Bab 11.2 Kebangkitan

Destrion merupakan daerah yang dikelilingi oleh Hutan Sethna yang disebut sebagai hutan terlarang, baik oleh penyihir maupun non-penyihir. Sejak perdamaian yang diakhiri dengan tersegelnya Lucifer, hutan itu menjadi pemisah antara Destrion beserta makhluk gaib lainnya, juga desa non-penyihir.

Di bagian Barat hutan, terdapat sebuah wilayah tak terjamah yang dikuasai oleh para siluman, salah satunya adalah Werewolf. Lebih jauh di dalamnya, ada sebuah gerbang yang hanya bisa dilihat oleh orang yang memang direstui oleh alam.

Salah satunya adalah Dolhaf—pria tua bertubuh tegap itu telah berdiri di depan gerbang batu yang tingginya mencapai langit, entah setinggi apa sebab tertutup awan tebal. Di belakangnya ada tiga orang murid setianya yang tengah membawa tandu. Sebuah sulur hijau merambat dari atas gerbang, ujung sulur itu membentuk tunas bunga sebesar kepalan tangan.

Dolhaf menyentuh tunas itu dengan jemari berlapis energi sihir. Tunas itu berkedut, mekar, dan keluarlah peri kecil berwarna hijau dengan empat sayap tipis yang mengepak cepat. Peri itu menatap semua tamunya dengan mata kecil seperti manik-manik berwarna hitam, lalu terbang mengelilingi mereka. Ia menjatuhkan serbuk mengkilat dari atas, lantas kembali terbang ke gerbang.

Tangan kecilnya mengetuk dua kali, getaran terasa dari dalam tanah. Gerbang tinggi dan kokoh di depan mereka perlahan membuka. Dolhaf mengisyaratkan pada murid-muridnya untuk masuk mengikuti, dibimbing oleh si peri kecil.

"Selamat datang di Aydril." Suara lembut mengagetkan ketiga murid Dolhaf. Mereka melirik ke samping kanan yang ternyata ada sesosok wanita yang tubuhnya dipenuhi lumut dan bunga-bunga kecil tumbuh dari kepalanya. Dia adalah peri hutan. Wanita itu mendekat dan mengintip ke dalam tandu, "Siapa mereka, Dolhaf?"

"Putri mahkota Destrion dan kesatrianya," jawab Dolhaf.

Jemari berbentuk ranting membelai wajah Freya yang pucat dengan napas lemah, "Kenapa kau membawa mereka ke sini?"

"Raja Ferdinand telah dibunuh dan kerajaan diambil alih."

Peri hutan itu berdiri tegap. Tingginya melebihi Dolhaf, mungkin sekitar dua meter. "Di luar sana memang penuh dengan bermacam intrik yang membuatku jengah. Jika kau bukan teman baik Tuan Reighnel, kami tidak akan membiarkan kalian masuk membawa mereka."

"Jangan begitu, Suu." Dolhaf hanya bisa tersenyum maklum. Ia mengikuti peri hutan itu untuk masuk lebih dalam.

Aydril adalah negeri para peri. Sebuah tempat yang berada di dimensi lain, memisahkan diri dari dunia manusia. Selama ini keberadaannya hanya dianggap mitos oleh banyak orang, sebab tidak ada yang tahu di mana dan bagaimana cara untuk ke sana.

Banyak yang berkata, Aydril adalah tempat yang menyerupai surga. Tidak ada perpecahan ataupun kejahatan di sana. Semua hidup dengan damai dan dipenuhi hal ajaib melebihi sihir yang bisa dilakukan oleh manusia.

"Kalian tunggulah di sini, aku akan mengabari Tuan Reighnel!" Peri hutan yang bernama Suu itu memasuki bangunan bercat putih, sebuah kastel yang memiliki pohon besar tumbuh di tengahnya. Memayungi tempat itu hingga terasa begitu teduh.

Tidak lama menunggu, pintu utama kastel terbuka, sosok berpakaian serba putih dengan wajah rupawan keluar diikuti Suu dari belakang. Rambutnya pirang, lurus, dan panjang hingga hampir menyentuh lantai. Kedua kupingnya lancip, ada mahkota berbentuk sulur berwarna perak melingkari kepalanya. Dia sangat cantik. Semua mata tidak berkedip menatapnya.

"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi, Dolhaf," sapanya dengan suara maskulin. Ketiga murid Dolhaf yang sempat terpana hampir tersedak. Mereka pikir dia adalah perempuan. "Kudengar kau membawa tamu? "

Dolhaf berlutut memberi hormat. Ketiga muridnya mengikuti. "Saya memohon bantuan Anda untuk menyembuhkan Putri Freya."

"Kenapa kau mau aku menolongnya?"

"Dia adalah 'sang pewaris', Tuanku."

"Aku hanya merasakan sedikit energi Kristal Dayna di dalam tubuhnya."

"Kristal itu telah dirampas paksa dari tubuhnya."

Sosok rupawan dengan wajah bagai boneka porselen itu mendekat, menatap lekat pada Freya. "Beruntung sekali dia masih bisa bertahan."

