Bab 13.1 Kembali
Malam kembali datang kala netra emas di kejauhan memandang lekat pada sekumpulan orang, masing-masingnya membawa obor mendekati rumah Atashius. Setelah sekian lama akhirnya mereka berani menyerang langsung lelaki tua itu. Kendati demikian, Atashius sudah pergi dari sana sejak pagi buta.
Selagi warga desa sibuk mengepung rumah kosong itu, Arion melihat sekelebat bayangan melewati hutan, melesat cepat memasuki desa. Ia dan Samael bergegas mengikuti hingga berhenti di dekat sumur besar—sumber mata air utama di Argantha. Mereka bersembunyi di balik gang kecil gelap di antara dua rumah kayu, mengintip pada dua orang berjubah hitam yang berdiri di tepi sumur.
Seseorang datang dari kegelapan, Arion tidak asing dengannya. Dia yang membunuh Arbela kemarin. Mereka berbincang sebentar, tapi tidak terdengar jelas. Tidak lama, seorang pria berjubah memasukkan cairan dari botol kecil ke dalam sumur.
"Mereka berdua penyihir," bisik Samael.
Usai memasukkan cairan itu, mereka menghilang dalam kegelapan. Arion dan Samael keluar dari persembunyian ketika tidak ada siapa pun lagi di sana. Samael mencelupkan jari ke air lalu mengecapnya. Bintik-bintik merah muncul pada tubuhnya, semakin bisa hingga sebiji jagung, lalu bernanah—seperti bisul yang tumbuh membabi buta.
"Mereka meracuni air!" desis Arion. "Penyihir dan non-penyihir bekerja sama. Lucu sekali!"
"Mungkin mereka punya tujuan lain?" Samael menjentikkan jarinya, semua bisul di tubuhnya lenyap seketika. "Melihat dari racunnya, mereka bukan penyihir biasa. Efeknya bekerja dengan sangat cepat."
Arion diam sesaat sebelum akhirnya bersuara. "Ini saatnya untuk kembali ke tempat itu!" ujar Arion. Mata emasnya memandang lurus pada air sumur yang hampir melimpah, sangat jernih—tidak memperlihatkan racun mematikan di dalamnya.
"Tempat itu?"
"Restel."
Samael tersenyum. "Setelah sekian lama." Ia kembali menyentuh air di dalam sumur. "Lalu bagaimana dengan air ini? Kalau warga desa meminumnya, akan terjadi wabah mematikan."
"Biarkan saja. Mereka memang pantas mendapat balasan atas kematian Arbela!" sergah Arion. Samael tersenyum senang di sampingnya, tentu dengan tangan yang kembali dipenuhi bisul menjijikkan.
****
Salju pertama di musim dingin akhirnya turun, bertepatan dengan kedatangan Arion di Restel. Setelah hampir enam tahun, siapa sangka kalau dia akan kembali ke sana. Tempat yang menjadi tanah kelahirannya tapi tidak memuat satu pun kenangan apalagi kerinduan. Hanya satu tempat yang menyergap ingatannya, Panti Asuhan Durchan.
Jubah dirapatkan untuk menutupi dinginnya siang itu. Berdiri di depan bangunan yang hanya tersisa puing-puing bekas kebakaran, tidak memperlihatkan sedikit pun penyesalan pada wajah Arion. Letak panti itu jauh dari pemukiman sehingga, orang-orang tidak berniat untuk merenovasi dan membangunnya kembali. Sebuah kenyataan yang membuat Arion bernapas lega. Entah apa yang akan ia lakukan jika panti itu masih berfungsi.
"Kau merindukan tempat itu?" goda Samael.
Arion hanya diam, berbalik pergi. Tidak ada gunanya menatap gedung terbengkalai dengan berjuta kenangan buruk di dalamnya. Ia melanjutkan perjalanan menuju kastel terbesar yang ada di Kota Restel—pusat pemerintahan Anglo-Saxon.
