu?" gumam Arion dan tubuhnya menjadi abu.
"ARION!" geram murka dari Lucifer yang tengah berburu menjadi suara yang sangat mengerikan.
Orang-orang yang tersisa segera mundur ketakutan. Siapa pun pasti akan sadar diri ketika merasakan aura kemarahan dari iblis penguasa neraka itu.
Akhir cerita menjadi di luar rencana Lucifer.
Siapa sangka kalau perjanjian yang Arion buat bersama Freya, begitu mengikat sama halnya dengan Grey dan Arlan. Padahal hari itu, sumpah yang ia lakukan hanya sesederhana janji manis, tanpa ritual apa pun.
"SIAL! Bagaimana mungkin 'sumpah' sialan itu lebih kuat dari pada perjanjian yang kubuat!" Samael menggertakkan giginya seraya menatap tubuh Arion yang telah menjadi onggokan abu.
Bayaran atas kesatria yang telah melanggar sumpahnya adalah lebur menjadi abu, bersamaan dengan penghianatannya.
Tidak ada yang berhasil membuatnya murka sejak beberapa ratus tahun ini. Bahkan ketika Luna menyegelnya, Samael tidak pernah merasa semarah ini. Mainannya. Buruannya. Makan malamnya. Semua lenyap karena sebuah kebodohan!
"SIALAN!" geramnya. Sontak semua yang berada di sekitarnya tersapu hingga hancur, bahkan tanah ikut mengelupas, menjadi puing yang berserakan. "SIALAN!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top