Bab 14.1 Api Musim Dingin
Mereka baru saja memasuki Desa Argantha ketika matahari sepenggalan naik. Salju tidak lagi turun tapi suhu semakin dingin. Jalanan memutih penuh tumpukan es, tapi seharusnya ini tidak akan membuat sebuah pemukiman menjadi sangat sunyi.
"Ke mana orang-orang?" tanya Freya.
Arlan dan Grey berdiri mengapit, melihat ke kejauhan berharap menemukan satu atau dua orang penduduk. Namun, anehnya desa itu seperti desa mati. Rasa penasaran pun memandu mereka untuk masuk lebih dalam hingga ke tengah desa dan langkah mereka terhenti.
Memang ada orang di sana, tapi bergelimpangan di jalanan, beberapa telah tertimbun salju dan yang lain meringkuk di teras rumah dengan keadaan tubuh penuh bisul bernanah yang baunya menyengat seperti bangkai.
"Apa yang terjadi?" Freya menutup hidung menggunakan punggung tangan. Ia membuka tudung jubah hijau lumut yang sedari tadi menutupi kepalanya.
"Mereka terkena wabah," gumam Grey. Pemuda androgini itu mendekati seorang laki-laki separuh baya yang merangkak di depan teras rumah, badannya sangat kurus. "Apa yang telah terjadi?" tanya Grey.
"K-kutukan," ucap laki-laki itu bersusah payah sebab bibir penuh bisul dan nanah.
"Kutukan?"
"P-penyihir i-itu. Dia me-mengutuk desa ini!"
Grey menelan ludah. Ia menyentuh tangan lelaki itu dan mendudukkannya; mencoba memeriksanya menggunakan sihir. Keningnya sedikit mengerut saat tidak merasakan sihir apa pun di tubuhnya. Jelas sekali kalau semua bukan karena sihir kutukan, tapi ... racun.
"Semua orang mengalami kondisi yang sama!" lapor Arlan setelah selesai berkeliling.
"Mereka pikir, semua karena kutukan penyihir," ucap Grey pelan, nyaris berbisik. "Tapi aku yakin ini racun, bukan kutukan!"
"Kita harus mencari paman. Dia pasti tahu sesuatu!" usul Freya. Namun, sebelum mereka beranjak pergi, terdengar derap langkah beberapa orang dari kejauhan. Mereka bergegas mencari tempat persembunyian.
Dari balik sebuah rumah, keluar seorang pria berbadan tegap, utusan Anglo-Saxon yang mengawasi Argantha, serta dua orang berjubah hitam dan dua orang berbaju zirah layaknya prajurit perang, mengikuti di belakang. Mereka berdiri di podium kecil di alun-alun.
Pria berpakaian kemeja coklat dengan janggut tipis itu bersuara lantang, "Saya, Burton, utusan Tuan Darmus. Kami membawakan obat untuk kalian!"
Semua orang langsung bersemangat, merasa dapat harapan untuk terus hidup. Mereka bersusah payah menyeret tubuh yang lelah untuk mendekat ke tengah lapangan.
"Ini adalah obat yang dikirimkan langsung oleh Tuan Darmus pangeran kedua Anglo-Saxon. Beliau akan mengerahkan segalanya untuk menyelamatkan Argantha," lanjutnya. Ia melirik seorang prajurit seakan memerintahkan sesuatu. Prajurit itu menghampiri seorang wanita muda yang tergeletak tidak jauh dari podium, lalu dituntunnya ke hadapan pria itu.
Burton berlutut, mengeluarkan sebuah botol kecil dari saku dan meminumkannya pada wanita tersebut. Selang beberapa menit, tubuh yang semula penuh bisul bernanah perlahan sembuh, bahkan tanpa bekas. Semua orang bergegas merangkak semakin dekat. Mereka juga menginginkan obat itu.
