Bab 17.1 Perang di Moravia
Keadaan sudah mulai sunyi ketika Arion menginjakkan kaki di Desa Moravia. Pemuda bermata emas itu turun dari kuda, melewati jalanan penuh mayat bergelimpangan. Arion mengernyit melihat tubuh yang hangus terbakar, menebar aroma busuk. Kepalanya menengadah, langit masih gelap, awan pekat enggan beranjak seolah hendak tumpah.
"Tu-tuan, tolong saya!" Seorang wanita tua mendekat dan terduduk. Tangannya memeluk kaki Arion. "Tolong, cucu saya terjebak di dalam sana!" Ia menunjuk ke rumah kayu yang sudah setengah roboh.
Arion mendekati rumah tersebut, mengintip ke sela reruntuhan. Di bagian sebelah kanan, seorang anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun, menangis dengan kedua kaki terhimpit kayu.
"Tolong ... sakit."
Melihat dari besar dan banyaknya kayu yang menghimpit, bisa dipastikan kakinya patah. Arion juga tidak yakin bisa mengangkatnya tanpa menggunakan sihir. Sekarang ia menyesal telah menyetujui wanita tua itu. Harusnya diam saja dan pura-pura tuli. Bukankah Samael pernah berkata, 'Berhentilah menjadi kesatria sok baik karena hal itu tidak berguna!'
Ledakan di kejauhan terdengar. Kilatan sihir terpancar, dapat dipastikan bahwa perang masih berlanjut. Tanpa membuang waktu, Arion mengangkat kayu-kayu itu dengan sihirnya, menarik bocah itu untuk kembali ke pelukan sang nenek.
"Penyihir!" jerit mereka histeris.
Sebenarnya, Arion tidak mengharapkan terima kasih atau apa pun. Namun, juga tidak menyangka akan diberi tatapan permusuhan. Harusnya wanita itu sadar, orang yang disebutnya sebagai 'penyihir' telah menyelamatkan cucunya. Ah, memang begitulah manusia. Hampir saja ia lupa. Tidak ada yang harus dipertanyakan lagi.
Enggan berurusan, Arion memilih diam dan pergi, tapi sebuah batu melayang, menghantam punggungnya. Wanita tua itu melemparinya. Manusia tidak tahu terima kasih itu menganggapnya musuh padahal sudah diselamatkan oleh sihir.
Sememuakkan itulah dunia ini.
Arion berbalik dengan raut penuh kekecewaan. Suasana hatinya sudah sangat buruk. Ditambah tingkah wanita itu, kesabarannya diuji. "Kenapa tidak mati saja?"
"Penyihir. Matilah!"
Sekali lagi batu sebesar kepalan tangan melayang ke arah Arion, tapi kali ini terhalangi oleh perisai sihir tak kasat mata.
"Kalian ... mati saja!" ujarnya sekali lagi. Tangannya terangkat ke depan, energi sihir berbentuk asap hitam pekat keluar dari telapak tangannya. Perlahan seperti ada sengatan listrik yang memercik dari asap itu dan menyambar dengan cepat ke arah dua orang di hadapannya.
Harusnya mereka akan langsung mati dengan tubuh membusuk, tapi tameng sihir menahannya. Freya dan Arlan berlari mendekat, melindungi dua orang itu di balik punggung mereka.
"Kau mau membunuh mereka?" tanya Freya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.
Arion menurunkan tangan. Rautnya datar seolah tidak melakukan kesalahan apa pun. Tatapan emas yang tadi begitu tajam penuh amarah, kini mulai sendu— tersirat kekecewaan. "Kau ... benar-benar tidak ingin berada di pihakku?"
"Tidak akan, jika yang kau inginkan adalah membunuh."
