Bab 15.1 Pertemuan

Anglo-Saxon, Musim semi 1426

Salju telah lama mencair, tidak menyisakan jejak. Bunga bermekaran pertanda musim telah berganti. Keadaan Restel masih sama, penuh rumor dan ketakutan akan bayang penyihir yang bisa saja mengutuk mereka seperti yang terjadi di Argantha.

Akan tetapi, ada segelintir orang yang menyukai keadaan saat itu, salah satunya Arion. Semua sesuai rencana, apalagi ketika Raja James yang semakin paranoid menyerukan permusuhan pada penyihir dengan lebih keras.

Sebagai salah satu langkahnya, Raja mengesahkan witchcraft Statute atau sebuah undang-undang yang menyerukan permusuhan pada segala hal yang berhubungan dengan praktik ilmu sihir. Mereka yang terbukti penyihir akan mendapat hukuman mati.

Tentu dengan keluarnya undang-undang secara resmi, raja seakan memberi wewenang kepada semua rakyat untuk terlibat dalam perburuan tersebut. Siapa pun dapat melaporkan orang yang mereka curigai untuk nanti diadili dan dibuktikan kebenarannya.

Rupanya, keputusan sang raja membuat kecemasan tersendiri bagi rakyat di penjuru negeri. Mereka mulai mencurigai satu sama lain, bahkan hal yang lebih parah adalah segala kemalangan yang mereka terima, penyihir lah yang dikambing-hitamkan.

Ini memang bukan sesuatu yang buruk, tapi Arion lupa bahwa ketika semua berjalan terlalu lancar, maka akan datang badai besar menerjang. Ia menyaksikan sendiri kalau beberapa orang yang ditangkap dan dihukum mati, bukanlah seorang penyihir. Mereka—para non-penyihir—memanfaatkan keadaan untuk menyingkirkan orang yang tidak disukai.

Hal yang Arion inginkan adalah pemusnahan untuk seluruh penyihir, tetapi yang terjadi adalah kekacauan yang mengatas-namakan perburuan penyihir. Setiap harinya, ada saja seseorang yang dituduh dan diadili, bahkan di beberapa daerah, tersiar kabar kalau hukuman diberikan tanpa adanya pengadilan resmi. Ini di luar ekspektasi. 

Arion tidak menyangka jika seseorang dapat melakukan hal yang lebih parah dari apa yang bisa ia bayangkan.

Mercia, salah satu dari tujuh wilayah yang dikuasai oleh Anglo-Saxon menjadi tempat pertama yang tersiar kabar kalau sudah dikuasai oleh penyihir. Raja yang sangat takut, memerintahkan Arion dan Samael memimpin pasukan khususnya untuk mengamankan keadaan di sana.

Tanpa mengatakan apa pun, Arion segera bersiap untuk keberangkatan, tetapi Gluino menemuinya secara diam-diam.

"Ada apa?" ketus Arion.

"Penyihir yang mengacau di Mercia adalah suruhan Ranfel dan Ardious," kata Gluino tanpa senyuman yang biasa ia tunjukkan.

"Ranfel?" Arion belum melupakan hal biadab yang terjadi di kediaman Ranfel. Terlihat amarah masih berkilat dari matanya setiap kali mendengar nama itu. "William yang memerintahkannya?"

Gluino terkekeh kecil. "Mana mungkin. Mereka sudah biasa melakukannya. Tapi kali ini tampaknya lebih serius."

"Apa maksudmu?"

"Sejak kehilangan sebuah panti asuhan pemasok budak, mereka memang sempat menghilang dan tidak menyentuh Anglo-Saxon, tapi situasi kali ini berbeda, bukan?"

"Panti asuhan?"

"Oh, kau pasti belum tahu. Yah ... ini memang rahasia."

"Jangan bertele-tele!" tukas Arion seraya mencengkeram kerah Gluino, membuat pria pucat yang lebih tinggi sejengkal darinya itu terperangah. "Panti asuhan apa yang kau maksud?"

"Dulu, ada satu panti asuhan di sini. Durchan." Sebelah alis Gluino terangkat kala melihat raut Arion yang tegang.

"Jelaskan!"

"Untuk apa? Kenapa tiba-tiba kau tertarik?" Gluino mencengkeram balik tangan Arion, memaksa melepas kerahnya.

"Jawab saja!"

"Jangan marah-marah seperti itu. Aku akan memberitahumu. Tapi ada syaratnya!"

"Apa?"

"Lenyapkan Ranfel."

"Tidak masalah."

