Bab 12.1 Tragedi Argantha
Seperti halnya malam lain setelah kehilangan Freya, Arion selalu terbangun karena mimpi buruk. Ia akan terlonjak dan meremas rambutnya dengan kuat karena rasa sakit tak tertahankan. Ketidak-nyamanan yang begitu mengganggu kala mengingat betapa tidak bergunanya ia ketika Adele dan Freya membutuhkan bantuan.
"Kau mengingkari janjimu!" Suara Adele menggema, membuatnya meringkuk semakin dalam.
"Kenapa kau mengkhianatiku, Arion? Mengacaukan semua yang telah kulakukan untukmu lalu membiarkan kami mati." Freya ikut memenuhi pendengarannya.
"Salahku?" lirih Arion, nadanya bergetar serupa tangan yang berguncang tidak terkontrol. "Kenapa ini jadi salahku?"
Samael menghampiri, berdiri di kaki ranjang dengan seringaian khas yang tidak pernah pudar. "Kau memang bersalah atas kematian mereka!" tudingnya. "Kau berlagak peduli tapi nyatanya semua hanya tentang dirimu sendiri."
Tubuh Arion menegang. Tangan yang semula meremas kepala hingga ingin mencabut rambutnya sendiri langsung berhenti, mematung. "Tidak! Aku melakukan semuanya demi mereka!"
Langkah kaki terdengar, mendekati bagian samping ranjang berseprai putih-lusuh. Ia membungkuk untuk mendekatkan wajah ke kuping Arion, lalu berkata pelan, "Kau membiarkan Adele pergi karena tidak ingin merusak rencanamu untuk kabur. Kau membunuh Austin sebab tidak mau dia melenyapkan Freya dan membuatmu kembali ke jalanan. Semua ... hanya tentang dirimu sendiri!"
"Itu tidak benar!" bentaknya. Arion menegakkan kepala, menatap lekat pada Samael. "Aku—"
"Apanya yang tidak benar?" Samael tersenyum timpang. Mundur selangkah untuk melihat jelas ekspresi pemuda di depannya. Arion begitu kacau, rambut berantakan, lingkar mata hitam, dan memerah karena tidak pernah bisa tidur nyenyak. "Kau hanya menginginkan mereka demi kepuasan pribadi. Untuk melengkapi dirimu yang kosong. Tidak punya siapa-siapa. Haus akan ikatan."
"Diam kau!" Arion melempar sihir kutukan pada iblis itu, tapi dihalau dengan sangat mudah.
Samael menutup mulut, menahan tawa. "Kau menggunakan sihir lemah seperti itu untuk melawanku?" Ia terbahak. "Oh, ayolah. Kenapa kau marah? Apa karena yang kukatakan itu benar?"
"DIAM!"
Samael kembali mendekat, senyumannya lenyap. "Tapi tidak ada yang salah dengan melakukan sesuatu demi diri sendiri. Memang begitulah sifat manusia. Tapi kau tidak bisa memungkiri kenyataan kalau mereka mati karenamu!"
"Tidak! Bukan salahku. Mereka, pengkhianat itu yang salah!"
"Baiklah, baiklah. Mereka yang salah. Lalu apa?"
Arion turun dari ranjang, berdiri di depan jendela yang menghadap ke hutan gelap. "Harusnya, musnah saja semuanya!"
Banyak pertanyaan yang kini bermunculan di dalam pikirannya. Semua yang selama ini terabaikan mulai terasa mengganjal. Terutama tentang keberadaannya, kenapa dia harus menjadi reinkarnasi Putri Luna? Siapa dirinya sebenarnya? Kenapa semua kesialan datang silih berganti seolah dunia begitu mengutuk dan menikmati kehancurannya.
****
"Hai!" sapa gadis yang kemarin tidak sengaja ditolong oleh Arion. Ia mengikuti Arion yang sedang mencari kayu bakar di hutan, tidak jauh dari rumah Atashius. "Jadi, kau benar-benar tinggal di rumah kakek penyihir itu?"
