Bab 14.2 Api Musim Dingin
Freya, Arlan, dan Grey sampai di Mercia pada sore hari. Desa itu berada di seberang hutan bagian Selatan dari Argantha. Salju kembali turun ketika dua penyihir yang mereka ikuti berhenti di sebuah rumah terbengkalai di pinggiran desa. Di dalam sana ada delapan orang berjubah hitam sedang berkumpul. Entah apa yang mereka bicarakan.
"Siapa kalian?" Seseorang memergoki. Tanpa menunggu jawaban,dia langsung menyerang menggunakaan pedang yang berkilat tajam.
Arlan menangkis menggunakan pedangnya. Percikan api tercipta dari dua besi yang saling bergesekan. Grey menarik Freya mundur, memasang tudung jubah untuk menutupi wajah gadis itu.
"Mundur!" seru Freya. Arlan memberikan satu serangan kuat hingga lelaki yang memergoki mereka terdorong ke belakang, lalu memanfaatkan kelengahan lawan untuk mundur.
"Vietor!" ucap Freya. Embusan angin datang, sangat kuat hingga menerbangkan tumpukan salju di tanah ke arah lelaki yang sudah siap kembali menyerang.
Untuk kemudian mereka kabur, tapi delapan orang yang berada di dalam ikut keluar, menyerang dengan matra kutukan. Beberapa ledakan kecil terjadi ketika sihir itu mengenai dinding rumah-rumah kosong yang dilewati.
"Ke sini!" Grey mengomandoi.
Mereka masuk ke dalam gang kecil, menyelip di antara dinding rumah. Salju turun semakin deras, lalu berubah menjadi badai. Langkah kaki cepat ada di mana-mana. Mereka terkepung.
"Aku akan keluar mengalihkan perhatian. Kalian tunggu di sini!" bisik Arlan.
"Mereka terlalu banyak," cegah Freya.
"Serahkan saja padaku!" Arlan mengintip, memastikan tidak ada yang melihatnya keluar. Lalu lari menjauh. Ledakan terjadi tepat di sebelahnya, Arlan menjatuhkan diri ke depan dan berguling untuk menghindari serangan kedua.
Cuaca semakin memburuk, ditambah matahari yang perlahan tenggelam membuat jarak pandang semakin pendek. Arlan bersembunyi di balik papan kayu di depan rumah terbengkalai.
Arlan menemukan satu musuh di atas atap, dua meter dari tempatnya berdiri. Ia membuat sebuah portal dan muncul di belakang orang itu, menebas punggungnya hingga jatuh ke bawah. Tidak menyiakan waktu, Arlan ikut turun dan menusuknya tepat di perut.
"Tertangkap!" gertak seorang lagi. Hanya dalam hitungan detik Arlan dikepung dari segala arah. "Siapa kau sebenarnya?"
"Aku yang harus bertanya, siapa dan apa yang penyihir lakukan di tempat ini?"
"Itu bukan urusanmu. Tangkap!"
Kilatan sihir muncul dari segala arah. Arlan membuat sihir pelindung, tapi serangan yang terus menerus datang, tidak dapat ditahan lebih lama apa sebab energi yang sudah terkuras karena membuat portal.
Sebuah cahaya muncul dari kejauhan. Tidak ada yang menyadarinya kecuali Arlan, hingga anak panah bersarang di punggung salah satu dari mereka yang mengepung. Freya muncul tidak jauh di belakang, ia menggunakan sihirnya untuk menjatuhkan dua orang sekaligus. Fokus mereka terpecah, Arlan segera menyerang, menebaskan pedangnya dengan gesit, menjatuhkan sisanya.
"Kita pergi dari sini!" perintah Freya.
Mereka lari sekuat tenaga. Berbelok beberapa kali, terus masuk menuju pemukiman, ada asap mengepul dari cerobong setiap rumah, menandakan ada penghuninya. Orang-orang yang mengikuti berhenti menyerang dengan sihir, memilih untuk tidak menimbulkan keributan.