Senyuman lebar merekah. Vampir darah murni itu mendekat dan berbisik. "Mereka menyokong pembangunan Panti Asuhan Durchan dan bekerja sama untuk memanen anak-anak yang akan dijadikan budak."

Arion terbeliak. Tangannya mengepal erat, rahang bergemerutuk. Matanya berkilat tajam seolah akab mencabik seseorang. "Kau ... membual?"

"Mana mungkin. Kami yang mengetahuinya juga ikut menjadi pelanggan. Sayang sekali terjadi kebakaran, padahal pemiliknya wanita yang ramah dan enak diajak berbisnis." Gluino menghela napas. "Tragedi malam itu juga merugikan kami, tapi untungnya masih ada kerajaan ini. " tambahnya setelah mengambil jarak, tidak lagi berbisik.

"Kau mengakuinya sendiri?" ujar Samael. "Memanfaatkan manusia untuk memasok makanan. Pintar sekali."

"Kalian sudah tahu rupanya. Tapi baguslah, sekarang semua jadi lebih mudah. Aku tidak perlu menjelaskan—" ucapan Gluino terhenti ketika sebuah belati bersarang di pinggangnya. Ia menoleh ke samping, menatap Arion yang menusuknya.

"Kenapa kau marah? Kasihan pada non-penyihir?" Gluino mencabut belatinya seolah tidak terjadi apa-apa. "Kau tahu, kan kalau benda ini tidak akan membunuhku?" Ia memberikan pisau berlumur darah itu ke tangan Arion sementara lukanya menutup. "Walau tetap saja rasanya sakit."

"Hei, kau tahu?" seru Gluino lagi, "kami para vampir mungkin memang monster yang kejam karena harus hidup dengan mengorbankan nyawa manusia, tapi setidaknya kami tidak seperti kalian yang penuh intrik busuk untuk melenyapkan kaumnya sendiri."

"Ini insting yang telah tertanam sejak kami lahir." Arion menyudahi pembicaraan. Mengelap belati dengan bagian dalam jubah hitamnya, lalu meninggalkan Gluino.

"Kenapa kau jadi semarah ini?" celetuk Samael.

Arion berbalik, mendorong Samael menggunakan energi sihirnya. Iblis yang tidak menyangka diserang itu tak sempat membuat pertahanan dan berakhir menghantam dinding lorong. Untung saja saat itu tidak ada orang yang melihat mereka.

"Kau masih menanyakannya?" Arion menjambak rambut pirang pudar Samael, memaksa mendongak untuk menatapnya. "Berhenti main-main. Aku ingin semuanya segera musnah!"

Samael terkekeh, memperlihatkan taring yang memanjang. "Kenapa?"

"Kau—"

"Hei, bocah. Kau langsung uring-uringan hanya karena tahu hal itu?" ejek Samael. Ia menghalau tangan Arion dan kembali berdiri, balik menantang.

" 'Hanya' kau bilang? Mereka telah membuat adele menjadi seperti itu!" bentak Arion, tapi hanya direspon cengiran oleh sang iblis. "Mereka juga membuatku hidup dalam ketakutan."

"Itulah jawaban sebenarnya!" Samael bertepuk tangan tepat di depan wajah Arion. "Berhenti menjadi orang munafik. Jangan berkilah dan menjadikan orang lain sebagai alasan. Aku tahu siapa kau sebenarnya Arion."

"Apa yang kau katakan, sialan?"

"Berhenti merengek. Saatnya berburu!" Samael berjalan lebih dulu, mengabaikan Arion yang masih terpaku.

****

Mercia berada tidak jauh dari Argantha, kemungkinan inilah yang menjadi alasan mengapa desa itu merasakan dampak yang lebih cepat ketimbang daerah lain. Pertama kali menginjakkan kaki di sana, Arion disuguhkan lima wanita di tiang pembakaran. Mereka dituduh sebagai penyihir, tetapi Samael mengatakan dengan pasti bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar penyihir.

"Ini jauh lebih menarik dari yang diharapkan, bukan?" ujar Samael, senyumannya mengembang.

Arion hanya diam, memilih mendekati seorang laki-laki, pemimpin dalam kerusuhan itu. "Apakah kalian sudah melakukan pengadilan yang seharusnya?"

Laki-laki paruh bawa berhidung besar yang ia tanyai itu, langsung menoleh dengan tatapan tidak suka.

"Siapa kau?"

"Aku pemburu penyihir utusan kerajaan." Arion memperlihatkan bros kecil berlapis emas dengan lambang Anglo-Saxon—singa emas—yang ia dapat dari raja.