"Kenapa kau terus mengikutiku?" tukas Arion.
"Siapa namamu? Aku Arbela."
Arion enggan untuk menjawab, gadis yang bernama Arbela itu menghela napas, pasrah. "Apakah kau penyihir?"
Pertanyaan itu sukses membuat Arion berhenti, mendelik tajam pada sang gadis. "Menurutmu?"
"Bukan." Arbela terkekeh, "kau terlalu tampan untuk menjadi penyihir. Kakek pemilik rumah itu lebih mencurigakan."
"Bukannya kau yang penyihir?" sindir Arion.
"Bukan! Sungguh, aku bukan penyihir!" Arbela gelagapan, tatapannya berubah sendu. "Aku bukan penyihir. Semua hanya tuduhan."
"Tuduhan?"
Arbela menceritakan semua tetang dirinya. Tentang Ia yang merupakan yatim piatu. Ketika berusia 15 tahun, kedua orangtuanya meninggal karena dibunuh perampok saat di perjalanan ke Argantha dari desa Scott. Lalu ia dirawat oleh pemilik sebuah rumah makan dan membantu sebagai salah satu pelayan di sana. Seminggu setelah tinggal, suami-istri pemilik warung itu langsung sakit dan harus menutup toko selama seminggu lebih.
Namun, bukannya sembuh, penyakit mereka malah semakin parah. Mereka sering muntah dan mengalami pembengkakan pada bagian tubuh tertentu. Orang-orang menganggap bahwa penyakit itu disebabkan oleh kutukan penyihir.
Bukan hanya penyakit, kesialan lain juga datang. Rumah makan mereka kebakaran dan semua hangus beserta suami-istri yang terkurung saat kebakaran terjadi. Arbela yang saat itu sedang berada di luar karena di suruh membersihkan ilalang di kebun sayur, berhasil selamat. Namun, ia malah dituduh sebagai penyihir oleh orang-orang desa.
"Sejak saat itu aku hidup secara sembunyi-sembunyi. Jika mereka menemukanku, aku akan diusir atau dilempari batu agar pergi dari desa." Ia kembali tersenyum, menatap Arion. "Berapa usiamu? Sepertinya kita seumuran."
Dari sekian banyak cerita Arbela, Arion masih enggan untuk menanggapinya. Gadis itu hanya dapat pasrah. "Aku enam belas tahun, jika kau ingin tahu."
"Wah, masih sangat muda rupanya." Samael mengagetkan Arbela hingga menjatuhkan ranting-ranting di tangannya. Ia berbalik, mendapati lelaki tinggi berambut pirang-pucat tengah tersenyum ramah ke arahnya. "Perkenalkan, saya Samael dan dia Arion. Dia memang irit bicara, jadi tolong dimaklumi."
"Aku Arbela. Salam kenal." Gadis itu tersenyum manis. Ia kembali menatap Arion, "akhirnya aku tahu namamu."
"Bawa ini!" Arion melemparkan seikat ranting dan kayu ke arah Samael dan berlalu begitu saja.
"Kasar sekali!" keluh Arbela. "Apa dia selalu bersikap seperti itu?"
Samael masih tersenyum seraya memungut kayu dan ranting yang dilemparkan Arion. "Belakangan ini suasana hatinya sedang buruk."
Ketika jadwal makan siang, Arbela hanya berdiri tidak jauh dari jalan setapak menuju rumah Atashius, lelaki tua itu sadar tapi memilih untuk mengabaikan. Arion yang melihatnya, mulai risih. Gadis itu mengingatkannya pada dirinya yang dulu—hidup di jalanan.
"Menurutmu dia memang bukan penyihir?" tanya Arion, pandangannya masih tertuju pada Arbela.
"Bukan. Dia bukan penyihir!" jawab Samael. "Menyedihkan, bukan? Dituduh sebagai penyihir sementara yang benar-benar penyihir masih dapat hidup nyaman dengan daging panggang di atas piringnya."