Akan tetapi, malah membuat mereka lengah hingga satu kilatan cahaya datang dari arah Selatan, hampir mengenai bahu Freya, untung saja Arlan lebih dulu menariknya untuk menghindar.
Kejar-kejaran terus berlangsung hingga Arlan terkena kilatan sihir yang datang dari samping dan membuatnya terdorong ke dinding rumah kayu yang dilewati. Suara gaduh bersambut derit pintu yang terbuka. Mereka bertiga terpaku, terkejut kala seorang wanita paruh baya menyembul dari balik pintu.
"Oh, tidak!" seru wanita itu. "Kau berdarah. Cepatlah masuk!" tambahnya seraya membuka pintu semakin lebar.
Awalnya meragu, tapi mereka memang butuh tempat persembunyian. Apalagi Arlan terluka. Bahu yang terkena sihir tadi mengeluarkan banyak darah dan lukanya semakin menganga. Freya dan Grey lekas membopong Arlan, masuk ke dalam rumah. Pintu kembali ditutup dan udara hangat langsung menyelimuti tubuh yang hampir kebas karena dingin.
"Duduklah, pendarahannya harus dihentikan!" Wanita itu menyediakan air hangat dan handuk kecil untuk membersihkan luka Arlan.
"Terima kasih telah menerima kami!" ujar Freya. Sudut matanya menangkap seorang gadis kecil yang bersembunyi di balik tubuh sang ibu. Freya tersenyum, hendak menyapa tapi anak itu memalingkan wajah.
"Ah, maaf. Dia memang pemalu!" Wanita itu tersenyum ramah.
Sementara Freya mengalihkan perhatian sang tuan rumah, Grey mengobati luka Arlan secara diam-diam. Darah yang mengucur tidak akan bisa mengering jika tidak menggunakan sihir. Menutup luka dengan obat-obatan biasa tidak akan berpengaruh.
"Bagaimana lukamu?" tanya wanita itu, mengintip bahu Arlan yang sudah terbalut rapi.
"Jauh lebih baik. Terima kasih telah menolong kami," sahut Grey, wajahnya yang bagai boneka porselen membuat Ana terpaku dari balik tubuh sang ibu.
"Siapa dan apa yang kalian lakukan di tengah badai seperti ini?" tanya wanita itu seraya memberikan minuman hangat. "Bahkan sampai terluka. Kalian diserang bandit?"
"Perkenalkan saya Freya!" seru Freya, ia lanjut memperkenalkan Grey dan Arlan. "Anda benar, kami sedang dalam perjalanan dan tersesat, lalu sekelompok orang menghadang."
"Memangnya kalian mau ke mana?"
"Mencari pamanku di Argantha, tapi kami tidak menemukannya. Makanya meneruskan pencarian hingga ke sini!" jelas Freya yang tidak sepenuhnya berbohong.
"Sepertinya kalian telah melewati hari yang panjang. Tinggallah untuk malam ini, di luar sangat berbahaya!"
"Sekali lagi, terima kasih, Nyonya ...."
"Debora Stein. Panggil saja Debora! Kalian tidak perlu berterima kasih!"
Senyuman Freya semakin merekah. Mereka beruntung, sebab jika tidak ada Debora, mungkin tidak tahu harus menginap di mana malam ini. Terlebih badai semakin menggila di luar sana. Pengetahuan tentang Desa Mercia yang sangat minim juga akan mempersulit segalanya.
****
"Hei, lepaskan aku!" pinta penyihir yang berhasil tertangkap. Samael mengikatnya dengan tali yang dilapisi sihir, lalu menyeretnya menuju kastel.
"Diamlah!" tukas Arion.
"Kalian tidak punya bukti kalau aku penyihir."
Arion berhenti, langsung berbalik. Ia mencengkeram rahang pria itu, lalu bergumam gusar, "Kubilang tutup mulutmu!" Energi sihir mengalir dari tangan Arion seperti akar hitam, menjalar ke wajah penyihir itu, membuat bibirnya mengatup—terjahit. "Begini lebih baik."