Dulu, Saxon hanyalah nama dari sebuah keluarga bangsawan di Restel, tapi kini mereka benar-benar mendapatkan kekuasaan penuh dan bangkit menjadi kerajaan sendiri. Terlihat jelas dari betapa megahnya kastel itu, berapa banyaknya pengawal yang berjaga di sekeliling.
Tidak ubahnya dengan Argantha, bahkan jauh lebih parah. Selebaran mengenai penangkapan penyihir tertempel di semua sudut, dibagikan oleh anak-anak kepada orang yang berlalu lalang, beberapa menjadi sampah yang berserakan di jalanan. Kabar tentang pengadilan yang dilakukan kepada Arbela juga telah terdengar hingga ke Restel—mengobarkan semangat perburuan penyihir.
"Minggir! Minggir!" Sebuah suara mengalihkan perhatian semua orang. Serombongan laki-laki datang dengan jejeran manusia terikat leher dan tangannya, mengikuti di belakang. Kaki tanpa alasan menginjak jalanan yang ditutupi salju, meski tipis tapi mampu memberi sensasi dingin yang mengernyitkan kening jika bersentuhan langsung dengan kulit.
Arion menepi, memberi jalan. Jelas ia tahu apa yang terjadi, mereka adalah penjual budak. Dulu Destrion juga memiliki orang-orang seperti itu, menculik non-penyihir lalu menjualnya sebagai budak. Pemandangan yang amat memuakkan. Melihat mereka saling merendahkan.
"Andai Freya tahu kalau non-penyihir juga menjatuhkan sesamanya, apakah ia masih tetap menyukai dunia ini?" gumamnya lirih.
Para budak yang terdiri lebih dari sepuluh orang itu dibawa mendekati gerbang kastel. Sang pemilik berbincang dengan seorang penjaga. Tidak lama berselang, seorang laki-laki berpakaian tebal keluar bersama dua pelayan wanita di belakangnya.
Arion dan Samael ikut menyaksikan dari kejauhan. Laki-laki berambut pirang emas itu mengamati setiap budak satu persatu, sedangkan tangan menutupi hidung—menahan aroma busuk di sekitarnya. Jarinya menunjuk tiga perempuan muda—mungkin seumuran Arbela dan satu laki-laki bertubuh kurus tapi berotot.
Dia memberikan sekantong koin, disambut senyum lebar dari sang penjual. Kemudian kembali ke dalam bersama penjaga yang menyeret empat budak yang telah dibeli. Sementara yang tersisa dibawa pergi dengan kasar meninggalkan kastel.
"Lagi-lagi mengumpulkan gadis muda." Seorang wanita paruh baya di belakang Arion berkata pelan—hampir berbisik. "Kudengar, gadis muda yang sudah masuk ke dalam sana, tidak akan pernah terlihat lagi!"
"Kau benar. Entah apa gunanya para budak itu. Jadi pelayan tidak, tukang kebun apalagi."
"Siapa laki-laki yang membeli budak itu?" sela Arion di tengah obrolan beberapa wanita belakangnya.
"Kau tidak tahu dia?" sahut wanita paruh baya dengan rambut pirang bersanggul. "Apakah kau pendatang?"
"Begitulah, jadi siapa dia?" ketus Arion—tidak sabaran. Ia paling benci orang yang bertele-tele ketika menjawab pertanyaan, apalagi suasana hatinya sedang buruk.
"Maafkan adik saya," susul Samael dengan senyuman super ramah. "Dia memang sedikit bermasalah dengan temperamennya."
"Ah, tidak masalah!" wanita itu tersipu malu, terpesona dengan wajah rupawan Samael. "Laki-laki yang kalian lihat tadi adalah pangeran ketiga."
"Saya dengar, dia sering membeli wanita muda, apakah itu benar?" Samael melanjutkan.
"Itu benar!" sambar wanita lain di sampingnya. "Sekali dalam sebulan."
"Kalau boleh saya tahu, dari mana budak itu berasal?"