"Tidak perlu menyindirku!"
"Kau kasihan padanya?"
"Tidak." Arion menyudahi makan siangnya dan berlalu pergi.
Arbela langsung bersemangat ketika pemuda beriris emas itu muncul dan kembali mengikutinya seperti anak ayam. Ia bahkan sudah bebal dengan kesinisan dan usiran yang Arion lontarkan. Mereka memasuki desa, Arbela memasang tudung jubahnya hingga menutupi rambut merah pudar yang pasti sangat dikenali orang-orang.
Ia berjalan di belakang Arion, berharap kehadirannya dapat ditutupi oleh tubuh tinggi pemuda itu. Di tengah perjalanan perutnya berbunyi dan Arion yang mendengarnya langsung berhenti. Ia menoleh dengan tatapan dingin dan dibalas cengiran oleh gadis itu.
"Seharian ini aku belum makan," ucapnya.
Arion mendengkus, melirik sekitar, lalu menuju toko roti yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Ia memberikan sebuah roti padanya dan melanjutkan perjalanan, menuju alun-alun. Arbela menatapnya berbinar dan segera memakan rotinya dengan penuh rasa haru.
"Ternyata dia memang baik!" gumam Arbela di sela kunyahannya.
Hari ini, Argantha kedatangan utusan dari kerajaan Anglo-Saxon—kerajaan non-penyihir yang baru terbentuk setelah sekian lama perdamaian antara penyihir dan non-penyihir terjadi. Mereka berpusat di Restel, desa yang berada tidak jauh dari Argantha.
Orang-orang sudah membicarakannya sejak lama sehingga, Arion menjadi tertarik. Ini memang bukan pertama kalinya ia mendengar tentang Anglo-Saxon, dulu pernah mendengar tentang Saxon yang menguasai Restel, tapi ia baru tahu kalau mereka adalah kerajaan yang bahkan menguasai hampir seluruh daerah non-penyihir yang terdiri atas tujuh wilayah, salah satunya Argantha.
Alun-alun desa sudah dipenuhi warga yang sama penasarannya dengan Arion. Mereka berdiri dan berdesakkan mengelilingi podium yang sengaja di bangun untuk rapat terbuka. Arion dan Arbela memilih menonton dari balik gang kecil, di samping rumah yang berada tidak jauh dari sana agar tidak mencolok.
Di depan podium seorang pria dengan pengawalan yang ketat sedang membacakan perkamen di tangannya. "... maka dari itu, bagi mereka yang ternyata adalah penyihir, akan ditangkap dan diadili bersama-sama!"
Arbela mundur ketika yang lain bersorak penuh semangat atas pengumuman itu, tangannya meremas ujung jubah Arion. Ketakutan tecetak pada wajahnya.
"Untuk mengawali berlakunya keputusan ini, kami akan memperlihatkan sosok penyihir yang berhasil ditangkap di Desa Scott!"
Dua orang pengawal masuk ke tengah podium yang lebarnya dua kali dua meter itu bersama seorang wanita bergaun hitam pudar, matanya tertutup kain dan kedua tangan diikat ke belakang.
"Dia adalah penyihir yang tertangkap basah sedang membuat ramuan untuk mencelakai warga desa!" Pria itu melanjutkan, "kami akan membawanya ke Restel untuk diadili."
"Bagaimana cara membunuh penyihir? Kami dengar, mereka tidak mudah mati."
"Kalian harus membakarnya hidup-hidup. Pastikan mereka habis menjadi abu!"
Orang-orang bersorak, "Jangan biarkan penyihir menindas kita lagi! Usir mereka!"
"Bukankah ini akan menjadi era baru?" bisik Samael yang entah sejak kapan sudah berada di antara Arion dan Arbela.
"S-sejak kapan kau ada di sini?" Arbela hampir dibuat jantungan, tapi Samael hanya tersenyum.