"Saya akan memberikannya pada kalian semua, tapi saya harap kalian tidak melupakan jasa Tuan Darmus," Burton berucap dengan raut mengiba. "Beliau satu-satunya bangsawan yang sangat peduli pada Argantha. Sementara raja bahkan tidak melakukan apa pun untuk membantu kalian."
"T-tentu, Tuanku! Ka-kami berutang budi pada Tuan Darmus!" seru seorang warga dan disambut anggukan penuh haru oleh yang lain.
Freya, Arlan, dan Grey yang sedari tadi mengintip dari kejauhan, saling bertatapan. Lalu gadis berambut sewarna hazelnut itu berbisik, "walau samar, tapi aku yakin kalau dua orang berjubah itu adalah penyihir."
"Mungkinkah dia utusan Ranfel?" tanya Arlan.
"Bisa saja. Tapi ... ini aneh. Apa tujuan mereka sebenarnya? Kenapa bersekutu bahkan menolong non-penyihir?" gumam Freya lirih. "Kita harus bertemu Paman Atashius!"
Diam-diam mereka bertiga meninggalkan tempat itu, menuju kediaman Atashius di pinggiran desa. Di ujung jalan setapak yang kiri-kanannya hutan, terdapat rumah kayu sederhana. Kondisinya sama seperti yang lain, sepi.
Freya mengetuk pintu beberapa kali tapi tidak ada sahutan. Ia mendorongnya sedikit dan ternyata tidak terkunci. Mereka masuk. Keadaan di dalam sudah berantakan, semua barang berhamburan dan pecah, seperti bekas digeledah. Mereka berkeliling, memeriksa setiap sudut ruangan tapi tidak menemukan siapa pun.
"Sepertinya belum lama ditinggalkan," ucap Grey dengan sebuah roti di tangannya. Roti itu belum sepenuhnya berjamur, berarti belum terlalu lama ditinggalkan.
"Apa yang telah terjadi di desa ini?" Freya menatap ke balik jendela—memandang jauh ke jalan setapak yang tadi mereka lewati.
"Sebaiknya kita ke Ibu Kota!" usul Grey.
Freya menggeleng. "Tidak. Kita harus mengikuti dua penyihir tadi. Mereka pasti merencanakan sesuatu yang buruk."
****
Tugas pertama yang harus Arion lakukan setelah mendapat jabatan instan di kerajaan Anglo-Saxon adalah memberitahukan cara untuk mendeteksi seorang penyihir—dan sekali lagi dia akan membual.
Selama ini yang bisa membedakan penyihir atau bukan, hanya Freya dan Samael. Freya dapat melihat aura dari energi sihir seseorang berkat Kristal Dayna. Sementara Samael, Arion pernah bertanya pada iblis itu tentang cara membedakannya, tetapi dia hanya menjawab, "Dari aromanya. Penyihir memiliki aroma yang sedikit menyengat, seperti bau darah bercampur rempah-rempah."
Jika memang dari aroma, maka Arion bersumpah kalau ia tidak akan bisa membedakannya, sebab selama hidup di Destrion, tidak ada satu pun yang baunya seperti itu, bahkan ia berani bersumpah kalau Freya memiliki aroma mawar. Oh, kecuali Athasius, dia memang agak bau—amis seperti telur busuk.
"Perhatikan gerak-gerik tangan dan bibirnya. Penyihir sering merapal mantra hanya dengan gerakan bibir dan jemari untuk fokus mengumpulkan energi mereka pada satu titik!" kata Arion di depan pasukan khusus pemburu penyihir yang disiapkan oleh raja.
Dia memang tidak berbohong tapi juga tidak sepenuhnya benar, buktinya sebagian penyihir yang sudah mahir tidak perlu menggumamkan mantra, termasuk Arion. "Atau bisa juga dari aromanya, tapi ini akan sulit untuk orang yang jarang berhubungan langsung dengan mereka."
"Aroma?" kali ini, raja yang sedari tadi menyaksikan dari tempat duduknya di tepi lapangan, ikut penasaran. "Aroma seperti apa?"