Jawaban itu harusnya sudah ia duga akan dilontarkan, tapi rasanya tetap sangat sakit ketika Freya mengatakannya tanpa ada keraguan. Mungkin jalan ini hanya dia sendiri yang dapat menitinya. Gadis itu tidak boleh ikut bergelimang dosa bersamanya. Kesendirian adalah konsekuensi yang harus ia terima.
Tanpa mengatakan apa pun, Arion berbalik pergi.
"Jadi ini balasanmu atas kebaikan Freya?" celetuk Arlan. Arion berhenti tapi tidak berbalik. "Bukankah kau sudah bersumpah akan selalu bersama dan memihaknya?"
Keterdiaman Arion membuat Arlan kembali berucap, "Ternyata semua sumpahmu hanya omong kosong."
Arion merindukan ucapan pedas itu. Kadang juga rindu pada keadaan saat masih di Destrion; berkumpul bersama, menikmati teh hangat dan camilan, bertengkar dengan Arlan, lalu dilerai oleh Grey.
Kepala Arion menengadah, merasakan rintik hujan yang kembali turun. Ini adalah akhir, semua kenangan itu hanya akan menjadi masa lalu yang tidak akan pernah terulang.
"Arion!" Arlan kembali memanggil ketika sahabatnya itu melangkah pergi—semakin menjauh, lalu lenyap.
****
Samael menjatuhkan satu persatu penyihir yang mencoba menyerang Moravia dari balik kegelapan. Ia tidak mau berurusan dengan William Grenzill yang entah mengapa juga berada di sana. Sepertinya selama mereka pergi dari Destrion, para penyihir itu sudah terbagi menjadi dua kubu dan sekarang saling menyerang. Merepotkan sekaligus menarik untuk disaksikan.
Sementara itu Arion sudah sampai di tengah perperangan. Penduduk Moravia lari berhamburan ke sana ke mari, menyerang siapa pun yang menurut mereka adalah penyihir. Jika sedang sial, mereka yang akan langsung mati terbunuh karena bertemu penyihir yang sesungguhnya.
Sejak awal, peperangan ini tidak akan pernah dimenangkan oleh non-penyihir apalagi tanpa persiapan yang matang.
"Samael!" panggil Arion. Hanya sekali dan iblis itu langsung mendengarnya. Ia segera muncul dari balik kabut hitam pekat yang tercipta di belakang Arion. Satu tangannya sedang menggenggam leher seorang penyihir yang dipastikan sudah mati.
"Kupikir kau akan melewatkan perayaan kali ini," sindirnya dengan seringaian yang lebar. Iblis itu menikmati semua hal yang terjadi saat ini. Tidak peduli di pihak mana ia berdiri.
"Kau sudah menangkap mereka semua?" Arion bertanya seraya menatap jijik ke arah kepala yang baru saja dipenggal Samael.
"Ada dua kubu." Samael menjawab santai. Ia mengelap tangan yang basah karena darah ke tembok rumah kayu di sampingnya.
"Di atas sana." Ia menunjuk ke atas sebuah rumah, di sana berdiri William dan August.
"Kenapa dia ada di sini?" Arion segera bersembunyi di balik bayangan rumah di sampingnya.
"Dia juga ikut memburu penyihir yang menyerang Moravia." Samael menjawab sesingkat mungkin, seolah malas menjelaskan situasi.
"Jadi semua itu benar, tentang Ranfel dan Ardious yang berkhianat," gumam Arion. Sudut bibirnya terangkat, mengulas seringai tipis. "Penghianat akhirnya dikhianati. Lucu."
"Dia tahu kalau aku juga ada di sini?" Arion kembali bertanya setelah memeriksa keadaan. Orang-orang berlarian, panik dan tidak memedulikan mereka.
"Tidak. Aku sengaja menjauh dari pandangannya."
"Baguslah, lanjutkan perburuanmu. Kita akhiri perang ini sebelum Moravia benar-benar hancur!"
Samael mengangguk, lalu menghilang. Rupanya seseorang melihat sihir yang digunakan Samael.