Mereka melanjutkan perjalanan. Melewati jalanan yang ramai seperti biasa. Beberapa orang sibuk membersihkan jalanan dan halaman depan rumah dari tumpukan salju, sebagian lagi berkumpul entah membicarakan apa.
"Apakah dia penyihir?" celetuk seorang anak laki-laki. Ia berlari menuju Arion dan Samael. "Kalian menangkap penyihir?"
"Ya, dia penyihir jahat!" seru Samael, mendramatisir. "Mereka suka menculik anak-anak lalu memakannya!"
"Sungguh?"
"Lihat! Penyihir." Anak-anak lain ikut mendekat, mengerubungi.
Arion mendelik gusar pada Samael yang tersenyum puas ketika melihatnya jengkel. "Menjauhlah, atau dia akan memakan kalian!" usirnya. "Kami harus segera membawanya ke hadapan raja."
"Hei, bubar! Bubar!" Seorang pria bertubuh tegap ikut membantu menghalau kerumunan. Ia mendekat dan memberi hormat.
"Saya sudah mendengarnya dari prajurit kalau ada pemburu penyihir handal yang baru saja diangkat. Apakah itu Anda, Tuanku?" sapanya pada Arion.
"Benar. Kamilah orangnya!" jawab Samael seraya memasang senyuman lebar. Ia menarik kasar penyihir yang terikat di belakangnya. "Dan ini buruan pertama kami sejak resmi menjadi bagian dari Anglo-Saxon."
Pria itu berdecak kagum. "Silakan lanjutkan perjalanan Anda, Tuan. Maaf telah mengganggu pekerjaan kalian."
"Tidak masalah!" Arion merapatkan mantel cokelatnya dan berjalan lebih dulu, diikuti Samael yang sibuk melambai pada anak-anak.
"Oh, liatlah orang-orang bodoh itu!" gumamnya setelah berjalan lebih jauh. Senyuman ramah telah berubah menjadi seringai.
"Jangan melakukan sesuatu yang tidak penting!" tukas Arion.
Kedatangan Arion bersama satu tangkapan menarik perhatian. Kurang dari setengah hari, dia telah menyelesaikan pekerjaannya. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh pemburu lain di Anglo-Saxon.
Henry menggerutu di samping Raja James. "Apa buktinya kalau dia penyihir?"
Arion mendorong hasil tangkapannya ke tengah lapangan yang ditonton petinggi kerajaan. "Perhatikan ini!" ujarnya. Ia mengambil tombak seorang pengawal, lalu menusukkannya ke perut penyihir yang terlentang—bukan di bagian vital, tapi cukup untuk membuat seseorang sekarat jika tidak diobati.
Penyihir itu menggelinjang kesakitan, ingin berteriak tapi mulutnya terikat kain—menyamarkan sihir pengunci mulut yang digunakan Arion sebelumnya.
Merasa sudah cukup, Arion menarik kembali tombaknya, berdiri menatap ke arah raja, lalu melanjutkan ucapannya, "Tentu Anda sudah pernah mendengar kalau penyihir tidak akan mati jika tidak dibakar hingga menjadi abu. Inilah alasan di balik semua itu!"
Arion menunduk, melihat luka yang tadi dibuatnya. Semua orang yang hadir melakukan hal yang sama. Terbeliak melihat luka di perut itu perlahan menutup. Tidak cepat dan sempurna, tapi darahnya benar-benar berhenti.
Raja James bertepuk tangan. "Tidak salah aku mengangkatmu menjadi pemimpin pemburu penyihirku. Lihatlah semuanya. Dengan begini, tidak ada lagi yang boleh mempertanyakan keputusanku!"
Samael mati-matian menahan tawa. Lagi-lagi pertunjukan yang sangat menghibur. Arion memang tidak berbohong tentang luka yang dapat tertutup sendiri, tapi hanya berlaku pada anak-anak. Sementara luka penyihir yang terkapar di depan sana dapat tertutup berkat ramuan obat yang Arion teteskan seraya mencabut tombaknya.