"Amis darah bercampur rempah-rempah," ujarnya cepat. Samael mati-matian menahan tawa.
"Menarik." Raja makin terpesona pada pengetahuan Arion yang menurutnya sangat spesifik. Tanpa ia sadari, semua itu hanya kebohongan semata.
"Kak, kau serius membiarkannya tinggal di sini dan langsung menjadi pemimpin pasukan khusus?" protes pria berambut pirang emas yang membeli budak kemarin. Ia mendekat, menghentak, wajahnya masam menahan kekesalan.
"Jaga sopan santunmu, Henry!" tegur raja.
"Dia orang asing yang latar belakangnya tidak jelas!" tuding Henry tanpa niat menanggapi teguran sang kakak.
"Dia punya pengalaman dan telah membuktikan keahliannya."
"Hanya itu? Kakak langsung percaya hanya karena itu?" Henry mendelik Arion, lalu mendengkus. "Bisa saja yang kemarin hanya kebetulan. Apanya yang aroma darah bercambur rempah. Kau pikir aku sebodoh itu hingga percaya?"
"Henry!" Raja meninggikan suaranya, menyurutkan keberanian sang adik. "Kau mempertanyakan keputusanku?"
Pemuda 22 tahun itu menenangkan diri. Berdehem sekali, ia berkata, "Bukan meragukan. Aku—kami hanya ingin memastikan, Kak."
"Kami?"
"Banyak yang sependapat denganku."
Raja James diam sejenak, lalu menepuk-nepuk kecil pundak Henry. "Baiklah, akan kuperlihatkan kalau orang pilihanku bukan sembarangan!"
"Caranya?"
"Arion, Samael!" Ia berdiri di hadapan mereka berdua. "Aku ingin kalian menangkap seorang penyihir dan bawa dia ke sini hidup-hidup sebelum matahari terbenam!"
Arion dan Samael membungkuk hormat, menyahut serentak, "Baik, Yang Mulia!"
****
Arion dan Samael baru saja melewati koridor menuju gerbang depan kastel, tapi terhenti karena berpapasan dengan seseorang yang tidak asing dan tak seharusnya berada di sana. Orang itu pun ikut berhenti. Mereka saling berhadapan.
"Apa yang vampir lakukan di tempat ini?" tanya Arion lebih dulu.
"Harusnya aku yang bertanya. Apa yang kau lakukan di sini?" Dia adalah Gluino, vampir bangsawan yang pernah Arion temui saat pesta 'pertemuan para penguasa'.
"Oh, kudengar Putri Freya sudah tidak ada. Apakah ini alasannya kau mencari majikan baru?" tanya Gluino lagi, kali ini dengan nada mengejek.
"Kau sendiri, apakah ke sini untuk mencari makanan?" Arion tak mau kalah, memandang rendah pada pria pirang di depannya.
Gluino tersenyum. "Lupakan tentang semua alasan itu!" Ia mengibaskan tangan dan bersikap lebih santai. "Kudengar, ada pemburu handal yang baru saja direkrut oleh raja, apakah itu kau?"
"Bukan urusanmu."
"Ini memang bukan urusanku, tapi aku cukup takjub. Mencoba mengkhianati kaum sendiri, eh?"
Arion tersenyum timpang. "Kaumku? Siapa yang kau maksud?" Lantas ia beranjak pergi, meninggalkan sang vampir yang hanya mengedikkan bahu.
Sebagai seorang vampir, Gluino tidak terlalu tertarik dengan urusan penyihir. Ada atau tidak adanya mereka, tak akan berpengaruh besar pada kaum vampir. Selama ini mereka hanya berhubungan guna mempertahankan perjanjian untuk tidak saling menyerang, tapi jika terjadi perang saudara, mereka akan mengambil tempat paling depan di bangku penonton.
"Yakin membiarkannya begitu saja?" tanya Samael, merasa aneh melihat Arion membiarkan seseorang tahu identitasnya.
"Cari tahu kenapa dia ada di sini!" perintah Arion sambil lalu.