Pria paruh baya berbadan kurus dan tinggi berteriak, "Dia penyihir!"
Bisa saja Arion membungkamnya, tapi ia tidak boleh menyia-nyiakan nyawa mereka. Musuh utamanya saat ini adalah penyihir.
Jika non-penyihir berhasil selamat dari perang kali ini, maka akan lebih mudah membuat semangat mereka berkobar untuk menyerang Destrion dan membunuh semua penyihir.
Maka dari itu, Arion memilih kabur dan menghilang di balik gang kecil di antara perumahan. Beruntungnya cuaca sangat mendukung. Hujan kembali turun dan membuatnya lebih mudah kabur dari kejaran.
Di perjalanan Arion berpapasan dengan seorang penyihir yang mengira kalau ia hanya manusia biasa. Orang itu melemparkan satu kutukan sederhana yang dengan mudahnya dipatahkan oleh Arion.
"Kau penyihir? Suruhan kerajaan?"
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Arion berlari menerjang, menjatuhkannya dengan sebuah kutukan. Ia mencengkeram lehernya dan mengeluarkan sihir gelap andalannya yang dapat membusukkan target. Serangan itu berlangsung dengan sangat cepat hingga tidak ada teriakan yang sempat terdengar.
"Kalian juga, harusnya mati saja!" lirih Arion.
****
Asap putih perlahan muncul menyelubungi Moravia. Samael yang sedang sibuk berburu, jadi terhenti. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Orang-orang yang berlarian dan rumah yang dilalap api mulai menghilang dalam kabut. Para penyihir segera naik ke tempat tinggi untuk memantau keadaan.
Samael menjatuhkan satu penyihir wanita yang sejak tadi ia remas lehernya hingga patah. Kuku panjangnya yang sempat tertanam pada leher itu meneteskan darah segar yang segera dikibaskan ke sembarang arah.
"Mengganggu!" desisnya dan segera naik ke atas. Baru saja menginjakkan kaki pada sebuah atap rumah, pedang besar yang mengkilat tajam langsung menghantamnya. Untung saja Samael dapat menghindar dengan cepat.
August berdiri di hadapannya dengan seringaian dan berkata, "Ternyata benar, dengan begini jadi lebih mudah menemukan kalian."
Samael tersenyum, "Benar juga, ini sangat membantuku."
Dalam sekejap, mereka saling menyerang. Samael menahan sabetan pedang besar khas Bartin itu dengan tangan kosong. Alih-alih terluka, ia berhasil mendorong kasar laki-laki itu ke belakang hingga jatuh ke bawah, lalu hilang ditelan kabut. Akan tetapi, August sudah melompat dari belakang dan mengayunkan pedang.
Samael berguling ke samping. Pijakannya sedikit goyah sebab atap yang mulai roboh. "Boleh juga yang satu ini," gumamnya. Ia segera pindah ke atap lain dan dikejar oleh August dengan sangat cepat. "Tapi aku tidak punya banyak waktu."
Samael bergerak sangat cepat, berpindah ke sana ke mari dan ketika August kehilangan jejaknya untuk sesaat, tangan berkuku tajamnya berhasil menancap pada bahu sang sulung Bartin itu.
"Ini harus berakhir, atau dia akan mengomeliku," lanjut samael—seolah berbisik pada August.
Alih-alih tumbang, August malah membiarkan tangan itu bersarang pada bahunya. "Aku yang tidak punya waktu untuk meladeni pengkhianat seperti kalian. Katakan di mana Barzanqi dan Granado saat ini!"
Samael mencabut tangannya dan mundur selangkah ketika pria itu berbalik. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, tapi mari kita akhiri."
Tanpa menunggu lama, Samael melempar sihir yang dapat membakar target, tapi ketika hampir mengenai August, sebuah pedang besar yang mengeluarkan perisai sihir tertancap di antara mereka.