"Kami tidak tahu pasti kalau soal itu. Biasanya dari pinggiran kota atau gelandangan yang memang menyerahkan diri untuk dijadikan budak."
"Menyerahkan diri?" celetuk Arion, "mereka yang mengajukan diri sebagai budak?"
"Tentu saja! Biasanya itu terjadi pada orang-orang yang sudah tidak punya apa-apa. Menjadi budak adalah pilihan satu-satunya, daripada mati kelaparan, kan?"
"Benar." Wanita kurus yang sedari tadi hanya diam ikut menimpali, "apalagi musim dingin sudah datang. Semakin sulit untuk bertahan hidup."
"Kau benar, panen kemarin juga gagal!"
Arion berbalik pergi ketika obrolan para wanita mulai bercabang ke mana-mana. Samael berpamitan, menyusul di belakang. "Sepertinya semua akan menjadi mudah jika kita bisa masuk ke dalam sana," ucap Arion ketika sekali lagi mereka melewati gerbang kastel.
"Aku bisa membawamu menyusup ke dalam!" sahut Samael.
"Itu cara yang tidak berguna. Kita bukan menyusup, tapi harus menjadi bagian dari mereka." Arion berpikir sejenak, lalu berkata, "Aku ingin kau mencari satu penyihir yang berkeliaran di kota ini!"
"Aku menemukannya."
"Di mana?" Arion mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu menoleh pada Samael yang sedari tadi menatapnya seolah mengejek. "Berhenti bercanda, iblis sialan!"
Samael terkekeh. "Aku tidak berbohong. Memang ada satu di hadapanku."
Setelah puas dengan lelucon yang selalu aneh, Samael berhenti tertawa. Tatapan kesal Arion sudah cukup untuk memuaskannya. "Baiklah, jangan suka marah-marah seperti itu! Sekarang katakan, apa yang akan kau lakukan pada penyihir yang kau cari?"
"Dia akan menjadi tiket masuk ke istana."
****
Freya meremas surat dari William, tatapannya tertuju pada pemandangan di luar jendela. Salju akhirnya turun setelah beberapa hari ini udara semakin dingin. Iris coklat madu kembali memandang surat di tangannya. "Jadi ... Arion sudah—"
Grey dan Arlan menunduk, kedua tangan mengepal erat—jelas aura kesedihan menyelimuti ruangan itu. Dari dalam surat yang dikirim William, dinyatakan bahwa Arion telah mati terbunuh ketika kembali ke Destrion beberapa hari setelah perang.
"Saya turut berduka, Tuan Putri," ujar Dolhaf.
"Bagaimana dengan Elliot?" tanya Grey penuh harap.
Dolhaf menggeleng pelan. "Maaf, dia belum ditemukan."
Freya menggenggam tangan Grey. "Dia pasti baik-baik saja. Kita juga akan mencarinya!"
"Kemungkinan besar dia berhasil kabur saat terjadi kudeta," tambah Dolhaf.
Grey memejamkan mata, menenangkan diri. Rasa khawatir menggelayuti hatinya, tapi dia juga tidak bisa bertindak sembarangan. Sebab Freya juga butuh bantuannya.
"Freya benar. Kita akan mencari mereka bersama!" tegas Arlan.
"Lalu tentang Ranfel. Kau yakin kalau mereka mengirim penyihir gelap ke daerah non-penyihir?" tanya Freya, ia menarik napas panjang—mencoba menetralkan nada suara yang bergetar menahan kesedihan.
"Saya yakin, Tuan Putri. Pangeran William sudah mengirim mata-mata untuk mengawasi mereka. Walau kami belum tahu pasti apa tujuannya, tapi mengingat mereka ingin menguasai segalanya, ini akan berbahaya!" papar Dolhaf.
"Baiklah. Kami akan membantu!" putus Freya. Ia menggenggam kalung berbandul kristal merah delima yang tergantung indah di lehernya. Dolhaf bilang itu adalah peninggalan sang ibu. "Tapi aku tidak mau menyusup ke istana. Aku mau menghadapi mereka secara langsung!"