"Tentu."
Udara semakin dingin siang itu. Sisa badai salju semalam masih menumpuk, menutupi jalanan. Akan tetapi mereka terus menyusuri Restel hingga ke tepian desa—tempat yang dicurigai sebagai persembunyian penyihir.
Setelah berjalan cukup jauh, Arion menyadari sesuatu. Semakin menuju ke pinggiran, makin terlihat jelas perbedaan kehidupannya. Jika di tengah kota, semua orang tampak bahagia dengan segala kebutuhan yang tercukupi, maka beda halnya dengan mereka di pinggiran; rumah sederhana yang tidak layak, lingkungan kotor, dan orang-orang bagai pengemis bergelimpangan di sepanjang jalanan sempit hanya berbekal selimut untuk menahan dingin.
"Kalau tidak punya apa-apa, jangan berharap bisa tinggal di sini!" bentakan seseorang mengalihkan perhatian Arion.
Tidak jauh dari tempat ia berdiri, seorang lelaki tua dan anak kecil meringkuk di bawah kaki prajurit yang tengah menatap bengis ke arah mereka. Di samping prajurit itu ada pria paruh baya berpakaian rapi tengah berdiri angkuh.
"Syarat untuk bisa hidup di Restel adalah membayar pajak tepat waktu. Jika tidak bisa melakukannya, maka enyah dari sini!" hardik pria itu.
Pria tua di bawah sana bersujud di kakinya, mengabaikan tanah dingin berlapis es. Ia memohon agar tidak diusir dari gubuknya. Sementara anak kecil di sampingnya menangis dengan suara parau.
"Ck, meminta pajak seenaknya dengan jumlah banyak pada rakyat miskin, sementara para pemilik tanah diperbolehkan menunggak berbulan-bulan, bahkan tidak membayar!" seorang pemuda yang duduk tidak jauh dari tempat Arion berdiri, mendengkus gusar. "Dasar lintah."
"Tidak membayar?" celetuk Arion. Pemuda itu terperanjat, bergegas memalingkan wajah. Sementara Arion mendekat, berdiri di hadapannya. "Apa yang telah terjadi?" lanjutnya.
"T-tidak ada apa-apa, Tuan." Pemuda itu takut, berpikir kalau Arion salah satu tuan tanah sebab pakaiannya bersih serta berwajah rupawan.
"Aku menemukan satu tikus," bisik Samael, tiba-tiba.
"Di mana?" Arion menoleh. Ia mengikuti Samael dan kembali fokus pada buruan mereka.
Samael menunjuk seorang pria paruh baya yang sedang berjalan, masuk ke sebuah gang kecil. Mereka mengikutinya tapi ternyata pria itu menyadari kehadiran mereka dan bergegas berlari walau percuma karena Samael lebih cepat.
Tiba-tiba iblis itu sudah berdiri di hadapannya; menjatuhkannya ke tanah berlapis salju, lalu memelintir tangan kanannya ke belakang, sementara tubuh pria itu ditahan dengan lutut.
Arion mendekat, berjongkok di hadapannya. Ia meremas kuat rambut pria itu agar mendongak. "Apa yang penyihir lakukan di tempat ini?" tanya Arion.
"Penyihir? Jangan asal tuduh!" pria itu mengelak, memasang wajah berang.
Sudut bibir Arion terangkat, ia berkata meremehkan, "Jangan berlagak. Aku tahu kau penyihir!"
"Apa buktinya?"
Arion diam sejenak. Ia butuh bukti yang nyata agar raja dan rakyat yang ada di Restel percaya. Mengandalkan penciuman Samael bukan sesuatu yang bisa dijadikan bukti. Mata emasnya beralih pada Samael, seolah meminta pendapat.
"Lakukan saja seperti yang kau lakukan kemarin!" usul Samael.
"Ternyata cukup merepotkan," kata Arion. Ia melepaskan cengkraman pada rambut pria itu, lalu berdiri seraya menatap dingin. "Bawa dia!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top