"Saya mohon, tolong bantu beliau, Tuan Reighnel." Dolhaf menunduk hampir ingin bersujud, tapi urung kala suara maskulin yang lembut memerintahkan Suu untuk membawa Freya ke Danau Jiwa.

"Terima kasih, Tuan!" ucap Dolhaf penuh kelegaan.

Orang yang dipanggilnya Reighnel itu merupakan elf yang memimpin Aydril—raja para peri. Mereka membawa Freya, Grey, dan Arlan ke sebuah danau yang lebih tepat disebut sebagai sumber mata air yang luasnya hanya sekitar lima meter. Airnya jernih, membuatmu dapat melihat dasarnya yang dipenuhi ikan berwarna-warni.

Suu menggendong Freya dan menidurkannya di tengah danau. Tubuh pucat itu mengapung, cahaya kehijauan muncul dari dalam air, lalu menyelubunginya.

"Karena Kristal Dayna yang telah menyatu dengannya diambil paksa, maka terjadi keretakan pada jiwanya. Lazimnya dapat mengancam nyawa, tapi bersyukurlah dia masih bisa bertahan!" Reighnel menjelaskan, "sekarang, kita hanya bisa menunggu hingga roh alam memperbaiki kerusakan itu."

"Saya mengerti,"

"Lalu mereka berdua ...," Reighnel mendekati Arlan dan Grey. "Kau membuat mereka tertidur?"

"Benar, mereka hanya butuh istirahat dan sedikit pengobatan."

"Sekarang, ceritakan padaku apa yang telah terjadi di luar sana!"

****

Arion kembali ke Argantha, menemui Atashius. Ia disambut dengan kemarahan lelaki tua itu akibat tidak mendengar larangannya untuk ke Destrion. Seenaknya pergi, tidak mendengar ucapan orang, sekarang kembali seenaknya bahkan bersama orang asing yang terlihat mencurigakan.

"Siapa dia?" tukas Atashius. Wajahnya merah padam, menahan kesal.

Arion tampak berpikir, ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.

"Perkenalkan saya Samael, kakak Arion," jawab Lucifer seramah mungkin. Arion dan Atashius sama-sama mengernyit mendengarnya.

"Kakak? Kau punya kakak?" lelaki tua itu mengerutkan dahi.

Arion hanya mengangguk.

Meskipun merasa janggal, tapi Atashius menyerah, setidaknya pemuda itu kembali dengan selamat. Lagipula ia juga penasaran pada apa yang terjadi di Destrion, terutama Ibu Kota Eidin. Ia berdecih dan mengisyaratkan untuk masuk. Untuk kemudian, Arion menceritakan semua yang telah menimpa Destrion dan penghianatan yang dilakukan William serta tiga bangsawan lainnya.

Atashius memecahkan satu gelas tembikar saking marahnya, "Pasti mereka yang telah menghasut William. Aku paham betul dengan anak itu, dia bukan orang jahat yang akan tega membunuh keluarganya sendiri. Apalagi membunuh adiknya!"

"Nyatanya dia membunuh Freya," desis Arion. "Dan Austin."

Samael hampir tergelak mendengarnya.

"Tidak, William tidak mungkin melakukannya!"

Arion hanya diam, nyatanya memang bukan William yang membunuh, tapi dia juga tidak melindungi sang adik. Apa bedanya?

"Jadi, sekarang Destrion berada di tangan William?" lanjut Atashius.

"Benar."

Lelaki tua itu menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke sofa lusuh yang tengah mereka duduki. "Setidaknya aku bersyukur Ferdinand akhirnya mati. Bajingan itu memang pantas mati ditangan anaknya sendiri!"

Samael tersenyum mendengarnya. "Kalau boleh saya tahu, kenapa Anda diasingkan di tempat seperti ini?"

"Setelah menuduh dan membunuh adikku yang dianggap penyihir gelap, ia melenyapkan keluarga kami yang lain dan sengaja menyisakanku untuk diasingkan. Sebagai pengingat bahwa penghianat akan berakhir menyedihkan." Atashius bercerita dengan kilatan amarah pada matanya. "Padahal semua hanya tuduhan tanpa bukti yang jelas!"

"Wah, mengerikan sekali. Berarti kematiannya sekarang adalah sebuah karma?" ujar Samael dengan nada berlagak prihatin. Arion hanya bisa menahan ekspresi muak melihat sikap iblis itu.

Atashius mengambil sebotol arak dan menenggaknya beberapa kali. "Kau benar. Dia mendapat karma!" Tatapannya tertuju pada Arion. "Sekarang apa yang akan kau lakukan?"

Mata emas Arion terpejam. Ia ikut menyandar pada sofa. "Entahlah."

Samael tersenyum mengejek di sampingnya. "Ia sedang kehilangan arah, selama ini hidup seperti marionette dengan Putri Freya sebagai manipulatornya. Sekarang ketika sang manipulator sudah tidak ada, ia jadi tidak tahu harus melakukan apa."