"Maksud Anda?"
"Aku akan memasuki daerah non-penyihir dan menyelidiki rencana mereka."
"Ta-tapi itu berbahaya!"
"Tinggal di istana dengan identitas baru yang kau usulkan, jauh lebih berbahaya. Aku masih belum yakin mana yang benar-benar kawan ataupun lawan. Mengingat semua pengkhianatan yang aku terima." pungkas Freya. "Akan kubantu dengan caraku sendiri."
Dolhaf hanya bisa menarik napas dalam. "Baiklah, tapi ... saya mohon, berhati-hatilah!"
"Kalau begitu, saya akan mempersiapkan keberangkatan Anda," lanjutnya. Ia bergegas pergi meninggalkan ruangan. Setelah pintu kembali ditutup dan menyisakan mereka bertiga, Freya merosot, terduduk memeluk lutut. Arlan dan Grey ikut berlutut di sampingnya.
"Semua salahku!" Freya membenamkan wajah pada kedua lututnya.
"Tidak. Ini bukan salahmu, Frey. Saat itu kau berada di bawah pengaruh Lucya." Grey menenangkan.
"Jika ada yang salah, itu adalah salahku. Andai aku tidak terlambat mencegahnya menyerang Austin!" susul Arlan.
"Jujur saja, aku masih belum percaya kalau Arion sudah meninggal," ucap Grey. "Kita sama-sama tahu bagaimana kekuatan Arion, ia memiliki energi sihir yang kuat. Usia dua belas tahun saja dia bisa mengalahkan puluhan 'para pendosa' dalam waktu sangat cepat."
Freya mengangkat wajah, mengusap air matanya dengan kasar. "Menurutmu juga begitu?"
Grey mengangguk. "Selama Artikius tidak ikut campur, aku yakin dia tidak akan mati semudah itu."
"Walau enggan mengakuinya, tapi kupikir Grey benar. Dia paling tahu cara bertahan hidup," tambah Arlan.
"Kalau begitu, kita harus tetap mencarinya. Aku harus menemui Paman Atashius, bisa saja Arion masih bersamanya!" usul Freya. Ia menahan tangis, memantapkan hati. Tidak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi.
"Frey, sebelum kita pergi, ada yang ingin kutanyakan," Grey kembali berucap. "Bagaimana dengan Destrion? Apakah ini artinya kau menyerahkan semuanya pada William?"
"Aku tidak dapat menjawabnya sekarang."
"Baiklah. Untuk sekarang kita temukan Arion, lalu gagalkan rencana Ranfel dan Ardious!"
Ketukan terdengar, menghentikan diskusi. Mereka segera berdiri, menyambut Reighnel—raja para peri—memasuki ruangan itu. Parasnya yang anggun membuat mereka terdiam, hanya menatap takjub. "Kudengar kalian akan pergi?"
"Ya, ada yang harus kami lakukan!" jawab Freya. "Tapi sebelum itu, ada yang ingin saya tanyakan pada Anda."
"Apa itu?"
"Tolong beritahu saya semua tentang Kristal Dayna, juga cara menggunakannya!"
Reighnel mendekat, tangan berjemari lentik menyentuh pipi Freya. Pria yang jauh lebih tinggi itu tersenyum lembut. "Kau diberkahi sesuatu yang berharga tapi tidak pernah tahu cara menggunakannya. Sungguh malang."
Dia berjalan menuju jendela, membelakangi mereka bertiga. Udara dingin dari luar masuk menerpa wajahnya. "Kristal Dayna bukanlah benda yang memberimu kekuatan. Dia hanya dapat digunakan untuk membuat segel," lanjutnya. "Kau dan reinkarnasi Putri Luna memiliki takdir yang serupa. Kalian diberkahi kekuatan dari orang yang sama. Sama tapi berbeda."
"Maksudnya?"
"Reinkarnasi Putri Luna lahir membawa kutukan, sedangkan kau—'sang pewaris'—lahir sebagai penawarnya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top