"Era dimana non-penyihir akan merebut kembali kedudukan mereka!" lanjut Arion, membenarkan. Ia melirik Arbela yang hanya sebahunya. "Sebaiknya kau pergi dari sini jika tidak ingin ditangkap dan dibakar hidup-hidup!"
"Tapi aku bukan penyihir!" tukas Arbela. Ia tidak tahu kalau akan menjadi seperti ini, padahal dia selalu pasrah jika orang-orang menuduh dan mengusirnya, tapi sekarang mereka juga akan membakarnya hidup-hidup atas tuduhan palsu. "Bagaimana caranya untuk membuktikan kalau aku bukan penyihir?"
"Entahlah." Arion meninggalkan tempat itu, diikuti Samael.
Arbela menarik napas panjang dan mengusap kasar air matanya dengan punggung tangan, sebelum akhirnya mengikuti Arion—meninggalkan alun-alun yang masih dipenuhi sorakan.
****
Malam itu, Arion yang tidak bisa tidur, memilih berjalan-jalan di sekitar rumah Atashius. Ia menghampiri seorang gadis yang sedang tertidur menyandar di pohon besar, tidak jauh dari tempat persediaan kayu bakar. Arion melepas jubahnya dan menyelimuti gadis itu dengan hati-hati.
"Rupanya kau bisa semanis ini pada gadis lain." Samael berbisik di belakangnya. Arion berjengit, berbalik untuk memberi tatapan jengah pada iblis itu.
"Berhenti mengikutiku!" protesnya.
"Aku merasa kalau kita akan kedatangan tamu tidak diundang," ucap Samael.
"Siapa?"
Sebelum Samael menjawab, terdengar suara gemerisik dari dalam hutan. Arion menyipitkan mata, mencoba memfokuskan penglihatan di gelapnya malam. Samael berdiri di depannya, seolah menantang sesuatu yang semakin mendekat.
"Kalian rupanya." Samael berucap, meremehkan.
Perlahan, wajah yang teramat Arion kenali keluar dari hutan. Bukan hanya satu, tapi sepuluh orang lainnya ikut muncul.
"Artikius," lirih Arion. Mereka berhasil mengendus keberadaannya.
"Lucifer!" geram Adam. tangannya terkepal erat. Walau tidak pernah melihat sosok iblis itu, tapi ia dapat merasakan aura mengerikan darinya. Sosok yang langsung diyakini sebagai sang penguasa neraka. "Sepertinya Putri Freya salah besar. Pada akhirnya, kau dan iblis itu malah bekerja sama."
Arion melangkah ke depan, menyamakan posisi di samping Samael. "Sepertinya kalian sangat cocok untuk menjadi kelompok pertama yang menghilang sebelum era baru dimulai," ujarnya. "Artikius sudah tidak dibutuhkan lagi di dunia ini."
"Kau! Pendosa yang berpihak pada iblis sepertimu telah mencoreng nama Putri Luna."
"Pengkhianat."
"Pendosa."
Cacian berdatangan dilontarkan oleh anggota Artikius yang lain. Arion hanya memasang raut datar, tidak peduli pada tudingan yang dijatuhkan padanya. "Aku tidak mengenal Putri Luna, jadi berhenti mengaitkanku dengannya!" tukas Arion. "Samael, musnahkan mereka!"
"Sesuai keinginanmu." Empat sayap besar Samael muncul dan mengepak, angin berembus kencang menerbangkan dedaunan kering yang menutupi lapangan berumput. Tanduknya mencuat, sepasang taring menghiasi seringaiannya. "Sudah lama aku tidak melakukan perburuan."
Adam segera membuat sihir pembatas untuk medan perang mereka. Mungkin memang seperti mengurung diri di dalam kandang singa, tapi ini juga menjadi satu-satunya cara agar Lucifer tidak kabur. Dia sangat paham, bahwa malam ini akan menjadi pertarungan terakhir, tapi dia bersumpah akan menyegel Lucifer untuk kedua kalinya.
Layaknya tugas sebenarnya dari seorang Artikius.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top