Arion berdiri dan mendelik tajam ke arahnya. "Jangan sok tahu!" Ia berdiri dan pergi ke luar rumah, meninggalkan Samael dan Atashius yang melanjutkan kembali obrolan ditemani minuman beralkohol yang menghangatkan tubuh tuanya.

Setelah membuat perjanjian dengan Lucifer, Arion mulai diikuti oleh iblis itu, bahkan ia menjelma seperti manusia dengan mata yang kini dibuat persis seperti milik Arion—mata emas dengan pupil yang normal. Secara tidak langsung mereka memang seperti adik-kakak.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Samael yang saat itu sudah berdiri di belakang Arion.

"Kuharap kedepannya kau tidak banyak bicara!" tukas Arion, ia menoleh. "Dan Samael? Nama apa itu?"

"Mulai sekarang kau bisa memanggilku Samael."

"Itu nama aslimu?"

Samael kembali tersenyum, "Akan sangat aneh jika kau memanggilku Lucifer, bukan?"

****

Pagi hari di Argantha adalah saat yang penuh dengan orang yang berlalu lalang, memulai aktivitas. Arion yang disuruh untuk membeli tepung, memasuki sebuah toko yang ramai, membuatnya berdesakkan dengan wanita yang menenteng keranjang penuh belanjaan.

Samael menunggu di luar toko dengan senyum penuh cibiran. Orang yang kemarin bilang ingin memusnahkan semua orang, kini sedang membeli tepung dan menyelip di antara gerombolan wanita. Sungguh lucu.

"Jika kau tidak mau membantu, sebaiknya enyah dari hadapanku!" ketus Arion. Kalau bukan karena sadar diri telah menumpang di rumah Atashius, ia tidak akan mau disuruh pergi berbelanja seperti sekarang. Setidaknya Arion begitu pahama cara berbalas budi.

Samael hanya diam, tidak menanggapi. Mereka kembali berjalan ke pondok Atashius tapi terhenti ketika melewati jalanan sepi. Seorang gadis berpakaian lusuh sedang dilempari batu oleh anak-anak kecil di ujung jalan.

"Pergi kau penyihir!"

"Mati saja sana!"

"Dasar penyihir!"

Anak-anak itu terus meneriaki dan melempar kerikil pada gadis yang sedang meringkuk melindungi kepala dengan tangan.

"AKU BUKAN PENYIHIR!" pungkasnya.

"Kau penyihir! Pergi saja sana!"

Arion melanjutkan perjalanan, pura-pura tidak melihat, tapi saat melewati mereka, ujung jubahnya digenggam—menahan langkahnya. Gadis lusuh itu berdiri, berlindung di balik tubuh Arion, lalu mencibir ke arah anak-anak yang urung untuk melempar batu.

"Hei, Tuan! Dia itu penyihir, jangan dekat-dekat dengannya!"

Arion melepas paksa pegangan gadis itu tapi ia ditatap dengan wajah sendu. "Itu bohong, tolong aku. Aku bukan penyihir. Sungguh!"

"Kalian pergilah, aku akan membawa penyihir ini keluar dari desa!" ujar Arion pada anak-anak yang sudah siap sedia dengan batu di tangan mereka.

Ada sekitar enam orang anak laki-laki yang sekiranya berusia sepuluh hingga dua belas tahun. Mereka saling menatap saat Arion mengatakan hal itu. Mencoba menimbang, lalu akhirnya mengangguk dan lari menjauh, masih dengan teriakan, "Mati saja kau penyihir!"

Gadis itu bernapas lega. "Sungguh, aku bukan penyihir!"

"Aku tidak peduli." Arion melepaskan diri, pergi begitu saja diikuti Samael yang hanya diam sedari tadi.

"Sungguh, kau tidak peduli aku penyihir atau bukan?" Gadis itu mengikuti. Jubahnya yang terdapat beberapa lubang kecil, terayun karena berusaha berjalan cepat menyamakan langkah dengan Arion. Karena tidak ada jawaban, ia kembali bertanya, "siapa namamu? Kau pasti pendatang!"

Ketika mereka sudah tidak jauh dari rumah Atahius, gadis itu menahan tangan Arion, "Jangan ke sana. Itu 'kan rumah penyihir!"

Arion mengernyit—mulai kesal. Gadis berambut merah pudar dikuncir ekor kuda itu sangat berisik dan benar-benar mengganggu. "Kalau begitu, berhenti mengikutiku dan menjauhlah dari sini!"

"Kau tinggal di sana?"

"Itu bukan urusanmu." Arion berbalik menatapnya dengan penuh kekesalan. Sudah lama ia tidak jengkel pada seseorang. Kalau dulu, Arlan yang selalu berhasil memancing kekesalannya seperti ini.

"Siapa lagi yang kau bawa ke rumahku?" Suara Atashius mengangetkan gadis itu. Pria tua pemilik rumah telah berdiri di belakang Arion dengan wajah tidak ramah seperti biasa.

"Aku tidak mengenalnya." Arion berbalik dan meninggalkan gadis yang hanya bisa menatap sendu atas kepergiannya. Ingin mengikuti tapi juga takut pada Atashius yang memang terlihat seperti penyihir seperti cerita orang-orang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top