August melirik ukiran nama pada gagang dan ukiran naga di punggung pedang itu. Ia segera berbalik untuk memastikan dugaannya tetang sang pemilik. Di belakangnya sudah berdiri seseorang yang wajahnya tertutup tudung jubah berwarna hijau lumut.
"Arlan?"
"Oh, lihat ini. Siapa yang akhirnya kembali setelah kabur dariku," celetuk Samael, meremehkan.
Orang itu tidak menjawab ataupun menanggapi. Ia melompat ke arah Samael yang hendak kembali menyerang dengan sihirnya. "Lucifer!" geramnya. Ia berlari dan menarik pedangnya lalu melayangkannya pada Samael dengan sangat cepat dan kuat.
Iblis itu hendak menghindar ke samping kanan tetapi August ikut menyerangnya dari arah yang sama.
Samael mengambil langkah lebar untuk mundur dan menghindar tapi sebuah anak panah melesat dari belakang, membuat perhatiannya terpecah. Hal itu dimanfaatkan oleh orang berjubah hijau untuk melesatkan satu ayunan pedang yang telah diselubungi energi sihir sehingga membuatnya semakin panjang dan tajam.
Satu sayatan sukses mengenai bahu Samael hingga membuatnya robek dengan begitu dalam, sementara anak panah lain kembali melesat dan bersarang pada kakinya. August juga menyerang sekali ke arahnya tapi dapat dihindari dengan merobohkan atap yang menjadi pijakannya dan ia ikut jatuh ke bawah.
"Sial!" Orang berjubah hijau ikut terjun ke bawah, tapi tidak menemukan Samael. Kabut yang tebal membuat jarak pandangnya terbatas. Sementara August yang terluka dan mengeluarkan banyak darah, hanya menunggu dari atas.
"Aku akan mengobati lukamu!" Orang yang tadi memanah dari kejauhan sudah berdiri di belakang August. Ia membuka tudung jubahnya ketika pria itu berbalik dengan posisi waspada.
Rambut putih yang panjang dan terikat satu ke belakang, membuat August terkejut."Grandwill?"
Grey hanya memasang wajah datar, enggan menyapa atau sekedar bertanya. Ia berlutut, memeriksa luka August. Tangannya terulur dan sebuah sihir terbentuk di hadapan luka yang menganga.
"Bukankah kau sudah mati? Ah, tidak. Jika kau masih hidup, itu artinya orang yang tadi benar-benar Arlan?" August kembali bersuara.
"Kenapa kau sangat terkejut? William tidak memberitahukannya padamu?" Arlan sudah naik ke atas dan membuka tudungnya. Mata hitam ravennya berkilat tajam. Tentu ia belum melupakan pengkhianatan yang Bartin lakukan terhadap Freya.
August terkekeh beberapa saat, lalu menghela napas. Perih pada bahunya sudah menghilang, bahkan lubang yang menganga, mulai menutup. "Jadi, William sudah tahu kalau kalian masih hidup?"
Grey menghentikan sihirnya sebelum lubang di bahu August benar-benar sembuh. "Ini sudah cukup," ujarnya. "Cukup diberi penanganan dengan cara biasa dan lukamu akan baik-baik saja."
Pemuda berambut putih itu bangkit dan berdiri di samping Arlan—memandang lekat pada August yang ikut berdiri. "Kalau begitu ... apakah Putri Freya juga masih hidup?"
Arlan hendak membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu tapi terhenti ketika dari arah belakang August, muncul Samael dengan wujud setengah iblisnya—bersayap hitam besar, bertanduk dan menyeringai dengan taring yang tajam. Kakinya yang tadi terkena panah, masih meneteskan darah. Lukanya tidak dapat menutup dengan cepat karena Grey menggunakan anak panah yang sudah dilumuri racun dan energi sihir.
"Boleh juga kalian," desisnya dengan tatapan yang mengerikan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top