Pria itu langsung berdiri, tersenyum ramah hingga menampakkan barisan gigi kuning yang berantakan. "Maafkan kelancangan saya, Tuan. Tentu saja kami sudah melakukan pengadilan dan mereka terbukti melakukan praktik sihir."

"Buktinya?"

"Begini, Tuanku. Beberapa kali musim panen, Mercia mengalami kegagalan. Tapi anehnya, ladang mereka baik-baik saja dan berhasil panen, bukankah ini mencurigakan?!"

Arion memilih diam. Ia mendekati Samael dan menyuruhnya untuk memeriksa sesuatu yang terjadi pada ladang penduduk. Samael sedikit mengeluh karena merasa akan sangat merepotkan, tapi tetap pergi meninggalkan Arion yang berdiri terpaku memandang kosong ke tiang pembakaran.

Wanita yang dituduh penyihir itu berteriak memohon ampun, mati-matian melakukan pembelaan diri dari tuduhan. Namun, semua orang seolah tuli dan menyulut api hingga membakar, menyisakan jeritan panjang yang terdengar sangat menyakitkan.

"ADA PENYIHIR LAGI!" teriakan mengalihkan perhatian semua orang.

Pemburu lain yang ikut bersama Arion segera berlari menuju asal suara. Pemuda bermata emas itu juga hendak menghampiri, tapi langkahnya terhenti ketika tidak sengaja berpapasan dengan seseorang berjubah hijau lumut yang memakai tudung menutupi kepala. Arion berbalik, hendak memanggil tapi orang itu menghilang di tengah keramaian.

Arion merasa tidak asing, tetapi suara heboh dari kejauhan mengalihkan perhatiannya. Ia segera berjalan cepat menuju sumber keributan. Seseorang yang berlari dari arah berlawan menabraknya kasar. Lalu teriakan lain terdengar, "DIA KABUR!"

Kejar-kejaran terjadi di desa yang sudah kacau. Arion menepi untuk mengamati keadaan. Sekali lagi ia melihat orang berjubah hijau lumut itu. Dia sedang berdiri di kejauhan. Arion mengamatinya dan terkejut ketika sadar kalau orang itu adalah penyihir.

Walaupun tidak bisa melihat wajahnya, Arion yakin dari balik tudung itu dia memandang lurus pada orang-orang yang berusaha mengejar pria yang dituduh penyihir, dan mereka terjatuh secara bersamaan, sehingga lelaki yang dikejar dapat kabur menjauh.

Arion segera mendekati orang berjubah itu; mengikutinya dengan langkah cepat, ingin menangkapnya. Akan tetapi ketika melewati persimpangan yang sepi, ia kehilangan jejaknya. "ke mana dia?"

Derap langkah terdengar mendekat. Arion berbalik, melihat tiga orang pemburu penyihir kerajaan mendekatinya dan berkata kalau mereka melihat orang mencurigakan—yang kemungkin adalah penyihir—melewati daerah itu.

"Aku tidak melihat siapa pun," ujar Arion cepat. Ia tidak mau mereka menemukan orang itu lebih dulu, ada hal yang harus Arion pastikan. Bisa saja penyihir itu memang utusan Ranfel. Jika benar, ini akan menjadi keuntungan untuknya. Ia akan menemukan dan membunuh mereka lebih dulu. Ranfel, memang harusnya musnah saja, seperti yang lain.

****

Setelah berkeliling dan tidak menemukan apa pun, Arion kembali ke tengah desa. Di sana masih ramai, menonton pembakaran pada orang yang tidak bersalah. Ah, Arion merasa lucu jika mengecam mereka yang membunuh manusia tidak bersalah. Ia sadar tidak memiliki hak untuk itu, sebab apa yang telah dan akan ia lakukan juga sama mengerikannya.

Hal ini mengingatkannya pada perkataan Gluino, memang beginilah aslinya manusia ketika sedang berusaha bertahan hidup. Mereka dapat melakukan apa pun untuk kesejahteraannya, bahkan jika itu harus melenyapkan kaumnya sendiri.

"Aku sudah memeriksanya," kata Samael yang baru saja kembali. "Tidak ada energi sihir di sana. Baik ramuan atau sejenisnya. Kegagalan yang terjadi murni karena alam."

"Lalu bagaimana dengan orang yang mereka tuduh penyihir itu?"

"Dan inilah menariknya!" Samael berdiri di samping Arion, mendekatkan bibir ke kuping pemuda yang lebih pendek darinya itu. "Mereka bukan penyihir, tetapi orang cerdik yang dapat membuat sesuatu yang baru untuk menyuburkan tanah tempat mereka berladang. Apa istilahnya, ya? Pupuk?"

"Apa maksudmu?"