****
Tampaknya musim dingin tahun ini menjadi lebih hangat dibanding tahun sebelumnya. Bukan karena suhu meningkat, tapi rumor yang beredar di masyarakat. Tragedi wabah di Argantha yang awalnya hanya diketahui oleh petinggi istana, kini telah menyebar ke seantero Anglo-Saxon.
Hal yang paling terdengar tentang kejadian itu adalah bahwa kerajaan hanya mengisolasi warga Desa Argantha dan tidak melakukan apa pun. Sementara Darmus langsung turun tangan untuk menyembuhkan korban kutukan tersebut.
Akibatnya, rumor baru beredar, tentang ketidak-pedulian raja pada rakyatnya. Ini menjadi ancaman yang tidak dapat diabaikan, makanya raja menyuruh Arion dan Samael untuk menyelidikinya ke Argantha. Tentu dengan dalih sebagai perwakilan raja guna membantu walau sudah terlambat.
Meski rasanya begitu enggan, Arion tidak membantah dan menurutinya. Toh, juga akan menambah kepercayaan raja padanya. Akan tetapi, semua tidak selalu sesuai rencana.
Baru saja sampai di Argantha, kedatangannya langsung disambut sinis oleh warga desa. Bahkan beberapa dari mereka tahu kalau Arion adalah pemuda yang tinggal bersama Atashius dulu. Jika bukan karena mengatas-namakan kerajaan, mungkin dia sudah diusir sejak awal.
"Pergilah! Tuan Darmus telah menyelesaikan semuanya," usir Kepala Desa. Pria 50 tahun berjanggut tipis yang mulai memutih.
Arion menarik napas dalam, lalu tersenyum seraya berkata, "Saya datang atas perintah raja untuk memburu penyihir di sini agar kejadian yang sama tidak terulang."
"Sudah tidak ada penyihir di sini!" tukas pria berbadan kurus yang sedari tadi berdiri di samping Kepala Desa.
"Bagaimana orang sepertimu bisa menjadi utusan kerajaan. Dulu kau 'kan menumpang di rumah Atashius."
"Saya ... hanya beruntung."
"Jangan-jangan kau penyihir suruhan raja."
Arion berbalik, berhadapan pada seorang pemuda yang entah siapa. Perawakannya seperti orang berada, tubuh terawat, pakaian rapi, rambut klimis dan kepala terangkat seolah meremehkan lawan bicara. Senyuman Arion lenyap, berganti seringai tipis. "Suruhan? Maksudmu non-penyihir bekerja sama dengan penyihir?"
"Itu bisa saja, kan!" sengitnya.
"Bisa-bisanya kau berpikir seperti itu." Arion mendekat, tubuhnya yang sedikit lebih tinggi menjadi lebih mengintimidasi. "Jadi kau berpikir kalau raja bersekutu dengan penyihir?"
"Bi-bisa saja, atau kau penyihir yang menyusup."
"Bukankah Tuan Darmus yang kalian katakan itu lebih mencurigakan?" ujar Samael. Mengobati orang yang terkena kutukan bukan hal yang mudah, bukan?"
"Kau mau menuduh Tuan Darmus?"
"Bisa saja, kan?" timpal Arion. "Sepertinya raja harus memikirkan tentang hal ini juga!"
"Hentikan!" Kepala Desa menengahi. "Sebaiknya selesaikan urusan kalian secepatnya, lalu pergi dari sini!"
"Tentu. Kami juga terlalu sibuk berburu hingga tidak punya waktu berlama-lama di sini." Arion membuat jarak, kembali tersenyum. Ia berbalik meninggalkan ruang Kepala Desa, diikuti Samael. Senyumannya langsung lenyap.
"Cari semua penyihir yang bersembunyi di sini, lalu kita kembali!" perintah Arion. "Jangan lupa, lenyapkan dia!"
"Sudah kuduga!" Samael terkekeh. "Kupikir kau jadi lebih penyabar sampai memberikan senyuman seramah itu, rupanya sama saja."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top