"Mereka menemukan cara pengolahan pupuk baru yang tampaknya sangat berfungsi untuk kondisi tanah di tempat ini."

"Jadi, mereka menuduh seseorang yang—ah, lupakan!" Arion sampai kehilangan kata-kata. Entah miris atau lucu.

Sementara itu Samael tergelak hingga sudut matanya berair. "Ini semakin menarik!" ucap Samael di sela tawanya.

"Sekarang aku ingin kau mencari semua penyihir yang ada di sini, lalu bunuh mereka dengan cepat!" perintah Arion dengan nada kesal.

"Oh, baiklah. Kau memang mudah sekali tersulut emosi." Samael menghela napas dan menghilang dari hadapan Arion.

"Mereka pasti memanfaatkan hal ini agar non-penyihir saling membunuh!" dengkus Arion. Ia mengepal dan berbalik pergi.

Keadaan Mercia sangat buruk, mereka berada di ujung tanduk. Terjadi kelaparan dan tekanan dari pemilik tanah untuk menyetor pajak yang semakin mencekik. Sekarang, rakyat hanya bisa mencari pelampiasan untuk disalahkan atas kemelaratan yang mereka derita.

Menyalahkan penyihir misalnya?

Atau ... memang penyihir lah yang berada di balik semua itu, untuk menunjukkan betapa berkuasanya mereka.

"Lepaskan dia. Dia bukan penyihir!" bentakan seseorang menyentak Arion. Ia kenal suara itu, lantas Arion berbalik.

"Dia penyihir!" teriakan lain menyambut. "Aku melihatnya memantrai anakku. Dia ingin mencelakai anakku."

"Dia bukan penyihir."

Arion berdiri terpaku di tempat. Suara yang terasa familier itu milik seorang gadis yang teramat ia rindukan. "Freya ...."

Tidak jauh di depannya, gadis dengan rambut bergelombang berwarna hazelnut sedang melindungi wanita muda yang dituduh sebagai penyihir. Tubuh Arion terasa kaku dan dingin, bahkan tanpa ia sadari, air matanya lolos begitu saja. Hanya setetes tetapi penuh dengan kerinduan yang begitu pekat.

"Freya ...." lirihnya lagi.

"Bawa dia juga!" seru seseorang. "Dia juga penyihir."

Ia menarik gadis yang dilindunginya untuk mundur ketika semua mata menatap bengis ke arahnya.

Arion bergegas mendekat, hendak menolong tetapi gadis itu lebih dulu lari, meninggalkan kerumunan yang hendak memonjokkannya. Sekali lagi terjadi kejar-kejaran.

Arion juga ikut mengejar. Ia yakin itu memang Freya. Arion tidak mungkin melupakan gadis itu, hampir setiap malam ia memimpikannya, merindukannya, bahkan masih dapat bersyukur walau gadis itu hadir di dalam mimpi hanya untuk menyalahkannya yang tidak datang tepat waktu untuk melindunginya.

Selagi berlari, Arion menggunakan sihirnya, menciptakan kabut hingga orang-orang terpaksa berhenti mengejar. Ia bergegas mengambil jalan lain dan terus berlari. Mata emasnya mengedar ke setiap penjuru jalanan hingga ke sudut-sudutnya tapi kehilangan jejak gadis itu. Dengan napas sedikit tersengal, Arion berhenti, berputar di tempat, sekali lagi mencoba mencari keberadaan orang yang ia yakini adalah Freya.

"Ke sini!"

Suara serta derap langkah membuat Arion refleks bersembunyi. Ia mengintip, melihat pemburu sedang mencari seseorang.

"Mereka pasti penyihir. Kabut yang muncul tiba-tiba itu pasti perbuatannya!" tuding mereka.

Arion harus menemukan gadis itu lebih dulu, ia ingin memastikan apakah memang Freya atau bukan, walau sungguh, Arion tidak mau berharap lebih. Dengan hati-hati, ia beranjak pergi. Jangan sampai gadis yang menyerupai Freya itu tertangkap.

Langkahnya semakin lebar dan cepat, pandangannya tetap fokus mencari dengan teliti hingga ia kembali bertemu dengan serombongan warga yang berkeliaran memburu orang yang mereka curigai sebagai penyihir.

Awalnya ia akan berjalan biasa saja, seolah tidak tahu apa-apa, tetapi urung kala pintu salah satu gubuk di samping tempat Arion berdiri terbuka dan mereka berhadapan, sama-sama terkejut tapi Arion segera membungkam dan menariknya untuk pergi melewati gang lain, masuk semakin dalam.

"Arion?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top